Membangun Budaya Mawas Diri

maurilioamorim.com
maurilioamorim.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

Seringkali, kita sibuk untuk mengubah orang lain dan dunia di sekitar kita, supaya sesuai dengan keinginan kita. Namun, kerap kali pula, kita gagal. Lalu, kita pun kecewa, bersedih dan bahkan marah. Bagaimanapun diusahakan, dunia di luar kita, termasuk orang-orang di sekitar kita, tidak akan pernah sejalan dengan keinginan kita.

Inilah akar dari segala penderitaan di dunia, yakni ketika kita memaksa dunia luar sejalan dengan keinginan kita, lalu gagal. Jika seperti itu, kita patut mengajukan pertanyaan sederhana berikut. Apakah keinginan yang ada di dalam diri kita itu baik untuk diwujudkan? Jangan-jangan, keinginan kita itulah yang salah, sehingga ia tidak akan pernah menjadi kenyataan?

Mawas Diri

Dengan dua pertanyaan ini, kita lalu bisa melakukan refleksi diri. Dan refleksi diri adalah inti utama dari mawas diri. Mawas diri berarti kita mengawasi diri kita sendiri, terutama emosi dan pikiran-pikiran yang muncul di dalam diri. Ketika kita marah, sedih, cemas, ataupun gembira, kita lalu mengawasi perasaan-perasaan tersebut sebagai sesuatu yang sementara, bahkan ilusi.

Emosi dan perasaan adalah hasil dari pengalaman-pengalaman hidup kita sebelumnya. Kita belajar dan kemudian dikondisikan untuk merasa marah, ketika dihina. Kita belajar dan kemudian dikondisikan untuk merasa senang, ketika menang undian. Emosi maupun perasaan kita adalah bentukan sosial yang sifatnya semu dan bahkan menipu.

Pikiran pun adalah hasil dari bentukan masa lalu kita. Kita berpikir dengan pola tertentu, sebagaimana yang kita pelajari dan lakukan di masa lalu. Ketika keadaan tidak sesuai keinginan, kita lalu dibentuk dan dikondisikan untuk berpikir, bahwa ini adalah masalah. Pikiran dan emosi menciptakan ketegangan di dalam diri manusia yang merupakan sumber dari segala penderitaan batin manusia.

Kejernihan Batin

Ketika pikiran dan emosi kita sadari dan awasi sebagai sebentuk ilusi yang semu dan menipu, kita lalu masuk ke dalam ketenangan batin. Jadi, hasil dari sikap mawas diri adalah hancurnya semua ilusi dan pengkondisian dari masa lalu kita. Ketika emosi dan pikiran hancur, maka kita masuk ke “titik nol” kehidupan, yakni kebahagiaan batin. Di dalam kebahagiaan batin itu, kita merasa bebas dan damai, sehingga mampu melihat segala sesuatu dalam kejernihan.

Kejernihan di dalam melihat dunia akan melahirkan sikap-sikap yang tepat. Kita tidak lagi bereaksi secara keras terhadap berbagai tantangan dunia. Kita lalu menanggapi semuanya dengan sikap dan analisis yang tepat, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan yang ada. Kejernihan yang lahir dari kebebasan serta kedamaian batin inilah yang menjadi inti utama dari kebijaksanaan.

Di dalam kejernihan batin ini, kita lalu tidak lagi sibuk ngotot mengubah orang lain atau dunia, supaya sejalan dengan keinginan kita. Kita lalu menerima apa yang terjadi, lalu berusaha melakukan perbaikan, sesuai dengan kebutuhan dan keadaan yang nyata. Kita tidak lagi sibuk dengan prinsip-prinsip di kepala kita, yang kerap kali dibarengi dengan emosi keras dan membuat batin gelisah. Kita lalu sibuk untuk mengawasi diri kita sendiri, termasuk semua emosi, perasaan dan pikiran yang lewat di dalamnya sebagai sebentuk pengkondisian yang sifatnya semu dan menipu.

Perjalanan mawas diri menuju kejernihan batin dan kebijaksanaan hidup ini tentu harus dilalui. Ada yang bisa langsung memahami dan menerapkannya dalam kehidupan. Ada yang perlu waktu lama untuk memahaminya terlebih dahulu. Tidak ada rumus universal untuk hal ini.

Di dalam proses, tentu ada keberhasilan dan kegagalan. Kerap kali, kita lalu kembali terjebak di dalam emosi dan pikiran kita yang lahir dari pengalaman masa lalu dan pengkondisian kita. Kita pun kembali mengalami konflik batin, dan lalu gelisah. Namun, semua ketegangan batin itu haruslah tetap diawasi dan disadari sebagai ilusi. Kita tidak boleh hanyut ke dalamnya.

Di dalam Filsafat

Pemahaman tentang mawas diri ini tertanam begitu dalam di dalam sejarah manusia. Di dalam Filsafat Jawa, kita menemukan konsep ini di dalam pemikiran Ki Ageng Suryamentaram, pemikir Jawa di awal abad 20. Diri manusia yang terkondisikan oleh pengalaman masa lalunya akan bertindak jahat dan sewenang-wenang. Inilah yang disebutnya sebagai kramadangsa.

Kramadangsa ini sifatnya egois. Ia hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Jika keinginannya tak tercapai, ia lalu marah, sedih, cemas atau justru merusak. Setiap orang, menurut Suryamentaram, memiliki kramadangsa di dalam dirinya. Kramadangsa ini harus terus diawasi, supaya ia tidak menguasai pikiran kita.

Di dalam filsafat Jerman, konsep mawas diri dikenal dengan konsep kesadaran diri (Selbstbewusstsein). Tradisi Idealisme Jerman yang berkembang pada abad 17 dan 18 di Eropa menjadikan konsep ini sebagai inti utamanya. Immanuel Kant menyebutnya sebagai kesadaran diri transendental (transzendentales Selbstbewusstsein), Fichte menyebutnya sebagai kesadaran diri murni (reines Selbstbewusstsein), dan Hegel menyebutnya sebagai kesadaran diri absolut (absolutes Selbstbewusstsein). Mereka berpusat pada metafisika dan epistemologi, tidak pada etika.

Dengan ketiga konsep ini, filsafat Idealisme Jerman ingin menegaskan, bahwa manusia bisa mengamati dirinya sendiri. “Aku murni” berbeda dengan “aku empiris”. Kesadaran diri terletak di dalam “aku murni” yang mampu mengamati “aku empiris”. Ini semua terjadi di dalam batin manusia. Kesadaran diri adalah sikap mawas diri.

Filsafat Timur juga memiliki tradisi panjang tentang sikap mawas diri ini. Di dalam tradisi Buddhisme, sikap mawas diri dilakukan dalam bentuk meditasi. Dalam arti ini, meditasi adalah saat, dimana manusia menyadari keterkondisian dirinya di dalam dunia ini, sebagai akibat dari pengalaman masa lalunya. Menjadi Buddha berarti menjadi orang yang tercerahkan, yakni orang yang telah berhasilkan menghancurkan secara total segala keterkondisiannya sebagai manusia, lalu mencapai kedamaian, kebebasan serta pencerahan batin sepenuhnya.

Di Berbagai Bidang

Sikap mawas diri haruslah menjadi budaya di Indonesia. Hanya dengan begitu, kita bisa hidup sebagai bangsa yang adil, makmur dan damai. Para politisi dan pemimpin bangsa lainnya tidak boleh hanya ngotot mengubah keadaan sesuai dengan pikiran mereka, tetapi juga perlu untuk mengawasi dirinya masing-masing. Jika tidak, mereka akan terjebak pada sikap rakus harta, korup, menipu, manipulatif dan sombong. Negara yang dipimpin oleh orang-orang seperti itu akan hancur dari dalam dirinya sendiri.

Di dalam bidang pendidikan, sikap mawas diri haruslah diajarkan kepada semua murid sekolah. Namun, guru-gurunya terlebih dahulu harus diajak untuk melatih diri dalam budaya mawas diri ini. Para guru dan murid diajak untuk melihat dan menyadari dirinya sendiri, terutama emosi, perasaan dan pikiran yang berkecamuk di dalam dirinya masing-masing. Semuanya itu harus diawasi dan dilihat sebagai sesuatu yang semu, menipu dan menciptakan ketegangan batin.

Namun, pendidikan sekarang ini terjadi tidak hanya di dalam sekolah, tetapi juga di dalam masyarakat, terutama melalui media, seperti musik dan film. Kita sering melihat film dengan artis yang menunjukkan emosinya, ketika menanggapi suatu keadaan. Ini contoh salah yang harus ditanggapi secara kritis. Menanggapi keadaan tidak boleh dengan emosi, seperti menangis atau marah, seperti yang ditunjukkan dengan aktingnya yang brilian dari para artis, melainkan dengan ketenangan batin dan kejernihan pikiran.

Lagu-lagu juga seringkali membingungkan kita. Lagu-lagu cinta dan lagu-lagu galau mengumbar emosi, dan melihatnya sebagai sesuatu yang nyata. Padahal, cinta bukanlah emosi, melainkan kedamaian dan kejernihan batin dalam melihat keadaan. Lagu-lagu semacam ini membuat kita semakin dalam terjebak dalam pengkondisian, dan akhirnya hidup di dalam ketegangan batin, tanpa henti.

Budaya mawas diri juga harus dikembangkan di dalam dunia bisnis. Para pelaku bisnis harus terus berusaha mengawasi dirinya sendiri, terutama emosi dan pikiran-pikirannya yang kerap kali hanya bertujuan untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi. Untuk mencapai tujuan itu, tanpa sikap mawas diri, mereka lalu menyuap pegawai pemerintahan, merusak politik dan ikut menghancurkan lingkungan. Semua sikap jelek itu lahir dari diri yang tidak disadari, yakni diri yang terkondisikan oleh pengalaman masa lalu dan nafsu akan uang.

Di dalam bidang kesehatan, sikap mawas diri juga amatlah penting. Banyak orang terjebak dalam kekecewaan mendalam, kesedihan besar, depresi, stress dan berbagai masalah kejiwaan lainnya. Ini semua terjadi, karena mereka terjebak di dalam pengkondisian dari pengalaman masa lalunya. Mereka lalu melihat dunia tidak dengan kejernihan, tetapi dengan pengkondisian.

Akibatnya, mereka hidup terus dalam tegangan batin. Masa lalu yang menyakitkan berkembang menjadi trauma masa kini yang terus menyiksa batin. Trauma adalah pengkondisian. Depresi adalah pengkondisian. Semua itu akan lenyap, ketika orang mengawasinya dan menyadarinya sebagai ilusi yang dibangun dari pengkondisian dan pengalaman masa lalu.

Konsep mawas diri juga membantu orang di dalam menghadapi sakit fisik. Sakit fisik akan jauh lebih ringan dan bisa disembuhkan, jika tidak dibarengi dengan stress dan depresi, seperti yang biasanya terjadi pada pasien penyakit akut. Konsep mawas diri dapat membantu meringankan beban batin, ketika sakit fisik melanda. Ini amat membantu proses penyembuhan.

Orang beragama dan beriman juga harus memiliki sikap mawas diri. Dengan sikap mawas diri, orang tidak secara buta menerapkan ajaran agamanya, tanpa melihat keadaan sekitar. Ia juga tidak akan jatuh pada fundamentalisme dan fanatisme yang menjadi akar dari berbagai kekerasan. Justru ketika orang mencapai kesadaran diri dan sikap mawas diri sepenuhnya, ia semakin dekat dengan Tuhannya, dan menjadi semakin penuh cinta terhadap sesamanya.

Budaya Mawas Diri

Jika ingin mewujudkan masyarakat yang damai, adil dan makmur, setiap warga negara Indonesia harus menerapkan sikap mawas diri di dalam kehidupan sehari-harinya. Sikap ini harus berkembang menjadi budaya yang dilakukan secara bersama-sama sebagai bagian dari revolusi mental. Tidak hanya di Indonesia, seluruh bangsa di dunia ini pun harus menerapkan sikap mawas diri dalam berbagai kebijakannya. Jika budaya mawas diri menjadi budaya global, maka perdamaian dan kemakmuran dunia akan terwujud sepenuhnya.

Orang yang mawas diri itu seperti supir. Ia bisa berbicara dengan penumpangnya, bercanda atau berdiskusi dengan mereka. Ia bisa menyanyi, sambil mendengarkan radio. Namun, perhatiannya tetap di jalan. Ia mengawasi seluruh proses berkendara. Ia tetap awas, walaupun sambil melakukan hal-hal lainnya.

Orang yang mawas diri juga bisa terus bekerja secara aktif. Ia bisa terlibat di dalam berbagai kegiatan. Ia bisa punya pacar, atau berkeluarga. Namun, di dalam kesibukannya, ia tetap mengawasi dirinya sendiri, terutama emosi dan pikiran-pikirannya sebagai sesuatu yang ilusif dan menipu. Dengan cara ini, ia bisa mencapai kejernihan, kedamaian, kebebasan dan pencerahan batin. Segala kesibukannya akan memiliki kemungkinan besar untuk berhasil.

Jadi, mari latihan untuk mawas diri!

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

7 tanggapan untuk “Membangun Budaya Mawas Diri”

  1. Sebenarnya, yang sering dilakukan orang, bukan ingin merubah dunia sesuai keinginan pribadinya.
    Namun, meluruskan dunia.
    Meluruskan berarti, menjadikan kehidupan ini menjadi lebih baik.
    Tak ada yang menindas dan tertindas.
    Semua, sama-sama berjalan dan bernyanyi bersama dalam satu kekhusyuk’an yang agung: Cinta.

    Suka

  2. Terimakasih atas pencerahannya iya betul saya mendapat pelajaran tentang mawas diri waktu di SMK 5 tahun lalu. Dan saya hari2 ini merasa keadaan pribadi dan keuangan saya kacau, dan saya menyalahkan teman2 saya dan ortu saya tapi ketika saya menyadari kembali untuk memawaskan diri saya . Saya lebih bisa mengonttol emosi saya dan saya tidak merasa tertekan lg oleh keadaan. Dengan mawas diri saya bisa berubah diri saya terlebih dahulu dan akhirnya merubah keadaan di sekitar saya dengan cara yg benar dan tepat .

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.