Apakah Kita Abadi?

wikimedia.org
wikimedia.org

Plato di dalam buku Phaidon

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala, Surabaya

Hubungan antara tubuh dan jiwa adalah salah satu hal yang paling banyak dibicarakan di dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Para filsuf dan ilmuwan dari berbagai bidang mencoba merumuskan teori tentang hal ini. Pertanyaan yang biasa muncul adalah, apakah tubuh kita adalah satu-satunya yang ada? Apa yang dimaksud dengan jiwa, jika kita menggunakan kata ini?

Di dalam bukunya yang berjudul Phaidon (380 SM), Plato mencoba menjawab pertanyaan ini. Latar dari buku ini adalah dialog Sokrates dengan murid-muridnya, menjelang kematiannya. Ini adalah peristiwa yang amat menyedihkan untuk Plato. Setidaknya, empat buku tulisan Plato berisi tentang cerita Sokrates, mulai dari pengadilan sampai dengan penghukuman matinya.1

Seperti buku-buku Plato lainnya, Phaidon juga memiliki jalan cerita. Phaidon adalah nama seorang murid Sokrates. Di dalam buku itu, ia seolah menjadi saksi dari semua peristiwa yang ada. Ia sendiri tidak ambil bagian langsung di dalam dialog yang ada. Menurut kesaksiannya, Plato juga tidak hadir di dalam peristiwa itu, karena ia sedang sakit.

Buku Phaidon berisi tidak hanya dialog-dialog, tetapi juga penggambaran keadaan Sokrates dan keluarganya secara jelas. Misalnya digambarkan, bagaimana istri Sokrates menangis, menggendong anaknya di tangannya. Sokrates bahkan meminta salah seorang muridnya untuk mengantar mereka pulang ke rumah, dan memijat kaki maupun istrinya, supaya ia tidak terlalu lelah. Pada bagian akhir, Sokrates meminum racun yang diberikan keadanya, dan meninggal dengan penuh kesadaran diri.

Tema utama buku Phaidon adalah soal keabadian jiwa manusia. Sokrates berpendapat, bahwa ia tidak takut dengan kematian, bahkan ia menyambutnya dengan semangat. Ketika orang mati, maka jiwanya akan terpisah dari badan. Bukankah ini, menurutnya, adalah tujuan dari setiap filsuf, yakni memiliki jiwa yang tidak terikat pada badan?

Bagi Sokrates masalah utama manusia adalah tubuhnya. Tubuh perlu makan dan perlu istirahat, sehingga ia menghalangi hidup manusia yang ingin mencapai pengetahuan dan kebijaksanaan. Cita-cita tertinggi seorang filsuf adalah melepaskan diri dari kebutuhan tubuhnya, sehingga ia bisa bebas mengejar pengetahuan dan kebijaksanaan. Kematian adalah jalan paling baik untuk mencapai tujuan ini.

Pengetahuan tentang kebaikan dan kebenaran yang sejati, menurut Sokrates, hanya dapat dicapai melalui kegiatan dan tindakan dari jiwa. Selama manusia masih memiliki badan, ia tidak akan bisa mencapai pengetahuan tentang kebenaran dan kebaikan sejati itu. Pengandaian dasar Sokrates adalah, bahwa jiwa manusia itu abadi, dan akan hidup terus, setelah kematian. Ada beberapa bukti atas argumen ini yang ditawarkan oleh Sokrates.

Pembuktian pertama menggunakan pola dialektik, yakni melihat kehadiran dari sesuatu dari lawannya, misalnya baik dan buruk, terang dan gelap, dan sebagainya. Jadi, sesuatu itu bisa ada dan tercipta, karena kehadiran dari lawannya. Argumen ini, menurut Sokrates, juga berlaku untuk pembuktian, bahwa kehidupan bisa lahir dari kematian, sama juga kematian selalu lahir dari kehidupan. Fakta bahwa kehidupan setelah kematian itu mungkin juga merupakan dasar untuk berpendapat, bahwa jiwa manusia itu abadi.

Pembuktian kedua disebut Sokrates sebagai argumen “mengingat kembali”. Ketika orang mengetahui sesuatu yang baru, selalu terbersit sejenak di dalam pikirannya, bahwa ia sudah mengetahui hal ini sebelumnya. Ia hanya lupa, dan merasa, bahwa itu adalah pengetahuan baru. Juga jika kita melihat sesuatu yang indah, kita sering merasa, bahwa kita telah melihat itu sebelumnya, dan kita merindukannya.

Menurut Sokrates, ini adalah bukti, bahwa jiwa kita sebagai manusia sudah ada sebelum kita hidup. Jiwa adalah abadi, dan ia telah mengetahui banyak hal. Ketika kita lahir, jiwa kita kehilangan sebagian pengetahuannya. Maka, kita mesti belajar, karena belajar adalah tindak mengingat kembali, apa yang telah kita lupakan sebelumnya. Dalam hal ini, Plato, yang menggunakan mulut Sokrates untuk mengutarakan pendapatnya, belajar banyak dari Phytagoras, terutama tentang ide jiwa yang berpindah dan kelahiran kembali.

Pembuktian ketiga adalah argumen perbandingan antara jiwa dan badan. Jiwa itu tak terlihat dan tetap. Sementara, badan itu terlihat dan terus berubah. Jiwa itu abadi. Sementara, badan itu berubah, dan dapat hancur. Dualisme semacam inilah yang, menurut Sokrates, menggerakan seluruh kenyataan yang ada yang, yakni tegangan antara “yang terlihat-berubah” dan “yang tak terlihat-abadi”.

Pembuktian keempat adalah hubungan yang amat erat antara jiwa dan badan. Jiwa adalah penyebab, sementara badan adalah akibat. Dasar logis dari argumen ini adalah, bahwa sesuatu tidak bisa berdiri sendiri di dalam kenyataan, melainkan selalu mengandaikan adanya hal lain yang bersifat universal. Menurut Plato, yang universal ini adalah ide.

Benda-benda di dalam kenyataan selalu berubah dan tidak sempurna. Sementara, ide selalu sempurna dan abadi. Misalnya, kita bisa punya wajah cantik. Namun, wajah itu bisa berubah, misalnya ketika kita sakit. Namun, ide tentang kecantikan tidak akan pernah hilang, walaupun wajah kita sudah tidak cantik lagi. Wajah yang cantik adalah hal di dalam kenyataan. Sementara, ide kecantikan adalah ide yang bersifat universal.

Manusia jelas akan mati. Tubuhnya akan hancur. Namun, jiwanya abadi, karena jiwanya mengambil bagian langsung dalam ide. Di dalam jiwa, ada kehidupan. Jiwa adalah inti dari kehidupan. Tanpa jiwa, tubuh hanyalah seonggok daging yang tak berharga.

Pendapat Sokrates ini tidak sepenuhnya rasional. Ia masih mengandaikan “iman” terhadap mitologi Yunani tentang jiwa yang berada di dunia bawah. Setelah mati, jiwa seseorang akan lanjut ke dunia bawah untuk memperoleh penghakiman. Bagian inilah yang membuat buku Phaidon menjadi dasar untuk iman Kristiani selanjutnya.

Di dalam buku Phaidon, Plato setidaknya menekankan tiga hal dasar. Yang pertama adalah soal pembuktian. Plato menjelaskan argumennya tidak dengan penekanan pada iman, namun pada kemampuan nalar manusia. Jejak-jejak mitologi Yunani Kuno masih bisa terlihat di dalam tulisannya, walaupun ia berusaha menjelaskannya secara masuk akal. Penekanan pada nalar ini akan menjadi dasar bagi metode berpikir filosofis dan ilmiah selanjutnya.

Dua, Plato juga menolak relativisme. Menurutnya, ada ide yang universal dan benar. Ide itu abadi dan menjadi dasar dari semua kenyataan yang kita lihat sehari-hari, yang selalu berubah dan tidak sempurna. Tanpa ide yang universal ini, kita tidak akan bisa mengetahui apapun, dan tidak akan punya arah dalam hidup.

Tiga, cara berpikir Plato yang mencoba mengawinkan penjelasan nalar dan iman akan menjadi model bagi pemikiran Abad Pertengahan Eropa. Iman dan nalar bukanlah dua hal yang bermusuhan, melainkan saling melengkapi. Filsafat dan ilmu pengetahuan pun berpijak pada iman tertentu, yakni iman akan akal budi dan iman pada pengalaman inderawi. Iman, dalam arti ini, adalah postulat yang harus ada, supaya seluruh kegiatan berpikir dan hidup kita menjadi bermakna.

1 Saya mengikuti uraian König, Siegfried, Hauptwerke der Philosophie: Von der Antike bis 20. Jahrhundert, 2013 dan Plato, Phaedo, Clarendon Press, Oxford, 2002. Edisi catatan dan terjemahan dari David Gallop.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

6 tanggapan untuk “Apakah Kita Abadi?”

  1. Uraian yang menarik,
    kapan buku Filsafat sebagai revolusi hidup terbit … mohon informasi
    Terima kasih
    Salam hormat,
    supomo

    Suka

  2. saya pernah terbaca bahwa socrates itu -katanya- adalah salah satu dari banyak nabi (atau orang yang diberi hikmah dari Tuhan) pada zaman itu. nabi di sini perspektif nabi umat islam, gimana menurut mas?

    Suka

  3. Dengan dasar dialektika Socrates, Plato berusaha menjelaskan keberadaan jiwa dengan dipengaruhi unsur iman keyakinan saat itu walau menonjolkan logika, jauh setelah itu dengan dialektika materialisme bagi beberapa orang lebih masuk akal mengenai ketiadaan jiwa. Bagaimana menurut pak Reza ?

    Suka

  4. HAlo. salam kenal. Faktas bahwa kita bisa berdiskusi tentang jiwa mengandaikan adanya jiwa di dalam diri kita, yakni kesadaran, bahwa kita tidak hanya tubuh dan materi belaka. Bagaimana?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.