Jembatan Antar Generasi

wadafinearts.com
wadafinearts.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Sedang Penelitian di München, Jerman

Di berbagai organisasi, kita sering menemukan tegangan antara generasi tua dan generasi muda. Generasi tua merasa lebih punya pengalaman dan kebijaksanaan, sehingga merasa berhak untuk memimpin atau memberikan nasihat-nasihat. Sementara, generasi muda merasa, bahwa mereka tidak dimengerti. Pandangan-pandangan dari generasi tua dianggapnya ketinggalan jaman, dan tidak lagi pas untuk keadaan jaman sekarang.

Saya punya pengalaman nyata soal ini. Alumni SMA saya mengadakan rapat. Kami hendak mengorganisir kembali lembaga-lembaga alumni, lalu membuat koordinasi yang lebih dekat dan kompak. Namun, sepanjang rapat, angkatan tua sungguh mendominasi. Mereka berbicara panjang, padahal intinya sama saja.

Mereka mengulang-ngulang hal yang sama. Sementara, generasi yang lebih muda diam saja, pasif mendengar, karena tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Ketika rapat selesai, banyak dari generasi muda yang tidak lagi mau ikut rapat bersama. Mereka merasa, suara mereka tidak didengar, dan hanya diminta untuk menelan semua kata-kata dari generasi tua.

Ketika bekerja pun saya memiliki pengalaman yang sama. Para senior memberikan nasihat-nasihat. Sementara, para yunior diam dan menerima semuanya. Di dalam hati, para yunior tidak merasa didengarkan dan diberi ruang untuk menyampaikan ide-idenya. Akibatnya, mereka pun jadi malas bekerja.

Tegangan antara generasi tua dan generasi muda ini juga amat terasa di dalam berbagai lembaga agama. Generasi tua merasa memiliki kuasa untuk menafsir berbagai ajaran agama yang ada, lalu memaksakannya kepada semua pihak. Generasi muda kerap merasa, tafsiran tersebut sudah ketinggalan jaman. Mereka pun lalu secara diam-diam bersikap tidak patuh terhadap segala aturan keagamaan yang ada.

Bagaimana kita memahami semua ini? Bagaimana supaya tegangan antara generasi tua dan generasi muda ini tidak berujung pada konflik? Bagaimana supaya tegangan ini justru menjadi daya produktif yang mendorong kemajuan bersama?

Hidup yang Berubah

Yang pertama dan terpenting harus dipahami adalah, bahwa dunia terus berubah. Setiap jaman memiliki cirinya sendiri yang unik. Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah secara mutlak. Semua harus dimengerti dan dinilai dengan berpijak pada konteks yang ada.

Di dalam dunia yang berubah itu, manusia juga berubah. Cara berpikirnya berubah. Cara hidupnya juga berubah. Di dalam semua itu, nilai-nilainya juga berubah, bahkan kerap kali terbalik dibanding dengan jaman sebelumnya.

Ketika dunia dan manusia yang ada di dalamnya berubah, maka makna pun juga berubah. Hal-hal yang sebelumnya sudah dipastikan kini menjadi tidak pasti. Nietzsche, filsuf asal Jerman, punya istilah yang pas untuk menggambarkan hal ini, yakni die Umwertung aller Werte, atau pembalikan semua nilai-nilai. Tak heran, banyak orang yang tak mampu beradaptasi dengan semua ini mengalami kaget luar biasa.

Dalam keadaan seperti ini, kita tidak bisa lagi menilai semuanya dengan tolok ukur kita sendiri. Kita tidak lagi bisa melihat dunia secara hitam putih. Tidak ada malaikat dan tidak ada iblis. Yang ada adalah manusia dengan segala kerumitan di dalam dunianya yang terus berubah, tanpa henti.

Dengan pemahaman seperti ini, pertentangan antar generasi lalu bisa dipahami dengan lebih cermat. Generasi tua masih hidup di jamannya dengan cara berpikir yang pas sesuai dengan jamannya. Sementara, generasi muda lahir dengan cara berpikir yang berbeda. Mereka pun bertindak dan merasa dengan cara yang berbeda pula.

Keduanya bisa bekerja sama. Jembatan antar keduanya bisa dibangun. Syaratnya hanya satu, yakni visi yang sama, walaupun generasinya berbeda-beda. Namun, kesamaan visi ini pun bukan sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan harus terus diperjuangkan. Setelah ada, ia harus dirawat terus-menerus, tanpa henti.

Visi yang sama akan membuat perbedaan justru menjadi kekuatan produktif. Visi yang sama bagaikan lem yang mengikat orang-orang yang berbeda untuk bergerak ke satu tujuan. Tanpa visi yang sama semacam ini, perbedaan akan mendorong perpecahan. Namun, perpecahan bukanlah sebuah keniscayaan, melainkan semata kemungkinan yang selalu bisa dihindari.

Menuju Visi yang Sama

Bagaimana mencapai visi yang sama? Ada 7 langkah yang bisa diambil. Yang pertama adalah mendalami “filsafat kuping”. Artinya, orang belajar untuk sungguh mendengarkan apa yang dikatakan orang lain.

Ini adalah hal yang amat sulit. Kita seringkali mendengarkan orang lewat sudut pandang kita. Akhirnya, kita memelintir maksud orang lain, seturut dengan kemauan kita. Inilah sumber utama dari kesalahpahaman, yakni ketika kita mendengar orang lain tidak dengan keterbukaan, tetapi hanya semata dengan pikiran dan kemauan kita.

Langkah kedua sebenarnya sejalan dengan langkah pertama, yakni menutup mulut. Kita seringkali merasa lebih tahu, lalu berbicara lebih banyak, dan menutup kesempatan orang lain untuk bicara. Kita, seringkali juga tanpa sadar, mendominasi pembicaraan, karena mungkin merasa menjadi senior, atau yang lebih tahu. Bicara terlalu banyak justru akan menghambat komunikasi.

Sikap membuka kuping dan menutup mulut perlu juga dibarengi dengan langkah ketiga, yakni keterbukaan batin. Keterbukaan batin berarti keterbukaan untuk mengubah pendapat pribadi, setelah mendengar pendapat orang lain. Ia juga berarti keberanian untuk mengubah diri, ketika keadaan menuntut diri untuk berubah. Hal ini memang terdengar mudah dikatakan, tetapi sesungguhnya amat sulit untuk dilakukan.

Langkah keempat adalah kesiapan hati untuk menyambut yang tak terduga. Hasil mendengarkan dan berbicara seperlunya sering membawa kita pada kesimpulan yang tak kita kira sebelumnya. Kesimpulan tersebut kerap membuat kita goyah, karena mungkin nilai-nilai hidup kita tertantang. Ketika kita gampang kaget akibat perubahan yang tak sesuai dengan nilai-nilai kita, maka kita akan sulit untuk mencapai visi yang pas dengan jaman kita.

Langkah kelima adalah menunda semua penilaian yang ada. Kita seringkali melompat untuk membuat penilaian pada keadaan yang ada. Penilaian itu dibuat berdasarkan nilai-nilai yang kita pegang. Ketika dunia berubah, kita perlu untuk memikirkan ulang nilai-nilai yang kita pegang, sebelum kita membuat penilaian apapun atas keadaan yang ada.

Langkah keenam adalah kesiapan untuk berjumpa ditengah, yakni antara kepentingan kita dan kepentingan orang lain. Di dalam organisasi, kita harus siap untuk tidak mendapatkan sepenuhnya kebutuhan kita. Kita juga harus siap, bahwa orang lain akan memperjuangkan kepentingannya, yang mungkin bertentangan dengan kepentingan kita. Kesiapan hati semacam ini mendorong kita untuk bisa mencapai visi bersama yang memadai, walaupun tidak sempurna.

Keenam langkah ini mengerucut ke dalam satu hal, yakni dorongan untuk bekerja sama. Mentalitas bekerja sama adalah prinsip dasar dari setiap orang yang hidup dan berkarya di dalam organisasi. Mentalitas ini lahir dari “filsafat kuping”, menutup mulut, keterbukaan batin, keterbukaan pada yang tak terduga, menunda semua penilaian moral, dan dorongan untuk bekerja sama. Ketujuh hal ini haruslah dilihat sebagai kesatuan yang tak bisa dipisah-pisah.

Dengan ketujuh langkah ini, kita bisa membangun visi yang sama sebagai dasar dari organisasi, dimana kita berkarya. Jarak antar generasi jelas menghasilkan tegangan. Namun, tegangan ini bisa diolah menjadi produktif, jika didasari pada visi yang sama. Visi tersebut dapat dicapai dengan membangun mentalitas kerja sama, seperti saya jelaskan sebelumnya.

Organisasi adalah kumpulan manusia yang memiliki visi yang sama. Ia diperlukan, supaya orang bisa bekerja sama, guna melampaui tantangan-tantangan yang ada, dan visinya lalu bisa tercapai. Di dunia sekarang ini, kita tidak bisa lagi berjuang sendiri, guna mencapai visi kita. Kita membutuhkan dukungan orang lain yang terwujud dalam keberadaan berbagai organisasi maupun institusi yang ada.

 

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

2 tanggapan untuk “Jembatan Antar Generasi”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.