Epikuros dan Kenikmatan Hidup

daydaypaint.com
daydaypaint.com

Tentang buku Surat Kepada Menoikeus

Oleh Reza A.A Wattimena

Banyak orang merasa sedih dan sakit kepala, ketika membaca koran harian. Banyak berita buruk. Akhirnya, ia semakin sedih, karena merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Koran sebagai sumber informasi justru malah membuat kita merasa tak berdaya, ketika membacanya.

Ketika mendengar berita tentang bencana, kita juga merasa sedih sekaligus bersyukur, karena kita dan keluarga kita bukanlah korbannya. Namun, jauh di dalam lubuk hati, kita tetap takut, bila bencana itu menghampiri kita dan orang-orang yang kita kasihi. Kita takut, terutama jika kita mati, siapa yang akan menjaga dan merawat keluarga kita?

Yang lebih mendasar lagi, kita takut akan masa depan. Kita takut ada “apa-apa” di masa depan kita, apapun itu artinya. Kita lalu membuat rencana untuk menata masa depan, seperti bikin asuransi, menabung, dan sebagainya. Namun, kegelisahan dan ketakutan tetap ada, bahkan mungkin semakin besar.

Pertanyaanya adalah, apakah kita ingin hidup seperti itu? Apakah kita ingin dikepung oleh ketakutan dan kegelisahan yang bermuara pada sakit dan penderitaan hidup? Epikuros, salah seorang filsuf Yunani Kuno, mencoba menawarkan pemikiran tentang hal ini. Karya ia buat berjudul Surat kepada Menoikeus.

Epikuros adalah seorang filsuf yang hidup pada 341 sampai dengan 271 sebelum Masehi.1 Ia banyak dikenal sebagai filsuf tentang kebahagiaan. Baginya, kenikmatan adalah sesuatu yang bernilai tinggi di dalam diri manusia. Ia mengajukan pendapatnya di dalam tiga surat dan satu karya yang berisi ajaran-ajaran lisannya. Total tidak lebih dari 100 halaman.

Surat yang saya acu di dalam tulisan ini, yakni Surat kepada Menoikeus, ditulis pada sekitar 300 sebelum Masehi. Di dalamnya termuat pandangannya soal etika, atau filsafat moral. Isi buku ini masih mempengaruhi pandangan para filsuf moral, sampai sekarang ini. Salah satu bagian yang paling berkesan di dalam buku ini adalah bagian pertama, dimana Epikuros menyatakan, bahwa kita tidak perlu takut dengan kematian.

Argumennya adalah, bahwa sisi jahat dari kematian tidak akan pernah menyentuh kita. Ketika kita hidup, kematian jauh dari kita. Dan ketika kematian datang, kita tidak ada lagi. Kita tidak akan merasakan apapun, karena kematian bukanlah kehidupan, dimana kita bisa merasakan sesuatu. Tidak ada penderitaan di dalam kematian, dan juga tidak ada kebahagiaan di dalam kematian.

Maka, Epikuros lalu menyarankan, agar kita jangan banyak berpikir soal kematian. Sebaliknya, kita harus menikmati setiap waktu yang ada, dan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin. Kita harus menyibukkan diri kita dengan hal-hal yang menyenangkan hati. Karena semua kenikmatan yang ada, beserta segala penderitaan dan kesulitan kita, akan hilang, ketika kematian datang.

Argumen ini adalah dasar dari pemikiran Epikuros tentang hedonisme. Namun bukanlah berarti, bahwa hidup manusia adalah pengumbaran nafsu untuk mencapai kenikmatan semata. Epikuros justru menolak hedonisme salah kaprah semacam ini. Kenikmatan yang dimaksudnya adalah kenikmatan yang lahir dari hidup yang sederhana dan sepantasnya.

Pemenuhan hasrat dan pemburuan kenikmatan bukanlah hidup mewah dan berfoya-foya, melainkan mencapai keadaan yang tenang dan damai. Keadaan ini hanya dapat dicapai, jika orang memiliki kesehatan badan dan ketenangan jiwa. Ketika manusia tidak memiliki sakit di badan dan rasa bingung di pikiran, maka ia dapat menikmati hidupnya secara penuh. Dua hal penting disini, menurut Epikuros, yakni kebebasan dari rasa khawatir, dan menghindari perasaan yang berlebihan (sedih atau senang yang berlebihan).

Keinginan juga sesuatu yang mesti diawasi. Ketika kita menginginkan hal-hal baru yang tidak kita punya, kita justru harus berpikir tentang hal-hal yang kita punya. Keinginan itu berbahaya, karena menciptakan kegelisahan dan kebingungan jiwa. Kita hanya bisa tenang, jika kita tidak fokus pada apa yang kita tak punya, dan memperhatikan apa yang sudah ada pada kita sekarang ini.

Filsafat politik Epikuros pun bersifat pasif. Ia menyarankan, agar orang menjauhi politik dan kehidupan publik. Hidup yang bahagia dan nikmat adalah hidup yang sederhana dan privat, yakni berfokus pada pada kehidupan sendiri saja. Orang hanya perlu melakukan kerja-kerja sederhana, supaya bisa hidup, dan belajar untuk mengatur pikiran serta keinginannya, supaya tidak menciptakan kegelisahan dan kebingungan.

Ada empat hal yang kiranya bisa kita pelajari dari pemikiran Epikuros di dalam “Surat kepada Menoikeus”. Pertama, kita tidak perlu berpikir tentang kematian. Kita tidak perlu juga berpikir, apa yang terjadi setelah kematian. Kematian adalah sesuatu yang amat berbeda dari kehidupan. Tidak ada sedih, senang, atau perasaan apapun di sana.

Dua, kita juga diajak untuk lebih menikmati hidup. Untuk itu, kita perlu tubuh yang sehat, yakni dengan olah raga dan makan yang bermutu. Kita juga perlu untuk mencapai ketenangan pikiran. Kita tidak boleh dibingungkan oleh persoalan-persoalan dunia, karena hidup itu, pada hakekatnya, amatlah sederhana dan nikmat.

Tiga, kita juga perlu mengawasi keinginan-keinginan di dalam hati kita. Seringkali, semua itu, dengan rencana-rencana untuk mewujudkannya, membuat kita gelisah. Dari kegelisahan muncul ketakutan. Dan itu semua menciptakan kebingungan serta penderitaan di dalam diri kita. Kita harus belajar menata keinginan dengan berfokus pada apa yang kita sudah punya, dan bukan pada apa yang belum ada.

Empat, kita juga tidak perlu banyak sibuk dengan kehidupan politik. Memang, politik selalu bermasalah. Campur tangan kita seringkali tidak memberikan jalan keluar apapun. Justru, kita mungkin hanya menjadi sumber masalah baru. Kita pun jadi hidup dengan kegelisahan dan kebingungan yang lalu menghasilkan penyakit dan penderitaan. Tidak ada gunanya aktif dalam politik.

Pandangan yang menarik, bukan?

1 Saya mengikuti uraian König, Siegfried, Hauptwerke der Philosophie: Von der Antike bis 20. Jahrhundert, 2013 bab dengan judul Epikur: Brief an Menoikues (um 300 v. Chr.) dan http://www.monadnock.net/epicurus/letter.html 13. Juni 2014 Pk. 07.35. Terjemahan dari Peter Saint-Andre, 2011.

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

8 tanggapan untuk “Epikuros dan Kenikmatan Hidup”

  1. karena disimpangkan oleh kekhawatiran dan kekayaan dan kesenangan kehidupan ini, orang-orang bisa tercekik sepenuhnya dan tidak menghasilkan apa-apa kepada kesempurnaan di kehidupanya.

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Reza A.A Wattimena

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.