Membangun Jiwa, Membangun Bangsa

backpocketcoo.com
backpocketcoo.com

Sebuah Tawaran Filsafat Politik

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik, Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

 

Di tengah beragam kasus korupsi yang menghantam berbagai pejabat politik kita, dan masalah kemiskinan serta kebodohan yang tetap menjadi musuh utama kita, pertanyaan terbesar yang tetap menunggu bangsa ini adalah, bagaimana kita bisa membangun kultur, dan dengan demikian membangun bangsa kita? Ini tetap pertanyaan dengan sejuta misteri, namun tetap tak akan pernah kehilangan arti pentingnya. Jawaban atas pertanyaan ini selalu terkait dengan dua unsur dasariah setiap manusia, yakni jiwa dan tubuh yang saling berpaut, tanpa terpisahkan. Artinya, seperti juga manusia, setiap bangsa memiliki jiwa dan tubuh yang tak bisa dipisahkan.

Jiwa sebuah Bangsa

Secara normatif, dua aspek ini harus dibangun berbarengan. Namun, tetap yang perlu menjadi perhatian utama adalah jiwa dari sebuah bangsa. Kata “jiwa” (Geist) memang abstrak, tetapi memainkan peranan penting di dalam membentuk dan menegaskan identitas nasional sebuah bangsa. Tanpa identitas nasional yang kokoh, sebuah bangsa akan terus digoyang oleh konflik antar warganya, dan sulit untuk bekerja sama membentuk sebuah masyarakat yang adil dan makmur. Tanpa identitas nasional yang mantap, sebuah bangsa akan pecah dan hancur ditelan berbagai krisis, dan akhirnya lenyap dari muka bumi.

Akan tetapi, apakah jiwa dari sebuah bangsa? Dalam arti ini, jiwa dari sebuah bangsa adalah kesadaran (Bewußtsein) yang tumbuh dan berkembang luas di dalam diri, serta menjadi perilaku nyata dari warga sebuah bangsa. Bisa juga dibilang, kesadaran ini adalah sebuah pandangan dunia (Weltanschauung) yang menuntun semua pola pikir maupun perilaku dari sebuah bangsa. Akan tetapi, kesadaran atau pandangan dunia macam apa?

Sebuah bangsa tercipta, karena adanya ikatan (Bindung), atau adanya kesamaan yang menyatukan mereka. Ikatan ini membentuk sebuah kesadaran, bahwa setiap orang, pada dasarnya, saling membutuhkan. Tidak ada orang yang bisa hidup, tanpa komunitas sosial (Gemeinschaft) yang menopangnya. Dengan kata lain, jiwa sebuah bangsa adalah sebuah kesadaran yang kuat dan mengikat, bahwa kita semua, walaupun berbeda, saling membutuhkan satu sama lain.

Kebutuhan ini setidaknya mencangkup dua level. Yang pertama, tanpa kesatuan dan ikatan yang kokoh, kita akan saling menghancurkan satu sama lain. Setiap orang akan menderita. Tidak ada pihak yang menang. Semuanya kalah, karena semuanya menderita, dan terus hidup dalam situasi darurat. Dalam situasi semacam ini, hidup bagaikan rangkaian konflik satu yang kemudian dilanjutkan dengan konflik lainnya.

Yang kedua, kita saling membutuhkan untuk saling menegaskan identitas nasional dan identitas diri kita masing-masing. Kita membutuhkan orang lain, supaya kita mengenal, siapa diri kita sebenarnya. Hubungan dengan orang yang memiliki identitas berbeda, justru memperkuat identitas diri kita pribadi. Pada level filosofis, sebagai manusia yang memiliki keunikan masing-masing, kita saling membutuhkan, justru untuk menegaskan keunikan kita masing-masing. Inilah paradoks yang amat penting, yang mendasari semua bentuk kehidupan sosial di muka bumi ini.

Kesadaran kedua yang juga perlu dibangun adalah, bahwa keberagaman (Vielfalt) itu memperkokoh masyarakat. Setiap masyarakat di muka bumi ini dibangun di atas keberagaman, mulai dari keberagaman pikiran sampai dengan keberagaman ketrampilan kerja. Setiap masyarakat selalu juga dibangun  di atas pembagian kerja yang membutuhkan beragam kemampuan filosofis dan ketrampilan teknis. Sebuah masyarakat tidak akan bisa bertahan, jika semua orang adalah akuntan, atau manager, atau insinyur. Inilah kesadaran kedua yang perlu kita ingat dan adopsi kembali.

Dua bentuk kesadaran ini adalah jiwa dari sebuah bangsa. Kesadaran bahwa kita, pada hakikatnya, saling membutuhkan, dan bahwa keberagaman peran sosial dan identitas itu amat penting untuk sebuah masyarakat, adalah jiwa dari sebuah bangsa. Inilah fondasi utama sebuah bangsa, sebelum kita mulai membangun dimensi-dimensi sosial lainnya. Saya menyebutnya sebagai kesadaran kolektif yang esensial (das wesentliche kollektive Bewußtsein). Yang berikutnya perlu dibangun adalah dimensi politik, yakni kepemimpinan (Führung) dan tata kelola (Management) sebuah bangsa.

Kehidupan Sosial

Kepemimpinan dan tata kelola tetap juga harus berpijak pada dua kesadaran di atas. Sebuah bangsa harus memilih sosok individu yang merupakan “pembadanan” (Verkörperung) dari dua bentuk kesadaran itu untuk memimpin mereka. Setelah seorang pemimpin terpilih, ia bersama dengan warga yang dipimpinnya perlu untuk membangun sebuah sistem hukum yang juga berpijak pada dua kesadaran esensial di atas. Hukum tersebut harus berlaku untuk semua, tanpa kecuali. Hukum tersebut harus berubah menjadi konstitusi (Verfassung) dan sistem (Rechtssytem) yang mengelola negara tersebut, walaupun waktu berubah, jaman berganti, dan pimpinan baru datang. Inilah ide dasar dari sebuah negara yang dipandu oleh hukum (Rechtsstaat), bukan oleh seorang diktator, atau diktator mayoritas (Diktatur der Mehrheit).

Walaupun dipandung oleh sistem dan hukum, sebuah bangsa tidak pernah boleh kehilangan hatinya. Dalam arti ini, hati adalah kehendak baik (guter Wille), yakni di dalam semua kebijakan yang ia buat, tidak boleh ada maksud untuk memanipulasi atau menipu orang lain demi kepentingannya sendiri. Menggunakan bahasa Immanuel Kant, setiap orang harus dijadikan tujuan (Zweck) bagi dan pada dirinya sendiri, serta bukan hanyat alat untuk dipakai demi kepentingan lain. Tujuan dari hukum bukanlah hukum itu sendiri, melainkan manusia yang merupakan pencipta hukum.

Setelah bangunan politik dan hukum mulai terbentuk, sebuah negara perlu untuk segera menciptakan sistem pendidikan bagi seluruh warganya (allgemeine Bildung). Sistem pendidikan ini juga dibangun berdasarkan dua kesadaran kolektif esensial atau jiwa bangsa yang telah kita bicarakan sebelumnya. Saya mau menegaskan, bahwa pendidikan amatlah penting untuk sebuah bangsa, supaya warganya bisa menata semua bidang kehidupan lainnya dengan adil. Pendidikan universal (bagi semua orang), yang dibangun dengan berpijak pada kesadaran, bahwa setiap orang pada hakikatnya saling membutuhkan, dan keberagaman adalah kekuatan, adalah kunci keberlangsungan (Nachhaltigkeit) dan kebesaran sebuah bangsa.

Apa yang saya tulis sebelumnya adalah dimensi mental sebuah bangsa. Namun, dimensi mental ini pun membutuhkan dimensi material, yakni ekonomi dan teknologi. Artinya, tata kelola ekonomi dan pengembangan teknologi tinggi maupun ilmu pengetahuan pun haruslah tetap terkait dengan jiwa bangsa, yang sudah kita bahas sebelumnya. Krisis terjadi, ketika ekonomi dan ilmu pengetahuan dikembangkan terlepas dari jiwa sebuah bangsa. Yang kemudian tercipta adalah tata ekonomi yang memperlebar kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, serta teknologi maupun ilmu pengetahuan yang justru menghancurkan manusia, serta nilai-nilai luhur yang dipegangnya.

Pada dasarnya, kita ini saling membutuhkan, walaupun kita berbeda. Keberagaman itu memperkuat. Dari kaca mata ilmu biologi, keberagaman itu memperkaya suatu spesies dan justru memperkuat keberadaannya. Hal ini juga benar secara sosial dan politik. Maka, keberagaman haruslah diperkaya. Suatu bangsa bisa besar, jika ia memiliki jaringan kerja sama yang kokoh dengan bangsa-bangsa lainnya yang tersebar di seluruh dunia. Jaringan kerja sama di berbagai bidang kehidupan dengan beragam bangsa lainnya ini memperkaya keberagaman, dan artinya juga memperkaya serta memperkuat jati diri bangsa tersebut.

Ini semua tak akan berarti, jika sebuah bangsa tidak memiliki ingatan kolektif yang juga kokoh tentang masa lalunya. Ingatan kolektif dilestarikan melalui pendidikan serta pembangunan monumen-monumen untuk mengenang tentang masa lalu, serta belajar darinya demi kepentingan masa kini dan masa depan. Ingatan kolektif berusaha membuat sebuah bangsa tidak lagi terjebak pada kesalahan yang sama, yang pernah terjadi di masa lalu. Ini sebuah adalah proses untuk membangun kultur, membangun jiwa, dan membangun bangsa. Namun, pada hemat saya, pola-pola yang sama bisa juga digunakan untuk membangun komunitas dalam konteks yang lebih kecil, seperti misalnya organisasi, perusahaan, ataupun sekolah. Bagaimana menurut anda?

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

4 tanggapan untuk “Membangun Jiwa, Membangun Bangsa”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.