Akar-akar Konservatisme di Indonesia

Karya Roberto Matta Echaurren
Karya Roberto Matta Echaurren

Oleh Reza A.A Wattimena

Akhir 2012, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan pernyataan, bahwa Umat Islam di Indonesia sebaiknya tidak usah mengucapkan Selamat Natal kepada Umat Kristiani di Indonesia. Pernyataan ini tentu mengejutkan, terutama di tengah berbagai upaya kita sebagai bangsa untuk menjaga kerukunan antar agama di tengah masyarakat yang begitu multikultur, seperti Indonesia.

Di awal 2013, kita kembali dikejutkan oleh Surat Edaran Walikota Lhoksumawe yang melarang wanita membonceng dengan cara mengangkang di sepeda motor. Yang diperbolehkan adalah membonceng dengan cara menyamping, karena itu, menurut walikota Lhoksumawe, sesuai dengan budaya Aceh yang Islami. Surat tersebut mengejutkan berbagai pihak. Di tengah perang melawan korupsi yang begitu gencar di Indonesia, ada pihak pemerintah yang masih sempat mengurusi soal “mengangkang” di sepeda motor.

Di Amerika Serikat, partai Republik, dengan ideologi pasar bebas dan negara “tangan tak kelihatannya”, menguasai sebagian besar kursi DPR. Mereka mempersulit Obama sebagai Presiden AS untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada kelas menengah negara itu, seperti misalnya kenaikan pajak untuk orang-orang terkaya di AS. Diskusi alot yang diikuti dengan berbagai voting membuat urusan politik semakin rumit, dan masalah sosial tetap ada, bahkan semakin menganga.

Negara-negara Eropa Barat dan Australia sudah lama mengetatkan peraturan imigrasi mereka. Berbagai data statistik, mulai dari tingkat pengangguran maupun tingkat drop out sekolah, digunakan, guna membenarkan peraturan tersebut. Padahal, statistik seringkali menyembunyikan asumsi-asumsi tertentu yang perlu untuk disingkapi secara kritis, sebelum dipercaya sebagai sandaran untuk membuat keputusan. Jika kita tidak sadar akan hal ini, data statistik bisa dipelintir untuk membenarkan kepentingan-kepentingan sempit kelompok-kelompok tertentu di masyarakat.  

Tentu saja, kita bisa menderet berbagai fenomena lainnya yang terjadi di dunia lima tahun belakangan ini. Di balik semua fenomena itu, ada satu yang relatif sama, yakni bangkitnya pola berpikir konservatif di dalam kehidupan sosial. Jika melihat lika liku sejarah manusia, konservatisme tidak pernah mati, melainkan hanya redup, karena berkembangnya pemikiran-pemikiran progresif yang mempertanyakan tradisi. Namun, rupanya angin sudah berbalik arah, sehingga konservatisme kembali meraih kedudukan kuat di masyarakat.

Akar Konservatisme

Konservatisme adalah paham yang menyatakan, bahwa yang terbaik yang bisa dilakukan oleh seseorang adalah berpegang pada tradisi yang telah terbukti berhasil di masa lalu. Tradisi, baik itu tradisi agama, tradisi budaya, ataupun tradisi politik, adalah pedoman hidup tertinggi. Perubahan tentu dimungkinkan, namun hanya sejauh perubahan tersebut tidak bergerak terlalu jauh dari tradisi yang ada. Konservatisme adalah pemujaan nyaris tanpa sikap kritis pada tradisi yang ada.

Di dalam salah satu perdebatan antara Jürgen Habermas dan Hans-Georg Gadamer, dua filsuf terkemuka Jerman abad 20, lahirlah perbedaan tajam di dalam memahami tradisi. Bagi Gadamer, seorang pakar hermeneutik, tradisi mengandung ajaran-ajaran kebijaksanaan yang berguna untuk membimbing kita di masa sekarang. Sementara, bagi Habermas, tradisi tidak hanya mengandung ajaran-ajaran kebijaksanaan, tetapi juga penindasan-penindasan yang tersembunyi terhadap kelompok yang lebih lemah, seperti kaum perempuan dan kelompok minoritas. Maka, tradisi harus dipahami secara kritis.

Para penganut konservatisme harus belajar dari perdebatan ini, bahwa tradisi selalu mengandung dua muka yang tidak selalu berjalan bersama, yakni muka kebijaksanaan dan muka penindasan. Kesetiaan mutlak pada tradisi, tanpa mengindahkan aspek-aspek penindasan di dalamnya, adalah akar dari konservatisme. Pada titik ini, kita bisa mengajukan pertanyaan sederhana, mengapa konservatisme kembali bangkit di era globalisasi sekarang ini? Mengapa kesetiaan nyaris tanpa sikap kritis pada tradisi kembali menjadi “mode” dewasa ini?

Dalam konteks ini, saya setidaknya melihat enam akar konservatisme di Indonesia, yakni bangkitnya kelas ekonomi menengah (1), gerak sejarah manusia yang sirkular (2), kecanggungan manusia di hadapan pluralitas dunia (3), paradoks mengglobal dan melokal (4), impotensi dunia akademik (5) dan lubernya ekspresi religius di Indonesia yang selama Orde Baru dibungkam oleh militer (6). Keenam akar ini, pada hemat saya, bisa digunakan untuk memahami bangkitnya konservatisme di Indonesia, mulai dari akhir masa kekuasaan Orde Baru sampai dewasa ini. Sampai pada titik tertentu, keenam elemen ini bisa juga digunakan untuk memahami konservatisme di belahan dunia lainnya.

Ekonomi dan Sejarah Manusia

Di Indonesia, para era 1980-an, kelas ekonomi menengah bangkit. Mayoritas tinggal dan bekerja di Jakarta dengan pendapatan yang cukup tinggi, walaupun tidak bisa dikatakan miliyuner. Mereka bekerja di perusahaan-perusahaan besar, atau pengusaha yang berhasil mengembangkan bisnisnya. Keberhasilan ekonomi dan perubahan pola pikir jelas saling mempengaruhi, dan ini tampak jelas sekali di dalam perubahan cara hidup kelas menengah Indonesia.

Karena memiliki status ekonomi mapan, mereka cenderung untuk anti perubahan, karena itu mengancam stabilitas pendapatan mereka. Mereka merasa, sistem yang ada sudah cukup baik untuk mereka, maka mereka mempertahankannya. Cara berpikir semacam ini jelas merupakan lahan yang subur bagi bangkitnya konservatisme, yakni keberpihakan nyaris tanpa sikap kritis pada tradisi yang ada. Dengan kata lain, kemapanan hidup juga dapat dilihat sebagai akar dari konservatisme. (Margaretha, 2012)

Dari sudut pandang yang lebih luas, kita bisa melihat adanya pola dalam sejarah manusia. Di dalam paradigma ilmiah peradaban Barat, waktu dilihat sebagai sesuatu yang berjalan lurus, dan terus berkembang ke arah yang lebih baik. Asumsi ini telah terbukti tak sepenuhnya benar. Maka kita perlu mencari alternatif cara pandang dalam memahami gerak sejarah manusia.

Di dalam Filsafat Timur, terutama Filsafat Cina, sejarah dilihat sebagai sesuatu yang sirkular, yakni sesuatu yang bergerak berputar. Artinya, sejarah seringkali berulang, hanya dengan tokoh-tokoh yang berbeda. Bangkitnya konservatisme bisa dilihat sebagai gerak sejarah yang berulang dari masa lalu, namun dengan tokoh dan pola yang sedikit berbeda. Paradigma Filsafat Timur di dalam melihat gerak sejarah manusia bisa kita gunakan, guna memahami fenomena konservatisme di Indonesia, dan di berbagai belahan dunia, dewasa ini.

Rasa Canggung

Kita hidup di dunia yang semakin plural. Homogenitas kultur hampir tidak lagi ditemukan di belahan dunia manapun di dunia ini. Pluralitas identitas bagaikan hukum baja sejarah yang menerpa siapapun, tanpa pandang bulu. Situasi ini melahirkan dua akibat, keterbukaan dunia atas keberagaman, atau kecanggungan di hadapan pluralitas ini, dan kemudian memeluk erat-erat tradisi yang lebih pasti. Akibat kedua ini adalah akar dari konservatisme

Dalam bahasa yang lebih ilmiah, proses globalisasi secara serentak menghasilkan proses lokalisasi, yakni kecenderungan orang untuk memeluk erat tradisi, dan menolak keberagaman serta perubahan yang tengah terjadi. Rasa canggung berpadu dengan rasa takut, akhirnya melahirkan sikap fanatik pada tradisi, yang bisa kita sebut sebagai sikap konservatif. Pengaruhnya luas, mulai dari cara berpakaian, sampai dengan kebijakan politis yang berdampak luas.

Luber dan Impotensi

Pada masa Orde Baru di Indonesia, setiap ekspresi keagamaan selalu dicurigai sebagai tindakan makar terhadap Pancasila. Maka, militer pun dengan agresif menekan ekspresi-ekspresi tersebut. Ketika Orde Baru runtuh, ekspresi keagamaan seolah luber di ruang publik kita, seolah tak tertahankan, mulai dari ekspresi agama yang cerdas, sampai dengan yang merusak. Inilah salah satu akar konservatisme agama yang merebak luas di republik kita sekarang ini.

Di sisi lain, sudah lama universitas-universitas di Indonesia secara khusus dan dunia pendidikan secara umum mengalami impotensi akademik. Penelitian dan pendidikan yang dilakukan tidak lagi mengedepankan sikap kritis untuk mempertanyakan praktek-praktek yang ada, melainkan justru untuk membenarkannya. Ketika pilar ilmu pengetahuan tumpul, masyarakat pun kehilangan instrumen kritisnya, dan menjadi semakin konservatif. Tradisi dipuja bagaikan kebenaran ilahi, sementara praktek-praktek sosial yang merusak berlanjut, tanpa perlawanan yang kuat dari masyarakat.

Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, konservatisme memiliki kelemahan internal di dalam konsepnya sendiri. Konservatisme menekankan, bahwa tradisi yang tengah berlanjut adalah jalan terbaik untuk keluar dari masalah-masalah yang ada. Padahal, realitas dan dunia terus berubah, sementara tradisi yang telah berhasil di masa lalu tidak selalu bisa menangkap perubahan yang terjadi. Ketika realitas berubah, dan tradisi tetap serta dipuja secara membabi buta, maka akan muncul masalah-masalah yang tak bisa terselesaikan, dan bahkan semakin besar.

Konservatisme bisa berkembang menjadi kekerasan kultural, yakni kekerasan yang tertanam di dalam cara pandang suatu kelompok tertentu kepada kelompok lainnya di masyarakat. Tanpa sikap kritis, tradisi bisa berubah menjadi kebencian yang ditanamkan, dan bahkan diturunkan, dari satu generasi ke generasi berikutnya di suatu kelompok tertentu. Konservatisme bisa berkembang pula menjadi konflik massal yang menghancurkan hidup banyak orang.

Berpegang pada tradisi memang perlu. Akan tetapi, kita harus sadar, bahwa dunia berubah, dan manusia ikut berubah di dalamnya. Tradisi juga harus terus dibaca dengan cara-cara baru, sejalan dengan perubahan yang ada. Jika tidak, tradisi bisa menjadi penjajah dan penindas kehidupan manusia. Kesetiaan kaum konservatif pada tradisi mereka harus memberi ruang untuk “tanda tanya”, sehingga tradisi bisa terus dimurnikan, dan tetap berwajah manusiawi. Untuk ini, saya rasa, tidak ada pilihan lain.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

22 tanggapan untuk “Akar-akar Konservatisme di Indonesia”

  1. “The whole modern world has divided itself into Conservatives and Progressives. The business of Progressives is to go on making mistakes. The business of Conservatives is to prevent mistakes from being corrected. Even when the revolutionist might himself repent of his revolution, the traditionalist is already defending it as part of his tradition. Thus we have two great types — the advanced person who rushes us into ruin, and the retrospective person who admires the ruins. He admires them especially by moonlight, not to say moonshine. Each new blunder of the progressive or prig becomes instantly a legend of immemorial antiquity for the snob. This is called the balance, or mutual check, in our Constitution.” ~ G.K. Chesterton

    Suka

  2. yang menjadi masalah adalah adanya ancaman masyarakat terhadap kritisisme tradisi, dan akhirnya kritisisme hanya ada di kertas dan terlalu jauh untuk mengjangkau jatung masyarakat. dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengubah masyrakat untuk kritis terhadap tradisinya sendiri. so…semua harus cerdas baru bisa ktiris…tulisan pa Reza mencerahkan…

    Suka

  3. Kebanyakan seseorang mencari hal yang dianggapnya baru, namun tanpa disadari dia telah menikmati apa yang telah ada sebelumnya.
    Contoh : Tato
    Bagi sebagian orang merasa bangga dengan menggunakan tato. Menjadi gaul, kelihatan macho, gagah, mendapat kenikmatan, meniadakan strata sosial, dll. Sebagian yang lain, menganggap bahwa tato merupakan bagian kemajuan dari seni atau ide yang kreatif (baru) dalam menuangkan karya seni. Kenyataannya, seni merajah tubuh (tato) bukanlah sesuatu yang baru, melainkan ada sebelum abad 3000 tahun SM.

    Begitupun berbagai paradigma dalam sebuah tradisi, mencoba untuk mengajarkan berbagai klaim-klaim yang tidak sesuai dengan kenyataan.
    Contoh :
    “Orang berjenggot pasti teroris.”
    “PKI musuh negara.”
    “Di kuburan banyak hantu.” dll.

    Jadi tak ada salahnya mengadakan sebuah perubahan ataupun perbedaan, selama itu bersifat universal dan tidak ada yang termarjinalkan.

    Suka

  4. Selalu enak untuk dibaca kalau suatu masalah disajikan seperti tulisan Bang Reza 🙂
    Karena yang saya tahu sebagian orang hanya mengeluarkan unek2nya -dalam status fb- saja “Misalnya mempermasalahkan posisi duduk sampai fatwa ulama terhadap ucapan” Hal tersebut menurut saya kurang bisa dimengerti kl tidak dibarengi penjelasan yang bisa dijadikan pijakan. Oleh karena itu rasanya saya harus meminta izin untuk share tulisan ini..
    Salam Bang Reza 😀

    Suka

  5. manusia seyogyanya nyaman di zona konservatif jika itu mendatangkan keamanan bagi dirinya. namun tidak dipungkiri bahwa manusia sudah tenggelam di dalamnya dan tenggelam dalam rutinitas yang akhirnya menjadi budaya dan itu susah untuk diubah dan dihilangkan. karena jika mereka berani menghapus itu mereka hilang rasa aman dan kenyamanannya.

    Suka

  6. Harus diakui bahwa banyak juga hal baik yang muncul dari konservatisme, karena kadang progresif tidak selalu berujung baik :-). Tapi dalam konteks Indonesia, konservatisme yang ada sering kala dangkal dan superfisial. Jadi bukan konservatisme Amerika yang berpandangan yang tetap berkerangka ‘preserving the nation’, melainkan preserving yang lain-lain tanpa ada framework ‘nation’ di dalamnya 🙂
    Sometimes, they even want to preserve things people tried to fight against by building the nation, such as disintegration and discrimination 🙂
    Jadi agak rumit juga

    Suka

  7. Tradisi dalam Islam, sebagaimana tradisi kebudayaan lain pada mulanya adalah musabab, namun merupakan sebab pada akhirnya, konklusi dan premis, isi dan bentuk, efek dan aksi, pengaruh dan mempengaruhi. Dalam konteks inilah pentingnya upaya melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi pemikiran Islam agar tetap hidup sebagai ajaran yang membebaskan. Hasan Hanafi secara kritis memberikan solusi dalam upaya ini. Sikap konsistennya sebagai intelektual beraliran Marxis tidak membuat dirinya bersikap dogmatis dan kekiri-kirian. Melalui penalaran yang kritis dan kreatif ia sanggup melakukan reinterpretasi dalam menerapkan materialisme-dialektik sebagai paradigma kritis yang mampu menjelaskan berbagai persoalan sosial, agama dan kekuasaan.

    Suka

  8. di akhir tulisan, tampaknya ada upaya penciutan makna konservatif, sehingga deduksi yang dikemukakan pun tidak sesuai lagi dengan tema pembicaraan 😀

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.