Apa yang Kita Cari dalam Hidup?

personal.psu.edu
personal.psu.edu

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman

Grup band Dream Theater terkenal dengan salah satu lagunya yang berjudul Spirit Carries On. Kalimat-kalimat pertama di dalam lagu itu amatlah menyentuh. Bunyinya begini: darimana kita berasal? Mengapa kita ada disini? Kemana kita pergi, setelah kita mati?

Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang dimiliki setiap orang. Agama berusaha menjawabnya. Terkadang, jawaban itu tidak cukup, karena manusia berubah, dan ia membutuhkan jawaban baru atas situasi hidupnya. Pertanyaan-pertanyaan ini, menurut saya, bisa dikerucutkan ke dalam dua pertanyaan dasar, yakni apa yang kita cari dalam hidup kita, dan bagaimana kita berusaha mendapatkannya?

Di dalam bukunya yang berjudul Symposion, atau perjamuan, Plato berusaha menjawab pertanyaan ini secara tidak langsung. Ia berbicara soal Eros, dewa cinta di dalam tradisi Yunani Kuno.1 Buku ini terdiri dari sekitar 80 halaman, dan terdiri dari dialog-dialog indah dan terkesan ironis. Latar belakang dari isi buku ini adalah pesta dari Agathon, seorang penyair, yang berhasil memenangkan perlombaan.

Di dalam pesta ini, setiap orang harus memberikan pujian mereka terhadap Eros, dewa cinta. Orang pertama yang melakukan ini adalah Phaidros. Baginya, Eros adalah dewa yang tertua dan paling terhormat. “Eros”, demikian tulis Siegfried tentang Plato, “menjadi lambang dari kecantikan, ia menjadi inspirasi hidup bagi para pejuang yang mencari kesempurnaan.”

Orang kedua adalah Pausanias. Ia membedakan dua bentuk dari Eros, yakni yang terpusat pada upaya untuk menghasilkan keturunan, atau seks, dan Eros yang terpusat pada pembentukan cinta sejati. Pausanias berpendapat, kita harus memuji yang kedua, karena Eros tersebut mendorong kita untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan. Cinta yang sejati juga mendorong kita tidak hanya memperhatikan kehidupan pribadi kita, tetapi juga kehidupan orang lain, dan kehidupan politik.

Orang ketiga adalah Eryximachos, seorang dokter. Ia berpendapat, bahwa Eros juga memiliki kemampuan untuk menyembuhkan. Cinta yang sejati itu menjauhkan orang dari penyakit, dan mendorong orang untuk hidup sehat, karena cinta sejati memberikan motivasi yang kuat bagi orang untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini bisa dibuktikan secara rasional, dan bukan hanya kepercayaan belaka.

Orang keempat adalah Aristophanes. Ia menuturkan sebuah cerita tentang manusia di jaman dahulu yang memiliki empat kaki, empat tangan dan dua wajah. Ada yang pria, wanita, dan ada yang memiliki kelamin campuran, yakni sekaligus pria dan wanita. Keberadaan mereka membuat takut para dewa, sehingga para dewa memutuskan untuk membelah manusia-manusia ini menjadi dua.

Inilah manusia yang kita lihat sekarang, yakni manusia yang terbelah. Ia hanya punya dua tangan (sebelumnya empat), dua kaki (sebelumnya juga empat), dan satu wajah (sebelumnya dua). Sejak saat itu, setiap orang terdorong untuk mencari pasangan tubuhnya yang dahulu. Cinta yang sejati adalah penyatuan kembali dua manusia yang dulu satu, namun dipisahkan oleh kecemburuan para dewa. Jika orang menemukan pasangan jiwanya ini, maka ia akan memperoleh kebahagiaan yang sejati.

Agathon, sang tuan rumah perjamuan, juga menyampaikan pendapatnya soal Eros, sang dewa cinta. Ia memuja Eros sebagai dewa tertinggi di dalam tradisi Yunani, karena ia memiliki keadilan dan kebijaksanaan di dalam dirinya. Inilah dua keutamaan tertinggi di dalam budaya Yunani Kuno. Eros dianggap sebagai “penubuhan”, atau bentuk nyata, dari dua keutamaan itu.

Sokrates, salah satu tokoh dalam dialog yang ditulis Plato, juga adalah tamu di dalam perjamuan itu. Ia kemudian mengajukan pendapatnya tentang Eros. Bagi Sokrates, Eros bukanlah dewa, melainkan Dämon, yakni penghubung antara manusia dengan dewa. Eros juga bukanlah kebaikan yang utama itu sendiri, melainkan gerak untuk mencapai kebaikan yang utama itu (Streben nach dem Schönen).

Eros adalah anak dari dua dewa, yakni Poros (Dewa Kelicikan) dan Penia (Dewa Kemiskinan). Maka dari itu, Eros mewarisi sifat-sifat dari dua orang tuanya. Ia sekaligus miskin dan hidup sebagai gelandangan, tetapi juga amat cerdas dan bahkan licik, guna mencapai tujuan-tujuannya. Ia bisa dengan mudah mendapatkan apa yang ia butuhkan, walaupun ia tak pernah bisa sungguh memiliki apa yang ia dapatkan, karena apa yang ia dapatkan selalu meleleh di gengagaman tangannya.

Eros selalu berada dalam keadaan kurang. Ia selalu kosong, dan tak punya apapun. Ia bahkan tak punya tujuan. Ia selalu bergerak dan mencari, tanpa pernah bisa sungguh memiliki apa yang ia dapatkan.

Plato kemudian mengajukan pendapatnya, bahwa Eros adalah figur yang harus ditiru oleh semua filsuf. Eros selalu berada dalam proses mengejar kesempurnaan dan kebenaran, tetapi tidak pernah sungguh bisa memperoleh kesempurnaan dan kebenaran itu. Hal yang sama haruslah menjadi pola berpikir para filsuf. Mereka berusaha bergerak mencari dan menemukan kebijaksanaan, tanpa pernah bisa memilikinya secara utuh.

Kekuatan di balik gerak Eros, menurut Plato, adalah cinta itu sendiri, yakni cinta untuk menemukan kebaikan, kebenaran dan keindahan yang sejati. Satu-satunya yang ia miliki adalah perasaan puas di dalam pencarian itu sendiri. Gerak dan proses itu sendiri adalah tujuan utamanya. Tujuan itu, yakni kebaikan, kebenaran dan keindahan, tentu tidak akan pernah dicapai oleh manusia di dalam hidupnya, namun kerinduan akan ketiga hal itu akan terus menghantui hidup manusia.

Hidup manusia terbatas. Ia tidak bisa memperoleh apa yang ia inginkan. Namun, kerinduan akan hal-hal yang berharga akan terus ada, yakni kerinduan akan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang sejati. Dari titik ini, Plato menyimpulkan, bahwa kerinduan dan pengejaran akan kebaikan, kebenaran dan keindahan juga adalah kerinduan akan keabadian (Sehnsucht nach Unsterblickeit).

Seperti sudah disinggung sebelumnya, cinta adalah kekuatan di balik semua gerak ini. Dalam arti ini, cinta memiliki arti yang luas, yakni cinta yang bersifat sekaligus rohaniah dan badaniah terhadap kebenaran, kebaikan dan kecantikan yang sejati. Bentuk nyata dari cinta semacam ini adalah prokreasi, yakni menghasilkan keturunan. Prokreasi adalah tindakan yang luhur dan mulia, karena kita, manusia yang akan mati ini, meneruskan darah kita ke masa depan, dan berusaha untuk menjadi abadi.

Ada juga bentuk lainnya dari usaha manusia, mahluk yang terbatas ini, untuk menjadi abadi dan tak terbatas, melampaui dirinya. Seniman menjadi abadi dengan karya-karya yang ia hasilkan. Politikus dan anggota parlemen menjadi abadi dengan hukum-hukum maupun kebijakan-kebijakan yang ia rumuskan. Plato menegaskan, bahwa ini adalah kebutuhan dasar setiap orang, yakni untuk menjadi abadi melalui karyanya.

Hidup manusia adalah bentuk dari kerinduan, yakni kerinduan pada kebaikan, kebenaran dan keindahan yang sejati. Inilah juga yang menjadi inti sejati dari Eros, sang penghubung antara manusia dan dewa. Iniilah juga yang menjadi keunggulan manusia, jika dibandingkan dengan para dewa yang sudah memiliki kebenaran, kebaikan dan kecantikan yang sejati. Manusia adalah mahluk yang dengan cintanya terus berusaha untuk mencari ketiga hal ini di dalam hidupnya, tetapi tidak pernah sungguh bisa menemukannya.

Kebahagiaan juga merupakan hal yang ingin diraih manusia, tetapi tidak akan pernah bisa diperolehnya. Kebahagiaan bisa didekati, tetapi tidak akan pernah bisa digenggam dan dimiliki. Walaupun begitu, kita, manusia, terus berusaha untuk menggapainya. Plato menyebut keadaan yang terus merindu dan mencari ini sebagai bentuk tertinggi dari keberadaan manusia.

Setelah selesai dengan penuturannya tentang Eros, Sokrates lalu kembali duduk untuk minum bersama teman-temannya. Orang berikutnya adalah Alkibiades. Ia tidak memuji Eros, tetapi justru memuji Sokrates yang dengan kecerdasannya berhasil mempesona teman-temannya. Ia melakukannya dalam keadaan mabuk. Perjamuan pun lalu berakhir.

glogster.com
glogster.com

Di dalam bukunya yang berjudul Symposion, Plato berusaha merumuskan ulang arti dari “manusia”. Inti dari manusia, menurutnya, adalah pencarian. Manusia adalah mahluk yang terus mencari. Ketika ia menemukan yang ia cari, ia tidak akan pernah bisa memilikinya, karena yang ia temukan itu otomatis akan lepas dari tangannya.

Manusia adalah mahluk yang mencari, tanpa pernah menemukan. Ia mendapatkan, tanpa pernah memiliki. Ini memang terdengar sedih. Akan tetapi, Plato mengajak kita untuk menyadari keadaan ini, dan menjadi bangga atasnya. Kita sebagai manusia harus merayakannya, karena ini adalah kekuatan kita sebagai manusia yang membedakan kita dengan para dewa.

Sikap ini juga adalah tanda kerendahan hati. Orang yang terus mencari berarti akan terus belajar. Ia tidak akan pernah puas dengan hal-hal yang ia ketahui. Ia tidak akan pernah memutlakkan pemikirannya sebagai kebenaran utama yang harus diikuti orang lain.

Dorongan terdalam dari sikap selalu mencari ini adalah cinta. Cintalah yang mendorong manusia untuk terus berusaha mencari, walaupun tak pernah menemukan. Cintalah yang mendorong manusia untuk maju terus, tanpa pernah sampai pada tujuan yang diinginkan. Cinta adalah kekuatan dasar manusia yang membuatnya terus bergerak, walaupun tidak ada arah yang ingin digenggam.

Dorongan untuk terus mencari ini, kata Plato, juga adalah dorongan untuk sampai pada keabadian. Dorongan ini, yang muncul dari cinta, tampak di dalam upaya manusia untuk melanjutkan keturunan. Melalui anak cucunya, ia menjadi abadi, walaupun ia nantinya akan mati. Juga melalui karya-karyanya, ia bisa menjadi abadi, walaupun umurnya di dunia ini terbatas.

Plato mengajarkan pada kita, bahwa proses adalah tujuan itu sendiri. Tidak ada tujuan yang ingin dicapai, karena perjalanan hidup yang penuh dengan pencarian itu adalah tujuan itu sendiri. Der Weg ist das Ziel, kata orang Jerman. Inilah kebijaksanaan tua yang mulai lenyap di dalam hidup kita yang penuh dengan tujuan-tujuan jangka pendek, yang kerap hanya mencari kenikmatan dangkal semata.

1 Saya mengikuti uraian König, Siegfried, Hauptwerke der Philosophie: Von der Antike bis 20. Jahrhundert, 2013 dan Plato, Symposium, Howatson, M.C, et.al (eds), Cambridge University Press, Cambridge, 2008.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

21 tanggapan untuk “Apa yang Kita Cari dalam Hidup?”

  1. Saya senang sekali membaca web anda Pak Reza. Dengan membaca tulisan anda saya semakin menyukai filsafat. Tetapi kadang susah ya mengikuti. Ada ide agar cepat menangkap makna dalam tulisan-tulisan Filsafaf? Terima kasih

    Suka

  2. Blog yang sangat bagus pak, melalui blog ini saya berharap bisa menemukan hidup saya, Nice 🙂

    Suka

  3. Saya ada pertanyaan pak:
    1. “Kebahagiaan juga merupakan hal yang ingin diraih manusia, tetapi tidak akan pernah bisa diperolehnya. Kebahagiaan bisa didekati, tetapi tidak akan pernah bisa digenggam dan dimiliki. Walaupun begitu, kita, manusia, terus berusaha untuk menggapainya”. Semangat apa yang melandasi atau melatarbelakangi tindakan absurd tersebut?

    Suka

  4. Semangat untuk mendapatkan hidup yang bahagia sepenuhnya. Setiap mahluk di alam ini ingin mencapai kebahagiaan, dan menghindari penderitaan. Kebahagiaan yang sejati hanya dapat dicapai, jika kita melepaskan semua pandangan kita tentang kebahagiaan, dan kembali ke kesadaran sejati kita sebagai manusia.

    Disukai oleh 1 orang

  5. Saya setuju dengan mas Reza jika dikatakan kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai apabila kita melepaskan semua pendangan kita tentang kebahagian. Kemudian, muncul suatu permasalahan tentang berusaha menghilangkan pemikiran kita tentang “Kebahagiaan itu sendiri dalam otak kita yang telah disusupi oleh berbagai sumber bahwa kebahagiaan itu seperti itu, sepeeti di gambarkan oleh kabanyakan orang di dunia. Bagaimana menghilangkan pandangan kita tentang kebahagiaan itu sendiri ?

    Suka

  6. salam kenal mas… Cara melenyapkan pandangan tentang kebahagiaan? Dengarkan suara burung di luar. Rasakan sengat panas matahari. Rasakan kopi hangat di lidah dan tenggorokan. Lalu dimana pandangan tentang kebahagiaan?

    Suka

  7. Intinya manusia tidak pernah memiliki apa yang mereka cari karena semua itu bersifat sementara, hidup dalam kerendahan hati dan selalu bersyukur

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.