Hakekat Penelitian Ilmiah menurut Onora O’Neill

IMG_6493Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

Sebagai salah seorang filsuf kontemporer, Onora O’Neill banyak menulis soal politik dan moral, termasuk kebijakan publik, keadilan global, bioetika, dan filsafat Kant. Ia kini aktif mengajar sekaligus menjadi bagian dari Komisi Kesetaraan dan Hak-hak Asasi Manusia di Inggris. Dalam artikelnya soal penelitian ilmiah, ia mengajak kita berpikir soal argumen Marx yang menyatakan, bahwa para filsuf hanya sibuk memahami dunia, padahal yang terpenting adalah mengubahnya. Argumen ini dirumuskan oleh Marx di dalam bukunya Theses on Feuerbach pada 1845. Sekilas mendengar, banyak orang langsung sepakat dengan argumen ini, termasuk para filsuf sendiri. Bagi mereka, penelitian filsafat, dan ilmu-ilmu lainnya, harus memberikan dampak yang jelas pada dunia. Akan tetapi, pertanyaan yang diajukan oleh Onora O’Neill tampaknya juga perlu menjadi pergulatan kita bersama, yakni apa yang sesungguhnya dimaksud dengan “dampak”? Akan tetapi, sebagaimana diajukan oleh O’Neill, bukankah kata “dampak” juga bisa diartikan sebagai dampak negatif, yakni dampak yang merusak? “Dalam pandangan yang simplistik”, demikian tulisnya, “dampak berarti adalah dampak ekonomi.” (O’Neill, 2013) Artinya, penelitian filsafat ataupun ilmu-ilmu lainnya haruslah memberikan dampak ekonomi bagi sang peneliti maupun masyarakat luas secara keseluruhan. Dengan adanya dampak ekonomi yang jelas, orang pribadi maupun negara bisa melakukan investasi pada ilmu pengetahuan, dan mendapatkan untung dari proses tersebut. Secara gamblang dapat dikatakan, bahwa penelitian ilmiah bisa menghasilkan produk baru, menghasilkan pekerjaan baru, atau meningkatkan produktivitas yang sudah ada. Akan tetapi, apakah pandangan ini bisa dibenarkan, atau justru pandangan ini lahir dari pemahaman yang salah tentang apa itu penelitian ilmiah?

Semua bentuk penelitian, menurut O’Neill, lahir dari pertanyaan dan keraguan, namun tak selalu bisa mengarah pada hasil nyata yang bersifat ekonomis. Tidak ada satu penelitian tunggal yang secara langsung bisa menghasilkan produk nyata yang menghasilkan uang. Setiap bentuk penelitian adalah hasil dari kumpulan ratusan bahkan ribuan penelitian lainnya yang berkembang sejalan dengan perubahan waktu dan perkembangan pemahaman. Ia memberikan contoh penemuan chip komputer GPS (Global Positioning System) yang merupakan pengembangan dari teori Einstein tentang Relativitas Umum yang diterbitkan pada 1916, dan pada masa itu sama sekali tidak memiliki nilai ekonomi untuk dijual! Inilah sebabnya, mengapa banyak perusahaan-perusahaan berteknologi tinggi di dunia melakukan investasi besar-besaran pada segala jenis bentuk penelitian, dan siap menerima fakta, bahwa sedikit sekali di antara penelitian tersebut yang bisa menghasilkan “dampak ekonomi” yang nyata. Penemuan suatu produk yang memiliki dampak ekonomi adalah kumpulan dari ribuan penelitian yang dilakukan oleh beragam orang di beragam tempat yang berbeda dan di tempat-tempat yang berbeda, yang bahkan sebelumnya tak terpikirkan. Banyak juga penelitian, yang awalnya dikira bisa memberikan dampak ekonomi yang besar, ternyata justru malah merusak lingkungan (zat kimia untuk pertanian), menciptakan penyakit baru bagi manusia (efek samping dari obat-obatan), atau menghancurkan manusia (bom atom, senjata nuklir, senjata biologis pemusnah massal). 

Jelas sekali, bahwa dampak ekonomi adalah tolok ukur yang salah untuk menilai kualitas suatu penelitian ilmiah. Kriteria ini biasanya dibuat oleh orang-orang yang tidak mengerti hakekat penelitian ilmiah. Yang bisa dilakukan kemudian adalah, menurut O’Neill, melakukan investasi sebesar mungkin untuk perkembangan semua penelitian yang ada, lalu lihat bagaimana semua jenis penelitian itu saling berhubungan, dan memilik kemungkinan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Contoh nyata adalah produk yang sekarang ini begitu melekat dengan kehidupan manusia, yakni komputer. Komputer adalah produk yang lahir dari penelitian logika formal yang dikembangkan para filsuf analitis dan positivisme logis di Jerman dan Inggris pada awal abad 20. Dari penelitian yang terlihat amat abstrak dan matematis ini, kita akhirnya menemukan komputer yang kini menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dari seluruh aspek kehidupan kita, mulai dari alat bekerja, sistem transportasi, sistem pajak, sistem penyimpanan uang, sampai dengan logika dan aritmatika untuk mencari jodoh yang digunakan oleh situs-situs pencari jodoh. Dari kasus sederhana ini, kita melihat pentingnya untuk melakukan investasi sebesar mungkin untuk penelitian ilmiah di berbagai bidang, tidak hanya di bidang-bidang yang secara dangkal dianggap memiliki “nilai ekonomi” semata, tetapi juga pada bidang-bidang yang memberikan sumbangan besar untuk mengembangkan kebudayaan dan cara berpikir kita sebagai manusia, yang, dalam jangka pendek, terlihat tidak memiliki nilai ekonomi yang nyata.

Dengan demikian, penelitian ilmiah harus berpikir melampaui paradigma ekonomi yang kini banyak dianut oleh berbagai universitas maupun lembaga penelitian di Indonesia. Dalam konteks ini, secara khusus, saya, dengan berbekal pemikiran O’Neill, ingin berbicara khusus soal peran penelitian filsafat. Pertanyaan yang mencuat dari argumen ini adalah, apa sebenarnya sumbangan nyata pemikiran filsafat bagi masyarakat luas, sehingga penelitian-penelitian filsafat berhak dan wajib untuk mendapatkan dana penelitian dari negara, ataupun dari sumber-sumber lainnya? Penelitian filsafat yang bermutu tinggi mampu mengubah cara berpikir dan hidup masyarakat luas. “Penelitian filsafat”, demikian kata O’Neill, “membentuk dan membentuk ulang apa yang dipercayai orang, yang mereka lakukan, dan apa yang mereka anggap berharga.” (O’Neill, 2013) Ketika sebuah pemikiran filsafat sudah diterima masyarakat luas, maka sulit sekali bagi masyarakat itu untuk kembali mengingat, apa yang sebelumnya terjadi. Sulit sekali memikirkan ide tentang suatu sistem tata kelola politik di Indonesia dewasa ini, di mana orang bisa secara mutlak menentukan segalanya, dan kekuasaan politik ditentukan dari garis keturunan, seperti pada masa monarki dulu. Demokrasi adalah salah satu model pikiran filsafat politik yang sudah diterima masyarakat luas, dan jelas membawa dampak luar biasa besar bagi kehidupan manusia di berbagai belahan dunia dewasa ini. Penelitian filsafat yang bermutu tinggi mengubah cara kita melihat dunia, cara kita memahami dan merasakan dunia, dan, akhirnya, cara kita hidup. Salah satu tugas utama filsafat adalah memahami gejala-gejala jaman, dan mengartikannya untuk masyarakat luas. Ini jelas bukan tugas yang mudah yang bisa disepelekan. Cara kita memahami dunia menentukan sikap kita terhadap dunia, dan bila cara memahami kita tepat, sikap kita pun juga tepat, dan akhirnya dunia pun berubah.

Filsafat juga tidak hanya soal ide-ide abstrak, tetapi soal penjelasan yang masuk akal atas fenomena nyata yang dialami oleh manusia sehari-hari, seperti soal kesadaran, soal kemampuan merasa, soal berpikir, dan bahkan soal “jarak” antar dua manusia. Filsafat berusaha menemukan “kebenaran” dari satu konteks yang tengah menjadi perdebatan, dan berusaha menarik kesimpulan logis dan rasional dari bukti-bukti nyata yang ada. Setiap argumen selalu terbuka untuk perdebatan dan penajaman. Dengan semua proses ini, filsafat membantu orang menjernihkan makna dari sebuah peristiwa, dan menghancurkan pandangan-pandangan umum klise yang sesat serta merusak. Dari penelitian-penelitian filsafat lahirlah ide-ide pencerahan yang tidak hanya mampu menjelaskan realitas, tetapi juga mampu mengarahkan realitas itu ke arah yang lebih baik, misalnya ide-ide tentang keadilan untuk semua, pendidikan universal, hak-hak asasi manusia, sistem negara kesejahteraan, demokrasi, kebebasan individual, dan kesetaraan antar manusia. Ide-ide itu bukanlah ide abadi yang pasti benar, melainkan perlu untuk dipertanyakan dan dibicarakan lebih jauh, supaya selalu sesuai dengan keadaan yang ada.

Penelitian ilmiah jelas harus melampaui nilai ekonomi semata. Menurut saya, penelitian harus berbicara soal salah satu aspek kehidupan manusia, dan kemudian berusaha memahaminya. Dari tumpukan pemahaman yang ada, kita memperoleh cara berpikir baru yang bisa membuat kita mampu melihat dunia dengan cara baru, dan dengan demikian mengubah hidup kita sebagai manusia. Nilai ekonomi bukanlah tujuan utama, melainkan dampak sampingan dari suatu penelitian yang bermutu. Kita tidak boleh lupa pada pokok yang amat halus namun penting ini. Kita hidup di tengah jaman, dimana hampir segala sesuatu bisa dibeli dengan uang. Logika ekonomi ini pun sudah menjajah masuk dunia penelitian di Indonesia. Ini adalah salah satu cara berpikir yang salah, yang kita peroleh dari pandangan filosofis yang tak bermutu. Mungkin ini terjadi, karena kita tidak lagi melakukan refleksi-refleksi filosofis yang bermakna atas hidup kita, dan kemudian terjebak menjadi mata duitan dalam segala aspek hidup kita? Mungkin juga terjadi, karena dana penelitian filsafat di Indonesia amat minim, atau nyaris tak ada, sehingga kita, sebagai bangsa, terus hidup dalam kedangkalan berpikir, yang juga berarti kedangkalan hidup, terus menerus?

 

Diinspirasikan dan dikembangkan dari tulisan Onora O’Neill, Interpreting The World, Changing The World, dari Majalah Philosophy Now, Edisi Maret/April 2013

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

8 tanggapan untuk “Hakekat Penelitian Ilmiah menurut Onora O’Neill”

  1. ekonomi memang selalu memegang peranan penting terutama bagi eksistensi penelitian ilmiah itu sendiri, mungkin edison tidak akan kita kenal sebagai penemu lampu jika tidak ada J.P Morgan dibelakangnya sebagai investor, begitu juga Nikola Tesla yang merupakan murid edison keluar dari laboraturium edison untuk mencari “New Investor” bagi penemuannya 2 arah arus listrik

    nice post 🙂
    danke!

    Suka

  2. Tulisan Pak Reza selalu mengedukasi. Jika berkenan, ada sedikit unek-unek menyangkut ekonomi dan keteguhan cita-cita intelektual. Seperti kadang, mengutip Bertrand Russell, manusia tak bisa menghindar dari apa yg namanya menjadi “praktis”. Artinya, hanya berbuat dan berlaku sejauh dampak didepan menguntungkan, dan, hanya menguntungkan dirinya. Sedang Ekonomi, adalah cara mengada. Tak hendak menjadi naif pula, Indonesia masih merangkak dalam segala lini. Sokongan dana segar amat dibutuhkan oleh berbagai lini tersebut guna menstimulasi kreativitas didalamnya agar bisa menjadi kongkrit dan “berdampak”. Namun sejauh ia bertujuan, kembali mengutip Russell, membahagiakan umat manusia, sepatutnya memang kudu menjadi atensi prioritas. Selain membahagiakan dlm arti abstrak, baik ia filsafat atau seni sekalipun, kiranya apa yg disitir O’hara dan diperjelas oleh Pak Reza, benar adanya. Istilah zizekiannya mungkin “meradikalkan ide”. Nah, ide, ketika ia bertemu dengan masalah mengada, masalah ekonomi, kadang ada kompromi, kadang juga ia hajar terus. Seperti kasus IPTN yg dipaksa gulung tikar, misalnya. Setelahnya, Marx mungkin benar jika kapitalisme memang sistem yang -diluar kebobrokannya sendiri- adalah paling baik dalam peradaban manusia. Kadang, kita pun gamang ketika berada dalam keterbatasan sarana dan prasarana. Disini, saya kira filsafat dapat mendapatkan perannya yang sangat esensial guna merekonstruksi ulang manusia tentang dunianya.

    Salam.

    Suka

  3. hidup di era post-modernisme, filsafat akan mendampingi manusia menghadapi perubahan demi perubahan yg terus berkembang pesat, sehingga kita menjadi org yang relevan dlm semua sisi kehidupan.

    Suka

  4. saya rasa, praktis itu akibat dari “yang tidak praktis”. Yang praktis akan muncul, kalau kita punya komitmen pada nilai-nilai tertentu, dan giat bekerja mewujudkannya.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.