Kepemimpinan Revolusioner

opednews.com
opednews.com

Kepemimpinan dan Sejarah Filsafat

oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

Di dalam bahasa Jerman, kepemimpinan diterjemahkan sebagai Führungspersönlichkeit. Secara harafiah, arti kata ini adalah kepribadian yang memimpin. Bisa ditafsirkan, bahwa kepemimpinan bukan hanya teknik atau tips, tetapi sebuah bentuk kepribadian. Di dalam tulisan ini, saya mengajukan satu argumen, bahwa kepemimpinan perlu untuk menjadi revolusioner. Apa arti revolusioner?

Revolusioner berakar pada kata Latin, revolutio, yang berarti berputar balik. Kata ini lalu berkembang artinya menjadi perubahan politik dalam waktu singkat dan drastis. Tujuannya membangun tata kelola politik dan ekonomi yang baru. Di dalam tulisan ini, saya ingin menafsirkan ulang makna revolusi secara baru, yakni sebagai suatu gaya kepemimpinan. Saya menyebutnya kepemimpinan revolusioner.

Ide tentang kepemimpinan revolusioner sudah selalu tertanam di dalam sejarah filsafat Barat yang usianya sudah lebih dari 2300 tahun. Di dalam tulisan ini, saya ingin mengangkat ide-ide tersebut dalam kerangka teori tentang kepemimpinan revolusioner. Lalu, saya akan coba mengaitkan ide tersebut dengan situasi di Indonesia sekarang ini. Ide tentang kepemimpinan revolusioner bisa membantu kita untuk memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, terutama setelah Pemilu 2014 nanti.

Plato dan Filsuf Raja

Filsafat sebagai suatu proses memahami segala sesuatu yang ada di dalam kehidupan juga memiliki pemikiran-pemikiran penting tentang kepemimpinan. Ide tentang kepemimpinan revolusioner juga tertanam di dalam bentangan sejarah pemikiran ini. Lebih dari 2000 tahun yang lalu, Plato, filsuf asal Yunani Kuno, merumuskan ide tentang filsuf raja. Ia adalah pemimpin politik suatu masyarakat yang memiliki pengetahuan filosofis yang mendalam, yakni pengetahuan tentang apa yang esensial dan tak berubah (Ideen), dan pengetahuan yang labil serta tak bisa dipercaya (Meinungen/Doxa).

Dengan pengetahuan ini, ia bisa memimpin rakyatnya dengan baik. Ia bisa membedakan, urusan-urusan apa yang mesti diselesaikan dengan segera, serta hal-hal apa yang bisa diabaikan, karena tidak penting. Ini, pada hemat saya, adalah bagian penting dari kepemimpinan revolusioner, yang berfokus pada perubahan besar dalam jangka waktu yang singkat. Hal-hal penting yang harus segera diubah mesti segera dibuah, sementara hal-hal lain bisa dibiarkan menunggu.

Pemimpin politik di Indonesia jelas bukan seorang filsuf raja. Mereka sulit, atau mungkin tak bisa, membedakan, antara pengetahuan yang esensial dan tak berubah (Ideen) dan pengetahuan yang semu (Meinungen). Contoh paling nyata adalah soal alat transportasi. Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah alat transportasi publik yang nyaman, aman, dan efisien (Ideen). Yang tidak kita butuhkan adalah mobil murah, walaupun itu, katanya, ramah lingkungan (Meinungen).

Aristoteles dan Aristokrasi

Plato punya seorang murid yang brilian. Namanya adalah Aristoteles. Dalam arti ini, brilian berarti tidak gampang setuju dan justru sangat kritis pada gurunya. Aristoteles menolak ide tentang filsuf-raja yang begitu mudah terpelintir menjadi pemimpin totaliter. Ia juga menolak demokrasi yang begitu mudah terpelintir menjadi pemerintahan massa dan mayoritas.

Ia menawarkan satu ide, yakni aristokrasi, yakni kepemimpinan oleh beberapa orang tercerahkan, yang merupakan orang-orang terbaik di suatu masyarakat. Orang-orang ini memiliki keutamaan hidup, dan, sama seperti filsuf-raja, ia bisa membedakan antara Ideen dan Meinungen. Konsep penting di dalam aristokrasi adalah keutamaan (Tugend/Arete), yang berarti sikap-sikap baik yang tampak nyata dalam hidup sehari-hari, dan muncul dari kebiasaan hidup (Gewohnheit/Habitus).

Kepemimpinan revolusioner juga lahir dari sikap hidup sehari-hari yang akhirnya membentuk keutamaan hidup. Ia bukan sikap yang penuh emosi, tanpa perhitungan, melainkan sebaliknya, yakni lahir dari kesabaran dan visi yang mendalam, yang berakar pada rutinitas hidup sehari-hari. Kepemimpinan revolusioner juga bukanlah tindakan satu orang semata, melainkan tindakan suatu kelompok. Ia lahir dan bertahan melalui organisasi.

Sebagai organisasi, partai politik sebenarnya punya kemungkinan besar untuk menerapkan model kepemimpinan revolusioner. Ia adalah organisasi dengan dasar ideologi tertentu yang dibangun melalui jaringan hidup sehari-hari. Sayangnya, organisasi ini di Indonesia tidak memiliki keutamaan hidup yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin negara. Namun, saya teringat pepatah Latin kuno: abussus non tollit usum, fakta bahwa banyak partai politik itu korup tidak berarti, bahwa kita tidak lagi membutuhkan partai politik.

Kepemimpinan Cerdik ala Machiavelli

Di akhir abad pertengahan Eropa, hiduplah seorang filsuf yang juga aktif ambil bagian dalam politik. Namanya adalah Nicolo Machiavelli. Ada dua argumennya yang penting untuk teori tentang kepemimpinan. Yang pertama adalah politik tanpa moralitas, yakni berusaha mewujudkan tujuan-tujuan baik dari politik, walaupun dengan cara-cara yang “kurang bermoral”. Yang kedua adalah pentingnya pencitraan di dalam politik (lebih baik ditakuti daripada dicintai oleh rakyat).

Hal penting yang diajarkan oleh Machiavelli dalam konteks kepemimpinan politik adalah kecerdikan. Cerdik berarti orang tahu, kapan harus menggunakan kelembutan ataupun kekerasan di dalam politik, guna mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kepemimpinan revolusioner juga harus cerdik ala Machiavelli semacam ini. Ia juga perlu tahu, bagaimana cara menjaga citranya di hadapan masyarakat luas.

Kepemimpinan cerdik amat jarang ditemukan di Indonesia. Yang banyak justru adalah kepemimpinan licik, yakni menggunakan segala cara untuk melakukan korupsi, guna memperkaya diri sendiri, atau keluarga. Sejatinya, pemimpin politik tidak boleh naif. Ia perlu tahu taktik dan intrik politik, guna memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Ini adalah salah satu bagian penting dari kepemimpinan revolusioner.

Kant dan Kepemimpinan Rasional

Di akhir abad 18, Immanuel Kant, filsuf asal Jerman, menulis buku dengan judul zum ewigen Frieden, yang berarti menuju perdamaian abadi. Ide yang cukup penting dalam buku ini adalah tentang kepemimpinan dunia yang di bangun atas dasar prinsip-prinsip rasional yang digunakan secara publik (der öffentliche Gebrauch der Vernunft). Dengan kata lain, kepemimpinan harus menggunakan pemikiran rasional di dalam setiap pembuatan keputusan. Rasionalitas, atau akal budi, digunakan tidak hanya untuk kepentingan pribadi semata, melainkan juga untuk menata masyarakat.

Kepemimpinan yang revolusioner juga harus menggunakan akal budi. Dalam konteks ini, akal budi digunakan tidak hanya untuk mengubah keadaan, tetapi juga untuk menata perubahan itu sendiri, sehingga bisa menciptakan kebaikan bersama secara berkelanjutan (nachhaltig). Kepemimpinan revolusioner yang berpijak pada akal budi juga berarti siap untuk mempertanyakan tradisi-tradisi lama, yang dianggap suci, tetapi sebenarnya tidak lagi pas dengan keadaan yang terus berubah. Dengan kata lain, akal budi digunakan tidak hanya secara teknis, melainkan juga secara kritis.

Inilah yang kita tidak ditemukan di Indonesia. Banyak kebijakan dibuat (mobil murah, dan kurikulum pendidikan yang terus berubah) tidak berpijak pada pertimbangan akal budi, tetapi hanya pada tradisi lama dan niat untuk korupsi. Akibatnya, kebijakan tersebut justru menciptakan masalah baru, sementara masalah lama belum selesai, bahkan makin membesar. Di Indonesia, akal budi justru amat jarang digunakan, karena ditutupi oleh fanatisme agama dan nafsu untuk korupsi.

Hegel dan Pencarian Sintesis

Pemikiran Kant dipertajam dan diperluas oleh Hegel. Dengan filsafatnya, Hegel mencoba menyatukan unsur-unsur yang berbeda dalam realitas. Dengan kata lain, ia mencoba merumuskan suatu sintesis atas berbagai hal yang berbeda-beda. Pola ini, pada hemat saya, juga bisa diterapkan di dalam bidang kepemimpinan, yakni sebagai kepemimpinan yang mencari sintesis.

Kepemimpinan revolusioner tidak hanya mengubah yang lama, tetapi juga harus membangun tata kelola yang baru. Untuk itu, tradisi yang lama tidak boleh ditinggalkan, melainkan diangkat ke level yang lebih tinggi (bewältigen), guna menjawab persoalan-persoalan baru. Oleh karena itu, kepemimpinan revolusioner membutuhkan kemampuan untuk membuat sintesis. Tanpa kemampuan ini, perubahan yang diharapkan akan dipenuhi dengan konflik yang akan memakan korban jiwa maupun harta benda.

Slogan yang banyak terdengar di Indonesia: ganti menteri ganti kebijakan. Slogan ini, sejauh saya amati, banyak mencerminkan realitas kebijakan politik Indonesia. Ini juga adalah tanda, bahwa para pemimpin politik kita tidak mampu membuat sintesis dari beragam kebijakan yang sudah ada sebelumnya. Belajar untuk membuat sintesis, tidak hanya atas berbagai unsur yang berbeda-beda di masa kini, tetapi juga sintesis dengan masa lalu, inilah salah satu unsur penting dari kepemimpinan revolusioner.

Marx dan Kepemimpinan Praxis

Hegel mempunyai seorang murid yang amat brilian. Namanya adalah Karl Marx, yang juga banyak dikenal sebagai bapak Marxisme dunia. Unsur penting dalam teori Marx adalah kaitan yang amat mendalam antara teori sebagai pemikiran kritis dan praxis sebagai tindakan perubahan. Menurut Marx, kelas pekerja hanya bisa menjadi pendorong perubahan masyarakat, jika mereka memiliki teori kritis.

Maka, revolusi pun terjadi, karena kehendak politik kelas pekerja bertemu dengan refleksi teori kritis yang ada di dalam filsafat. Inilah, pada hemat saya, yang menjadi esensi terpenting dari kepemimpinan revolusioner. Tindakan tanpa teori yang tepat justru akan menciptakan masalah baru. Sebaliknya juga benar, teori yang rumit, tetapi tidak mampu menginspirasi tindakan, sama halnya dengan tak berguna.

Di Indonesia, banyak penelitian yang tak ada hubungannya dengan kebijakan politik. Penelitian itu bagaikan onani akademik saja. Sebaliknya juga benar, dunia politik seolah tak peduli dengan dunia akademik. Akibatnya, banyak kebijakan dibuat tanpa dasar teori yang kuat, sehingga tidak menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, jelas sekali, Indonesia perlu belajar dari Marx.

Kierkegaad dan Kepemimpinan Autentik

Filsafat Hegel memiliki pengaruh besar, tidak hanya untuk Marx, tetapi juga untuk Kiekergaard, filsuf asal Denmark. Baginya, tugas utama filsafat adalah membuat manusia menjadi otentik. Otentik berarti orang mampu secara bebas memutuskan, apa yang terbaik bagi dirinya. Dengan kebebasan ini, ia lalu menjalin hubungan dengan orang lain, juga termasuk dalam politik.

Dasar dari kepemimpinan otentik adalah kebebasan di dalam diri (innere Freiheit). Dengan kebebasan di dalam diri ini, orang bisa menjaga jarak dari hal-hal yang ada di sekitarnya, lalu membuat keputusan-keputusan yang terkait dengan hidupnya. Kebebasan bukan berarti, orang bisa berbuat seenaknya. Kebebasan berarti orang bisa mengambil jarak dari dunia sekitarnya, lalu hidup sesuai keputusannya.

Kepemimpinan revolusioner juga harus datang dari kebebasan personal semacam itu. Di Indonesia, tekanan politik terlalu kuat, apalagi dari partai politik. Ini membuat, otentisitas sulit untuk bertumbuh. Tanpa otentisitas, tidak akan pernah ada kepemimpinan, apalagi kepemimpinan yang revolusioner.

Habermas dan Kepemimpinan Komunikatif

Manusia, pada dasarnya, adalah jaringan dari berbagai aspek, mulai dari aspek biologis, sosial, sampai dengan spiritual. Ketiga aspek ini saling berhubungan, lalu membentuk satu kesatuan ontologis yang bernama: manusia. Komunikasi untuk membentuk jaringan ini juga, pada hemat saya, adalah bagian yang amat penting dari kepemimpinan. Filsuf yang mencoba merumuskan teori tentang komunikasi dari kaca mata filsafat adalah Jürgen Habermas.

Habermas berpendapat, bahwa masyarakat modern sekarang ini terdiri dari beragam kultur dan cara hidup. Kemungkinan untuk konflik juga cukup besar. Untuk mencegah konflik, maka komunikasi antar kelompok haruslah ditingkatkan. Dalam konteks ini, Habermas mencoba merumuskan kondisi-kondisi yang memungkinkan komunikasi yang baik bisa berlangsung.

Kepemimpinan revolusioner juga harus memberi ruang bagi proses komunikasi, guna mencapai kesepakatan bagi semua pihak. Proses komunikasi tidak hanya merupakan lobi politik, guna memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu, melainkan harus menyentuh persoalan-persoalan nyata masyarakat. Tanpa komunikasi yang baik, kepemimpinan revolusioner tidak akan mampu mewujudkan tujuan-tujuannya sendiri, yakni perubahan masyarakat.

Derrida dan Kepemimpinan Dekonstruktif

Dekonstruksi, menurut Jacques Derrida, filsuf Prancis abad 20, adalah gerakan akal budi manusia untuk mempertanyakan hal-hal yang sudah ada dengan menunda kepastian maknanya. Gerakan ini mempertanyakan hal-hal lama yang sudah dianggap pasti. Dengan dekonstruksi, manusia mempertanyakan tradisi. Dengan dekonstruksi juga, manusia bergerak melampaui pandangan-pandangan yang salah.

Kepemimpinan revolusioner sudah selalu memiliki aspek dekonstruktif. Ia menunda kepastian-kepastian lama yang dianut masyarakat. Ia menunda untuk mengubah, dan mencoba menelurkan cara pandang yang baru. Namun, cara pandang baru pun harus terus ditunda kepastian artinya, sehingga roda sejarah bisa terus menelurkan pemahaman-pemahaman yang baru.

Di Indonesia, kepemimpinan politisnya terus tenggelam dalam cara-cara lama yang tak lagi pas dengan perkembangan jaman. Yang paling jelas adalah budaya birokrasi yang mempersulit banyak hal, mulai dari birokrasi pernikahan, sampai dengan birokrasi perpanjangan STNK motor. Budaya birokrasi ini dibangun dari jaman Orde Baru dengan tujuan kontrol total atas tindakan setiap warga. Di era reformasi, model ini masih digunakan, walaupun jelas sudah tidak lagi pas dengan nilai-nilai yang ada.

Anthony Giddens dan Kepemimpinan Diskursif

Giddens berusaha menjelaskan, apa yang membuat orang hidup bersama-sama dalam suatu kelompok, dan apa yang membuat kelompok ini tetap ada. Ia berpendapat, bahwa masyarakat bisa ada dan diikat oleh apa yang disebutnya sebagai kesadaran praktis (practical consciousness). Kesadaran praktis ini adalah kebiasaan yang sudah dilakukan lama oleh sekelompok orang, sehingga menjadi budaya. Akhirnya, ia dilakukan, tanpa disadari lagi, karena sudah menjadi begitu otomatis.

Perubahan di masyarakat bisa terjadi, karena kesadaran praktis ini dipertanyakan. Manusia bisa selalu mempertanyakan kesadaran praktisnya, karena ia mempunyai kemampuan lain, yakni kesadaran diskursif (discursive consciousness). Kesadaran ini, menurut Giddens, bertugas untuk selalu mempertanyakan kesadaran praktis. Kepemimpinan revolusioner, pada hemat saya, perlu untuk melatih dan mengembangkan kesadaran diskursif ini, guna melahirkan perubahan-perubahan.

Di Indonesia, kesadaran diskursif amat diperlukan untuk mempertanyakan cara-cara lama yang korup. Proyek pembangunan yang biasa dikorupsi, sehingga korupsi akhirnya menjadi budaya yang menetap, harus dipertanyakan ulang. Kesadaran diskursif juga amat penting untuk mempertanyakan cara-cara lama, seperti peran partai politik sampai dengan cara rapat yang tidak efektif. Kepemimpinan diskursif adalah bagian penting dari kepemimpinan revolusioner.

Dari sejarah filsafat, kita bisa menemukan setidaknya 10 ide penting tentang kepemimpinan revolusioner. Semuanya mendorong kita untuk menjadi orang-orang yang secara aktif terlibat, guna melahirkan perubahan-perubahan yang bermakna. Di dalam politik, kita jelas membutuhkan perubahan yang bermutu. Dan itu hanya mungkin, jika kita memiliki kepemimpinan revolusioner yang menjelma di berbagai bidang.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

14 tanggapan untuk “Kepemimpinan Revolusioner”

  1. Kebetulan saya juga baru baca artikel ini, revolusi dari sudut pandang Deleuze dan Guattari. Bagaimana pendapat anda?
    http://critical-theory.com/deleuze-zapatismo-interview-thomas-nail/

    For Deleuze and Guattari, this new revolutionary sequence is no longer defined by the traditional definitions of revolution: the capture of the state, the political representation of the party, the centrality of the proletariat, or the leadership of the vanguard. The central question for Deleuze and Guattari is different. The question is how to establish revolutionary institutions which are neither spontaneist nor bureaucratic, but “constructivist.” By “constructivism,” Deleuze and Guattari do not mean what is traditionally understood as “social constructivism” in sociology and philosophy, namely, that revolutions are by-products or “social constructs” produced by human minds, language, institutions, historical contexts, cultural values and so on. Such theories presuppose what needs to be explained in the first place: mind, society, culture and history themselves.

    Rather, a constructivist theory of revolution simply means a theory of revolution that is neither pre-constructed in the form of the party or state nor de-constructed in the form of some vague affirmation of ontological difference. In their theory, a revolutionary institution is something that moves beyond “local and occasional struggles,” but at the same time does not end up reproducing the bureaucracy, hierarchy, and authoritarianism of the classical party organization or the state. Deleuze and Guattari set out to create the political concepts needed to understand a political body that is more lasting and organized than an ephemeral riot or protest movement, but not as organized as a political party or state. In the book I isolate the four main concepts that I think really crystallize this theory: historical topology, deterritorialization, consistency, and nomadism.

    Suka

  2. mungkin yang disebut Kant sebagai Gesinnungsrevolution, atau revolusi cara bertindak yang bisa juga dibaca sebagai revolusi lunak, tidak dalam arti revolusi politik tradisional. Saya rasa, ini juga penting, mungkin lebih penting dari sekedar revolusi tradisional. Tulisan saya memang mengarah ke sini.

    Suka

  3. Keren sekali ulasannya. Kesan mendalam bagi saya: kepemimpinan revolusioner bukan destruktif, tidak perlu membuang yang lama demi sebuah pembaruan. Knowledge seorang pemimpin menjadi kemestian dalam kacamata Plato. Lalu luwesnya seorang pemimpin revolusioner tidak meninggalkan kesadaran akan apa yang harus dan tidak harus dilakukan. Btw, kok saya sudah “follow” website ini tapi ga pernah dapat kiriman updatenya melalui email seperti dulu ketika masih berdomain blogspot ya?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.