Paradoks Kepemimpinan dan Pemilu Kita di 2014

creativeintelligenceinc.com
creativeintelligenceinc.com

Oleh B. Herry Priyono

Musim gempita membandingkan dua calon presiden/wakil-presiden hampir usai. Negeri ini akan segera memasuki pucuk waktu. Kita hendak berdiri beberapa menit di bilik pemungutan suara untuk menerobos momen genting yang akan memberi nama hari esok Indonesia.

Apa yang berubah sesudah kedua kubu menjajakan rumusan visi dan misi, program, dan mematut-matut diri dalam debat di televisi? Tidak banyak, kecuali emosi politik yang terbelah ke dalam pertarungan abadi antara “memilih dari keputusasaan” dan “memilih bagi harapan”. Setelah berbagai timbangan nalar dikerahkan, yang tersisa adalah tindakan memilih yang digerakkan dua daya itu. Mungkin kita bahkan tidak menyadarinya.

Namun dengan itu dua kubu juga kian membatu. Masih tersisa beberapa hari bagi kita untuk menimbang pilihan dengan akal-sehat. Barangkali tiga pokok berikut dapat dipakai menambah aneka kriteria yang telah banyak diajukan.

Nafsu berkuasa

Kekuasaan dan kepemimpinan terkait integral secara paradoksal. Tidak setiap nafsu kekuasaan menghasilkan kepemimpinan, tetapi setiap kepemimpinan mensyaratkan kekuasaan. Seberapa hasrat kekuasaan yang dibutuhkan untuk kepemimpinan sejati? Di sinilah tersembunyi paradoks penting. Paradoks adalah kondisi atau pernyataan yang terdengar bertentangan atau tak masuk akal, namun sesungguhnya menyimpan kebenaran lebih utuh.

Orang yang sangat haus kekuasaan tidak pernah menjadi pemimpin baik. Sebaliknya, orang yang ditandai keengganan dan kesangsian yang sehat terhadap kekuasaan biasanya jauh lebih sanggup menjadi pemimpin baik. Sebabnya sederhana. Hanya sosok yang dapat merelatifkan atau membuat jarak dari kekuasaan sanggup menghidupi tugas agung bahwa kursi-kekuasaan tidak identik dengan dirinya, tapi sarana perwujudan mandat.

Ambillah analogi sederhana. Orang yang sedemikian haus uang tidak lagi melihatnya sebagai sarana. Siang dan malam ia kesurupan memeluk uangnya dengan cara apa saja. Begitu pula orang yang punya nafsu menggelegak pada tahta. Ia lebih bernafsu menjadi penguasa, bukan pemimpin. Dari proses ini pula kediktatoran dan tirani dilahirkan. Tetapi bagaimana benih tirani itu berkembang-biak?

Pada mulanya adalah harapan. Dan harapan itu amat cemerlang, sama seperti euforia Reformasi 1998. Setelah pergantian tiga rezim yang singkat, kita menaruh harapan pada rezim yang terpilih tahun 2004. Kita mengira dalam periode pertama rezim itu akan memimpin kita menata porak-peranda Indonesia, lalu mengakhiri periode kedua yang mulai tahun 2009 dengan beberapa tonggak pemberadaban. Sampai di mana harapan itu?

Satu-dua tonggak bisa disebut, dan kegemaran akan citra juga berkibar sebagai idiom baru politik. Tapi bukan rahasia lagi rezim ini gagal menjaga jantung-kultural Indonesia, yaitu kebinekaan. Terutama lantaran impotensi-nya mencegah kelompok-kelompok tribal berkeliaran makin ganas dan meremuk siapa saja yang tidak sejalan dengan tafsir agama mereka. Bahkan polisi yang punya mandat konstitusional monopoli kekerasan lebih sibuk dengan slogan ketimbang kelugasan.

Dalam arti itulah sakit-jiwa kolektif diperanakkan lewat cara rezim ini memerintah. Maka para korban semakin mencari-cari sosok pelindung, sedangkan kaum tribal agama mencari sosok pemaksa. Orang yang bernafsu kekuasaan meledak-ledak untuk menjadi presiden Indonesia beroperasi melalui patologi kolektif ini. Dalam keterjalinan berbagai arus inilah arti ‘tegas’ lalu tidak dibedakan dengan ‘tangan-besi’ dan ‘bengis’.

Maka, silakan cermati kedua capres/cawapres. Mana sosok yang ditandai oleh nafsu menggelegak akan kekuasan? Saya berani bertaruh, sosok dengan nafsu kekuasaan yang meledak-ledak tidak akan menjadi pemimpin baik bagi Indonesia. Seandainya maju jadi calon presiden, sosok seperti ini akan mengerahkan puluhan trilyun untuk membeli suara, memakai preman dan operasi-hitam untuk mengancam pemilih, memalsu surat dan kotak suara, serta menggunakan kekerasan dan cara apa saja bagi pemenangan.

Ringkasnya, sosok ini membuat dirinya sama-dan-sebangun dengan kekuasaan. Dan caranya berkuasa digerakkan terutama oleh busungan rasa megalomania.

Perkara kecil

Masalah dengan sosok megalomania bukan hanya karena bermulut besar, tapi karena orang seperti itu tidak sanggup setia pada urusan kecil dan tugas kepemimpinan yang menuntut kesetiaan mengemban tugas dalam rutinitas; tanpa panggung dan media, tanpa publisitas dan tepuk-tangan. Apa yang dilakukan dan semua orang lain hanyalah alat: ia memakai rakyat untuk kekuasaan, bukan memakai kekuasaan untuk rakyat.

Itulah mengapa orang seperti ini bisa saja menjadi penguasa, tetapi bukan pemimpin. Padahal memilih presiden Indonesia bukan memilih penguasa atau selebriti, tapi seorang pemimpin. Tentu saja pemimpin perlu berpikir besar, tapi bukan sebagai megalomania. Di sinilah tersembunyi paradoks lain. Seorang pemimpin besar hanya dapat kita temukan dengan mengenali bukti kesetiaannya pada perkara dan tugas lebih kecil yang pernah diemban.

Sebabnya juga sederhana: hanya dia yang telah teruji dan terbukti setia pada perkara kecil akan sanggup setia dalam perkara besar. Hanya orang yang teruji dan terbukti setia pada tugas lebih kecil dalam lingkup lebih kecil akan sanggup setia pada tugas yang berskala lebih besar. Apakah itu niscaya? Tak ada yang niscaya dalam dunia manusia, kecuali kematian.

Namun bolehlah kita pakai kewarasan sederhana. Apakah Anda akan mempercayakan kepemimpinan Indonesia pada sosok yang terbukti tidak setia dalam tugas pada lingkup lebih kecil? Ataukah kepada sosok yang telah terbukti setia pada tugas pemerintahan dalam skala lebih kecil? Segala dalil probabilitas menunjuk pada kewarasan pilihan kedua. Dengan segala hormat, sikap keras kepala mempercayakan tongkat-kepemimpinan Indonesia pada sosok yang terbukti tidak setia dalam tugas kepemimpinan lingkup lebih kecil adalah pilihan membabi-buta.

Lingkup lebih kecil itu bisa saja kepemimpinan suatu kotamadya atau provinsi. Itu sudah cukup sebagai lingkup ujian sejauh mana calon presiden terbukti setia dalam tugas dan perkara kecil. Boleh saja orang berteriak menggelegar bahwa ia akan melakukan ini dan itu yang serba kolosal untuk Indonesia. Tetapi itu kata-kata dan slogan, yang mudah dipesan dan cepat dilatihkan. Jarak antara slogan dan kepemimpinan sejati terletak jurang teramat dalam yang tidak terjembatani apapun kecuali oleh bukti kesetiaan dalam perkara dan tugas kepemimpinan pada skala lebih kecil yang pernah diemban.

Sekali lagi, ia yang setia dalam perkara kecil juga akan sanggup setia dalam perkara besar; orang yang telah setia dalam kepemimpinan pemerintahan suatu kota juga akan setia dalam kepemimpinan sebuah negara. Sebaliknya, ia yang tidak setia dalam perkara kecil juga tidak akan sanggup setia dalam perkara sebesar negara.

Ringkasnya, sosok yang terbukti tidak setia dalam perkara dan tugas berskala lebih kecil bukanlah orang yang layak dipilih memimpin Indonesia.

Habitus kepemimpinan

Pokok di atas sentral bagi kewarasan pilihan. Mengapa orang yang terbukti setia dalam hal kecil jauh lebih sanggup setia dalam perkara besar? Di sinilah tersimpan pokok kunci lain yang dalam dunia pemikiran dipelajari melalui bidang ‘teori tindakan’.

Intinya, orang boleh membual tentang kehebatan kalkulasi nalar. Tetapi, penelitian demi penelitian kian membuktikan bahwa dalam sebagian besar tindakan, manusia lebih digerakkan oleh kebiasaan. Jika memakai kata yang agak keren, istilah habitus paling dekat mengungkapkan maksudnya. Habitus perilaku manusia tak mudah berubah, apalagi pada orang yang makin menua. Tentu, kepemimpinan membutuhkan daya-penalaran dan kalkulasi tinggi. Namun jauh lebih menentukan adalah ciri habitus-nya dalam memimpin, juga bila bukti habitus kepemimpinan itu terjadi pada skala pemerintahan lebih kecil.

Maka, kita dapat lugas menimbang: sosok mana yang telah terbukti punya habitus kepemimpinan baik? Habitus kepemimpinan baik adalah kebiasaan perilaku memimpin yang secara instingtif tertuju pada kemaslahatan orang biasa dan kebaikan-bersama, ciri tegas-dialogis, cemburu merawat kebinekaan, merawat lingkungan hidup, tidak korup, tidak meremuk hak asasi, tidak militeristik dan memakai kekerasan sebagai solusi instan, dsb. Sebaliknya adalah habitus memerintah yang buruk.

Bukankah itu nirvana? Ya, namun itulah cita-cita Indonesia. Itulah kisah harapan kita, yang jerih-payahnya hanya sanggup dirawat oleh pemimpin yang telah terbukti setia dalam tugas lebih sederhana, bukan sosok penuh megalomania. Jerih-payah menghidupi kisah harapan itu tidak mungkin mekar kembali tanpa ciri-cirinya juga kita tanam dan lekatkan erat-erat pada ciri habitus sosok calon pemimpin.

Sebagaimana kita tidak akan mempercayakan benih yang bagus kepada tanah yang gersang, begitu pula amat fatal jika kita mempercayakan cita-cita luhur Indonesia kepada orang yang justru berkebalikan dengan keluhuran habitus kepemimpinan. Cara menanam jalan-harapan itu adalah memilih sosok yang telah lebih terbukti punya keluhuran habitus kepemimpinan. Seperti telah disebut, cukuplah habitus kepemimpinan pemerintahan itu terbukti pada lingkup dan skala lebih kecil.

Maka kita berdiri di pucuk waktu, ketika pilihan kita akan memberi nama hari esok Indonesia. Setelah digulung riuh-rendah kampanye, mungkin kita makin gundah. Pilihan waras bagi jalan-harapan dapat didasarkan pada tiga kriteria sederhana, yang hemat saya tidak lekang digerus kebingungan.

Pertama, sosok yang bernafsu kekuasaan meledak-ledak tidak akan punya keluhuran memimpin Indonesia. Kedua, hanya sosok yang telah teruji dan terbukti setia memimpin pemerintahan pada skala lebih kecil juga akan setia memimpin suatu negara. Ketiga, hanya sosok yang telah teruji dan terbukti punya habitus luhur kepemimpinan atas lingkup pemerintahan lebih kecil juga sanggup mengemban mandat kepresidenan dengan habitus kepemimpinan luhur yang sama.

Itulah dasar memilih bagi jalan-harapan. Dalam dunia manusia, masa depan bukan hasil ramalan melainkan kemungkinan untuk dibentuk. Itulah mengapa, di pucuk waktu nanti kita mesti membentuk hari esok Indonesia bukan dengan memilih mesin-ketakutan masa lalu, melainkan dengan memilih harapan baru.

B. Herry Priyono, Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Pemilu dan Perjuangan bagi Kebaikan-Bersama (Perspektif Katolik yang Berpijak pada Kebaikan Bersama)

(Panduan Memilih dalam Pemilihan Umum 9 Juli 2014)

 

  1.     Mengapa Keterlibatan dalam Pemilu bagian Perjuangan Iman Kristiani?

1.  Kita beriman kepada Tuhan yang menjelma. Tuhan yang menjelma dalam diri Jesus Kristus itulah yang kita ikuti. Dialah Tuhan yang tinggal di antara kita dan terlibat memperjuangkan kondisi dunia bagi kebaikan-bersama, apapun suku, ras, agama, dan golongan.

2. Kondisi Indonesia dengan segala masalahnya dewasa ini adalah “tanah-air penjelmaan” kita. Di tanah-air penjelmaan inilah kita dipanggil untuk memperjuangkan kebaikan-bersama. Kita mengungkapkan iman dengan doa, novena, adorasi, dsb, sedangkan kita mewujudkan iman melalui aksi konkret memperbaiki kondisi kehidupan-bersama di Indonesia.

3.  Memilih presiden/wakil-presiden yang tepat adalah bagian integral aksi konkret perwujudan iman kita dalam memperbaiki kondisi kehidupan-bersama di Indonesia.

 

  1.      Apa Prinsip Ajaran Gereja yang Memandu Pilihan Kita?

1.  Gereja minta kita memilih berdasarkan prinsip kebaikan-bersama (the common good), yaitu “Keseluruhan kondisi sosial yang memberdayakan dan memungkinkan semua warga, entah sebagai kelompok atau pribadi, mencapai kepenuhan hidup yang optimal dan secara optimal” (Gaudium et Spes #26). Maka, Ibu Gereja meminta kita memilih calon presiden dan wakil-presiden yang paling mendekati cita-cita perwujudan kebaikan-bersama itu.

2.  Kalau ‘kebaikan-bersama’ sulit dipahami, kita dapat memahami melalui kebalikannya, yaitu ‘keburukan-bersama’. Keburukan-bersama adalah kondisi masyarakat yang ditandai keluasan korupsi, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, penyingkiran kaum miskin dan kaum minoritas, perusakan lingkungan, penculikan, intoleransi agama, perampokan sumber alam, militerisme dan kediktatoran, dsb.

3.  Gereja minta kita untuk tidak memilih calon presiden dan wakil-presiden yang berpotensi menciptakan keburukan-bersama itu. Mana di antara 2 calon presiden yang layak kita pilih?

 

  1.     Siapa yang harus Kita Pilih dalam Pemilu 9 Juli 2014?

1.  Adalah kebodohan mencoblos berdasar penampilan, sebab penampilan hanyalah kesan sesaat. Sama bodohnya memilih karena diberi uang. Kita tidak seharusnya mencoblos karena percaya janji kampanye, sebab janji-janji kampanye mudah lenyap setelah kampanye usai. Rumusan visi & misi calon presiden/wakil-presiden juga bukan dasar yang meyakinkan untuk memilih, sebab rumusan visi & misi mudah dipesan dan berubah setelah Pemilu. Memilih berdasarkan hasil debat capres/cawapres juga bukan cara bijak untuk memilih, sebab cara tampil dalam debat merupakan hasil polesan sejenak (make-up) dan berisi deretan janji serta slogan.

2.  Cara paling bijak untuk memilih adalah berdasarkan bukti habitus kepemimpinan. Habitus kepemimpinan adalah kebiasaan perilaku memimpin. Mana di antara 2 calon yang selama ini telah terbukti punya kebiasaan memimpin dengan perhatian pada kesejahteraan/kemaslatan rakyat biasa? Cukuplah habitus kepemimpinan itu terbukti pada lingkup kota. Sebab, dia yang setia dalam hal kecil juga akan setia dalam perkara besar – dia yang telah teruji dan terbukti setia pada lingkup kepemimpinan kota juga lebih mungkin setia dalam urusan sebesar negara.

3. Bukti habitus kepemimpinan itulah kunci kita dalam memilih. Kebiasaan perilaku manusia tak mudah berubah! Dia yang dulu punya kebiasaan otoriter, melanggar hak asasi, menculik, korup dan menipu juga akan memerintah dengan otoriter, melanggar hak asasi, menculik, korup, dsb. Sebaliknya, dia yang telah terbukti punya kebiasaan memimpin dengan dedikasi pada rakyat, demokratis dan tidak korup juga akan memimpin Indonesia dengan habitus yang sama. Ingat, dia yang telah setia memimpin dengan habitus luhur atas sebuah kota juga akan setia memimpin sebuah negara. Sosok itulah yang harus kita pilih dalam Pemilu 9 Juli 2014.

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

4 tanggapan untuk “Paradoks Kepemimpinan dan Pemilu Kita di 2014”

  1. Mempoliltisisasi sabda Yesus: “Ia yg setia perkara kecil, akan setia dalam perkara besar..”

    Alangkah baiknya dijabarkan apa pengertian ‘setia’ dan apa itu perkara kecil dan apa itu perkara besar.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.