Tentang Kematian

futuristspeaker.com
futuristspeaker.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya

Apa yang membuat kematian menjadi suatu “masalah”? Jika dilihat dengan kepala dingin, kematian adalah proses yang alami. Ia telah berlangsung selama puluhan juta tahun di berbagai jenis kehidupan, dan dapat dipastikan akan terus berlangsung, sampai waktu yang tak dapat ditebak. Seperti dinyatakan oleh Steve Jobs pada pidatonya di Universitas Standford, kematian membuka peluang bagi yang baru untuk berkembang, dan yang lama untuk pergi. Kematian memastikan, bahwa roda dunia tetap berputar, dan dunia terus diperbarui oleh wajah-wajah baru yang sebelumnya tak ada.

Kematian sebagai “Masalah”

Jadi, apa yang membuat kematian menjadi suatu “masalah”? Jika salah seorang anggota keluarga meninggal (dilahap kematian), orang otomatis kehilangan kepala dinginnya. Emosi, kesedihan dan ketakutan menikam jiwanya. Daya analisis dan kemampuan nalar langsung meredup.

Kemampuan kematian untuk menghancurkan nalar dan membangkitkan ketakutan amatlah besar. Kematian menyergap langsung. Ia tak dapat ditebak. Ia merusak harmoni di dalam keluarga dan di dalam hubungan antar manusia, yang telah diusahakan dengan segala daya sebelumnya. Inilah alasan, mengapa kematian menjadi suatu “masalah”.

Kematian juga menciptakan rasa takut. Namun, jika diteliti lebih dalam, seperti dinyatakan oleh Budi Hardiman, yang menakutkan bukanlah kematian, melainkan mati, yakni proses menuju kematian. Orang, pada dasarnya, tidak takut akan kematian. Namun, semua orang, bahkan para penganut agama yang merindukan surga, tidak mau menjalani proses “mati” menuju kematian. Proses tersebut memang kerap kali tragis, seperti kecelakaan berdarah, penyakit yang menyiksa dan sebagainya.

Kematian bisa menjadi masalah, karena ia bisa memecah keluarga. Kematian satu orang bisa melahirkan perang, seperti yang memicu perang dunia pertama pada awal abad lalu. Dampak sebaliknya juga benar, bahwa kematian bisa juga menyatukan keluarga. Orang-orang yang sebelumnya tak akrab lalu menjadi dekat, karena mengalami kesedihan dan kehilangan yang sama. Kesamaan nasib dan kesedihan melampaui segala perbedaan, lalu mengikat orang yang sebelumnya bermusuhan.

Bagi keluarga yang ditinggalkan, kematian meninggalkan luka dalam di hati. Kata “patah hati” disini berperan tidak hanya sebagai lukisan, tetapi nyaris mendekati kenyataan. Luka yang timbul dari kematian sungguh mematahkan hati sanak saudara yang ditinggalkan. Pada beberapa peristiwa yang ekstrem, kematian satu orang bisa mendorong kematian orang lainnya, persis karena patah hati yang dirasakannya.

Di Indonesia, kematian sering menjadi ladang bisnis. Dalam situasi duka, orang sulit berpikir jernih. Akibatnya, ia lalu menjadi lengah, dan mudah ditipu oleh para pengeruk uang. Harga makanan berlipat, ketika keluarga yang berkabung hendak menyelenggarakan doa bersama. Segalanya menjadi lebih mahal, dan keluarga yang berkabung tak lagi punya tenaga maupun akal sehat untuk menolak. Kematian satu orang juga bisa berarti kematian ekonomi satu keluarga.

Di Indonesia, kematian menjadi peristiwa sosial; peristiwa bersama. Keluarga yang berkabung nyaris tak punya pilihan, apa yang akan dilakukannya. Semuanya sudah ada tradisi dan prosedur yang mesti diikuti, demi memenuhi tuntutan sosial. Mungkin saja, niat dibaliknya baik. Namun, proses yang harus dijalankan amatlah menindas, karena keluarga harus tunduk pada norma sosial yang ada yang seringkali melelahkan dan menguras uang, walaupun ia sedang berduka berat.

Hidup setelah Mati

Salah satu pertanyaan penting dalam hidup manusia adalah, apa yang terjadi setelah kematian? Ini pertanyaan yang amat penting. Tidak ada metode ilmiah yang mampu menjawabnya. Kita membutuhkan pendekatan yang bergerak dari agama, mitos sampai dengan ilmu pengetahuan, guna memberikan beberapa kemungkinan jawaban.

Di berbagai peradaban dunia, kita bisa dengan mudah menemukan adanya konsep tentang hidup sesudah mati. Versinya beragam, namun polanya kurang lebih serupa. Setelah kematian, orang akan memasuki alam berikutnya. Di sana, jika ia menjalani hidup yang baik, ia akan mendapatkan kebahagiaan. Jika hidupnya jahat, maka ia harus menjalani hukuman. Inilah pola yang cukup universal, yang dapat ditemukan di berbagai cerita mitologis di hampir semua peradaban dunia.

Pandangan ini kemudian dilanjutkan oleh agama-agama dunia dengan konsep surga dan neraka. Orang baik akan masuk surga, dan menemukan kebahagiaan abadi disana. Sementara, orang jahat akan masuk neraka, serta mengalami hukuman berat disana. Juga ada semacam entitas abadi (Tuhan, Dewa) yang berperan sebagai hakim bagi setiap orang, setelah ia meninggal.

Di dalam kematian terselip ide tentang keadilan. Hidup ini memang tidak adil. Namun, kematian akan memperbaiki fakta itu. Kita tidak bisa membuktikan, apakah pendapat ini benar, atau hanya cerita belaka. Namun, ada sesuatu yang indah di dalam ide, bahwa kematian selalu terkait dengan ide keadilan.

Dari sudut pandang ilmu-ilmu pengetahuan modern, yang menggunakan metode berpikir ilmiah dengan berpijak pada data-data yang dapat dilihat dan diukur, kita sulit untuk berbicara soal kematian. Satu-satunya argumen yang dalam pandangan ini paling masuk akal adalah, bahwa kehidupan itu adalah energi, dan energi itu abadi. Ia hanya berpidah tempat. Maka, setelah orang mati, energinya akan kembali ke alam, dan menjadi sesuatu yang lain.

Tidak ada dunia setelah kematian. Yang ada adalah kekosongan, karena energi berpindah menjadi sesuatu yang lain. Namun, seperti semua pandangan di dalam ilmu pengetahuan, pandangan ini pun hanya berupa kemungkinan, karena ilmu pengetahuan tidak pernah bisa memberikan kebenaran ataupun kepastian, melainkan hanya kemungkinan. Kehidupan setelah mati adalah suatu kemungkinan, walaupun, dari sudut pandang ilmu pengetahuan, kemungkinannya cukup rendah.

Makna dari Kematian

Berpijak pada beragam pandangan ini, kita tak mungkin bisa memastikan, apa yang terjadi setelah kematian. Semua pandangan hanya bisa berperan sebagai kemungkinan, namun bukan kebenaran. Kita bisa saja bilang, berarti kita harus percaya, dan itulah inti iman. Namun, saya berpikir, bagaimana kita bisa percaya pada sesuatu yang bersifat kemungkinan, atau yang belum pasti.

Saya rasa, kita perlu menggeser pertanyaannya, bukan lagi “adakah hidup setelah kematian”, melainkan, “bagaimana kita memaknai kematian itu sendiri, kematian kita, dan kematian orang-orang yang kita sayangi.” Pertanyaan tentang “makna dari peristiwa” adalah pertanyaan terpenting dalam hidup manusia, terutama ketika ia menghadapi peristiwa maut yang menyakiti hatinya.

Tidak ada rumusan mutlak untuk menjawab pertanyaan ini. Setiap orang harus berusaha secara pribadi memberikan makna pada kematian, baik kematiannya sendiri, maupun kematian orang-orang yang disayanginya. Makna itu harus diciptakan, dan dikembangkan sejalan dengan berjalannya waktu. Ia bukan sesuatu yang tetap dan stabil, melainkan dinamis, dan perlu untuk ditafsirkan ulang sejalan dengan perkembangan waktu dan peristiwa.

Saya sendiri melihat kematian dari orang-orang yang saya sayangi sebagai titik ubah. Kematian itu mengubah, baik mengubah keadaan, maupun mengubah jiwa manusia itu sendiri. Titik ubah lalu dimaknai sebagai kemungkinan dan kesempatan, guna menentukan arah yang baru, termasuk arah dan cara bagaimana kita menjalani hidup. Titik ubah ini mengejutkan sekaligus membuka peluang-peluang, yang sebelumnya tersembunyi.

Secara pribadi, saya melihat kematian sebagai tujuan hidup (Sein zum Tod), sebagaimana saya tafsirkan dari pemikiran Martin Heidegger. Namun, bukan sembarang kematian, melainkan kematian yang bermartabat (würdevoller Tod). Artinya, kematian sebagai pengorbanan untuk orang lain. Mati demi orang lain. Tak ada yang lebih sempurna dari ini.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

33 tanggapan untuk “Tentang Kematian”

  1. Terlepasnya substansi material dr yg imaterial tentunya dp diuji dg metode sains natural yg materialistik. Tp utk melangkah ke realm imaterialistik & imortalistik – yg sedang dipertanyakan, terlepas dr ada/ tdknya – koq rasanya melampaui kompetensi sains ya? Turut berduka cita…

    Suka

  2. Pingin mati secara berMartabat seperti pendapat Pak Martin Heidegger, tagi gimana nih? he he dulu aq “hampir” mati 2 X tapi banyak banyak uang untuk menyumbang Rumah Sakit. Aneh ya aq pernah tidur di kamar ICU cukup lama lho. Dulu aq pernah takut mati, minta tolong memohon pada sang Pemberi hidup, aq takut tubuhku di makan sama belatung sampai jadi debu (fly ash) lagi. Itu dulu, sampai bosan memohon, ternyata aq dapat bonus hidup sampai sekarang, cuma aq belajar namanya tidak perlu pikir diri sendiri (ego sentris) krn semua makluk hidup faktanya sedang antri akan menjadi sama yaitu fly ash (aq pernah intip debu pembakaran orang mati– he he ternyata tinggal 1 kendi — komposisi non organik dan non logam kecuali kalau pakai gigi palsu emas atau tulangnya ada logam platinium — fly ash is partikel kecil sekali kurang dari 4 micron dan mudah terbang jika kering), aq pingin hidup punya agape pada sesama manusia yg papa, rasanya aq dapat merasakan makna hidup ini bercita rasa anugerah gitu, makan pecel rasanya kayak makan tanderloid steak he he lain lho makan steak kalau egonya penuh kebencian — rasanya gimana gitu he he

    Suka

  3. Kematian menakutkan karena kita seperti kehilangan bagian dari diri kita, kehilangan hal yang berharga dalam hidup kita. Karena kematian mengakhiri semuanya dan kematian menghentikan semuanya.

    Suka

  4. Kematian menandai titik ubah seseorang. Setuju bung Reza, saya sendiri mengalaminya. Menuju mati, sembari hidup memberi arti 🙂

    Suka

  5. Thanks pak reza atas uraiannya..saya setuju dg ide bp untuk menjadikn pertanyaan bagaimana kita memaknai kematian sbg bahan untuk introspeksi atas kehidupan yang saat ini sedang kita dijalani..dan jg setuju dg kalimat terakhir bp mati demi pengorbanan untuk org lain adalah hal yg mulia..tapi mungkin tentunya setelah memastikan bahwa org/ hal tersebut memang pantas dibela hingga titik darah penghabisan yaa,pak..hehe..salam..

    Suka

  6. bray Reza, ijin share pandangan:
    memaknai kematian, ya saya mulai fokus membaca artikelnya pada 4 paragraf terakhir (bukan berarti paragraf-paragraf sebelumnya tidak menarik), hanya saja 4 paragraf terakhir tune-in dengan apa yg hendak saya cari tahu.

    menurut saya kematian adalah pelengkap. diciptakan sebagai sesuatu yang berdampingan ibaratnya 2 sisi mata uang, kepala dan ekor. lalu apa pasangan kematian dalam makna, ya kehidupan. paling tidak dengan mengetahui kematian manusia bersyukur atas kehidupannya. manusia sadar, segalanya terbatas, maka itu harus bergegas.

    kematian diciptakan agar manusia menghargai kehidupan. memaknai kematian adalah sama saja dengan memaknai kehidupan, karena mereka adalah dua sisi keseimbangan.

    Namaste _/\_

    Suka

  7. kematian dapat membuat kita menghargai hidup dan kematian juga membuat hidup terasa hampa

    Suka

  8. kematian membuat kita menghargai hidup tetapi kematian juga membuat hidup tidak berarti. karna secara logika mati berarti berakhir. hanya dgn iman sesuai kepercayaan kita yakin ada kehidupan setelah kematian walaupun secara logikanya dgn ilmu tehnologi secanggih apapun tdk bisa dibuktikan.

    Suka

  9. luar biasa ulasanya..
    pak saya mau nanya, yah untuk membuka wawasan saya untuk melangkah untuk nantinya mau menulis skripsi tentang kematian, yaitu mati lajang, dlm budaya orang maluku yaitu mati ‘KARONCI’..
    sampai sekarang saya memang belum langsung meneliti. karena masih dlm proses kuliah, cuman penasaran aja, ketika melihat bulan lalu, ada om saya yg meninggal, akibat belum menikah makanya peti nya di taruh Karonci itu, mknya saya masih penasaran, apakah itu hanya sebuah tanda biasa untuk seserorang yg matinya bujang, ataukah ada ada makna lain di balik simbol itu pak, khususnya bagi orang maluku. mungkin Bpk tau,, dari mana asal karonci ini.
    lalu mungkin bpk bisa membirikan saya judul2 buku yg terkait dengan hal tersebut agar, saya dapt mencari dan membacanya jauh2 hari sebelum saya benar2. ingin mengambil judul itu. karna bagi saya ini sangat menarik.
    trimkasih Bpk. mohon pendapatnya
    salam. Nyong Ambon.

    Suka

  10. Terimakasih atas sharing nya Pak Reza, menarik. Fokus saya tertuju pada kalimat;
    “Saya rasa, kita perlu menggeser pertanyaannya, bukan lagi “adakah hidup setelah kematian”, melainkan, “bagaimana kita memaknai kematian itu sendiri, kematian kita, dan kematian orang-orang yang kita sayangi.”
    Dalam pandangan saya, bahkan didalam memaknai kematian itu sendiri kita butuh menjawab “apakah ada hidup setelah mati?”, Yg mana artinya, makna dari kematian itu sendiri didasarkan pada apa yg kita yakini tentang hidup setelah mati. Untuk menuju kesana (keyakinan akan kehidupan setelah mati), kita memang memerlukan Iman. Dimensi diluar logika, apalagi sains. Dan yg menjadi alat bantu saya untuk menjadi yakin adalah; “kehidupan”. Salam.

    Suka

  11. Tidak seperti doktrin agama yang menakut-nakutkan manusia, Kelahiran semula, hukum karma menurut ajaran Buddhism dikira rasional & boleh diterima oleh akal yang sihat.

    Suka

  12. okay saya perlu pemahaman ini artinya saya tidak boleh takut dengan yang namanya kematian karena mau tidak mau semua yang ada di kehidupan akan mengalaminya

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.