Empati, Kemanakah Dirimu?

empathyOleh Reza A.A Wattimena,

Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

Nawa, dan anaknya Bashar yang masih berumur 11 tahun, berasal dari Maroko dan kini tinggal di München, Jerman. Nawa sendiri sudah sekitar 15 tahun tinggal di Jerman. Ia pindah kesini, karena ia harus bekerja, guna menghidupi dirinya sendiri. Di Jerman, ia berjumpa dengan seorang pria, dan akhirnya mereka mempunyai anak.

Hubungan mereka tidak berjalan lancar. Akhirnya, mereka berpisah. Kini, Nawa harus bekerja keras untuk menghidupi diri dan anaknya. Pemerintah Jerman tahu kisah ini, dan kemudian membantunya dengan memberi keringanan biaya sewa rumah.

Nawa tahu, bahwa ia harus berterima kasih pada pemerintah Jerman. Maka, ia pun bekerja dengan rajin, dan membayar pajak dengan teratur. Ia bisa berbahasa Jerman dengan amat baik. Kini, ia bahkan membangun usaha kecil, guna memberikan pekerjaan pada pendatang-pendatang lainnya di Jerman. Usahanya berkembang dengan pesat.

Pemerintah Jerman melihat kesulitan Nawa, dan kemudian membantunya. Inilah wujud empati sebuah pemerintahan pada orang yang dipimpinnya, walaupun Nawa bukanlah warga negara resmi. Nawa pun kemudian berempati, bahwa ia sudah dibantu oleh pemerintah yang bukan negaranya sendiri. Maka, ia pun bekerja keras dan rajin, supaya tidak mengecewakan orang yang sudah membantunya.

Cerita lainnya berasal dari Abdul. Ia pendatang dari Turki, dan kini belajar sebagai mahasiswa teknik di München, Jerman. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Ia mendapat beasiswa dari pemerintah Jerman sebagai tanda empati sekaligus solidaritas negara Jerman dengan negara Turki.

Namun, dalam hatinya, ia selalu membenci negara tersebut. Alasannya beragam, mulai dari pemerintah dan masyarakat Jerman yang dianggap sombong, sampai soal agama. Ia sedapat mungkin tidak berbicara bahasa Jerman. Ia tak ada minat sama sekali untuk mengetahui lebih jauh soal kultur dan cara hidup orang Jerman. Empati yang ditunjukkan oleh pemerintah Jerman tampak bertepuk sebelah tangan.

Di Indonesia, baru-baru ini, pemerintah pusat menawarkan kebijakan mobil murah. Ini jelas kebijakan yang tidak menggunakan empati sama sekali, terutama empati terhadap keadaan lalu lintas di kota-kota besar Indonesia yang tak lagi mampu menampung kendaraan pribadi dalam jumlah besar. Di balik kebijakan tersebut, pasti ada motif tidak baik, bahkan mungkin korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang bukan barang baru lagi di Indonesia. Saya tidak mau berburuk sangka, tanpa data yang lebih banyak.

Pidator Amien Rais di hadapan salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia juga menunjukkan gejala serupa. Ia merendahkan orang lain, tanpa mengerti dampak dari kata-katanya di ceramah umum tersebut. Sikap semacam ini adalah cermin dari krisis empati, yang kini rupanya menjadi kecenderungan umum banyak orang di dunia. Semua orang mengalaminya, dari pekerja biasa di Eropa sampai dengan petinggi politik di Asia.

Menjelang pemilu, isu kerukunan beragama selalu menjadi isu politik yang kencang. Tuntutan penutupan Gereja di Jakarta baru-baru ini juga menjadi isu politik yang amat sensitif. Selain krisis empati yang bermain di baliknya, tentu ada peran tokoh politik tertentu yang ingin menciptakan rasa takut di dalam masyarakat. Namun, sekali lagi, saya tidak mau berburuk sangka, sebelum ada data yang lebih lengkap.

Makna Empati

Semua bencana politik dan budaya yang saya jabarkan di atas berakar pada satu masalah, yakni krisis empati. Sebelum lebih jauh membicarakan soal krisis empati sebagai sumber banyak masalah antar pribadi maupun antar kelompok dewasa ini, saya ingin menjelaskan dulu makna dari empati. Empati berasal dari kata Yunani empatheia, yang berarti kemampuan untuk merasakan. Arti itu kemudian berkembang menjadi kemampuan manusia untuk merasakan penderitaan orang lain. Arti lainnya adalah kemampuan orang untuk melihat dari sudut pandang orang lain.

Bahasa Jerman mengartikan empati (juga bisa diartikan sebagai Empathie dalam bahasa Jerman) sebagai die Perspektivübernahme. Secara harafiah, artinya adalah kemampuan untuk mengambilalih sudut pandang orang lain. Orang Indonesia punya terjemahan menarik untuk kata ini, yakni bela rasa. Dengan berbela rasa, orang bisa mengerti apa yang dirasakan orang lain, dan kemudian menanggapinya.

Krisis empati kini menjadi penyakit jaman kita. Orang tak mau, walaupun ia mampu, untuk mencoba melihat dunia sungguh dari sudut pandang orang lain yang punya cerita hidup berbeda dengannya. Akhirnya, orang hidup dengan prasangka buruk pada orang lain yang berbeda dengannya. Prasangka semacam ini adalah awal dari konflik dan perang yang menciptakan penderitaan besar.

Jacques Derrida, filsuf Prancis abad 20, melihat orang lain sebagai “yang sungguh lain”. Mereka punya cara berpikir yang berbeda dengan kita. Mereka punya cerita hidup yang berbeda degan kita. Akibatnya, mereka pun menanggapi berbagai hal juga dengan cara yang berbeda dengan kita. “Yang sungguh lain” ini tak dapat begitu saja kita telan dengan pemikiran kita yang sebenarnya juga terbatas.

Empati berarti mencoba memahami orang lain sebagai “yang sungguh lain”. Mereka termasuk imigran dari negara berbeda, orang cacat, orang beragama lain, dan orang asing lainnya yang hidup dengan cara yang berbeda dengan kita. Dengan sikap empati, kita melihat dunia dari cara “yang lain” tersebut. Ini tentu saja sulit, tetapi amat perlu untuk menunjang perdamaian dan harmoni dalam hidup bersama.

Dimensi dari Empati

Di dalam bukunya yang berjudul Vertrauen gewinnen, Empathie und Offenheit in der Führungs- und Verkaufskommunikation, Harry Holzheu menegaskan, bahwa kehadiran orang lain sebagai “yang sungguh lain” tidak bisa dihindari dalam hidup manusia. Untuk mencapai hal-hal yang baik (dan juga hal-hal yang buruk, seperti perang misalnya), orang jelas butuh orang lain. Kodrat manusia selalu bersifat sosial, yakni berada bersama orang lain.

Untuk mencapai kebahagiaan, orang perlu orang lain. Untuk mewujudkan hal-hal tertentu dalam hidup, orang butuh untuk bekerja sama dengan orang lain. Dengan kata lain, kata Holzheu, hubungan dengan orang lain menentukan segala-galanya. Empati membantu mempertahankan sekaligus meningkatkan kualitas hubungan dengan orang lain tersebut.

Sebagai dinyatakan oleh Margaretha, dosen Psikologi di Surabaya, ada tiga tahap yang harus digunakan oleh orang, supaya ia bisa menumbuhkan rasa empati di dalam dirinya. Pertama adalah kemampuan untuk memahami cara berpikir orang lain, atau mencoba berpikir dengan menggunakan cara berpikir orang lain yang berbeda dari kita. Seperti sudah saya singgung sebelumnya, ini disebut juga sebagai Perspektivübernahme, sebagaimana dirumuskan oleh Axel Honneth, filsuf Jerman di Frankfurt dalam bukunya Kampf um Anerkennung. Ini terjadi di level pikiran (cognitive).

Namun, ini saja tidak cukup. Orang juga harus bisa berusaha merasakan apa yang orang lain rasakan. Disini dibutuhkan kemampuan Gefühlsübernahme, yakni mengambil alih perasaan orang lain, dan berusaha merasakan apa yang sungguh dirasakan orang lain, yang memiliki latar belakang berbeda dari kita. Setelah itu, orang perlu juga masuk lebih dalam ke tingkat berikutnya, yakni bersikap aktif dengan berpijak pada pengetahuan akan perasaan dan sudut pandang orang lain tersebut. Artinya, setelah tahu apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain dengan kemampuan Perspektiv- und Gefühlsübernahme tadi, orang lalu bertindak secara aktif menunjukkan kepeduliannya, dan tidak diam saja.

Tingkat ini sulit, tetapi mungkin dilakukan, karena setiap orang memiliki kemampuan tersebut, yakni Einfühlungsvermögen, yakni kemampuan untuk ikut masuk ke dalam cara pandang dan cara merasa orang lain. Peran pikiran tentu besar dalam upaya ini. Namun, peran intuisi pun juga tak kalah penting. Dalam arti ini, sebagaimana dinyatakan Immanuel Kant, filsuf Jerman, dalam bukunya Kritik der reinen Vernunft, intuisi adalah pengetahuan yang sifatnya lansung, tanpa perantara (unmittelbare Kenntnisse). Empati pun, pada hemat saya, adalah bentuk dari intuisi.

Melatih Empati

Lalu, mengapa kemampuan empati ini tidak berkembang? Mengapa ada orang yang tidak punya empati pada orang lainnya, sehingga menimbulkan prasangka dan akhirnya konflik? Pada orang-orang cacat dan yang mengalami autisme, atau ciri-ciri autistik dalam dirinya, empati memang amat sulit dilakukan. Pada beberapa kasus, empati malah tidak mungkin dilakukan, karena keterbatasan psikis dan fisik yang nyaris tak bisa dihindari.

Pada orang-orang lainnya, yang dianggap tak memiliki cara psikis maupun fisik yang berat, empati tidak tumbuh, karena tidak dikembangkan dalam pola didik maupun pola hubungan di dalam lingkungan hidupnya (keluarga, sekolah, dan lingkungannya). Saya kira, inilah yang terjadi di Indonesia dan banyak sistem pendidikan lainnya di dunia. Pendidikan mengajarkan orang menghafal buku dan perintah agama, tetapi tidak mengajarkan orang berempati, yakni sungguh berpikir dan merasa dari sudut pandang orang lain, yang punya kisah dan sejarah hidup yang amat berbeda darinya.

Seperti dengan kemampuan manusia lainnya, empati juga lahir dari pengetahuan dan kebiasaan. Ia tidak cukup hanya diketahui secara konseptual melalui pikiran, tetapi juga melalui latihan sehari-hari dalam hidup. Dengan kata lain, empati adalah kemampuan tubuh, dan bukan hanya kemampuan otak. Empati mesti dimasukan ke dalam diri (Verinnerlichung), sehingga ia menjadi otomatis, seperti layaknya manusia bernafas.

Politik Empati

Empati amat penting, tidak hanya di kehidupan pribadi dengan orang yang kita cintai, tetapi juga dalam bidang politik. Politik tanpa empati hanya akan menciptakan penderitaan, terutama bagi rakyat kecil. Politik tanpa empati hanya akan menciptakan kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Akhirnya, politik tanpa empati akan menciptakan perang saudara dan perang antar bangsa, yang menghancurkan harapan dan hidup banyak orang.

Sebaliknya, politik dengan empati akan sungguh berusaha memahami penderitaan orang lain, dan berusaha menanggapinya dengan cara-cara yang tepat. Politik dengan empati akan mengeluarkan kebijakan yang menyejaterahkan semua orang, tanpa kecuali. Politik dengan empati akan menciptakan perdamaian dan hati yang tenang. Hal-hal hebat di dunia ini hanya dapat dicapai, jika orang bekerja sama, dan kerja sama yang sejati dapat dilakukan, jika orang saling berempati satu sama lain.

Namun, empati tidak datang begitu saja. Ia adalah kemampuan alamiah manusia, namun tetap harus dikembangkan melalui pola asuh dari orang tua, pola didik dari sekolah, dan pola teladan dari lingkungan sosial. Dengan kata lain, empati harus menjadi suatu gerakan bersama seluruh masyarakat dengan pemerintah sebagai teladannya. Pepatah lama menyatakan, ikan busuk dari kepalanya. Jika pimpinan politik suatu negara (kepala) sudah korup (busuk), maka rakyatnya pun akan ikut korup dan busuk. Salah satu ciri orang (dan juga pemerintah) yang korup dan busuk adalah tidak adanya empati dalam dirinya.

Kemana?

Apa yang mesti dilakukan, ketika kita berhadapan dengan orang atau kelompok yang tidak mempunyai empati? Apakah kita juga mesti mematikan empati kita, lalu menjadi sama seperti mereka? Jawabannya jelas tidak! Jika kita hanya mau berempati dengan orang yang bisa berempati dengan kita, maka kita masih berusaha menelan orang lain ke dalam konsep-konsep yang ada di dalam kepala kita sendiri, tanpa peduli dengan “keberlainannya” sebagai manusia.

Harus juga diingat, bahwa orang tak bisa berempati, bukan karena ia tidak mampu, tetapi karena ia tidak memperoleh pola pengasuhan yang memungkinkan tumbuhnya empati dari lingkungannya. Empati harus muncul dari dalam diri, dan tak bisa dipaksakan dari luar. Maka, dialog tanpa henti adalah jalan satu-satunya untuk mengundang empati dari pihak lain. Tidak ada jalan lain.

Ini mungkin sulit, tetapi menjadi amat perlu, guna mengurangi konflik dan ketegangan antar pribadi maupun antar kelompok. Perdamaian tidak datang dengan mudah. Sejarah bangsa-bangsa di dunia sudah menunjukkannya. Yang paling mudah adalah merawat perdamaian yang sudah ada, dan salah satu cara yang paling penting adalah dengan berempati. Pertanyaan di atas, Empati, Kemanakah Dirimu? bisa dijawab dengan lugas, ia ada, dan terus ada, dan tinggal menunggu untuk diwujudkan.

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

8 tanggapan untuk “Empati, Kemanakah Dirimu?”

  1. Ada tadi disinggung Amin Rais. Yang Kurang empati. Saya Rasa orang yag sekeliber dia, tidak punya otak yang waras. Dan suka memanfaatkan memomen politik untuk mengungkapkan rasa kebebinatangannya. Ambon dibakar dan bumi hanguskan oleh pidato kambing hitam di Monas. Saya juga sudah baca tulisannya transkrip pidatonya FB, anehnya dia bilang orang Muhamahdiah, akan jadi 70 persen.Dalam 200 tahun mendatang. Ya tentu saja secara alami kan ada yang mati seperti dia akan masuk liang kubur.Maksud saya mengapa harus menggunakan angka angka statistik yang konyol untuk mencuci otak orang orang yang kurang pendidikan. bayangkan saja kalau baca tanpa cernah, kan bisa jadi orang orang muhamadiah makin berkurang, dan tidak berkembang secara kwantitas.Orang ini memang Jahat sekali. Ini gejalah apa Reza, kok ada manusia seperti ini

    Suka

  2. Empati hilang karena himpitan kebutuhan hidup yang terus naik, kekuasaan, kepentingan. Saya ingat kata-kata bapak waktu mengajar di kelas filsafat; bagaimana menjadi manusia yang otentik, saya pikir orang2 sekarang tidak memiliki empati karena sudah tidak otentik lagi pak, bener nggak?

    Suka

  3. Lingkungan keluarga yg melatih empati… mulai dr kecil sbg org tua mencontohkan kepada ank2nya sehingga mulai terbiasa dan terpola dalam dirinya.. betul?

    Suka

  4. Didikan Dari orang Tua sangatlah penting untuk menjadikan seseorang dapat memiliki rasa empati.Manusia yang tidak memiliki empati adalah manusia yang sombong

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.