Penipuan-penipuan di Sekitar Kita

tqn.com
tqn.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman

Dunia memang tak seperti tampaknya. Banyak hal tersembunyi di baliknya. Yang sering tampil ke depan justru kebohongan dan penipuan. Kebenaran, yang seringkali menyakitkan, justru mengendap di balik apa yang tampak.

Itulah kenyataan hidup kita sehari-hari. Wajah cantik menyimpan kebusukan. Wajah tampan dan rapi menyimpan kerakusan. Kita bagaikan menghirup udara penipuan setiap harinya.

Namun, penipuan itu tidak bisa dibiarkan. Ia harus dipertanyakan dan dilawan, supaya kita bisa melihat apa yang tersembunyi di baliknya. Mungkin, kita tak akan pernah sampai pada kebenaran. Namun, usaha untuk mempertanyakan penipuan juga dapat dilihat sebagai “kebenaran” itu sendiri, yakni kebenaran yang terus berubah dan berkelanjutan.

Pikiran dan Penampakan

Ironisnya, penipu terbesar kita adalah pikiran kita sendiri. Dengan segala macam prasangka dan trauma, kita melihat kenyataan tidak dengan kejernihan berpikir, namun dengan kabut yang mengacaukan. Akibatnya, kita disiksa oleh pikiran kita, misalnya dengan kecemasan dan ketakutan akan orang lain, atau atas masa depan. Pikiran yang kacau akhirnya menuntun tindakan yang juga kacau, yang menciptakan konflik dan ketegangan antar manusia.

Sumber kedua adalah penampakan. Kita harus hidup dengan berpijak pada pemikiran dasar, bahwa apa yang tampak itu tak pernah apa yang sesungguhnya. Inilah inti dasar dari teori kritis, sebagaimana dirumuskan oleh Theodor Adorno dan Max Horkheimer di dalam karya mereka Kritische Theorie. Mereka mencoba melakukan kritik terhadap kecenderungan ilmu sosial dan politik untuk menerima begitu saja apa yang tampak sebagai data ilmiah, lalu mengolahnya untuk melakukan penelitian ilmiah.

Berpijak pada pandangan ini, maka kita pun perlu untuk “tidak percaya” pada apa yang tampak dari orang lain. Penampilan fisik adalah tipuan terbesar yang mengelabui kita dari kenyataan. Koruptor kelas kakap selalu berpakaian jas dan dasi, serta naik mobil mewah. Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanities) adalah orang-orang yang berpenampilan terhormat dan necis.

Tradisi

Di dalam hidup, kita juga dikelilingi oleh tradisi. Dalam arti ini, tradisi adalah pandangan yang telah mengental menjadi kebiasaan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Tradisi lalu kerap disamakan begitu saja dengan kebenaran. Inilah penipuan berikutnya yang mesti kita tanggapi secara kritis.

Tradisi bisa berupa ritual (upacara adat), tetapi juga bisa berupa kebiasaan lama yang terus dilakukan, tanpa sadar. Kebiasaan itu dianggap sebagai kebenaran yang tak boleh dipertanyakan. Anggapan inilah yang membuat tradisi kerap kali menipu kita. Dunia berubah, dan kita berubah di dalamnya. Tradisi mungkin cocok untuk masa lalu, tetapi jelas ia harus dipertanyakan ulang, guna menanggapi keadaan di masa sekarang.

Tradisi sebagai penipuan juga mengental menjadi pandangan umum, atau klise. Bentuknya beragam, mulai dari cara merawat anak, sampai dengan apa yang terjadi setelah kematian. Pandangan-pandangan semacam ini bertebaran luas di masyarakat kita, dan kerap dipercaya begitu saja, tanpa pikiran kritis. Jika ini terjadi, maka kita juga akan tertipu oleh tradisi.

Agama dan Moralitas Tradisional

Agama dan moralitas kerap menempel erat dengan tradisi. Di dalam agama dan moralitas tradisional, kita juga bisa menemukan banyak sekali penipuan-penipuan, terutama jika kita tidak mempertanyakan keduanya secara kritis. Penipuan-penipuan ini biasanya menutupi penindasan yang ada di baliknya, yang kerap kali menggunakan tradisi, agama, dan moralitas sebagai pembenaran. Jika kita terima begitu saja apa yang dituangkan oleh agama, tradisi, dan moralitas, maka kita juga akan menjadi korban penipuan.

Di dalam hidup sehari-hari, kita sering mendengar kata berikut, “kata orang”. Biasanya, kata ini muncul, sebelum sebuah nasihat diberikan. Begitu banyak prasangka dan klise yang melekat pada kata ini. Begitu banyak penipuan terkandung di dalamnya yang menjerumuskan orang untuk membuat keputusan yang salah. Hidup yang didasarkan pada “mengikuti kata orang”, juga dalam bentuk lain, akan menjerumuskan kita pada kepalsuan hidup.

Di dalam artikelnya tentang kepemimpinan, Peter Drucker berpendapat, bahwa pandangan umum, yakni pandangan yang diikuti banyak orang, selalu salah. Dengan kata lain, pandangan umum, atau trend/mode, selalu menyesatkan kita. Saya sepakat dengan pendapat Drucker ini. Mode atau trend selalu menggiring kita untuk berpikir dan bertindak dengan pola yang sudah umum, yang sudah diterapkan oleh orang lain, namun tak selalu cocok untuk hidup kita.

Jika kita mengikuti mode atau trend, maka kita akan terperosok ke dalam penipuan. Jika kita mengikuti mode atau trend secara buta, kita akan hidup dalam kepalsuan. Akibatnya, kita akan membuat keputusan-keputusan yang tidak tepat dalam hidup kita. Di akhir hidup, kita akan mati dengan penyesalan, karena melulu secara buta hidup mengikuti mode.

Pendidikan

Kita hidup di dalam masyarakat sertifikat. Artinya, sertifikat, yakni kertas tertulis tentang identitas serta kemampuan kita, menentukan seluruh hidup kita, dari kita lahir sampai mati. Namun, sertifikat bukanlah kenyataan. Ia adalah simbol dari kenyataan yang di belakangnya, yakni identitas dan kemampuan kita (ijazah).

Namun, seringkali, ijazah menipu kita. Ia menggambarkan sesuatu yang tak sesuai kenyataan. Lulusan dari universitas ternama, namun dengan kemampuan nol besar. Tentu saja, kita perlu sertifikat, namun kita perlu untuk membaca dan memahaminya secara kritis, supaya tidak tertipu.

Begitu pula dengan rating. TV sampai dengan universitas mengejar rating dan peringkat tertinggi. Ukurannya beragam. Harapannya, jika mendapat urutan tertinggi, stasiun TV tersebut akan memperoleh banyak iklan, dan universitas tersebut akan menjadi pilihan banyak mahasiswa berprestasi.

Namun, rating dan perinkat tidak otomatis mencerminkan mutu. Dengan kata lain, rating dan peringkat yang tinggi tidak otomatis mencerminkan kenyataan yang ada. Percaya pada rating dan peringkat secara buta berarti siap untuk ditipu. Inilah penipuan yang paling kejam, yakni bersembunyi pada sesuatu yang luhur untuk menyimpan kebohongan.

Bentuk-bentuk penipuan yang terkandung di dalam tradisi dan hal-hal yang mengitarinya kerap diwariskan melalui pendidikan. Dalam arti ini, pendidikan pun juga hanyalah sebuah penipuan. Pendidikan berubah menjadi pelatihan orang, supaya menjadi patuh dan dangkal. Tanpa sikap kritis pada pengandaian-pengandaiannya sendiri, pendidikan berubah menjadi pewaris kebohongan dan kesalahan berpikir.

Sikap Curiga yang Sehat

Di dalam hidup, kita perlu untuk berpikir kritis. Pertama-tama, kita perlu kritis pada pikiran kita sendiri, yakni pada prasangka dan anggapan-anggapan salah yang kita pegang selama ini. Kita perlu mempertanyakan tradisi yang kita hidup, dan kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari. Kita perlu memiliki rasa curiga yang sehat, tidak hanya terhadap hal-hal di sekitar kita, tetapi juga pada pikiran kita sendiri.

Dari sikap kritis, lalu kita belajar untuk berpikir mandiri. Kita mengambil jarak dari pengaruh-pengaruh di sekitar kita, dan melihat ke dalam diri kita sendiri. Dari pikiran yang mandiri, lalu kita belajar untuk membuat keputusan sendiri. Dengan sikap ini, kita bisa terhindar dari penipuan-penipuan di sekitar kita, dan mulai membuat keputusan secara mandiri di dalam hidup kita.

Dengan sadar, bahwa banyak hal di sekitar kita itu menipu, kita lalu mulai bisa mencari makna yang sejati untuk hidup kita sendiri. Kita bisa mulai membangun harapan, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk masyarakat dan bangsa kita. Kita bisa melawan segala kesalahan berpikir dan tradisi yang menindas. Bukankah hidup semacam ini yang kita semua inginkan?

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

4 tanggapan untuk “Penipuan-penipuan di Sekitar Kita”

  1. Namun Pak Reza seringkali ketika mengkritisi apa yang tidak baik dalam konteks gejolak dalam masyarakat justru banyak yang mencemoh dan menjaga jarak. Yang berbicara tentang kebenaran justru dianggap sebagai musuh. Jadi ketika ada hal seperti ini terjadi, sikap dan langkah yang perlu diputuskan seperti apa? Mohon pencerahannya

    Suka

  2. Trimakasih atas tulisan bapak yang telah mencerahkan pikiran saya..
    saya ingin bertanya “apa saja kesalahan/kesesatan tradisi yg terjadi dlm agama (kristen khusunya) ??

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.