Demokrasi Hibrida

http://boscopenciller.deviantart.com
http://boscopenciller.deviantart.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

         Adalah sebuah tantangan berat untuk mendirikan sebuah masyarakat yang sistem pemerintahannya adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Itulah cita-cita ideal demokrasi yang dianggap, lepas dari segala kelemahannya, merupakan bentuk tata politik paling baik yang pernah dibuat oleh manusia. Namun, tantangan untuk mewujudkan ideal tersebut kini semakin berat, terutama jika kita mengikuti perkembangan situasi di berbagai negara di dunia yang jatuh bangun berusaha menerapkan sistem demokrasi.

Demokrasi di Berbagai Penjuru Dunia

Kelompok politik berbasis Islam menguat di Timur Tengah. Situasi ini, menurut Johannes Müller, pengamat politik perkembangan dari München, Jerman, menciptakan bahaya yang cukup besar untuk kelompok minoritas, termasuk kelompok Islam minoritas, di negara-negara Timur Tengah. (Müller, 2013) Semua ini, menurutnya, terjadi, karena menguatnya gejala fundamentalisme di dalam agama dan politik. Namun, prinsip demokrasi yang disalahartikan juga memainkan peranan besar disini, bahwa di dalam demokrasi, kelompok politik pemenang bisa seenaknya membuat hukum (the winner gets everything), termasuk hukum yang diskriminatif terhadap kelompok yang kalah dalam pemilu. Disini terciptalah apa yang disebut Müller sebagai demokrasi hibrida, yakni institusi demokratis yang lahir dari pemilu yang demokratis, namun memiliki ciri yang otoriter dan diskriminatif-menindas.

Rupanya, lanjut Müller, penyakit “hibrida” dari demokrasi ini tidak hanya dialami negara-negara Timur Tengah, namun juga di AS dan Uni Eropa. Perang “dingin” dan tidak adanya saling pengertian antara dua partai politik di sana membuat cara-cara demokratis di dalam membuat keputusan yang tepat, serta kultur demokratis yang menjadi wadah dari nilai-nilai demokratis, tidak tercipta. Di sisi lain, penduduk Uni Eropa juga semakin merasa, bahwa kedaulatannya sebagai rakyat tidak lagi penuh, karena negaranya harus tunduk di bawah sistem politik birokratis besar yang berpusat di Brussels, Belgia, yakni Uni Eropa. Maka, seringkali mereka merasa tidak lagi hidup di alam demokrasi, melainkan di alam totaliter.  

Akibatnya, di AS dan Eropa, banyak orang tidak lagi percaya pada politik, dan tidak lagi ikut aktif di dalamnya. Dengan kata lain, mereka tidak peduli lagi pada politik, karena setiap bentuk kepedulian politik pasti berakhir pada kekecewaan. Di sisi lain, karena kekecewaan tersebut, banyak orang mulai terlibat aktif di dalam partai-partai nasionalis ekstrem kanan yang tidak demokratis. Mirip seperti Nazi di awal abad 20 dulu, partai-partai ini menempuh jalan demokratis untuk meraih kekuasaan, lalu membuat aturan-aturan yang otoriter setelah menang, sehingga mereka memiliki kekuasaan politik yang nyaris tanpa batas untuk bertindak semena-mena.

Dalam situasi kecewa dan patah hati terhadap cara-cara demokratis, banyak orang lalu mulai berpaling pada sistem politik totaliter. Ketika pemerintah yang terpilih secara demokratis ternyata hanya memberikan kekecewaan, menurut Müller, banyak orang mulai aktif mendorong nilai-nilai fundamentalis, tertutup, dan totaliter, yang kemudian bersembunyi untuk tetap hidup di balik sistem demokrasi yang ada. (Müller, 2013) “Sistem politik otoriter”, demikian tulis Müller, “mulai tampak menjadi sesuatu yang lebih baik, terutama ketika sistem itu memastikan keamanan publik dan pelayanan-pelayanan masyarakat yang dasar.” Dengan kata lain, lebih baik hidup aman dan relatif nyaman di bawah pemerintahan totaliter, daripada hidup penuh konflik dan ketidakpastian di alam demokratis.

Nilai-nilai Demokratis

Maka, yang kita perlukan adalah menetapkan nilai-nilai dasar politik yang tidak bisa diubah oleh siapapun, termasuk oleh partai politik pemenang pemilu, ataupun suara mayoritas. Nilai-nilai politik itu, menurut Müller, haruslah berpijak pada hak-hak asasi manusia yang juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, semua ini jelas membutuhkan tata kelola negara yang baik (verantwortungsbewusste Regierungsführung). Artinya, kita membutuhkan tidak hanya institusi demokratis, tetapi juga mentalitas demokratis, yakni kemampuan bekerja sama untuk mencapai kebaikan bersama, dan kemampuan untuk berkompromi tanpa kekerasan, guna menentukan langkah-langkah yang akan diambil bersama.

Yang juga perlu diperhatikan, menurut Müller, adalah keberadaan negara yang kokoh sebagai satu-satunya pihak yang berhak dan berkewajiban untuk melakukan kekerasan, ketika dibutuhkan. Individu dan kelompok tidak punya hak untuk melakukan kekerasan, walaupun untuk membela kepentingan mereka. Negara dan pemerintah menjadi pelindung sekaligus penjamin (jika perlu dengan kekerasan), bahwa hukum yang adil untuk semua diterapkan, tanpa kecuali. Hanya dengan ini, sistem demokrasi yang berpijak pada hak-hak asasi manusia bisa dijalankan.

Fokus dari demokrasi adalah usaha untu membangun sebuah masyarakat dengan menjadikan kepentingan setiap orang sebagai titik tolaknya. Dengan kata lain, manusia dengan segala kerumitan dan kebutuhannya adalah pusat dari sistem politik demokrasi yang ideal. Semua nilai ini tentunya sejalan dengan ideal hak-hak asasi manusia, yakni kebebasan, kesetaraan antar manusia, solidaritas, dan keadilan. Demokrasi hibrida, yang menyembunyikan motif-motif otoriter dan menindas di dalamnya, sebenarnya sama sekali bukan demokrasi. Demokrasi hibrida, yang menggunakan cara-cara demokratis untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang menindas dan diskriminatif, juga sama sekali bukan demokrasi.

Saya rasa, Indonesia sudah kenyang dengan pengalaman semacam itu. Ketika pemerintahan yang (katanya) terpilih secara demokratis melakukan pembiaran terhadap segala bentuk ketidakadilan sosial yang terjadi, ketika kelompok-kelompok masyarakat perusak dibiarkan bebas tanpa hukuman, ketika undang-undang yang menindas menjadi bahan diskusi para wakil rakyat kita di DPR, ketika partai-partai politik ikut berpacu dalam pemilu yang (katanya) demokratis lalu berusaha menerapkan agenda-agenda mereka yang otoriter dan melakukan korupsi besar-besaran, tak salah lagi, kita hidup di dalam sistem politik demokrasi hibrida. Pertanyaannya, mau sampai kapan?

Diolah dan dikembangkan dari tulisan Johannes Müller, Demokratie auf dem Prüfstand, dari majalah Stimmen der Zeit, Maret 2013, hal. 145.

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

8 tanggapan untuk “Demokrasi Hibrida”

  1. mau sampai kapan hidup dalam demokrasi hibrida?? yaa sampai selamanya..

    Johannes Müller pastilah belajar dari PKC’China dan OrdeBaru’Soeharto..sisi gelap macam Tiananmen,Trisakti dll hanyalah ‘risk/konsekwensi’ sebuah negara yang pemimpinnya pasti Machiavelis…moral/demokrasi cuma buat kroni/nepotism…

    terkuat/mayoritas yang ‘kuasa’membantai’merobohkan…duss yang lemah/minoritas bersatu,revolusi atau kudeta.. buat ‘pemimpin baru’ ‘demokrasi baru’ ‘demokrasi terpimpin’ ‘demokrasi ala amrik’ ‘demokrasi hibrida’ dsb..tetap saja ‘kesenjangan’ terjadi. Mau sampai kapan hidup dalam ‘kesenjangan’??sampai selamanya.. cherish every demokrasisss..

    Suka

  2. – – I R O N I S M E – –
    di area ‘grassroot’ Islam sendiri…mereka ‘alergi’ d e n g a n syariat Islam <<~~ ini survey saya
    jika dua kubu ' Islam ' vs ' Demokrasi ' maka yang menang pasti dari Demokrasi , terbukti/kenyataan : partai berbasis Islam nggak 'popular'.

    Demokrasi::'kekuasaan ditangan rakyat – rakyat yang jadi 'pemimpin' negri.. lambat laun di'd e m o,di'kritik,di'kudeta juga oleh rakyat. Apa sih maunya rakyat??.. 'semua' rakyat mau jadi 'pemimpin'.. maka diadakanlah 'undian'pemilu'.

    saya juga pendukung Demokrasi .. mendukung Reza jadi pemimpin negri kelak ,who knows..

    Suka

  3. saya setuju. Demokrasi memang jadi pilihan terbaik, walaupun syarat-syarat demokrasi harus dipenuhi terlebih dahulu, supaya demokrasi bisa maksimal memberikan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat. Rakyat cuma mau diperlakukan adil dan hidup sejatera, itu saja. Jika ada kesempatan, saya ingin belajar jadi pemimpin, tentu dengan bantuan dari berbagai pihak,…

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.