Tentang Hidup Kita

swissmilk.ch
swissmilk.ch

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman

Ketika mengajar di Indonesia, saya sering mendengar curhat-curhat mahasiswa. Mereka terjebak di dalam program studi yang tidak sejalan dengan hati mereka. Misalnya, mereka ingin jadi penari. Namun, mereka takut gagal, dan kemudian hidup miskin. Mereka ambil jalan pintas saja, yakni belajar manajemen ekonomi, supaya gampang dapat kerja.

Namun, di kelas, mereka tidak tertarik untuk belajar. Mereka hanya mengejar nilai. Mereka tidak mendapatkan ilmu. Mereka hidup dalam kesedihan, depresi, dan ketakutan setiap harinya. Mereka pun lulus dengan nilai pas-pasan, dan bekerja seadanya, sekedar untuk hidup, tetapi menderita setiap harinya.

Uang yang mereka peroleh digunakan untuk membayar tagihan obat dan konsultasi psikiatri. Mereka hidup dalam kekecewaan dan penyesalan. Ketika mereka berkeluarga, hidupnya pun juga sulit, bukan karena tidak ada uang, tetapi karena tidak ada cinta. Perceraian terjadi, dan korban terbesar adalah si anak.

Namun, cerita ini bukan khas Indonesia. Ketika di Jerman, saya juga seringkali menemukan cerita dengan pola ketakutan yang sama dari mahasiswa-mahasiswa disini. Mereka belajar dengan rasa takut akan masa depan. Nilai mereka tinggi, tapi pengetahuan dan kesadaran diri mereka nol besar.

Saya amat sedih mendengar cerita-cerita semacam ini. Mereka adalah anak-anak muda dengan mata bersinar dan penuh harapan. Namun, semua itu lenyap, karena mereka harus tunduk pada aturan-aturan masyarakat yang ada. Aturan-aturan itu membunuh mimpi dan jiwa mereka.

Masyarakat sebagai Penjajah

Kita hidup di dalam masyarakat. Ada yang tinggal di masyarakat yang relatif kecil. Ada juga yang tinggal di masyarakat besar, seperti di kota-kota besar. Namun, keduanya punya ciri yang sama.

Masyarakat mengikat kita dengan aturan dan hukum. Ada aturan yang berakar pada tradisi, seperti nilai-nilai nenek moyang yang diturunkan antar generasi. Ada aturan yang berakar pada hukum positif. Keduanya mengikat leher kita, dan memaksa kita untuk hidup sesuai dengan ukurannya.

Keduanya langsung mencekik leher kita, ketika kita lahir. Apakah kita punya pilihan? Tidak. Kebebasan adalah ilusi yang dibuat manusia, supaya hidupnya tertanggungkan. Sejatinya, kita dicekik, dipaksa, dan diikat oleh aturan pada detik pertama, ketika kita menghirup udara. Inilah kutukan setiap manusia.

Masyarakat juga selalu siap menilai kita. Mulai dari cara kita berpakaian, cara kita berbicara, sampai dengan cara kita kencing, semua ada di bawah penilaian masyarakat. Ketika kita gagal atau jelek dalam melakukan sesuatu, masyarakat siap memberikan penilaian buruk, yang akhirnya juga merusak cara kita memandang diri kita sendiri. Akhirnya, kita hidup dalam bayang-bayang jelek yang dibuat oleh masyarakat. Sedihnya, kita justru mempercayai bayang-bayang itu.

Masyarakat juga siap menghukum kita, ketika kita berbuat salah. Ketika kita lapar, dan tak punya pilihan, dan terpaksa mencuri secuil roti, kita harus siap dihukum oleh masyarakat. Ketika kita tak bisa menahan diri, karena berbagai sebab, dan melakukan kesalahan, masyarakat juga siap menghukum kita. Namun, ketika kita butuh dukungan, yang datang adalah cercaan dan penilaian.

Kata orang, kita butuh masyarakat, supaya kita bisa hidup. Namun, yang kita butuhkan adalah orang lain, dan bukan masyarakat. Kita butuh orang lain, supaya kita bisa menjadi manusia seutuhnya. Namun, apakah kita butuh masyarakat? Walaupun kita membutuhkan masyarakat, apakah masyarakat itu boleh menjadi penjajah kita yang siap menilai dan menghukum, ketika kita melakukan secuil kesalahan?

Neraka dan Rasa Takut

Jean-Paul Sarte, filsuf Prancis abad 20, menulis satu naskah drama yang menarik. Judulnya adalah Huis Clos. Ceritanya sederhana. Ada orang yang meninggal, dan kemudian masuk neraka. Namun, apa itu neraka?

Neraka bukanlah api menyala-nyala, seperti dalam cerita kuno. Neraka adalah, ketika kita duduk terikat di kursi, dan berhadapan dengan orang lain. Kita tak punya pilihan, selain memandang orang itu sepanjang waktu. Dari tatapannya, kita tidak pernah merasakan kebebasan, karena kita terus memperoleh penilaian, dan bahkan hukuman, dari mata itu.

Sartre sampai pada kesimpulan, neraka adalah orang lain. Saya menyebutnya, neraka adalah masyarakat. Kita tak perlu mati, supaya bisa pergi ke neraka. Kita sudah di neraka, sekarang ini.

Di dalam masyarakat, yang penuh dengan penilaian dan hukuman, kita tak akan pernah menjadi manusia yang asli. Kita akan hidup dalam rasa takut terus menerus. Padahal, rasa takut adalah sumber dari segala kejahatan. Ironisnya begini: masyarakat menciptakan rasa takut di dalam diri kita, dan dengan rasa takut itu, kita lalu berbuat salah, dan akhirnya dihukum serta dinilai secara buruk oleh masyarakat. Bukankah ini kejahatan terbesar?

Masyarakat, jelas, membunuh otentisitas. Masyarakat membuat kita menjadi manusia-manusia yang palsu. Masyarakat membuat kita menipu diri kita terus-menerus, supaya bisa sesuai dengan aturan yang dibuatnya. Masyarakat, jika kita biarkan, menjadi penjajah yang paling brutal, dan baru bisa berhenti, ketika kita mati, atau masuk rumah sakit jiwa.

Selama kita masih membiarkan aturan dan norma masyarakat mencekik kita, kita tidak akan pernah merasakan kebebasan batin. Kebebasan kita kemudian adalah kebebasan yang semu, yakni kebebasan untuk belanja, atau untuk hal-hal sepele lainnya. Batin kita akan terus tersiksa, dan kita akan terus mencari cara-cara sepele untuk mengobati batin kita yang luka, dan tak akan pernah sembuh. Kita akan tua, sakit, dan mati dalam penyesalan.

Masyarakat membuat kita terus menerus hidup dalam rasa takut. Apakah kita bisa hidup nantinya? Apakah kita bisa dapat pekerjaan yang layak? Apakah saya bisa membangun keluarga yang sesuai dengan standar dan aturan masyarakat? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mencekik kita, sejak kita kecil.

Ketika kita gagal, kita harus siap-siap menutupi kegagalan kita dari mata masyarakat. Karena jika tidak, masyarakat akan menghukum dan menilai kita buruk. Dan itu membuat kita menderita. Akhirnya, kita dipaksa terus menerus untuk hidup dalam kepalsuan, kebohongan dan ketakutan. Bukankah lebih baik kita mati saja?

Peradaban dan Pilihan

Hidup yang bahagia adalah mati muda, atau tak pernah dilahirkan. Itu kata Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa Indonesia. Ketika masyarakat menjajah dan mencekik kita, bunuh diri adalah salah satu jalan keluar, jika kita mau tetap asli dengan diri kita. Namun, ada pilihan lain: kita melawan.

Jean-Jacques Rousseau, filsuf Prancis, pernah menyatakan dengan tegas, bahwa peradaban adalah sumber dari segala kejahatan dan petaka manusia. Sejatinya, kita, sebagai manusia, adalah mahluk yang baik. Kita dilahirkan dengan kebaikan hati dan kemurnian. Namun, semua itu hancur, ketika kita hidup dalam peradaban, atau dalam masyarakat.

Peradaban membuat kita menjadi licik dan penuh rasa takut. Peradaban membuat kita jadi rakus. Pada akhirnya, peradaban sejatinya bukanlah peradaban, tetapi pembiadaban. Ia mencekik dan menindas kemanusiaan kita.

Di dalam bukunya yang berjudul Wie Wollen Wir Leben? Ich möchte in einer Kultur der Stille leben, in der es vor allem darum ginge, die eingene Stimme zu finden, Peter Bieri, filsuf Jerman, menyatakan, bahwa kita harus melihat ke dalam diri kita sendiri, guna melampaui penindasan dari masyarakat. Kita perlu untuk menemukan suara kita sendiri, suara pribadi yang lahir dari kebebasan nurani kita. Dengan begitu, kita bisa menolak semua penindasan dan cekikan yang telah dibuat masyarakat dengan hidup kita.

Sumber keaslian dan kebebasan batin ada di dalam hati kita. Keduanya terletak di hati nurani kita. Kita perlu mencarinya dan kita juga perlu menyuarakannya dalam hidup kita. Dengan cara ini, orang tidak hanya bisa mencegah penindasan dari masyarakat atas dirinya, tetapi juga bisa melampaui (überwinden) penindasan tersebut.

Melampaui Masyarakat

Banyak orang takut dengan proses ini. Kita pun juga takut untuk mencari dan menemukan suara di nurani kita yang terdalam. Kita juga sering tergoda untuk hidup dalam kepalsuan, selama itu sesuai dengan aturan masyarakat. Musuh utama pencarian keaslian diri kita adalah rasa takut dari tekanan masyarakat.

Namun, seperti yang ditegaskan Bieri, kita harus melampaui masyarakat. Kita harus melampaui penipuan-penipuan yang kita buat untuk diri kita sendiri. Kita perlu menengok ke dalam diri kita sendiri, guna menemukan kesejatian. Paradoksnya, ketika kita asli dan bebas dengan diri kita sendiri, kita justru lebih bisa secara bebas mencintai orang lain, bukan karena rasa takut atau keterpaksaan, namun sungguh karena cinta dan kebebasan.

Kehidupan bersuara di nurani kita. Ia mengajak kita untuk menjadi pribadi yang bebas dan asli. Ia mengajak kita untuk menjaga jarak dari cekikan masyarakat. Ia mengajak kita untuk sungguh hidup sebagai manusia yang utuh yang bisa mencintai orang lain dalam kebebasan. Bukankah ini tujuan tertinggi dari hidup kita?

Ketika kita berani dan setia menengok ke dalam nurani kita, kita akan menemukan kebebasan yang sejati. Ketika kita menemukan kebebasan yang sejati, kita akan mengalami kedamaian jiwa. Inilah saat terpenting yang dirasakan Sidharta Gautama, ketika ia menjadi Buddha, atau yang tercerahkan. Inilah saat yang dialami Yesus, ketika ia berpuasa 40 hari di padang gurun Israel.

Banyak orang berpikir, bahwa proses ini sulit. Kita pun juga sering berpikir begitu. Karena pikiran-pikiran ini, akhirnya kita berhenti berusaha. Kita lalu tunduk dan menyerah terhadap cekikan masyarakat, yang membuat kita hidup dalam rasa takut terus menerus.

Namun, sulit bukan berarti tidak mungkin. Ini adalah proses pencarian kesejatian, kebebasan dan kedamaian jiwa dalam hubungan yang sejati dengan orang lain. Empat hal terpenting dalam hidup manusia. Bukankah proses ini amat layak untuk dikerjakan dan diperjuangkan?

Hidup Macam Apa?

Pilihan lainnya, kita hidup sebagai budak masyarakat. Kita hidup, tetapi kita sebenarnya sudah mati, karena kita sudah kehilangan kemanusiaan kita. Kita menjadi robot yang jinak dan patuh. Menjelang kematian, kita akan mati dalam penyesalan. Apakah itu yang kita mau?

Jika kita diminta memilih, hidup panjang sebagai robot jinak, atau hidup singkat sebagai manusia sejati, apa yang akan kita pilih? Apakah kita akan memilih menjadi orang tua yang tak bahagia, karena seumur hidupnya ia tunduk menjilat masyarakat? Atau kita akan memilih menjadi manusia, entah tua atau muda, tetapi hidup dalam keaslian, kebebasan dan keberanian, karena kita menolak untuk tunduk pada penjajahan masyarakat? Saya memilih yang kedua.

Hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan, kata Sutan Sjahrir, salah satu pendiri bangsa Indonesia. Ketika kita menengok ke dalam diri kita sendiri, kita bertatapan dengan nurani kita sebagai manusia. Pada saat itu, kita berjarak dari masyarakat, dan mulai berani mempertanyakan aturan-aturan yang ada. Inilah saat, dimana kita mempertaruhkan hidup kita, apakah kita akan menjadi budak masyarakat, atau menjadi manusia merdeka?

Aristoteles, filsuf Yunani Kuno, menyebut kebebasan dan kedamaian sejati ini sebagai eudaimonia, yakni hidup yang penuh. Itu adalah tujuan tertinggi setiap manusia. Ia hidup di masyarakat, tetapi tidak menjadi budak masyarakat. Ia hidup bersama orang lain, tetapi tidak menjadi budak orang lain.

Sokrates, filsuf Yunani Kuno, dipaksa meminum racun oleh pengadilan Athena, Yunani. Tuduhannya, ia telah meracuni pikiran anak-anak muda dengan ide-ide sesat. Ia bisa saja kabur, guna menyelamatkan hidupnya. Namun, ia memilih untuk tetap tinggal, dan menghadapi ketidakadilan yang menatap matanya.

Sokrates konon berkata begini. Seorang manusia sejati tidak perlu takut dengan kematian. Ketika kita mati, kita menjadi roh yang murni. Kita tidak lagi terikat oleh kebutuhan tubuh, dan tidak lagi harus tunduk pada masyarakat. Ketika menjadi roh murni, kita lalu sungguh merdeka.

Dengan hidupnya, Sokrates menerjang batas-batas masyarakat. Hidupnya singkat, namun bermakna dan utuh. Ia mempertaruhkan dirinya, dan kemudian memenangkannya. Bisakah kita belajar dari Sokrates?

Akhir kata, pertanyaan ini tetap menggantung, hidup macam apa yang ingin kita jalani?

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

19 tanggapan untuk “Tentang Hidup Kita”

  1. Ini sangat membangun…. Manusia otentik, sering kita jadi manusia copyan, tiruan dan bukan jadi manusia apa adanya, Terima kasih, Jesus You are my Lord

    Suka

  2. Pada pagi hari, seekor jago tidak pernah terlambat bangun lalu berkokok sedangkan seekor kelelawar pulang lalu tidur. Mungkin aku seekor kelelawar sedangkan engkau seekor jago.

    Ibu membenci perilakuku. Ibu menginginkan aku bisa seperti engkau–selalu bisa bangun pagi lalu berkokok. Barangkali ibu tidak tahu aku seekor kelelawar. Atau barangkali ibu tidak peduli apakah aku seekor kelelawar.

    Ibu kita sangat masyarakat, bukan?
    Tapi bagaimana lagi, Kak?
    Jika tidak nurut, aku tidak diberi makan.
    Bersediakah engkau mengajari seekor kelelawar
    supaya tidak pernah terlambat bangun lalu berkokok?

    Suka

  3. Membangkitkan kembali gairah kebebasan saya… 😀 ” Ketika kita menengok ke dalam diri kita sendiri, kita bertatapan dengan nurani kita sebagai manusia.”… Artikel yang bermanfaat pak

    Suka

  4. ini salah satu tulisan yang kusukai di web ini. kubaca berulang-ulang. ingin mengetahui lebih dalam maknanya. dan ketika membacapun saya yakin semua orang pasti akan mengambil cermin dan berkaca. benarkah?? mengapa ulasanya sangat “aku banget” tapi bukankah itu yang terjadi di semua lapisan kehidupan ini? sepertinya yang mas Reza gambarkan ini sudah menjadi lautan, lalu kita mencoba berenang mencari tepian. antara berada dipelukan masyarakat atau melepaskanya. dan dibudaya kita, melepaskan diri dari pelukanya itu adalah aneh dan sebagai sang liyan. tantangan? mungkin saja.

    terimakasih mas Reza….

    Suka

  5. terima kasih atas masukannya. Ya memang, pada akhirnya, kita hidup sendiri, dan mati sendiri. Masyarakat menjadi latar belakangnya. Tapi saya juga tulis. Untuk bisa menjalin hubungan yang bermutu dengan orang lain, kita juga harus otentik dengan diri kita sendiri. Keduanya terhubung dan tak terpisahkan.

    Suka

  6. sukaaa sukaaa sukaaaa……topik yg ga pernah ada habisnya dibicarakan,,,dan harus terus dibicarakan,,biar kita ga tenggelam dalam rutinitas sialan inih,,,,,pissssss….

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.