Mencapai Kebebasan Batin

flickr.com
flickr.com

Sebuah Refleksi Filosofis

oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya, sedang penelitian di Jerman

Ketika Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesian 1945 yang lalu, ada dua hal yang ada di dalam pikiran mereka, yakni kebebasan dan kemakmuran. Keduanya menjadi mimpi besar, tidak hanya untuk mereka berdua, tetapi juga untuk para bapak bangsa lainnya, seperti Sutan Sjahrir, Muhammad Yamin, dan sebagainya. Dengan kebebasan di tangan, bangsa Indonesia lalu mulai bisa membangun dirinya ke arah keadilan dan kemakmuran bagi semua warganya. Kebebasan dianggap sebagai jembatan emas menuju masyarakat yang paripurna. (Latif, 2011)

Sebagai pribadi, kita tentu juga ingin bebas. Kita ingin bisa menentukan hidup kita sesuai dengan keinginan kita. Kita juga ingin hidup aman, bebas dari rasa takut dan cemas atas hal-hal di luar diri kita. Keinginan untuk bebas tertanam secara alamiah di dalam jiwa manusia.

Penelitian yang dilakukan Institut fĂĽr Gesellschaftspolitik di Jerman menunjukkan satu hal, bahwa kebebasan (Freiheit) merupakan nilai tertinggi di dalam masyarakat Jerman sekarang ini. (Reder, et.al, 2014) Hidup tak ada artinya, jika tidak ada kebebasan. Seluruh sistem politik dan ekonomi Jerman memang dirancang untuk bisa menampung cita-cita kebebasan semacam ini. Tentu, tidak ada sistem yang sempurna yang tidak lagi membutuhkan refleksi ulang.

Kebebasan dianggap berharga, setidaknya karena dua hal. Pertama, kebebasan, seperti pandangan Sukarno dan Hatta, adalah jalan menuju cita-cita yang lebih tinggi, seperti keadilan dan kemakmuran. Selama suatu bangsa masih hidup dalam penjajahan, ia tidak akan bisa merasakan keadilan dan kemakmuran. Selama orang masih hidup dalam penjajahan tradisi ataupun tirani “kata masyarakat”, ia tidak akan pernah mencapai kebahagiaan.

Kedua, kebebasan juga dianggap sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Kebebasan bukanlah alat untuk mencapai tujuan lain. Sebaliknya, kebebasan adalah tujuan itu sendiri. Pandangan semacam ini mengakar amat dalam di dalam masyarakat Eropa dan AS sekarang ini. Tanpa kebebasan, manusia belumlah sungguh menjalani hidupnya.

Kebebasan Batin

Namun, apa sesungguhnya arti kebebasan? Tentu, ada beragam upaya untuk menjawab pertanyaan ini. Ada beragam bentuk, mulai dari kebebasan politik, kebebasan ekonomi, kebebasan budaya, dan sebagainya. Namun, semua paham kebebasan itu berpijak pada kebebasan lainnya yang amat mendasar, yakni kebebasan batin. Kebebasan batin adalah kebebasan paling tinggi yang bisa dicapai oleh manusia, dan menjadi dasar bagi kebebasan-kebebasan lainnya.

Namun, apa arti dari kebebasan batin? Belajar dari Anthony de Mello di dalam bukunya yang berjudul Awareness, A de Mello Spirituality Conference in His Own Words, kebebasan batin dapat dipahami sebagai kebebasan dari keterkondisian batin, atau kebebasan dari “program-program” batin kita. (De Mello, 1990) Sedari kecil, kita diajar bagaimana cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak. Kita menelan semua itu, tanpa sikap kritis, dan kini menjadi bagian dari diri kita.

Semua “program” ini lalu menjadi pola hidup kita. Ketika kita mendapat masalah, kita lalu merasa, berpikir dan bertindak sesuai dengan “program” yang kita punya. Ketika kita mengalami hal baik, kita pun merasa, berpikir dan bertindak sesuai dengan “program” tersebut. Bahkan, pemahaman kita tentang apa itu “masalah” dan apa yang merupakan “berkah” juga ditentukan oleh “program” yang kita terima dari masyarakat kita, dan kita telan mentah-mentah begitu saja. Kita pun melihat dunia tidak dengan apa adanya dunia itu, tetapi dengan “program” yang kita punya.

Segala bentuk perasaan, seperti sedih, senang, marah, dan sebagainya, adalah “program” hasil dari bentukan masyarakat kita. Misalnya, ketika seseorang meninggal, kita “diajarkan” oleh masyarakat kita untuk sedih. Ketika mendapat bonus dari perusahaan, kita “diajarkan” untuk menjadi senang, bahkan mengadakan pesta dengan keluarga dan sahabat. Emosi dan perasaan, serta cara kita memaknai dan menanggapi berbagai peristiwa dalam hidup kita, bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan bentukan dari masyarakat kita.

Jadi, ketika kita sedih, bukan karena suatu peristiwa membuat kita sedih, tetapi karena kita “diajarkan” untuk sedih, ketika mengalami peristiwa semacam itu. Dan sebaliknya, ketika kita senang, bukan karena suatu peristiwa membuat kita senang, tetapi karena kita “diajarkan” sejak kecil untuk merasa senang, ketika mengalami peristiwa tersebut. Inilah yang disebut sebagai “program” yang membuat seluruh batin kita tidak bebas untuk memahami dunia apa adanya. De Mello bahkan menyebutnya sebagai proses cuci otak, bahkan hipnosis.

Apa dampak “program” ini bagi hidup kita? Kita menjadi tidak stabil. Emosi kita diombang ambingkan oleh berbagai peristiwa. Kita menjadi begitu reaktif terhadap berbagai peristiwa. Pendek kata, kita tidak akan pernah menemukan kedamaian, selama kita belum sadar akan “program-program” yang ada di kepala kita. Kita akan terus hidup dalam penderitaan dan kesenangan sesaat yang bersifat semu.

Padahal, manusia, sejatinya, yakni sebelum ia “diprogram” (atau dihipnosis dan dicuci otaknya oleh masyarakat), adalah mahluk yang bebas dan bahagia. (Rousseau, 1979) Kita semua sejatinya adalah mahluk yang berbahagia. Lihatlah anak kecil, sebelum ia “diprogram” oleh keluarga maupun komunitasnya. Ia begitu bahagia. Ia melihat dunia apa adanya, menerima semua apa adanya, tanpa penilaian, tanpa ketakutan, tanpa kecemasan. Ia menjalani hidup apa adanya, tanpa harapan dan ketakutan yang berlebihan.

Yang kita perlu lakukan untuk mencapai kebebasan batin adalah menyadari semua “program” yang telah ditanamkan pada kita sepanjang hidup kita. Ada “program” lama yang kita terima, sewaktu kita kecil. Ada “program” baru yang baru saja kita terima dan melekat di dalam diri kita, karena beberapa peristiwa yang kita alami. Kita tidak boleh melawan “program” itu. Cukup disadari saja. Ketika “program” ini dilawan, kita justru akan semakin menderita, dan terjebak pada “program” baru lainnya.

Saya beri contoh sederhana. Beberapa hari yang lalu, kaki saya terbentur meja. Sakit sekali. Biasanya, ketika saya belum menyadari “program” saya, saya akan marah dan bahkan memaki meja itu. Karena marah, sakit di kaki pun lalu semakin bertambah. Dalam hati, saya menyadari, bahwa “marah karena terbentur meja” adalah “program” yang saya miliki, berkat didikan dan pengalaman selama bertahun-tahun. Kesadaran ini membuat saya tenang. Saya tidak lagi marah.

Kaki tetap memar dan sakit, tetapi itu tidak lagi menjadi masalah buat saya. Tinggal diobati saja, lalu semua beres. Tidak perlu marah. Tidak perlu sedih. Tidak perlu frustasi. Cukup disadari dari diamati saja semua “program” yang bercokol di kepala kita. Jangan dilawan. (Sudrijanta, 2012)

Kata menyadari dan mengamati diri menjadi amat penting disini. Di dalam bukunya yang berjudul Die Kunst sich selbst auszuhalten, Ein Weg zur inneren Freiheit, Michael Bordt berpendapat, bahwa pengamatan diri (Selbstbeobachtung) dan persepsi diri (Selbstwahrnehmung) adalah kunci untuk menjalani hidup yang bermakna, yakni hidup yang bebas. (Bordt, 2013) Hal ini memang sulit, karena kita diajak untuk keluar dari keramaian dunia, dan melakukan pengamatan diri atas diri kita sendiri, guna sampai pada kesadaran. Banyak orang menghindarinya, sehingga mereka tetap hidup dalam pola berayun “senang sesaat” dan “sedih mendalam”.

Peran Kesadaran Diri

Apa yang diajarkan oleh De Mello dan Bordt adalah inti dari kebebasan itu sendiri, yakni kebebasan batin. Kebebasan politis, kebebasan ekonomis, dan kebebasan kultural tidak ada artinya, jika orang tidak mencapai kebebasan batin. Kebebasan batin memiliki nilai pada dirinya sendiri. Namun, ia tidak muncul dari usaha manusia untuk mengejar “ide tentang kebebasan batin”, melainkan dari upaya manusia untuk menjadi sadar akan keterkondisiannya, yakni akan “program-program” yang bercokol di dalam dirinya, yang membuatnya sensitif dan tak bahagia di dalam menjalani hidup.

Sudrijanta juga mengingatkan, bahwa kata “kesadaran” disini haruslah dipahami secara tepat. (Sudrijanta, 2012) Kesadaran bukanlah kesadaran pengetahuan yang berpijak pada kemampuan intelejensi manusia (consciousness), melainkan kesadaran yang bersifat eksistensial dan mistikal (awareness). Kesadaran intelektual (consciousness) berguna untuk memahami alam dengan kaca mata filsafat atau ilmu pengetahuan. Sementara, kesadaran eksistensial (awareness) adalah inti dari kebebasan batin.

Dengan kesadaran eksistensial, kita lalu bisa menjadi diri kita apa adanya, yakni diri yang bahagia (bukan senang sesaat). Kita pun bisa melihat dunia apa adanya, tanpa penilaian yang menghasilkan harapan berlebihan, atau justru kekecewaan yang mendalam. Ingatlah, bahwa “kesedihan” dan “kesenangan” adalah bentukan dari “program-program” yang kita dapatkan dalam hidup kita. Itu bukanlah kenyataan yang sejati, melainkan hanya emosi sesaat yang datang dan pergi dalam sekejap mata. Ia semu dan palsu.

Implikasinya

Pada titik ini, kita bisa merumuskan ulang apa arti pendidikan dalam hidup manusia. Pendidikan adalah proses untuk mencapai pencerahan, dan pencerahan adalah kebebasan batin itu sendiri. Maka, pendidikan dapat dilihat sebagai proses untuk menyadari “program-program” di dalam diri kita yang menentukan cara kita merasa, cara kita berpikir, bahkan cara kita hidup. Pendidikan adalah penyadaran, atau “deprogramisasi”.

Apakah paham tentang kebebasan ini terlalu individualistik? Apakah ia tidak punya dampak politis untuk perbaikan kehidupan bermasyarakat? Apakah paham kebebasan batin ini hanya merupakan pelarian semata dari hidup di dunia politik dan ekonomi yang penuh dengan kekejaman dan ketidakadilan? Apakah paham kebebasan batin ini hanya merupakan selubung dari sikap pengecut akan dunia?

Saya menjawab semua pertanyaan itu dengan satu kata, yakni tidak. Justru sebaliknya, kebebasan batin memiliki dampak politis yang lebih besar dari semua teori filsafat politik lainnya. Ia melepaskan orang dari fanatisme pada paham tertentu (organisasi-organisasi teroris), sehingga ia bisa berpikiran terbuka. Ia juga melepaskan sikap keras kepala pada paham tertentu yang menutup jalan bagi semua dialog untuk mencapai perdamaian (misalnya antara Israel dan Palestina, atau perang di Suriah). (Margalit, 2010) Semua teori ekonomi, filsafat ataupun politik yang masih dibebani oleh “program-program” masa lalu justru menghambat perdamaian, dan menghasilkan ketegangan maupun konflik lainnya.

Sebagai pribadi, kita pun bisa dengan hati yang ringan dan damai ambil bagian dalam memperbaiki masyarakat kita. Kita tidak lagi dibebani oleh kepentingan diri dan kebutuhan akan nama baik atau ketenaran. Kita “sudah selesai” dengan hal-hal semacam itu. (Wattimena, 2013) Kita akan menjadi manusia yang murni yang siap menyelesaikan masalah-masalah hidup dengan tenang dan efektif, baik masalah pribadi maupun masalah bersama. Tidak ada yang lebih praktis dan politis daripada kebebasan batin!!

Daftar Acuan

Bordt, Michael, Die Kunst sich selbst Auszuhalten: Ein Weg zur inneren Freiheit, Zabert-Sandmann, 2013.

De Mello, Anthony, Awareness, A de Mello Spirituality Conference in His Own Words, Doubleday, New York, 1990.

Latif, Yudi, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Gramedia, Jakarta, 2011.

Margalit, Avishai, On Compromise and Rotten Compromises, Princeton University Press, New Jersey, 2010

Reder, Michael, et.al., dalam penelitian dengan judul Entwicklung im Dienst des Weltgemeinwohls, Argumente für ein soziales gerechtes und ökologisch nachhaltiges Zivilisationsmodell, Munich, 2014. Ini dipaparkan dalam kuliahnya yang berjudul Weltgemeinwohl und Entwicklung: Begründungsstränge für ein ethisches Konzept in interkultureller Hinsicht pada 10 April 2014 di Munich.

Rousseau, Jean-Jacques, Emile or on Education, Basic Books, 1979.

Sudrijanta, J., Pencerahan: Kebenaran, Cinta, dan Kearifan, Melampaui Dogma, Kanisius, Yogyakarta, 2012.

Wattimena, Reza A.A., “Dunia Baru, Masalah Baru, Metode Baru”, Majalah Basis, No. 11-12, tahun ke 62, 2013, hal. 29-33.

 

 

 

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

10 tanggapan untuk “Mencapai Kebebasan Batin”

  1. Permisi pak, nama saya Marvin. Saya tertarik untuk mendalami filsafat bahkan saya ingin mengambil jurusan filsafat selepas saya wisuda nanti. Ada beberapa hal yang hendak saya tanyakan pada bapak tapi saya tidak enak menanyakannya di sini. Apabila bapak berkenan, bisakah saya meminta alamat email bapak? Thanks

    Suka

  2. Saya masih belum tahu tentang batin, roh, dan jiwa. Apakah bapak bisa menjelaskan tentang itu ? Mohon bantuannya 🙂

    Suka

  3. Mengutip pernyataan bapak, “Emosi dan perasaan, serta cara kita memaknai dan menanggapi berbagai peristiwa dalam hidup kita, bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan bentukan dari masyarakat kita.” dan “Segala bentuk perasaan, seperti sedih, senang, marah, dan sebagainya, adalah “program” hasil dari bentukan masyarakat kita. Misalnya, ketika seseorang meninggal, kita “diajarkan” oleh masyarakat kita untuk sedih. ”

    Saya sepakat kalau pada dasarnya manusia itu bebas (atau ada nilai kebebasan dalam dirinya), namun saya skeptis kalau dikatakan segala bentuk perasaan itu adalah tidak alamiah dan bentukan masyarakat.

    Manusia berbeda dari binatang karena manusia punya daya nalar. “Program” ini terbentuk akibat adanya nalar pada manusia. Jika kita menarik pemisah dari nalar sebagai upaya kesadaran, maka manusia adalah binatang dan yang tertinggal dalam diri adalah insting saja.

    Kalau semua emosi yang muncul adalah bentukan dari masyarakat, bagaimana menjelaskan peran insting sebagai bentuk reaksi atau tindakan terhadap sesuatu yang terjadi ?

    Binatang tak punya pikiran, karenanya mereka tidak bertindak sesuai “program” melainkan dengan insting. Lantas bagaimana dengan reaksi marah oleh binatang ketika merasa terancam, bukankah reaksi itu bukan bentukan?

    Mohon penjelasannya.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.