Membangun Kelas Ekonomi Menengah

http://dublinopinion.com
http://dublinopinion.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

Paul lahir di Polandia. Dia belajar Teknik Sipil di sana, dan kemudian segera berusaha mencari pekerjaan. Akan tetapi, di Polandia, pekerjaan untuknya sedikit, dan upahnya pun bahkan tidak cukup untuk menyewa apartemen kecil di kota. Dia pun segera mencari alternatif.

Sejak 2004, kawasan Uni Eropa terbuka untuk orang-orang Polandia. Mereka bisa mencari kerja dan membangun hidup di negara-negara Uni Eropa. Paul pun memilih Jerman, tepatnya kota Hamburg, kota besar di Utara Jerman. Di sana, ia memperoleh pekerjaan dengan upah minimum 8 Euro per bulan.

Itu artinya, ia mendapatkan kurang lebih 2000 Euro per bulannya. Itu cukup untuk menyewa apartemen di kota, menabung, dan mulai belajar intensif bahasa Jerman. Rupanya, Paul tidak sendirian. Sebagaimana dilaporkan Der Spiegel bulan Maret 2013, begitu banyak tenaga kerja produktif dan profesional usia muda dari Polandia pergi merantau meninggalkan tanah airnya, dan mencari pekerjaan di negara lain.

Kelas terdidik di Polandia pun berkurang drastis dalam waktu lima tahun belakangan ini. Ekonomi terpuruk. Dengan pendapatan sekitar 2,5 Euro per jam, mereka lebih memilih untuk mencari penghidupan di negara lain. Kelas menengah pun berkurang, dan kesenjangan sosial ekonomi antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin pun semakin besar.

Di Indonesia, gejala serupa mulai terlihat. Banyak tenaga ahli yang memilih untuk bekerja di luar negeri, dengan harapan memperoleh upah yang lebih layak, serta bisa bekerja sesuai dengan bidang keahlian mereka. Gejala ini disebut juga sebagai Brain Drain. Akibatnya, kelas menengah di Indonesia pun semakin tipis, dan, serupa dengan di Polandia, jurang antara kelas ekonomi atas dan kelas ekonomi bawah pun semakin besar.

Arti Penting

Orang-orang yang berada di kelas ekonomi menengah ini adalah orang-orang yang memiliki kemampuan profesional yang tinggi, sehingga bisa bekerja secara produktif, namun mereka bukanlah konglomerat yang punya banyak harta. Mereka berasal dari latar belakang yang sederhana, dan mayoritas modal mereka hanyalah kemampuan mereka. Mereka tidak memiliki harta warisan berlimpah dari keluarga mereka. Namun, mereka pekerja yang profesional, dan juga bisa memperoleh penghidupan yang layak untuk diri maupun keluarga mereka.

Ketika mereka tidak memperoleh kesempatan, maka mereka bisa segera mencari peluang di tempat lain. Ketika sistem suatu negara bobrok, sehingga tidak bisa memberikan penghidupan yang sepantasnya untuk kelas menengah ini, maka mereka pun tak segan untuk berpindah negara. Ketika ini terjadi, situasi ekonomi pun semakin lemah, dan kesenjangan sosial yang besar tercipta, karena tipisnya kelas menengah ini. Saya melihat setidaknya tiga arti penting dari keberadaan kelas menengah ini.

Mereka adalah penjaga stabilitas sosial masyarakat. Tujuan utama pemerintah adalah menjamin keberadaan kelas menengah yang kuat di negaranya. Ketika kelas menengah kuat, maka kesenjangan pun kecil. Stabilitas sosial pun akan terjaga, karena kecemburuan sosial, akibat jurang kekayaan yang begitu besar, tidak menjadi masalah besar.

Keberadaan kelas menengah juga penting untuk martabat bangsa. Ketika orang yang sulit untuk mencari makan sehari-harinya, walaupun ia sudah bekerja keras, melihat orang lain kaya mendadak, karena warisan, maka martabatnya akan tercoreng. Harga dirinya sebagai manusia akan terluka, karena ia sudah bekerja sekeras mungkin, namun tetap sulit hidupnya, sementara orang lain begitu mudah meminta uang dari keluarganya, seringkali hanya untuk bersenang-senang.

Keberadaan kelas menengah juga penting untuk apa yang saya sebut sebagai kepantasan sosial. Hati terasa sakit, ketika melihat bangunan-bangunan mewah di Jakarta bersanding dengan bangunan-bangunan kumuh, kotor, dan bahkan tidak punya saluran pembuangan yang memadai, sehingga mereka harus buang air di sungai setempat. Tidak ada kepantasan sosial, karena kita melihat ganasnya jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin. Ini juga berarti besarnya ketidakadilan sosial di masyarakat kita.

Membangun Kelas Menengah

Peran negara amatlah besar untuk membangun dan merawat keberadaan kelas menengah ini. Saya setidaknya melihat lima hal yang mungkin dilakukan. Pertama, terapkan pajak progresif secara konsisten. Mereka yang memiliki harta banyak harus dikenai pajak yang juga semakin besar. Dengan kata lain, semakin besar pendapatan dan harta saya, maka semakin besar pula pajak yang harus saya bayar setiap bulannya. Uang dari pajak itu digunakan untuk membangun tiga hal, yakni sistem pendidikan yang baik untuk semua warga (tanpa kecuali), sistem jaminan kesehatan yang baik untuk semua warga, dan sistem pelayanan publik yang memadai, termasuk perawatan jalan raya, alat transportasi publik yang nyaman, dan semua infrastruktur yang menopang kehidupan publik lainnya.

Kedua, korupsi di berbagai jajaran birokrasi pemerintahan harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Ketika pajak progresif diterapkan, sementara korupsi tetap bersifat besar, maka semuanya akan sia-sia, karena uang akan diambil oleh para pejabat korup, dan kebijakan-kebijakan politik terkait dengan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik tidak akan memiliki dana yang cukup untuk dikembangkan. Pemberantasan korupsi yang konsisten harus menjadi agenda utama setiap pemerintahan yang beradab.

Ketiga, kota pun harus ditata dengan konsep yang memadai. Tidak semua lahan adalah lahan ekonomi. Ada cukup banyak area yang bisa digunakan sebagai area umum, tempat orang untuk bisa dekat kembali dengan alam. Ada tempat yang digunakan sebagai pusat kebudayaan. Ada tempat yang digunakan untuk membuat perumahan yang sederhana namun layak untuk penduduk kota, dengan kata lain pemukiman kelas menengah.

Keempat, negara harus melakukan investasi besar di pendidikan. Pendidikan universal gratis untuk semua warga tidaklah cukup. Sistem perpustakaan yang memadai harus dibangun. Pelajar harus diberikan berbagai kemudahan, sehingga mereka bisa mengembangkan diri dan bakatnya semaksimal mungkin. Pemerintah juga harus membuat arah pendidikan yang jelas, terutama terkait dengan para pelajar yang berbakat di bidang-bidang teoritis, sehingga mereka bisa mengembangkan kemampuan mereka di universitas, maupun para pelajar yang berbakat di keterampilan-keterampilan praktis, sehingga mereka juga bisa hidup dengan bermartabat dari kemampuan mereka sendiri dengan memperoleh pekerjaan yang layak.

Kelima, seluruh paradigma pembangunan negara harus mampu menyatukan beragam aspek kehidupan manusia, yakni aspek material dan spiritual. Kelas menengah bisa berkembang menjadi kokoh, ketika seluruh sistem berjalan, tidak hanya sistem ekonomi yang menghasilkan uang, tetapi juga sistem kultur, seni, dan sejarah. Pembangunan yang integratif akan mendorong terciptanya masyarakat yang tidak hanya makmur secara ekonomi, tetapi berbudaya, peka pada ketidakadilan, dan memiliki solidaritas sosial yang kuat. Kelas menengah yang kokoh bisa lahir dari masyarakat semacam ini.

Karl Marx pernah mengajukan konsep masyarakat tanpa kelas. Masyarakat semacam ini bisa tercipta dengan adanya revolusi dari kaum pekerja melawan kaum pemilik modal. Namun, sebenarnya tidak harus seperti itu, karena masyarakat tanpa kelas bisa juga tercipta dengan program-progam politik yang canggih. Ketika kelas menengah di suatu masyarakat berjumlah banyak dan kokoh, maka masyarakat itu akan “seolah” tanpa kelas, karena kesenjangan sosial hampir tidak ada, dan semua orang bisa hidup layak dengan bekerja secara jujur. Bukankah itu yang kita inginkan bersama?

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

14 tanggapan untuk “Membangun Kelas Ekonomi Menengah”

  1. Pajak dari 20% Manusia kaya yang menguasai 60% Asset sebagai kondisi umum dalam negara dunia III/berkembang (menurut M. Chossudovski- Anti Globalisasasi) sebenarnya bisa selamatkan banyak orang miskin, dan memperbaiki keadaan yang ada…

    ….In vielen Ländern der Dritten Welt verfügen die oberen 20 Prozent der Bevölkerung über mehr als 60 Prozent des Nationaleinkommens und haben 70 Prozent der ländlichen Haushalte ein Pro-Kopf-Einkommen, das nur zwischen 10 und 20 Prozent des nationalen Durchschnitts beträgt. Diese Situation verschlimmert sich dadurch, dass die oberen Einkommensgruppen die Steuerlast abschütteln. Hinzu kommt in einigen Fällen der Dritten Welt, dass aufgrund neuer gesetzlicher Regelungen, die durch den Staat und die internationalen Finanzsysteme von IWF und Weltbank gesteuert werden, Kleinbauern ihr Land verlieren und/oder es durch Hypotheken belasten müssen, während der kommerzielle Agrarsektor wächst und sich eine Klasse landloser Saisonarbeiter bildet….

    Suka

  2. Brain-drain mejadi dan merupakan masalah negara seperti kita saat ini, yaitu ketika keahlian yang diperlukan tak tercukupi.

    Bisakah anda menjelaskan mengapa dan apa kaitannya dengan peluang kerja bagi manusia berkeahlian dan kesadaran terhadap kebutuhan keahlian tersebut dengan negara kita saat ini?

    Suka

  3. itu memang perlu riset sendiri. Tapi saya punya hipotesis, pekerjaan selalu ada untuk orang yang berkemampuan.. tetapi memang seringkali mentalitas menghalangi orang untuk mendapatkan pekerjaan impiannya… ia punya kemampuan, tetapi tak punya mentalitas bekerja dan memimpin.. akibatnya banyak posisi kerja yang tak terisi oleh orang-orang bermutu

    Suka

  4. Kebetulan baru baca artikel menarik dari Richard Wollfe tentang pembaharuan strategi pemberdayaan kelas pekerja tanpa terjebak pemikiran sosial-demokrat-nya kaum liberal yang lebih bertujuan “melembutkan” atau “menjinakkan” kapitalisme (perpajakan progresif, intervensi negara secara makro, negara kesejahteraan dsb) daripada mengganti sistem kapitalisme dengan sistem yang baru dan lebih baik untuk rakyat secara umum :
    http://www.democracyatwork.info/articles/2013/03/a-new-strategy-for-labor-and-the-left/

    “The strategic orientation of labor and left toward capitalism has focused one-sidedly on the nature and extent of state economic interventions. Thus it stressed taxation, targeting enterprises rather than workers, rich rather than the middle or poor. It favored state regulation of the private economy rather than laissez-faire, public over private enterprises, and state planning/controls over private/free markets. Welfare state, social democracy, socialism, and communism – all understood chiefly in the macroeconomic terms of state interventions – were labor’s and the left’s strategic objectives, albeit understood somewhat differently according to left-right divisions within them.

    In contrast, they paid little attention to capitalism’s micro level, the internal organization and operation of the enterprise. They only demanded state-enforced limits on employers’ exploitation of workers, deception of customers, and abuse of surrounding communities and nature. The position of capitalist employers (typically boards of directors and major shareholders) as appropriators and distributors of the profits or surplus produced by other people – their workers – went unchallenged. Inside enterprises, the vast majority of workers were totally excluded from those appropriating and distributing functions: not only in private enterprises, but also in the state enterprises often celebrated by labor and the left. Whether employers were private corporate boards of directors or officials in state enterprises, they excluded workers from the appropriation and distribution of the enterprise’s surplus. Rarely did anyone raise the idea of workers themselves becoming, collectively, the appropriators and distributors of the surpluses produced in each enterprise. When that idea surfaced, it was usually dismissed as unworkable, hopelessly utopian, and/or irrelevant to workers’ practical interests.

    Labor’s and the left’s implicit strategy for the micro level of the enterprise thus reduced to improving the terms of the employer-employee relation for the workers. There was no strategy to eliminate that relation in favor of something better. It was the modern equivalent of struggles during the time of slavery that aimed for better food, clothing, housing, etc. for slaves rather than demanding the end of slavery.”

    Suka

  5. yang juga penting diperhatikan adalah, kapitalisme dan pasar bebas membantu terciptanya perdamaian dunia, karena orang lebih suka berdagang, lalu sama2 kaya, daripada perang, lalu sama2 hancur.. jadi mungkin kapitalisme adalah the lesser evil… dibanding sistem politik ekonomi lainnya

    Suka

  6. Sebenarnya “pasar bebas” itu mitos yang dipropagandakan Kapitalisme. Memang Kapitalisme membungkus dirinya sebagai “pasar bebas”, tapi itu sayangnya hanya sebuah ilusi. Sejarah perkembangan Kapitalisme, dalam dunia nyata, sebenarnya sangat bertentangan dengan prinsip “pasar bebas” atau “perdagangan bebas”. Kapitalisme adalah ekonomi pasar yang spesifik — sebuah spesies pasar tertentu, yang mempunyai setidaknya 3 ciri khas, (1) maksimalisasi profit pribadi(2) pembagian kelas, antara kelas pemilik dan kelas pekerja (3) pengecualian aktif para pekerja dari kepemilikan sarana produksi.

    Sistem ini secara de fakto bergantung kepada berbagai macam intervensi negara yang perkasa untuk mengeksternalisasi resiko dan ongkos kepada rakyat luas, dan privatisasi profit kepada sekelompok kecil pemilik kaya raya — dan ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip pasar bebas sendiri. Contohnya : monopoli mata uang melalui bank sentral untuk mengistimewakan akses kredit kepada bank-bank kapitalis, perlindungan dan penegakan kepemilikan absensi yang memungkinan seseorang untuk memiliki tanah tanpa mendudukinya sendiri — yang lebih lanjut meningkatkan pemisahan kelas antara pemilik dan pekerja, proteksionisme besar kepada industri kapitalis (sebagaimana yang terjadi di negara-negara barat pada abad 19), hak “kekayaan intelektual” (hak paten dan copyright — lihat microsoft), subsidi R&D (boeing salah satunya), subsidi infrastruktur dan transportasi (yang sangat menguntungkan perusahaan seperti walmart contohnya), hukum limited liability seperti PT yang membatasi tanggung jawab para pemilik (memberi kekebalan kepada para pemilik perusahaan atas hutang dan kerugian yang disebabkan oleh perusahaan yang bersangkutan, regulatory capture — di mana regulasi-regulasi dalam pasar ditangkap oleh perusahaan-perusahaan besar (contohnya Monsanto), siklus bailout (dalam ukuran yang masif), pembentukan institusi keuangan international (WTO, IMF dan World Bank) — supaya peraturan perdagangan internasional menguntungkan oleh perusahaan-perusaahaan multinasional (Ini sangat penting untuk mengembangkan neoliberalisme) Semua ini hanya dimungkinkan dengan intervensi negara. Akibat praktisnya adalah sebuah transfer kekayaan dari rakyat umum kepada segelintir individu-individu tertentu.

    Memang, pembela kapitalis paling fanatik (terutama dari pihak konservatif) memang suka protes kalau negara mengintervensi aktifitas kapitalisme. Justru inilah kontradiksinya : yang mereka protes-kan hanyalah intervensi-intervensi negara yang *membatasi* perkembangan kapitalisme, tapi mereka menghiraukan bahwa regulasi yang *membatasi* perkembangan kapitalisme itu secara umum didahulukan dengan intervensi yang *menopang* dan *menyokong* perkembangan kekuasaannya, yang sebenarnya jauh lebih besar dan lebih bersifat struktural. Kalau prinsip “pasar bebas” sungguh-sungguh dijalankan, maka sistem kapitalisme akan runtuh esok harinya.

    Kapitalisme tidaklah mendorong perdamaian, justru sebaliknya mendorong pertempuran untuk merebut sumber daya alam yang lebih dahulu diduduki dan dinikmati oleh pihak lain selama berbagai generasi. Coba telusuri sejarah Enclosure di Inggris yang menutup dan mengunci common land untuk pemilik-pemilik pribadi. Native indians di Amerika contohnya tidak mempunyai konsep hak milik pribadi – terlebih lagi (terutama maksimalisasi profit dengan kepemilikan absensi yang mendasar dalam sistem kapitalisme), lihat apa yang terjadi kepada dengan nasib bangsa mereka kalau konsep ini dipaksakan. Lihat nasib kaum aboriginal di Australia. Lihatlah nasib bangsa Afrika. Lihatlah nasib bangsa Papua. Telusurilah sejarah penyokongan para diktator di dunia ketiga oleh AS (Suharto di Indonesia, Pinochet di Chile, Mohammad Reza Pahlavi di Iran, Saddam Hussein di Iraq) untuk mengamankan sumber daya alam domestik di tangan perusahaan-perusahaan multinasional. Bagaimana dengan pembunuhan para romo di El Savador (contohnya uskup Oscar Romero), demi apakah itu? Lebih luas lagi lihatlah perang di Iraq, perang di Afghanistan. Sejarah kapitalisme secara praktis, adalah sejarah yang berdarah dan menghina kemanusiaan demi memaksimalkan kekayaan segelintir individu-individu tertentu.

    Suka

  7. Kalau memang alternatif dari sistem ekonomi pasar belum memungkinkan secara praktis, maka setidaknya sistem ekonomi pasar tidak harus berbentuk kapitalisme (yang sejarah perkembangan dan dominasinya bergantung kepada intervensi negara yang besar) tapi bisa diutamakan berbentuk koperasi di mana semua anggota firma ialah pemilik – yang berfungsi untuk memaksimalkan kesejahteraan anggota (stakeholder), daripada memaksimalkan profit pemilik absen di luar firma (shareholder). Koperasi mendorong terciptanya keseimbangan hak individu dan kolektif, kapitalisme mendorong hak instimewa individu atas kolektif. Kalau kapitalisme mendorong pertempuran kelas, koperasi meniadakannya dengan gotong royong dan kesetaraan. Koperasi mendorong kemandirian anggota, kapitalisme mendorong ketergantungan kepada majikan dan pendukungan negara. Koperasi berfungsi untuk kepentingan komunitas (sehingga lebih cenderung ramah lingkungan), kapitalisme berfungsi untuk kepentingan pemilik yang jauh-jauh (sehingga lebih cenderung tidak peduli dengan lingkungan).

    Stigma dan mitos bahwa koperasi itu “kampungan” dan “tidak praktis” itu kayanya perlu diruntuhkan. Di Spanyol, Mondragon adalah perusahaan koperasi produsen yang sangat besar, salah satu perusahaan terbesar di Spanyol yang memproduksi kulkas, mesin cuci, oven, dsb. Para anggota pekerja memiliki asuransi kesehatan sendiri (social security), dan juga mempunyai koperasi kredit sendiri. Di Emilia-Romagna, Italy, 2/3 bisnis di sana berbentuk koperasi-koperasi, dan jumlah firma-nya jauh beberapa kali lipa lebih banyak dari New York, padahal populasi new york lebih padat. Salah satu swalayannya bahkan lebih besar dari Carrefour. Tiap-tiap koperasi independen, tapi membangun sebuah jaringan satu sama lain. Dalam krisis ekonomi kemarin, ketika industri kapitalis jatuh dan perlu dibangkitkan oleh intervensi negara, perkoperasian di Eropa dan AS justru malah makin berkembang tanpa bantuan negara. Kalau masalah pembangunan kelas menengah, koperasi ialah solusi yang lebih equitable.

    Suka

  8. ya.. saya setuju dengan uraianmu ndre… Kapitalisme tetap butuh kontrol dari berbagai kelompok masyarakat dan pemerintah.. tak bisa dibiarkan begitu saja… tetapi uraianmu itu tampak satu sisi saja, dan tidak melihat perkembangan yang dibawa kapitalisme untuk hidup manusia, minimal di negara-negara yang berhasil mengontrol kapitalisme, supaya tetap menjadi alat, dan bukan tujuan utama….

    Suka

  9. Aku ragu untuk tetap menjadikan kapitalisme sebagai alat.

    Pertama, dari segi praktis, karena menjadi alat sosial adalah berlawanan dengan tujuan dasarnya (memaksimalkan profit pribadi) dan sifat dasarnya (meninggikan nilai ketamakan, egosentris). Secara inheren kata “sosial” berada di luar kamusnya, dan segala usaha untuk memasukkan nilai sosial ke dalam komponen dasarnya akan bergerak berlawanan dengan mekanisme struktur tersebut. Birokrasi negara sendiri dalam sejarah tidak efektif mengontrol kapitalisme, karena dalam sejarah praktis ada sebuah relasi saling ketergantungan, keterikatanan yang sangat kuat antar dua entitas ini (Negara + Kapital). Malah justru sebaliknya negara terlebih dahulu menjalankan fungsi yang amat efektif untuk mendongkrak kinerja dan kekuasaan kapitalisme, dengan melakukan berbagai intervensi untuk menguatkan struktur-strukturnya dalam skala internasional. Segala langkah birokrasi negara untuk menghambat pertumbuhan kapitalisme akan bersifat sementara, akan sekadar bersifat kompensasional (mengembalikan kepada rakyat porsi kecil kekayaan yang dieskploitasi dari rakyat), dan pada kenyataannya telah dimundurkan satu per satu (sebagai contohnya kebijakan “austerity” di segala penjuru Eropa, yang memotong program-program sosial sementara menaikkan pajak untuk rakyat biasa). Satu-satunya cara negara bisa mengontrol kapitalisme secara total ialah dengan menjadi negara totaliter — tentu ini adalah sebuah alternatif yang lebih buruk, dan kita semua tahu sejarah brutalitas Marxist-Leninisme maupun ideologi Stalinisme (yang sekarang berlanjut di Korea Utara), sebuah mimpi buruk yang patut tidak kita emulasi.

    Kedua, dari segi etika, aku melihat kapitalisme sebagai wujud perbudakan modern. Manusia menjadi budak gaji, hanya bisa hidup layak jikalau mensubordinasikan dirinya kepada pengaturan seorang majikan. Ini disebabkan karena sarana-sarana produksi terpenting berada di bawah hak milik kelas penanam modal yang secara umum absen dalam proses produksi sehari-hari — yang dimungkinkan oleh anugerah hak istimewa dari negara (“private property”), sebuah hak ekslusif atas benda-benda bumi (tanah, salah satunya) tanpa perlu mendudukinya sendiri, sebuah hak yang menceraikan kepemilikan dari kerja, hak untuk mengecualikan pekerja dari kepemilikan. Pekerja semakin hari semakin terasingkan dari hasil jerih payahnya. Dia tidak mempunyai kendali atas tenaga kerjanya sendiri, hidup menjadi mekanis di bawah perintah atasan, aktualisasi diri semakin terhambat. Inilah wujud perbudakan modern. Di jaman perbudakan kaum kulit hitam di Amerika, yang diperjuangkan bukanlah memperbaiki atau mengontrol perbudakan, tapi menghapuskannya. Begitu pula dalam menghadapi patriarki di masa lalu, yang diperjuangkan bukanlah melembutkan patriarki supaya istri bisa hidup nyaman dalam kontrol suaminya, tapi menghapus relasi tersebut, dan menggantikannya dengan kesetaraan. Kita tidak bisa menjadikan patriarki sebagai alat untuk menyetarakan hak pria dan wanita, kita tidak bisa menjadikan perbudakan alat untuk memerdekakan para budak — dengan kata lain sebuah kondisi yang lebih adil tidak bisa dicapai dengan menggunakan alat yang mempunyai fungsi ketidakadilan.

    Kemudian mengenai perkembangan yang untuk hidup manusia itu, saya ragu bahwa itu dibawa oleh kapitalisme, karena kenyataannya lebih banyak kemajuan yang diperjuangkan oleh gerakan pekerja (two-day weekend, minimum wage, paid holidays, menghapus child labour, asuransi kesehatan, workplace safety, etc). Tentu apa saja yang diperjuangkan oleh gerakan pekerja adalah hal-hal yang berlawanan dengan kepentingan kapitalisme. Mungkin betul bahwa kapitalisme membawa perkembangan untuk hidup manusia, tapi hanya segelintir saja yang diuntungkan, dan yang lain terpinggirkan, tereksploitasi, tertindas. Ini bukanlah sebuah wujud keadilan.

    Suka

  10. ini analisis yang tajam sekali… thx ndre atas sumbangan idenya… saya setuju denganmu. Namun bukankah jika konsisten dengan prinsip-prinsipnya, kapitalisme justru menghancurkan dirinya sendiri?

    Suka

  11. Terimakasih atas tulisan dan diskusinya yang menarik. Saya tertarik dengan gagasan “sistem perpustakaan yang memadai yang harus dibangun”. Mungkin saya bisa diberikan penjelasan tentang hal tersebut. Kebetulan saya hendak mengembangkan pelayanan perpustakaan di tempat saya bekerja. Salam

    Suka

  12. halo mas… buku memang belum jadi kebutuhan utama disini… sehingga niat untuk membangun perpustakaan juga amat kecil.. tapi tentu saja, usaha-usaha perlu terus dilakukan ya… coba model perpustakaan jalan.. jadi buku diletakan di sembarang tempat, lalu orang bisa membawa, lalu dia harus meletakkan lagi buku itu di suatu tempat untuk orang lainnya.. asal cleaning service diperingatkan tidak membuang buku itu

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.