Demokrasi di bawah Cengkraman Kekuasaan Totaliter

Hobbes, Leviathan
Hobbes, Leviathan

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

Sebagai salah satu eksperimen sosial terbesar abad 20, demokrasi tampaknya bermuka dua. Di satu sisi, ia diinginkan, karena dianggap mampu menjadi sistem politik yang memberi wadah untuk kebebasan, dan berpeluang untuk mencapai kesejahteraan bersama di dalam masyarakat majemuk. Di lain sisi, ia ditakuti, karena begitu rapuh, terutama ketika diterjang oleh beragam gejolak sosial ekonomi, sehingga bisa terpelintir menjadi anarki ataupun melahirkan kekuasaan totaliter yang baru. Refleksi atas pengalaman sejarah berbagai negara kiranya bisa menerangi kita dalam tegangan ini.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, kita bisa dengan mudah melihat, bagaimana tata pemerintahan demokrasi (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat) lahir dari rahin kekuasaan totaliter (monarki, despot). Demokrasi lahir sebagai simbol pemberontakan dan ekspresi kebebasan manusia, yang tak lagi mau ditindas oleh kekuasaan totaliter di luar dirinya. Di sisi lain, sebagaimana pengalaman Yunani dan Romawi, kita juga bisa menyaksikan, bagaimana kekuasaan totaliter lahir dari sistem politik demokrasi yang gagal mengatasi kerumitan politik masyarakat itu sendiri. Demokrasi, harus diakui, adalah sistem yang rumit, dan ketika kerumitan itu tak lagi tertahankan, sehingga menciptakan kekacauan dan kemiskinan, orang dengan mudah menyerahkan kebebasan mereka kepada penguasa totaliter, supaya keadaan kembali terkendali.

Mengapa demokrasi bisa lahir dari kekuasaan totaliter? Jawabannya sederhana. Di bawah kekuasaan totaliter, ada satu penguasa yang mengatur semuanya, biasanya dengan kekuatan militer. Suasana relatif stabil. Di dalam stabilitas, lahirlah kelas menengah. Mereka bukan orang kaya raya, tetapi mereka memiliki sumber daya untuk hidup dan mengembangkan dirinya. Biasanya, mereka adalah para pedagang, bangsawan-bangsawan kecil yang memiliki tanah tak terlalu luas, ataupun para pendidik di berbagai institusi pendidikan. Mereka nantinya menjadi penggerak revolusi, ketika kekuasaan totaliter menjadi ekstrem, sehingga harus digulingkan.

Dengan kata lain, kekuasaan totaliter justru melahirkan situasi-situasi, yang memungkinkan demokrasi tercipta, dan menggulingkan kekuasaan totaliter itu sendiri. Situasi-situasi itu adalah stabilitas politik yang nantinya melahirkan kelas ekonomi menengah yang menginginkan kebebasan, dan akhirnya menjadi penggerak revolusi melawan penguasa totaliter. Ini adalah paradoks ganjil yang mewarnai hubungan antara demokrasi dan kekuasaan totaliter. Sebaliknya juga benar, demokrasi juga akan melahirkan situasi-situasi yang menciptakan musuhnya sendiri, yakni kerumitan politik yang nantinya akan bermuara pada kekacauan, lalu akhirnya revolusi yang meruntuhkan pemerintahan demokrasi itu sendiri.

Sejarah Bangsa-bangsa

Pengalaman Yunani bisa menjadi pelajaran kita bersama. Di abad kedua sebelum Masehi, sejarahwan Yunani yang bernama Polybius mengajukan sebuah pendapat yang ganjil, bahwa apa yang kita anggap selama ini sebagai masa keemasan Athena justru adalah awal dari kejatuhannya. (Kaplan, 2000) Kenyamanan hidup orang-orang Athena di bawah Perikles justru membutakan mata mereka dari fakta alamiah, bahwa kebebasan akan melahirkan kerumitan, kesejahteraan sementara, lalu anarki dan revolusi. Justru kita harus mulai berhati-hati, ketika keadaan baik-baik saja, karena manusia adalah mahluk yang lupa diri, yang begitu mudah hanyut oleh kebodohannya sendiri.

Di awal-awal abad ke-20, kita bisa menyaksikan juga di Jerman dan Italia, bagaimana Hitler dan Mussolini justru naik menjadi pemimpin nasional melalui proses-proses demokrasi. Mereka menjadi penguasa politik, ketika situasi kacau, lalu dengan kekuatan politik retorikanya, mereka justru menghancurkan sistem demokrasi dan menjadi penguasa totaliter yang baru. Rakyat hanya diam termanggu pada masa itu, karena mereka lebih memilih hidup aman dan makmur di bawah cengkraman kekuasaan totaliter, daripada hidup susah di bawah pemerintahan demokratis yang kacau. Dengan agenda rasistiknya melawan orang-orang Yahudi, Hitler menggunakan kekuasaannya, dan kenaifan orang-orang Jerman pada masanya, untuk melakukan genosida terhadap orang-orang Yahudi, dan mengobarkan perang melawan negara-negara tetangganya.

Kita juga bisa menyaksikan, bagaimana perbedaan perkembangan situasi yang begitu menakjubkan di Singapura. Singapura, di tangan Lee Kuan Yew dengan gaya otoriternya, berubah dari negara miskin menjadi negara yang makmur dan kompetitif, walaupun sama sekali tidak demokratis. Singapura diatur layaknya mengatur sebuah perusahaan global, dengan kultur meritokrasi (siapa yang terbaik, dia akan berkembang) yang kuat dan management terpusat dari atas ke bawah. Coba bayangkan, bagaimana jika Singapura menjadi negara yang murni demokratis? Apakah mereka akan mengalami keberhasilan yang serupa?

Bagaimana dengan Cina? Dengan penduduk yang begitu banyak dan beragam, Cina membutuhkan sosok kepemimpinan yang kokoh. Itulah yang kini berusaha dijalankan oleh Partai Komunis Cina sebagai satu-satunya partai politik berkuasa. Jelas, Cina sama sekali bukan negara demokratis. Namun, Partai Komunis Cina berhasil menciptakan situasi yang stabil, yang baik untuk perkembangan ekonomi dan keamanan rakyatnya. Jika setelah Mao Tse Tung wafat, lalu Cina mengambil bentuk tata politik demokratis, apa yang kiranya terjadi? Kemungkinan besar, negara raksasa itu akan pecah, dan perang saudara pun akan berkobar.

Cerita yang berbeda terjadi dengan Rwanda. Di bawah sistem demokrasi parlementer terjadi pembantaian massal atas etnis Tutsi oleh milisi sipil dari etnis Hutu. Pada 1992, negara-negara demokrasi Barat menekan Rwanda untuk membentuk sistem politik multi partai dan mengambil bentuk demokrasi parlementer. Namun, karena belum siap, partai-partai yang ada justru menjadi perwakilan kebencian etnis tertentu terhadap etnis lainnya, yang nantinya melahirkan konflik besar antara Hutu dan Tutsi. Sistem politik yang ada begitu kacau, sehingga konflik besar tak lagi bisa dihindari.

Negara-negara demokrasi di Eropa Barat dan Amerika Utara (juga Australia dan Selandia Baru) lahir dari perang panjang, kolonialisme, dan sistem monarki yang berlangsung lebih dari 700 tahun. Pemerintahan Jerman demokratis sekarang ini dibangun dari puing-puing kehancuran Jerman pada perang dunia kedua. Demokrasi AS lahir dari Revolusi melawan Monarki Inggris dan perang saudara. Australia adalah bekas jajahan monarki Inggris. Demokrasi lahir dari puing-puing kekuasaan totaliter.

Bagaimana dengan pengalaman Indonesia? Sebagai negara muda yang lahir dari puing-puing kehancuran kolonialisme, Indonesia, di bawah kepemimpinan Sukarno dan Hatta, memilih bentuk negara demokrasi. Namun, kerumitan situasi yang dialami negara baru yang bernama Indonesia pada masa itu nyaris tak terkendali. Akhirnya, Sukarno memutuskan mengubah tata politiknya menjadi demokrasi terpimpin, yang sebenarnya adalah kekuasaan totaliter itu sendiri. Setelah itu, lebih dari 32 tahun, Indonesia hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan totaliter Orde Baru. Kini, kita jatuh bangun membangun masyarakat demokratis, dan sadar dengan fakta, bahwa Orde Baru, walaupun totaliter dan menindas, membantu melahirkan kelas ekonomi menengah di Indonesia yang nantinya menjadi penggerak demokrasi.

Mengapa Demokrasi Melahirkan Totalitarisme?

Yang menjadi fokus pertanyaan kita sekarang adalah, mengapa demokrasi menciptakan situasi yang justru melahirkan musuh besarnya sendiri, yakni kekuasaan totaliter? Kata kuncinya adalah kompleksitas atau kerumitan tata kelola politik yang lahir akibat sistem prosedural dan birokrasi demokratik itu sendiri. Kerumitan itu tak tertahankan. Yang kemudian terciptanya adalah pemusatan kekayaan di segelintir kelompok (korporasi dan bisnis) saja, sementara yang lainnya hidup dalam keadaan yang semakin sulit dari hari ke hari. Hukum dan sistem politik yang ada tidak lagi mampu mengimbangi kerumitan dan perkembangan masyarakat demokratis yang terus menerus bertambah, yang pada akhirnya menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan sosial.

Ketika itu terjadi, maka kembalilah manusia ke situasi alamiahnya. Dalam konteks ini, argumen Thomas Hobbes, filsuf Inggris, bisa menjelaskan, siapa sesungguhnya manusia. Di dalam situasi alamiah, manusia adalah mahluk yang buas, yang siap memakan sesamanya, selama itu menguntungkan. Manusia bukanlah mahluk rasional yang bebas, seperti yang dipikirkan oleh Kant, filsuf Jerman abad Pencerahan. Karena manusia itu buas dan liar, maka ia harus diatur oleh pemimpin yang kuat, yakni Leviathan, demikian kata Hobbes. Ketika situasi menjadi semakin rumit dan tak lagi terkendali, manusia akan saling menghancurkan, kecuali ia ditaklukan oleh sang penguasa kuat yang bisa mengembalikan stabilitas keadaan, dan menjamin keamanan.

Dalam situasi genting, manusia lebih memilih ditaklukan oleh penguasa totaliter, dan memiliki kesempatan untuk hidup aman, stabil, dan sejahtera, daripada mendapatkan kebebasan, namun hidup dalam ketakutan akan kehancuran ekonomi dan politik, karena kekacauan tata kelola. Saya tidak bermaksud memuja kekuasaan totaliter. Yang ingin saya tekankan adalah, bagaimana kita, yang hidup di alam demokratis, sadar dan berhati-hati, bahwa ancaman totalitarisme terus membayangi hidup kita, bahwa demokrasi yang ektrem demokratis justru akan membawa kita pada kekacauan yang membuka peluang untuk bangkitnya penguasa totaliter.

Maka, yang kita perlukan adalah semacam kombinasi antara demokrasi dan totalitarisme. Artinya, demokrasi diperlukan, supaya orang memiliki ruang kebebasan untuk menentukan hidupnya sesuai dengan visinya sendiri. Ini diperlukan, supaya orang tidak memutuskan untuk memberontak, karena daya-daya hidupnya ditekan oleh keadaan. Di sisi lain, kita memerlukan penguasa totaliter yang kuat di dalam menata masyarakat, supaya ketika situasi menjadi rumit, keamanan dan stabilitas tetap terjaga, serta kehidupan masyarakat tetap berjalan lancar.

Argumen yang ingin saya ajukan disini adalah, bahwa demokrasi membutuhkan sejenis kekuasaan totaliter untuk menjaga keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Ini memang bukanlah ide normatif, namun realitas yang rumit, yang perlu untuk kita pahami bersama. Demokrasi di Indonesia juga membutuhkan setitik kekuasaan totaliter untuk menjaga stabilitas dan keamanan hidup bersama, supaya usaha untuk mengembangkan kemakmuran bersama tetap bisa dijalankan dalam situasi yang tenang. Ingatlah, bahwa demokrasi yang ekstrem justru akan melahirkan musuhnya sendiri, yakni bangkitnya penguasa totaliter yang siap menindas dan menyiksa sesuai keinginannya. Semoga kita bisa memahami paradoks kehidupan politik ini.

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

7 tanggapan untuk “Demokrasi di bawah Cengkraman Kekuasaan Totaliter”

  1. Saya senang sekali dengan tulisan ini, kawan. Ini menggambarkan apa yang penting tentang pemahaman demokrasi, yaitu kebijaksanaan tentang demokrasi, dan bukannya retorika dan dogma demokrasi.

    Suka

  2. semalaman aq ketemu teman lama sekali tidak ketemu, itu orang namanya Pak To sudah 2600 tahun yg lalu dia ada dan lenyap, dulu di Athena Yunani aq suka dengar Pak To alias Plato khotbahi aq gaya orang gendeng, aq pernah tanya tentang banyak sekali namanya arti hidup dan kehidupan semu bermacam model. Inilah kothah yg aq rekam dlm mimpi semalaman. “JANGAN KATAKAN DEMOKRASI atau HAK ASASI atau KEADILAN atau apalah yang ENAK DIDENGAR hai kamu manusia” itu katanya Pak TO lho he he “lho gimana Pak To Gendeng, sampeyan bisa bilang gitu?” lalu dia menjawab kayak pendekar mabuk”Aq gendeng bagi orang yang merasa dirinya tidak gendeng, duniamu adalah dunia dalam mimpi idial saja, silahkan sapeyan bikin rayuan gombal pakai bahasa cinta demokrasi, hak asasi, keadilan titik itu adalah DUNIAMU”

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.