HAM: Antara Harapan dan Kenyataan

acelebrationofwomen.org
acelebrationofwomen.org

oleh Reza A.A Wattimena,

Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

HAM adalah singkatan dari hak-hak asasi manusia. Dalam arti ini, asasi berarti, hak-hak tersebut tertanam dalam jati diri kita sebagai manusia. Bukan negara atau pemerintah yang memberikannya. Bukan juga masyarakat yang menciptakannya. Ia ada, karena kita adalah manusia. Titik.

Ia hadir untuk melindungi manusia dari segala penderitaan dan ancaman. Kerap kali, alam mengamuk, dan menghantam hidup manusia dengan bencana, misalnya dengan tsunami atau gempa bumi. Namun, yang lebih sering terjadi adalah, manusia yang satu mengakibatkan penderitaan bagi manusia lainnya. Karena ia kuat, maka ia merasa boleh untuk menyiksa dan menindas yang lemah, demi mencapai kepentingannya.

Di titik inilah, HAM memiliki arti yang amat penting. Ia melindungi si lemah dari penindasan si kuat. Ia mencegah peradaban jatuh ke dalam hukum rimba, di mana yang kuat memperoleh segalanya, dan yang lemah hancur tak berdaya. HAM menjadi dasar dari beragam hukum dan aturan, supaya hidup manusia jauh dari nestapa dan rasa takut.

Dasar filosofis dari HAM adalah pandangan yang amat sederhana, bahwa setiap manusia, apapun agamanya, rasnya, jenis kelaminnya, entah ia cacat atau tidak, memiliki martabat yang sama di dalam dirinya. Ia berdiri sejajar di hadapan jagad raya kehidupan, walaupun memiliki cerita dan cara hidup yang beragam. Martabat itu sudah ada di dalam jati diri setiap orang, dan akan terus ada, walaupun kerap kali disangkal, demi membenarkan penindasan. Ia menjadi tanda, bahwa setiap orang itu, pada dasarnya, berharga dan tak tergantikan.

Kini, HAM tidak lagi sekedar menjadi himbauan etis, melainkan sudah tertanam di dalam berbagai hukum dan undang-undang di berbagai negara. Ia menjadi dasar dari beragam kesepakatan internasional, guna menjadikan dunia ini sebagai tempat yang nyaman dan aman untuk hidup bagi semua orang, tanpa kecuali. HAM, dan bentuk-bentuk hukum di belakangnya, mencoba melindungi kebebasan manusia sebagai warga negara di bidang politik (aktif terlibat di dalam keputusan politik), ekonomi (hak untuk bekerja dan mendapat kehidupan yang layak), dan budaya (untuk hidup sesuai dengan tradisi dan kepercayaannya).

Tiga Ciri HAM

Di dalam tulisannya yang berjudul Überlegungen zum internationalen Schutz der Menschenrechte, Peter Leuprecht menyatakan dengan lugas, bahwa HAM memiliki tiga ciri yang tak dapat diabaikan. Pertama, HAM bersifat universal (Universalität). Artinya, ia berlaku untuk semua manusia, selama ia bernapas dan menjalani kehidupan di atas muka bumi ini, tanpa kecuali.

Dua, HAM tidak dapat dibelah-belah (Unteilbarkeit). Artinya, hak ekonomi tidak dapat dipisahkan dari hak politik. Begitu pula hak budaya tidak bisa dilepaskan dari hak ekonomi. Ketiga terjalin erat membentuk satu kesatuan prinsip yang tugasnya hanya satu: melindungi manusia dari ketakutan dan nestapa.

Tiga, HAM selalu bersifat sosial (Sozial und Solidarität). Dasar utama dari HAM adalah rasa solidaritas antar manusia yang melintasi batas-batas budaya, agama, ataupun negara. Solidaritas itu lalu terwujud di dalam rasa tanggung jawab (Verantwortungsgefühl) untuk membantu. Rasa tanggung jawab ini lahir dari kesadaran dasar, bahwa kita, sebagai manusia, adalah mahluk yang begitu rapuh diterpa bencana, baik bencana alam, maupun bencana yang dibuat oleh manusia lain. Maka, kita harus saling melindungi satu sama lain.

Pada ranah politik, HAM memiliki peran yang amat penting. Ia menjadi batas dari setiap bentuk kekuasaan politik yang ada. HAM sebagai prinsip membentengi hidup manusia dari setiap bentuk kekuasaan politik absolut yang kerap bertindak sewenang-wenang, tanpa kontrol. HAM, jika diterapkan, akan mengunci politik pada posisi yang seharusnya, yakni sebagai pelayan kebutuhan masyarakat.

Sebagai sebuah prinsip, HAM berdiri di atas hukum. Ia adalah tuntutan etis yang berakar pada sejarah pahit kehidupan manusia yang dipenuhi dengan perang dan penderitaan. Ia menjadi tuntutan etis bagi setiap bangsa yang mengaku beradab. Walaupun resmi menjadi deklarasi PBB pada pertengahan abad 20 lalu, akar filosofis dari HAM hampir setua sejarah manusia itu sendiri, yakni pada agama-agama dunia dan filsafat hidup yang tersebar luas dan dalam di berbagai peradaban.

Banyak kritik yang menyatakan, bahwa HAM itu tidak universal, karena itu adalah produk dari Eropa. Kritik ini dengan mudah dibantah, jika orang mencoba secara jeli membaca teks Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Di dalamnya dengan jelas tercantum, bahwa HAM melindungi hak kultural setiap orang, tanpa kecuali, termasuk juga kultur-kultur di luar Eropa. Kritik terhadap sisi universal HAM ini biasanya lahir dari kepentingan politik tertentu untuk menindas, dan mengabaikan prinsip-prinsip luhur HAM.

Musuh-Musuhnya

Sebagai sebuah prinsip dengan tujuan yang luhur, HAM tentu mengalami banyak tantangan. Katakan saja, HAM memiliki musuh-musuhnya sendiri. Leuprecht setidaknya lima musuh utama dari HAM. (Leuprecht, 2013) Yang pertama adalah jurang yang amat besar antara harapan dan kenyataan di lapangan (große Kluft zwischen der Hoffnung und Wirklichkeit).

Di beberapa negara, jurang ini amatlah besar. AS masih memiliki penjaran Guantanamo, di mana para narapidana tidak mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai manusia, terutama hak atas pengadilan yang tak berpihak. Uni Eropa masih memandang imigran sebagai hambatan, walaupun mereka juga adalah manusia. Indonesia, hampir dalam semua aspek, gagal menjadikan HAM sebagai arah pembangunan, karena korupsi yang mengakar begitu dalam, dan kesalahan tata kelola yang luar biasa parah.

Walaupun HAM sudah menjadi deklarasi internasional di pertengahan abad 20, politik Apartheid di Afrika Selatan pada waktu itu masih bersikap rasis dan diskriminatif terhadap orang-orang berkulit hitam di sana. Rasisme, terutama terhadap pendatang dan kelompok minoritas, dalam segala bentuknya pun masih terus berlanjut sampai detik ini, juga di Indonesia. Jurang yang seringkali terlalu lebar antara harapan dan kenyataan inilah yang menjadi musuh utama dari HAM dan penerapannya.

Musuh kedua adalah dilema yang sudah selalu terkandung di dalam penegakkan HAM. Pertanyaan yang menggantung disini adalah, bolehkah, misalnya, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menggunakan kekerasan untuk menegakkan HAM? Jika pemerintah suatu negara menyiksa rakyatnya, guna melestarikan kekuasaannya, bolehkah PBB melakukan intervensi militer terhadap negara tersebut? Bukankah intervensi militer tersebut juga merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM?

Setelah melalui debat panjang, akhirnya PBB memutuskan, bahwa intervensi militer tidak pernah dibenarkan, walaupun tujuannya adalah menegakkan HAM. Ketika terjadi konflik, PBB biasanya mengirim pasukan perdamaian. Dilema pun tidak hilang, karena tanpa intervensi militer yang tegas, konflik biasanya menjalar panjang, dan memakan lebih banyak korban. Perang saudara Suriah yang terjadi sekarang adalah contoh nyata dari dilema semacam ini.

Musuh ketiga, menurut Leuprecht, adalah ideologi pan-ekonomi (panökonomische Ideologie) yang kini menyebar begitu luas dan mengakar begitu dalam di dalam jati diri manusia modern awal abad 21. Di dalam ideologi ini, keuntungan ekonomi menjadi tolok ukur dari seluruh bidang kehidupan manusia. Jati diri manusia yang beragam sebagai mahluk sosial, mahluk seni, dan mahluk hati nurani disempitkan semata pada jati dirinya sebagai mahluk pencari keuntungan ekonomi. Bahasa Indonesia punya istilah khas untuk ini, yakni mata duitan.

Lahirlah manusia-manusia yang amat egois. Dia bekerja untuk mengeruk harta dan kenikmatan bagi dirinya sendiri. Ia menolak untuk berbagi dengan orang-orang yang lebih lemah darinya, apalagi dengan orang asing dan kelompok minoritas. Dia mengakui HAM, tetapi HAM untuk dirinya sendiri, dan bukan untuk orang lain.

Pada ranah politik, mereka pun berusaha mewujudkan politik yang mendukung dan melestarikan sikap egois, yang seringkali bersembunyi di balik slogan kebebasan. Mereka mendorong pemerintah dan masyarakat untuk mengubah dan melenyapkan berbagai aturan yang mengekang gerak modal di masyarakat atas dasar kebebasan, yang sebenarnya tidak ada, karena semua sumber daya sudah mereka kuasai, dan mereka berniat untuk memperkaya dirinya terus menerus. Yang kemudian terjadi adalah kesenjangan sosial yang begitu besar antara si kaya dan si miskin. Si kaya mendapatkan segalnya sementara si miskin nyaris tak mendapatkan apa-apa.

Kontrol adalah kerakusan para pengusaha kaya pun akhirnya hilang, karena tidak ada lagi aturan yang mengontrol hasrat mereka akan uang dan kuasa. Di AS, para pengusaha kaya berhasil menguasai Partai Republik, dan kini menghentikan separuh program-program pemerintah AS. Ketika si kaya dan si rakus berhasil masuk ke arena politik atas dasar kebebasan (biasanya slogan pasar bebas), mereka pun menghasilkan kebijakan-kebijakan yang justru menguntungkan diri mereka sendiri. Rasa solidaritas dan komunitas hilang, serta digantikan oleh politik egois.

Musuh keempat, menurut Leuprecht, adalah irasionalitas yang kini menjalar di berbagai bidang kehidupan. Irasionalitas dalam arti ini adalah hidup yang didorong oleh rasa takut pada yang berbeda, sehingga orang bisa melakukan kekerasan (baik fisik maupun simbolik) atas dasar ketakutan itu. Bentuk nyatanya adalah rasisme, fanatisme, dan fundamentalisme, terutama dalam bidang agama. Paradoksnya adalah, justru ketika semakin banyak orang mendapatkan pendidikan, pada saat yang sama pulalah irasionalitas itu menyebar.

Atas dasar irasionalitas yang berakar pada ketakutan itu, orang lalu memaksa kelompok agama minoritas yang berhenti beribadah. Atas dasar yang sama, orang lalu bersikap diskriminatif pada kelompok minoritas dan orang asing (Fremdenhass). Ketakutan atas yang berbeda itu membuat orang tak mampu berpikir jernih menyingkapi keasingan dan perbedaan. Ketakutan yang kemudian menjadi keputusan hukum memiliki dampak merusak yang amat besar pada kehidupan bersama.

Musuh kelima, menurut Leuprecht, adalah sepak terjang ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak lagi berjangkar pada moralitas (gewissenslose Wissenschaften). Alam dihancurkan demi mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama untuk mengambil sumber energi mentah. Manusia dipandang sebagai obyek yang bisa dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi tak lagi berpijak pada hati nurani, maka mereka justru akan menghancurkan hidup manusia.

Penegakan HAM perlu untuk memahami arti mendasar dari HAM itu sendiri, dan apa yang menghambat penegakannya. Dengan kata lain, pemahaman tentang HAM perlu untuk juga memahami, apa yang menjadi musuh-musuh dari HAM itu sendiri. Di tengah dunia dengan semakin banyak konflik dan ketegangan antara kelompok-kelompok yang berbeda, penegakan HAM menjadi sumber harapan bagi hadirnya perdamaian. Ia tetap menjadi pilar harapan manusia untuk hidup bebas dari rasa takut dan penderitaan (Befreiung von Furcht und Not).

Namun, HAM tidak akan otomatis terwujud, tanpa usaha bersama dari berbagai bangsa dan kelompok masyarakat di dunia. Jarak antara harapan dan kenyataan terkait dengan penegakan HAM bisa dipersempit, jika kerja sama tersebut terwujud, dan dijalankan dengan komitmen serta rasa tanggung jawab yang kuat. Ide luhur berlimpah di dunia ini. Namun, kita kekurangan “otot” dan kehendak politik untuk mewujudkan ide tersebut. Apakah anda bersedia menyediakan “otot politik” semacam itu? Ini pertanyaan yang sekarang harus dijawab.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

8 tanggapan untuk “HAM: Antara Harapan dan Kenyataan”

  1. Ide2 luhur berlimpah di dunia ini. Namun, kita kekurangan “otot” dan kehendak politik untuk mewujudkan ide2 tersebut. Saya empati thd pesimisme Reza 🙂
    Baiklah, saya sediakan ‘urat’nya pada sosok “Ahok” yang dibelakangnya ada “otot Prabowo”.. berhasil merapihkan area angker dan basah:Tanah-Abang..sekaligus berhasil melanggar hak asasi : berdagang kaki-lima juga hak asasi preman. Otot apapun disitu, di’rapih’kan pula. sssttt diam diam ada otot otot mengerahkan tenaga,menyiapkan JOKOWI sbagai ‘ kepalan-tinju ‘. Sekuat apapun otot saya,nanti juga akan melemah.

    Suka

  2. oleh sebab ini.. saya berusaha men’stabil’kan//melanggengkan e n e r g i dengan kultur dinasti dan kronisme.. semoga urat-urat yang saya rekrut berIntegritas dan berMoral. Jika saja ada ‘anggota’ yang jadi parasit pegelinu rematik, mestikah saya meng amputasi anggota tubuh saya? Moral saya jatuh dalam pencobaan . .

    Suka

  3. boleh dikirim buku2 tentang HAM yang bicarakan yang bahasa inggris.saya sangat tertarik untuk bahan kajian di Indonesia

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.