Filsafat sebagai Revolusi: Pendahuluan Buku Filsafat Terbaru

relationship-economy.com
relationship-economy.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, Sedang di München, Jerman

Buku ini adalah buku filsafat yang lahir dari kegelisahan. Saya memberinya judul “Filsafat sebagai Revolusi Hidup.” Judul ini langsung menyentuh pemikiran saya yang tertuang di dalam buku ini. Dengan judul ini, saya juga berusaha menafsir ulang, apa arti filsafat sesungguhnya, dan apa perannya dalam hidup kita.

Di dalam buku ini, saya melihat filsafat sebagai suatu cara hidup yang revolusioner. Pemahaman ini lahir dari pergulatan pribadi saya dengan pelbagai makna filsafat yang tersebar di dalam sejarah peradaban manusia, mulai dari pencinta kebijaksanaan, sampai dengan pemahaman tentang segala sesuatu. Filsafat mengajak orang untuk berpikir sistematis, masuk akal dan mendasar tentang hidupnya, dan hidup orang-orang di sekitarnya. Dari tiga hal itu, filsafat lalu menjadi revolusi; cara hidup revolusioner.

Apa makna revolusi? Revolusi adalah perubahan yang cepat, mendasar dan menyeluruh. Ia bisa terjadi di level sosial dan politik, tetapi juga bisa terjadi di level pribadi. Kita bisa menderet berbagai contoh revolusi sosial politik di dalam sejarah manusia, mulai dari revolusi Prancis di abad 18 sampai dengan revolusi kemerdekaan Indonesia di awal sampai dengan pertengahan abad 20.

Berbagai bentuk revolusi tersebut selalu memiliki tujuan yang sama, yakni menciptakan tata dunia atau tata masyarakat yang baru, yang dianggap lebih baik dari sebelumnya. Yang patut disayangkan, setiap proses revolusi politik selalu memakan korban jiwa manusia dalam jumlah besar. Namun, itu tidak merupakan keniscayaan, karena selalu ada kemungkinan lain, yakni revolusi hidup pribadi, yang nantinya akan mendorong revolusi politik yang damai. Bisa juga dirumuskan, filsafat mendorong revolusi pribadi, dan keduanya lalu menjadi bahan bakar untuk mendorong revolusi sosial politik yang damai.

Maka, di dalam buku ini, saya mengajukan tesis sederhana, bahwa filsafat pada hakekatnya adalah suatu bentuk revolusi. Ia mempertanyakan. Ia berusaha mengajukan pemikiran sebagai jawaban. Namun, jawaban itu tidaklah mutlak, namun dipertanyakan ulang, lalu dirumuskan kembali sebagai jawaban yang baru, yang dianggap lebih pas dari jawaban yang sebelumnya. Filsafat adalah revolusi tanpa henti.

Revolusi di tingkat pertama adalah revolusi cara berpikir. Artinya, orang bertanya kepada dirinya sendiri, apakah cara dia memandang kenyataan dunia sekitarnya sudah bisa dipertanggungjawabkan, atau belum. Ia menguji sendiri metode berpikirnya, lalu sampai pada keputusan, apakah ia harus mengembangkannya, atau justru menghancurkannya sama sekali. Ini pola dan inti dari revolusi cara berpikir di dalam filsafat yang saya bahas dengan beragam contoh di dalam buku ini.

Revolusi di tingkat kedua adalah cara berbahasa. Cara kita membahasakan sesuatu menentukan sikap kita pada sesuatu itu. Misalnya, anda menanggap orang lain sebagai pemalas. Maka, sikap anda pun akan cenderung negatif pada orang itu. Sebaliknya, jika anda tidak mencap dia sebagai pemalas, tetapi sebagai orang yang sedang sakit, maka anda tentu akan bersikap berbeda terhadapnya.

Di dalam berbagai diskusi, saya memperhatikan, bagaimana bahasa yang kita gunakan untuk menggambarkan orang lain amat mempengaruhi sikap kita terhadapnya. Contohnya adalah kata “negara dunia ketiga”. Kata ini penuh dengan penghinaan, mulai dari keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, sampai perlu untuk dijajah. Cara kita berbahasa tentu harus dipikirkan ulang, supaya lebih adil terhadap kenyataan yang ada.

Maka, cara kita berbahasa pun harus mengalami revolusi. Kita tidak bisa berbahasa, seolah bahasa itu netral, dan pasti mencerminkan kenyataan yang ada. Ini adalah anggapan naif yang harus ditinggalkan jauh-jauh. Revolusi cara berbahasa adalah bagian dari revolusi pribadi, dan filsafat memainkan peran penting di dalamnya.

Setelah menjalani revolusi cara berpikir dan cara berbahasa, orang lalu naik ke tahap berikutnya, yakni revolusi cara bertindak. Banyak masalah di dunia ini terjadi dan terus berkembang, bukan karena kurangnya informasi dan kurangnya kesadaran, tetapi kurangnya tindakan nyata. Kesadaran yang ada belum cukup kuat untuk mendorong perubahan tindakan. Pola ini bisa dilihat mulai dari masalah kemiskinan yang tak kunjung selesai di berbagai belahan dunia, sampai dengan masalah perubahan iklim. Cara kita bertindak pun harus mengalami revolusi dengan berpijak pada data dan kesadaran yang ada. Filsafat jelas berperan besar untuk mendorong revolusi cara bertindak.

Namun, revolusi cara bertindak tidaklah cukup, karena tindakan hanya terjadi di waktu-waktu tertentu, dan bukan di setiap waktu. Revolusi di tahap berikutnya adalah revolusi cara hidup. Jelas, cara kita hidup sekarang, dengan berbagai fasilitas teknologi yang ada, banyak memakan energi, dan perlu untuk mengalami revolusi. Revolusi politik yang tidak dibarengi dengan revolusi cara hidup hanya akan melahirkan penguasa baru, namun dengan cara berpikir yang lama. Ini tidak ada gunanya.

Ketika revolusi sudah menyentuh cara hidup, maka ia akan menyebar ke berbagai segi kehidupan bersama. Pola pendidikan akan berubah. Pola politik akan berubah. Pola ekonomi akan berubah. Pola hidup kita akan berubah, dan terus berubah, karena terus dipertanyakan dan dikaji ulang. Inilah inti kebijaksanaan filosofis, yakni hidup dalam tegangan, dan tak pernah berhenti pada satu bentuk pemikiran yang sifatnya dogmatik. Buku ini ingin menerapkan pola berpikir revolusioner tersebut ke dalam pelbagai bidang kehidupan.

Pada hemat saya, buku Filsafat Sebagai Revolusi Hidup ini dapat ditempatkan sebagai lanjutan dari buku tulisan Franz Magnis-Suseno lebih terbitan Kanisius pada 1991 lalu yang berjudul Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Puncak dari sikap kritis, menurut saya, adalah revolusi. Revolusi mempertanyakan, menggugat, lalu mengubah keadaan. Namun, keadaan itu pun tidak mutlak, karena revolusi akan terus berlanjut.

Ini adalah buku pertama dalam bahasa Indonesia yang tidak hanya menegaskan, bahwa filsafat pada hakekatnya adalah sebuah revolusi, tetapi juga mencoba menerapkannya ke berbagai bidang kehidupan yang ada. Ini merupakan nilai tambah yang amat penting bagi buku ini, dan juga bagi pembacanya di Indonesia. Filsafat tidak lagi dilihat sebagai hamba agama dan teologi, tetapi justru pengubah agama dan teologi, maupun bidang-bidang lainnya, supaya selalu bisa memberi kebaikan bagi hidup manusia. Filsafat mencapai puncaknya, ketika ia mendorong revolusi.

Buku ini lahir dari kegelisahan saya melihat bagaimana filsafat dipahami, baik di Jerman maupun di Indonesia. Filsafat seolah berubah menjadi pemikiran abstrak, yang nyaris tidak ada kaitannya dengan perjuangan manusia sehari-hari. Buku ini lahir untuk menanggapi kecenderungan semacam itu, yang seringkali merupakan tanda pelarian manusia dari kenyataan yang tak kuat lagi dihadapinya. Buku ini juga lahir dari percikan refleksi filosofis yang saya buat selama tahun 2013, ketika saya sedang belajar di Jerman. Beberapa diantaranya telah diterbitkan oleh harian Kompas di Jakarta, Majalah Basis di Yogyakarta, dan koran Jubileum di Surabaya.

Seperti sudah sedikit saya singgung sebelumnya, buku ini mengajukan satu pendapat sederhana, bahwa filsafat, pada hakekatnya, adalah revolusi. Lebih dari itu, puncak tertinggi dari filsafat adalah revolusi. Revolusi tidak hanya dalam arti revolusi sosial politik, tetapi lebih pada revolusi cara berpikir, sampai dengan revolusi cara hidup. Dengan berfilsafat, kita pada akhirnya juga melakukan revolusi tanpa henti.

Di dalam buku ini, saya lebih memilih menggunakan kata revolusi, karena kata ini memiliki nuansa lebih kuat untuk mengajak berpikir, sekaligus untuk menggerakkan. Kata “mengubah” sering terdengar terlalu lemah, dan, dengan demikian, tidak memberikan inspirasi pada orang untuk sungguh berubah. Ada beberapa tulisan yang memiliki judul sama, namun isinya berbicara soal hal yang berbeda dengan gaya analisis yang berbeda pula. Semuanya diikat dengan satu tema, yakni revolusi cara hidup.

Buku ini saya tujukan bukan hanya pada para peminat filsafat, tetapi juga pada semua orang yang merasa, bahwa Indonesia, dan juga dunia ini, butuh perubahan yang cepat dan mendasar; revolusi. Saya berharap buku ini tidak hanya menjadi bahan diskusi di kelas atau acuan dalam menulis karya ilmiah, tetapi juga menjadi renungan pribadi yang sungguh bisa mendorong terciptanya revolusi diri. Saya tidak bermaksud memicu revolusi sosial politik di Indonesia, karena itu seringkali hanya akan memakan banyak korban jiwa, namun dengan hasil yang minimal. Dengan buku ini, saya berharap, revolusi sosial politik terjadi secara damai sebagai dampak dari revolusi cara hidup yang mendasar dan menyeluruh dari warga negara Indonesia.

Sebagai bagian dari percakapan manusia, buku ini tentu memiliki kelemahan. Saya tidak secara sistematis menjabarkan kaitan erat antara filsafat dan revolusi. Namun, itu juga dilakukan, supaya buku ini tidak menjadi buku akademik semata yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja. Ada kesan, buku ini terlalu optimis dan memiliki cita-cita yang terlalu tinggi. Saya hanya berharap, sebagian dari isi buku ini bisa mengubah cara hidup pembacanya. Semoga ini bukan merupakan tujuan yang terlalu tinggi.

Terbit pertengahan 2014

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

22 tanggapan untuk “Filsafat sebagai Revolusi: Pendahuluan Buku Filsafat Terbaru”

  1. Selamat kawan untuk karya yang lahir dari kegelisahan dan upaya pengaktualisasian filsafat bagi kehidupan keseharian. Mantap!

    Suka

  2. Pagi ini secara tidak sengaja terbersit dalam pemikiran saya , bagaimana korelasi pemikiran seorang desainer dengan pemikiran revolusioner. Dan ketika saya mulai berselancar, saya menemukan buku yang mas tulis.

    Mengapa korelasi desainer dgn revolusioner ? Kebetulan saya pengajar di jurusan desain produk sebuah univ di jogja. Menurut pandangan saya , seorang desainer yang menghasilkan sebuah product akan mempunyai impact atau dampak yang langsung berhubungan dengan cara hidup serta cara berpikir masyarakat. Dalam perenungan saya, sepertinya perlu sebuah guide line berpikir supaya calon desainer mengerti resiko ataupun medan yang sedang mereka geluti dan akan mereka hasilkan.

    mas, saya sangat menunggu buku yang akan anda terbitkan dan semoga berkenan share lebih banyak tentang cara berpikirnya.

    matur nuwun.

    Suka

  3. Saya kagum dan takjub dengan kata REVOLUSI dengan sendirinya merevolusikan pikirn kita yang semakin revolusioner.

    Suka

  4. Pa Reza yang baik, saya telah menyelesaikan studi sastra português di Brasil, dalam literatura português sendiri banyak berkiblat ke Yunani dan Romawi dalam hal ini lebih berbicara tentang Socrates, Plato dan Aristoteles dalam sumbangsinya ke dunia sastra, memang tidak mudah belajar bahasa asing apalagi bahasa-bahasa neo latina, ketika saya membaca beberapa tulisan artikel tentang filsafat saya semakin suka dan senang menggeluti filsafat itu sendiri apalagi pa reza membahasakan dengan sederhana yang mudah dimengerti, itu akan membantu saya dalam pemahaman karena bahasa indonesia, dengan rendah hati, apakah saya bisa minta e-mail pak. Salam dari negeri Brasil. albertusgeroda@hotmail.com

    Suka

  5. “Perhatikanlah pikiranmu, karena akan menjadi perkataanmu. Perhatikanlah kata-katamu, karena akan menjadi tindakanmu. Perhatikanlah tindakanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikanlah kebiasaanmu, karena akan membentuk karaktermu. Dan perhatikanlah karaktermu, karena akan menentukan nasibmu.” (Imam Ali bin Abu Thalib kw)

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.