Mimpi-mimpi yang Menyesatkan

dari Jack Skellington
dari Jack Skellington

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman

Ribuan orang naik kapal laut mengarungi laut Mediterania yang memisahkan antara Eropa dan Afrika. Mereka adalah orang-orang yang melarikan diri dari rumahnya, dan berharap bisa mendapatkan hidup baru yang lebih baik di tanah asing: Eropa. Mereka mendapat informasi, bahwa Eropa adalah surga, dimana orang bisa hidup dengan damai dan layak. Mimpi mereka adalah pergi ke Eropa, dan kemudian menetap. Sayang, kedamaian dan kemakmuran hidup yang mereka dambakan belum tentu menjadi kenyataan.

Di Indonesia, ratusan pelajar setiap tahunnya juga bermimpi yang sama: pergi ke Eropa, berharap mendapat pendidikan yang layak, dan bekerja disana. Orang tua mereka memeras keringat untuk membayar mahal demi pendidikan di Eropa yang, menurut mereka, lebih baik. Namun, anggapan umum tak selalu benar. Rasisme terselubung mengancam setiap orang yang merantau keluar dari tanah kelahirannya, begitu pula mutu pendidikan yang tak selalu unggul, juga sebagai dampak dari rasisme kultural ada.

Seorang teman sedang melanjutkan studi master di bidang teknik kimia di Jerman. Ia selalu mengeluh, karena dosennya tak punya waktu untuk berdiskusi (terlalu banyak mahasiswa dan terlalu banyak proyek), kuliahnya membosankan, dan asisten dosennya sama sekali tak ramah, mungkin karena ia adalah orang asing. Di tengah iklim semacam itu, lebih baik buat dia untuk belajar di Indonesia. Mimpi bahwa studi di Eropa selalu lebih baik adalah salah satu mimpi yang menyesatkan.

Hidup dan Mimpi

Bolehkah kita bermimpi dalam hidup kita? Apakah ada gunanya? Ataukah kita harus melepaskan mimpi kita, dan hidup apa adanya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu memahami terlebih dahulu, apa itu mimpi, dan bagaimana ia di dalam perjalanan bisa tersesat.

Mimpi adalah bentukan dari harapan dari dalam diri manusia tentang masa depannya. Ia bukan hanya bunga tidur, tetapi juga cita-cita yang mengarahkan hidup seseorang pada satu titik. Mimpi seseorang seringkali menjadi tujuan sekaligus makna hidupnya. Ia menjadi motivasi yang mendorong orang untuk terus berusaha, walaupun kesulitan datang silih berganti.

Cornell West, filsuf asal Amerika Serikat, memberikan rumusan yang amat menarik tentang siapa itu manusia. Manusia adalah mahluk bertubuh dan berbulu halus, mengarungi hidup menuju kematian, dan di antaranya dia berhadapan dengan kecenderungan untuk menguasai dan dikuasai, berusaha untuk berdialog, mengontrol kekuasaan yang ada, supaya tidak semena-mena, dan memiliki mimpi-mimpi yang menghantuinya. Di antara lahir dan mati, mimpi adalah makna hidup manusia, yang memberinya tujuan untuk setiap hari bangun dan beraktivitas.

Namun, mimpi tidak selalu tepat. Mimpi juga bisa menyesatkan, ketika ia tidak diolah dengan pemikiran kritis, yakni pemikiran yang terus mempertanyakan, dan mengolah lebih jauh. Mimpi justru bisa mengaburkan makna hidup seseorang, dan menggiring dia pada kehancuran hidup. Mimpi semacam ini adalah hasil dari kesalahan berpikir, yang biasanya muncul dari anggapan umum yang ditelan tanpa pemikiran lebih dalam.

Mimpi yang Menyesatkan

Salah satu mimpi menyesatkan yang dialami banyak orang sekarang ini adalah keterpesonaan pada yang asing, terutama yang asing yang datang dari Eropa atau Amerika. Ribuan orang dari Asia dan Afrika bermimpi untuk belajar dan bekerja di Eropa, karena mereka berpikir, bahwa disana akan lebih baik. Akan tetapi, pandangan ini tidak selalu benar. Mutu pendidikan di Eropa tidak selalu lebih baik dari di Indonesia atau negara-negara lainnya. Lapangan kerja juga amat terbatas untuk para imigran dari Asia atau Afrika, yang mayoritas hanya puas menduduki posisi-posisi rendah.

Mimpi menyesatkan yang kedua seringkali muncul di panggung politik dunia sekarang, yakni mimpi tentang demokrasi sebagai jalan mutlak untuk mencapai kemakmuran dan keadilan. Ketika Mesir mengalami kudeta politik untuk kedua kalinya, banyak orang mengutuknya sebagai jalan yang tidak demokratis, yakni jalan yang salah. Padahal, jika dilihat secara nyata, yang dibutuhkan oleh Mesir sekarang ini bukanlah demokrasi dalam arti pemilihan umum, melainkan stabilitas politik yang nyata, yang kemudian bisa mempersiapkan jalan untuk pemilu demokratis berikutnya.

Seperti berulang kali dikatakan Bung Karno di masa lalu, demokrasi bukanlah tujuan utama yang tak bisa dikritik, melainkan hanya alat, atau dalam bahasa Bung Karno “Jembatan Emas”, untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Artinya, jika demokrasi tidak berjalan, ia bisa diganti (mungkin secara sementara), supaya kemakmuran dan keadilan bisa terwujud. Maka, demokrasi tidak mutlak, melainkan selalu kontekstual. Paham, bahwa demokrasi adalah jalan mutlak yang harus terus diperjuangkan tanpa pertimbangan kritis, adalah mimpi yang menyesatkan.

Sikap Kritis

Akar dari semua ini adalah ketidakpercayaan diri kolektif yang dirasakan oleh bangsa-bangsa Asia dan Afrika, lalu mereka merasa minder di hadapan bangsa Eropa dan Amerika. Kita terpesona oleh kemegahan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. Namun, keterpesonaan itu tidak selalu benar, bahkan banyak menipu dan merugikan kita. Keterpesonaan ini berakar dari penjajahan ratusan tahun yang meninggalkan jejak-jejak kebohongan dan kesalahan berpikir di negara-negara bekas jajahan di Asia dan Afrika.

Yang kita butuhkan sekarang adalah sikap kritis, tidak hanya sebagai pribadi, tetapi sebagai bangsa. Apakah Eropa dan Amerika selalu lebih unggul? Apakah demokrasi resep yang selalu manjur untuk kemakmuran dan keadilan? Ketika kita bertanya, maka akan tumbuh keraguan, dan keraguan adalah langkah awal untuk menuju pencerahan. Saya berharap, kita bisa bangkit dari kesalahan berpikir dan keterpesonaan terhadap peradaban asing, sambil terus berusaha menggali kekayaan bangsa kita sendiri dengan sikap terbuka dan siap berdialog dengan semua pihak.

Semoga, kita juga siap bangun dari “mimpi-mimpi yang menyesatkan…”

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

10 tanggapan untuk “Mimpi-mimpi yang Menyesatkan”

  1. Maaf kalau boleh saya kritik ya. Saya mempunyai rencana untuk melanjutkan studi di fakultas filsafat UWM tahun 2014, tapi saya masih perlu waktu untuk observasi dan mendalami tentang apa dan bagaimana mata kuliah yang diajarkan.
    Sejak lulus SLTA dari Sekolah Katolik Frateran di tahun 1994, saya mempunyai cita-cita untuk melanjutkan kuliah di USA. Kebetulan saat itu nilai bahasa Inggris saya selalu diatas rata-rata sejak SLTP dan selalu menempati ranking 15 besar. Beberapa guru menyarankan saya untuk bersekolah ke luar negeri, setelah mereka banyak berdiskusi tentang pandangan saya selain tentu saja prestasi akademik. Mereka juga melihat bahwa kondisi keuangan orangtua saya berada di tingkat menengah keatas. Tapi orangtua justru tidak menyetujuinya dengan berbagai alasan. Salah satunya, pendidikan di Indonesia juga tidak kalah bagus mengapa harus jauh-jauh ke luar negeri dan menghabiskan biaya lebih tinggi. Sebelum saya mengajukan ke orangtua tentang rencana ini, saya sudah survey ke beberapa lembaga pendidikan yang saya minati. Ketika itu saya berminat di jurusan bahasa, perhotelan dan ekonomi. Saya berhasil menjadi mahasiswa “penyelundup” di 2 universitas swasta besar di Surabaya setelah bekerja sama dengan seorang teman yang sudah menjadi mahasiswa resmi disana. Saat observasi itulah, saya berpikir kritis dan kurang setuju dengan cara banyak dosen-dosen saat ini yang tidak masuk kelas seenak sendiri. Mengajar asal-asalan, mengajar seperti cara anak SMP dan SMA, padahal seorang mahasiswa dituntut berpikir kritis dan mandiri. Yang lebih buruk lagi, malah politik “bribery” juga diajarkan secara tidak langsung kepada para mahasiswanya. Sehingga dengan alasan itulah, saya memutuskan tidak ingin mengambil pendidikan di Indonesia. Akhirnya saya mengambil pendidikan Diploma in Business Studies dari The London School of Public Relations yang bertempat di Jakarta pada tahun 1996 setelah sempat mengambil Diploma1 bahasa Perancis (DELF A1). Disana saya merasakan bahwa cara mengajar dosen-dosen ekspatriat sungguh berbeda. Mereka sangat disiplin, tegas, menjadi panutan dan mengajar mahasiswa untuk berpikir analitis dan mandiri. Saya sempat mengalami masa-masa berat di kampus yang mayoritas teman-teman sekelasnya adalah anak warga asing. Tapi akhirnya pengalaman singkat itu membuat saya belajar untuk hidup tangguh ditengah kerasnya persaingan dan belajar hidup mandiri. Sejak lulus dari sana hingga sekarang saya tidak pernah mengambil studi apapun di Indonesia dan lebih memilih belajar secara otodidak serta dari pengalaman hidup secara langsung (pengalaman adalah guru yang terbaik). Terus terang hingga saat ini saya masih berkeinginan sekolah dan bekerja di negara-negara Barat. Terkadang saya cemburu dengan beberapa orang beruntung yang bisa menempuh studi di luar negeri khususnya Eropa dan Amerika, termasuk beberapa teman dan sepupu saya yang saat ini tinggal di Australia dan Amerika. Hanya saja, saya harus akui mentalitas manja khas Indonesia masih juga terbawa kemanapun mereka tinggal, walaupun tidak semua warga Indonesia diluar negeri bersikap manja. Banyak dari mereka yang menyerah terhadap keadaan-keadaan yang sulit disana dan memilih kenyamanan hidup di Indonesia. Umumnya mereka selalu mengeluh tentang perlakuan diskriminasi. Padahal walaupun saya tidak pernah tinggal diluar negeri, perlakuan seperti itu juga saya dapatkan di negara sendiri terutama karena saya adalah WNI keturunan Tionghoa. Perlakuan diskriminatif yang paling banyak saya terima adalah karena perbedaan gender dan pemujaan terhadap gelar pendidikan. Jadi pendapat saya, perlakuan diskriminasi itu sudah bersifat universal dan dapat terjadi di mana saja. Banyak kelebihan yang bisa kita dapatkan dengan bersekolah dan tinggal di luar negeri. Karena wawasan dan pengalaman multikultural seseorang akan membuka cara berpikir kita untuk dapat melihat semua segi kehidupan dari berbagai sudut pandang. Sekali lagi, saya justru lebih mempercayai cara hidup orang-orang Barat yang keras akan menempa kita untuk menjadi manusia-manusia tangguh. Alangkah hebatnya bangsa kita ini jika kita banyak belajar dari pengalaman kerasnya hidup mereka sehingga begitu kita kembali ke negeri sendiri, kita juga mengajarkan orang lain untuk bersikap mandiri dan tangguh. Bangsa kita sudah merdeka sejak tahun 1945, tapi mentalitas kita masih terjajah bila kita mudah menyerah terhadap kesulitan-kesulitan hidup. Untuk itulah menyandarkan diri kepada TUHAN akan memberi kita kekuatan batin.

    Suka

  2. “Ketika kita bertanya, maka akan tumbuh keraguan, dan keraguan adalah langkah awal untuk menuju pencerahan”. saya setuju Mas, walaupun akan selalu dianggap kritis, kiri, dan mungkin juga sesat. tapi dari keraguan itu saya selalu memiliki pemikiran yang “nanar” dan pemikiran yang berpetualang.

    Suka

  3. Terima kasih atas sharingnya yang inspiratif… dunia memang tak sempurna. Di Eropa juga banyak dosen dan guru yang menyesatkan. Pada akhirnya, kita sendiri yang harus memacu diri sendiri untuk terus berkembang. Tempat belajar menjadi tak penting akhirnya.
    semoga kita bisa berjumpa di masa depan untuk berdiskusi lebih jauh…

    Suka

  4. Ya, diskriminasi bisa terjadi di mana saja. Tapi dimana saja kita belajar, kita memang tetap dituntut melihat dengan jeli mana yang baik dan mana yang bukan. Saya sangat menyukai diskusi interaktif yang membangun. Untuk itu saya telah mendaftar pada program Extension Course pada tgl 28 Agt – 27 Nov 2013 nanti.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.