Energi Sosial dan Politik “Autoimmun”

http://www.deshow.net
http://www.deshow.net

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, kini menjadi pusat pemberitaan berbagai media di Indonesia. Empat orang di dalamnya ditembak dengan puluhan peluru oleh belasan orang dengan senapan tempur AK47. Sampai detik ini, para pelaku penembakan belum bisa dipastikan identitasnya. Dugaan kuat adalah insiden ini melibatkan beberapa anggota TNI (Kopassus) terkait dengan kasus pembunuhan Sertu Santoso, anggota Kopassus TNI Angkatan Darat, sebelumnya di sebuah Cafe di Yogyakarta. (Kompas, 5 April 2013)

Di belahan dunia lain, kita juga bisa menyaksikan hubungan yang retak antara Korea Utara dan Korea Selatan, yang juga berarti melibatkan banyak negara lainnya, termasuk Cina, Jepang, dan AS, sebagai sekutunya. Berulang kali, Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara yang masih berusia amat muda, 27 tahun, mengancam akan menembakan rudal bersenjata nuklir ke AS. Dalam keadaan yang miskin secara ekonomi, Korea Utara mengambil langkah drastis untuk memprovokasi perang dengan negara-negara lainnya. Ketakutan terasa semakin mencekam, ketika senjata nuklir menjadi ancamannya.

AS pun tak lepas dari krisis ekonomi yang muncul sejak pertengahan 2007 lalu dengan meletusnya gelembung finansial dan hancurnya pasar properti di AS. Gerak kapitalisme yang tanpa kontrol dari pemerintah dan masyarakat luas akhirnya meledak, dan menghancurkan dirinya sendiri, bersama segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Lembaga-lembaga finansial rontok. Bahkan, perusahaan-perusahaan raksasa, seperti General Motors, sempat terancam bangkrut, dan menciptakan puluhan jutaan pengangguran di seluruh dunia. Pemerintah akhirnya harus turun tangan dengan memberikan dana talangan. (Harvey, 2008)

Uni Eropa, yang merupakan persekutuan politik, ekonomi, dan pertahanan dari berbagai negara di Eropa Barat, masih berusia amat muda, namun sudah harus dihantam dengan krisis hutang dan ketidakpuasan rakyatnya. Politik dan ekonomi menjadi begitu terpusat di Brussels, Belgia, yang merupakan ibu kota Uni Eropa. Semua keputusan politik dan ekonomi harus melewati mesin birokrasi yang berbelit-belit, dan akhirnya terlambat mengatasi masalah. Banyak orang tak lagi merasa terwakili kepentingannya sebagai warga negara yang memiliki hak dan dilindungi oleh hukum. Apatisme politik dan keresahan sosial pun tercium di udara.

Di belahan dunia lainnya, Afrika, tepatnya bagian Utara dan Tengah, kelompok bersenjata meresahkan pemerintah dan masyarakat luas. Mereka mengancam melakukan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah, dan kemudian mendirikan bentuk pemerintahan yang mereka inginkan. Motif mereka adalah kekuasaan, uang, dan pendirian negara agama, yakni versi agama, sebagaimana mereka inginkan. Sampai sekarang, pemberontakan belum juga reda, walaupun berbagai negara, di dalam maupun di luar Afrika, telah bekerja sama untuk menumpasnya.

Di negara-negara Timur Tengah, sisa-sisa “Musim Semi di Arab” masih memberikan ketidakpastian politik dan ekonomi. Perang masih juga merangsek Syria, dan belum ada tanda-tanda berhenti. Israel dan Palestina masih juga belum menemukan titik perang untuk membicarakan perdamaian. Isu kebebasan beragama sebagai hak asasi setiap orang masih menjadi masalah sensitif yang menimbulkan keresahan sosial di berbagai negara di Timur Tengah.

Dari beragam krisis ini, kita bisa menarik satu pola yang sama, yakni adanya energi sosial yang mengalir deras di masyarakat, namun tak memiliki sarana penyaluran, akhirnya meledak, dan menciptakan kerusakan. Energi sosial (soziale Energie) dalam arti ini adalah daya-daya hidup (Lebenskraft) yang melahirkan dan mengembangkan suatu peradaban. Di dalamnya terdapat kreativitas untuk mencipta, dan insting dasariah setiap kehidupan untuk melindungi dan mengembangkan dirinya. Di dalamnya juga terdapat hasrat untuk diakui sebagai ada (existieren) dengan segala keunikan dan dorongan khas daya-daya hidup yang ada di dalamnya.

Namun, energi sosial dan daya-daya hidup ini tidak ditata dengan baik. Kekuatannya besar, namun tak menemukan penyaluran yang sepadan. Kekuatan dan kelebihan tak dikenali dan dipelajari, sehingga ia tetap asing dan bahkan menakutkan untuk para penguasa yang bodoh dan picik. Di dalam situasi ketidaktahuan, tanggapan utama setiap orang adalah memusuhi dengan kecurigaan, atau berusaha menumpas dengan kekerasan.

Dalam beberapa kasus lainnya, daya-daya hidup dan energi sosial tersebut diabaikan, dianggap tak ada. Keberadaannya tak diakui, ditolak, dan bahkan dimusuhi. Jeritan keras ketidakadilan yang tidak memperoleh wadahnya dalam hukum, dibarengi dengan energi sosial dan daya-daya hidup militer Indonesia yang tak tersalurkan, meletus dalam pembantaian di Lembaga Pemasyarakatan di Sleman, Yogyakarta. Daya-daya hidup dan energi sosial dari Negara Korea Utara, yang selama ini diabaikan dan dilihat dengan penuh prasangka negatif oleh beragam negara lainnya, meletus dalam bentuk ancaman perang nuklir.

Energi dasyat kapitalisme di AS untuk meraup kekayaan kini merangsek keluar, tak terkendali, dan merusak diri maupun sekitarnya. Jeritan berbagai negara di Uni Eropa untuk meningkatkan kualitas demokrasi (bukan birokrasi) menunggu waktu yang tepat untuk meletus dan menciptakan perubahan. Perang dan konflik di Afrika dan Timur Tengah adalah buah dari pengabaian hasrat untuk didengar dan diakui, yakni hasrat dari daya-daya hidup dan energi sosial setiap bangsa untuk ada dan berkembang sesuai dengan jati dirinya. Kita masih bisa menderet ratusan fenomena lainnya yang merupakan tanda meletusnya energi sosial dan daya-daya hidup manusia yang tak terwadahi oleh tata politik yang ada. Axel Honneth, filsuf Jerman asal Frankfurt, menyebutnya sebagai perjuangan untuk mendapatkan pengakuan (der Kampf um Anerkennung). (Honneth, 1992)

Untuk memahami gejala-gejala global ini, kita bisa menggunakan teori autoimmun yang dirumuskan Jacques Derrida, filsuf asal Prancis, ketika mencoba memahami sepak terjang terorisme di awal abad 21. Inti dari konsep ini adalah, bahwa energi dan daya-daya hidup yang ada dan awalnya dikembangkan untuk melindungi sebuah bangsa, kini malah merangsek keluar, dan menghancurkan bangsa itu sendiri. (Borradori dan Derrida, 2004) Pola penyakit autoimmun sosial (soziale Autoimmunerkrankung) ini sama dengan di bidang kedokteran, di mana sistem kekebalan tubuh manusia mengalami keganjilan, dan justru menciptakan penyakit bagi manusia itu sendiri. Politik autoimmun (Autoimmunpolitik), dalam arti ini, menurut saya, adalah pemberontakan organ-organ masyarakat, yang seharusnya melindungi dan menata masyarakat, untuk merusak keberadaan dan stabilitas masyarakat itu sendiri. Ini terjadi, karena kesalahan tata kelola dan pengabaian yang, mungkin saja, sudah berlangsung puluhan tahun.

Ketika energi sosial dan daya-daya hidup manusia tak tersalurkan, dan akhirnya menciptakan politik autoimmun, yang merusak dan menciptakan penderitaan di segala tempat, maka hanya ada satu jalan yang bisa diambil, yakni mengambil segala langkah yang mungkin diambil untuk menciptakan keadilan, terutama keadilan untuk mengakui dan mewadahi segala bentuk energi sosial dan daya-daya hidup manusia yang ada. Sebagaimana diuraikan oleh Plato lebih dari 2000 tahun yang lalu, keadilan adalah keutamaan tertinggi manusia, dan syarat paling dasar untuk menciptakan perdamaian politis. (Setyo Wibowo, 2011) Keadilan, baginya, adalah harmoni antara berbagai fungsi-fungsi sosial di dalam masyarakat, yakni ketika setiap fungsi menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin: pedagang berdagang dengan baik dan jujur, petani bertani dengan baik, tentara melindungi rakyatnya dengan dedikasi tinggi, dan pemerintah memerintah dengan bijak.

Politik autoimmun adalah ancaman nyata, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi seluruh dunia. Taruhannya adalah perang, bahkan perang nuklir, yang menciptakan penderitaan besar bagi begitu banyak orang. Maka, belajar dari Plato, Honneth, dan Derrida, segala bentuk energi sosial dan daya-daya hidup yang ada di masyarakat kita harus mulai kita kenali, pelajari, dan wadahi dengan seadil-adilnya. Ini adalah tata politik yang efektif sekaligus kepemimpinan yang tangguh, dan, bukan hanya itu, tetapi juga sesuatu yang pada dirinya sendiri baik untuk dilakukan.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Energi Sosial dan Politik “Autoimmun””

  1. Mental komunal ditubuh militer adalah aib lama! Lebih jauh, peristiwa pembantaian narapidana oleh oknum Kopassus di Lapas Cebongan dan segudang kasus pelanggaran HAM sudah menjadi prestasi gemilang militer dalam memperagakan kekerasan pada sipil/rakyat (Aceh, Sulawesi, Timor Timur, Maluku, dan Papua). Tak heran jika di Nusantara, semakin banyak bendera selain merah putih!

    Suka

  2. Dalam konteks ini, Energi sosial dan daya hidup yang tadinya mendukung menjadi tak mendukung, adakah suatu konsep yang menyatakan dimana kebenaran seharusnya berada?Mengingat disatu sisi ada yang keluar karena mungkin ada suatu yang salah dalam tubuh dan disisi lain tubuh itu sendiri tak mau kedaulatannya ternodai.
    Diantara keduanya, apakah yang akan menjadi akhir dari segala pertaruhan?Ataukah hanya akan menjadi jalan panjang yang terjal saja …
    Salam Kang Reza 🙂

    Suka

  3. ya. aku juga heran James.. manusia itu punya kemampuan hebat untuk menjaga keberlangsungan dirinya, namun pada saat yang sama juga menghancurkan dirinya sendiri..

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.