Akar-akar Fanatisme

Karya William T. Ayton

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman

Seorang pemuda Indonesia belajar di Jerman. Di lingkungannya, ia dianggap berbakat, karena masih muda, cerdas, dan memiliki karakter baik. Ia pun mendapatkan beasiswa penuh untuk belajar lagi. Harapan banyak orang bertumpu pada pundaknya.

Sesampainya di Jerman, ia kaget. Iklim individualisme dan otonomi individu yang begitu tinggi membuatnya sulit untuk membangun hubungan dengan orang lain. Beberapa kali, ia mencoba menjalin relasi, namun gagal. Ia pun berhenti mencoba.

Di Jerman, ia berjumpa dengan satu kelompok yang memiliki latar belakang agama sama dengannya. Daripada membangun relasi yang lebih luas, ia merasa lebih nyaman bergaul dengan mereka. Maka, aktivitasnya pun hanya dilakukan dalam konteks hubungan dengan kelompok agama tersebut. Semakin hari, ia semakin menutup diri, dan membenci orang-orang yang berasal dari latar belakang lain.

Ini kisah nyata, dan banyak terjadi pada orang-orang yang sedang merantau ke negeri asing, entah untuk bekerja, atau belajar. Justru karena merantau ke negeri asing, orang malah semakin menjadi tertutup dan fanatik dengan identitas kelompoknya sendiri. Di tengah masyarakat asing yang terdiri dari beragam kultur, orang justru membentuk kelompok-kelompok kecil yang serupa dengannya, dan menutup diri dari hubungan yang lebih luas dengan kelompok lain. Apa yang sebenarnya terjadi?

Era Fanatisme?

Saya rasa, awal abad 21 ini bisa dibilang sebagai era fanatisme. Setelah dua pesawat menghantam Word Trade Center di New York pada 2001 lalu, dunia seolah dikejutkan oleh fanatisme agama dan politik yang berakar begitu dalam pada kelompok-kelompok radikal di berbagai belahan dunia. Fanatisme itu berujung pada tindakan-tindakan yang mengancam keselamatan orang lain, terutama orang-orang yang memiliki identitas berbeda dengan kelompok tersebut.

Di daerah-daerah berbahasa Arab, atau yang lebih kita kenal sebagai Timur Tengah, perang dan ketegangan antara beragam kelompok fanatik terus berlangsung. Dalam konteks ini, kita bisa menemukan dua tipe fanatisme, yakni fanatisme agama dan fanatisme politik. Di Mesir, misalnya, ada kekhawatiran besar, bahwa negara tersebut akan tersungkur ke dalam fanatisme religius yang bisa membangkitkan konflik raksasa dengan negara sekitarnya.

Di Indonesia, beragam gerakan yang amat bertengangan dengan UUD 1945 justru tumbuh menjamur di berbagai pelosok negeri. Pemerintah seolah membiarkan, dan masyarakat pun akhirnya hidup dalam suasana resah terus menerus. Diskriminasi dan rasisme mengental begitu dalam di dalam ingatan kolektif sekaligus aktivitas sehari-hari orang Indonesia. Orang merasa takut, hanya karena ia memiliki identitas yang berbeda. Fanatisme bagaikan api yang siap disulut oleh bensin untuk menjadi api raksasa yang menghancurkan sekitarnya.

Pilar Sosiologis

Apa itu fanatisme, dan mengapa orang bisa menjadi fanatik? Fanatisme, pada hemat saya, adalah suatu sikap ekstrem di dalam memeluk pandangan tertentu, serta bersedia mati dan membunuh orang lain atas nama pandangan yang dianut secara ekstrem dan keras tersebut. Akar-akar fanatisme terletak pada tiga pilar, yakni pilar sosiologis, pilar epistemologis, dan pilar psikologis manusia yang ketiganya, secara bersamaan, mendorong orang untuk menjadi fanatik. Pada level sosiologis, kita bisa memetakan faktor-faktor internal di dalam proses globalisasi dan pengaruh sosial yang membuat orang menjadi fanatik.

Di era globalisasi sekarang ini, ada satu paradoks yang tertancap begitu dalam di dalam rahim bangsa-bangsa dunia, yakni paradoks mengglobal dan melokal. Disebut paradoks, karena ada dua kejadian yang kontras berbeda, namun terjadi berbarengan. Justru di tengah dunia yang semakin terhubung oleh kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, orang semakin takut untuk bersikap terbuka, dan malah menutup dirinya di hadapan perbedaan.

Orang takut akan keluasan dan keterbukaan, karena dua hal itu mengancam kepastian identitas yang telah ia pegang era-erat selama ini. Akibatnya, ketika dunia semakin rumit dan canggih, ia justru semakin sempit dan takut dengan keterbukaan dunia itu. Semakin dunia ini terbuka, semakin banyak orang yang memilih untuk hidup tertutup, dan memeluk erat-erat identitas lokalnya. Inilah salah satu pilar sosiologis yang mendorong orang untuk menjadi fanatik.

Dalam arti ini, kita bisa mengatakan, bahwa pengaruh sosial amat kuat mendorong orang untuk menjadi fanatik. Keberagaman itu mengancam kepastian identitas, sehingga orang, karena pengaruh lingkungan sosialnya, justru menolak keberagaman, dan semakin keras dan ekstrem dengan identitas tradisionalnya. Fanatisme tidak ada begitu saja, melainkan dipelajari dari proses-proses sosial yang terjadi di masyarakat, seperti melalui pola asuh orang tua, dan kebencian kelompok yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. (Margaretha, 2012)

Pilar Epistemologis

Pada pilar sosiologis, kita melihat bagaimana pengaruh globalisasi dan lingkungan sosial turut mendorong orang untuk menjadi fanatik. Namun, pilar itu saja tidak cukup untuk menjelaskan akar-akar fanatisme. Orang bisa hidup di linkungan sosial yang fanatik, dan mengalami dengan kencang proses globalisasi, tetapi tidak menjadi fanatik, dan justru malah menjadi terbuka. Pada titik ini, pilar epistemologis bisa menjelaskan proses-proses yang lebih dalam, yang mendorong orang menjadi fanatik.

Seorang fanatik melihat manusia lain tidak sebagai manusia, melainkan sebagai sesuatu yang lain, yang bukan manusia. Cara pandang yang negatif ini dibentuk oleh prasangka yang lahir dari dendam dan trauma atas kejadian negatif yang pernah terjadi sebelumnya. Orang tidak lagi melihat dunia secara jernih, melainkan secara gelap, karena trauma dan dendam, baik itu dendam pribadi maupun dendam kelompok, yang dimilikinya.

Darimana trauma dan dendam itu lahir? Kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik membuahkan begitu banyak kepahitan di dunia. Negara-negara yang lemah ditindas secara ekonomi dan politik oleh negara-negara yang kuat. Jejak-jejak penjajahan masih begitu terasa di situasi politik dunia sehari-hari, maupun di dalam cara berpikir manusia-manusia di dunia. Karena kesenjangan dan kesewenang-wenangan politik yang terjadi, banyak ketidakadilan yang kemudian menciptakan dendam dan trauma begitu dalam bagi korban-korbannya.

Dipicu oleh ketidakadilan global, dendam, dan trauma yang terjadi, orang lalu membangun kelompok-kelompok untuk melawan. Di dalam proses membangun kelompok tersebut, mereka menggunakan kesamaan identitas untuk mengikat serta mengumpulkan orang. Dalam arti ini, fanatisme menjadi simbol untuk melakukan perlawanan politik terhadap ketidakadilan global yang terjadi. Pengaburan cara pandang, sehingga kini diwarnai dendam, prasangka, dan trauma, adalah pilar epistemologis yang mendorong orang untuk menjadi fanatik.

Pilar Psikologis

Menurut saya, pilar psikologis ini berperan lebih besar dan mendalam daripada pilar-pilar lainnya. Pilar ini tertanam di dalam jiwa manusia, yakni di dalam kodratnya sebagai manusia, atau insting-insting alamiahnya. Pada titik ini, kita bisa menengok insting mempertahankan diri yang secara alamiah memang menjadi bagian dari diri manusia.

Fanatisme, dalam arti ini, adalah suatu cara untuk mempertahankan diri dan keterasingan dan kesepian jiwa. Orang belajar, bahwa mengikat erat dirinya secara ekstrem terhadap satu pandangan atau kelompok tertentu bisa membawa keselamatan dan ketenangan bagi jiwanya. Insting dasar manusiawinya lalu bekerja, dan menggunakan pola ini, yakni sikap fanatik, sebagai sesuatu yang normal, dan bahkan harus dilakukan demi mempertahankan diri.

Insting ini lalu dibarengi dengan ketakutan akan yang lain, yang memang sudah selalu ada di dalam diri manusia. Ketika berhadapan dengan yang berbeda, atau yang lain, ada dua kecenderungan manusia, yakni penasaran, lalu menjangkaunya, atau justru menjauh, dan menjaga jarak. (Margaretha, 2012) Di dalam jiwa orang fanatik, terutama setelah mengalami dendam, trauma, dan pengaruh-pengaruh sosial, orang otomatis akan mengambil sikap kedua, yakni menjauh dan menjaga jarak.

Persentuhan dengan yang lain, yakni orang-orang yang berbeda, menjadi tabu. Peleburan identitas dan hubungan dengan orang-orang yang berbeda menjadi sesuatu yang mustahil. Ketakutan akan yang berbeda menjadi cara berhubungan yang normal di dalam hidup sehari-hari. Fanatisme pun bertumbuh di dalam jiwa orang, dan siap melancarkan efek-efek menghancurkan yang ada di dalamnya.

Pada dasarnya, orang menginginkan kebebasan, dan bersedia mati untuk mencapainya. Ini bisa terlihat dari upaya revolusi politik dari berbagai bangsa dunia dari penjajahan, terutama pada awal dan pertengahan abad 20 lalu. Namun, ada sisi gelap dari kebebasan, dan orang takut untuk menghadapinya, yakni pertanggungjawaban, keberanian untuk berpikir sendiri, dan kemampuan untuk mempertimbangkan berbagai kemungkinan secara seimbang. Orang mengalami ketakutan dan kekhawatiran besar, ketika kebebasan melingkupinya.

Ketakutan tersebut mendorongnya untuk menyerahkan kembali kebebasan tersebut, dan memilih untuk tunduk pada ajaran kelompok maupun pandangan-pandangan yang lain yang “lebih pasti” di dalam melihat dunia. Pada titik ini, kita bisa bilang, bahwa akar dari fanatisme, yakni sikap ekstrem di dalam menghayati suatu pandangan, adalah kerinduan manusia untuk ditaklukkan oleh kelompok, dan ketakutannya akan kebebasan hidup.

Kebebasan itu mengerikan. Berpikir itu sulit dan melelahkan. Tanggung jawab atas pilihan yang telah diambil itu membebani jiwa. Maka, orang lebih memilih untuk takluk ke dalam ajaran kelompok yang bersifat mutlak dan pasti, serta mengingkari kebebasannya sendiri. Di alam kebebasan dan keterbukaan, orang malah rindu untuk ditaklukkan oleh kepastian dan kemutlakkan, yang merupakan jalan tol menuju fanatisme.

Fanatisme adalah gejala manusiawi. Segala upaya untuk memahami dan membongkarnya pun perlu menyadari aspek-aspek manusiawi, seperti lingkungan sosial, cara pandang, serta insting-insting dasariah manusia. Di dunia yang semakin terhubung dan terbuka ini, jalan tol untuk menjadi fanatik justru semakin mudah dan murah. Kita harus berjaga dan waspada selalu.

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

40 tanggapan untuk “Akar-akar Fanatisme”

  1. I really like this one, my friend! Sangat setuju sekali bahwa kebanyak fanatisme adalah akibat kegagalan untuk menerima konstruksi sosiologis dunia baru dimana keberagaman menjadi sangat gamblang. Dalam situasi ini, banyak yang gagal memahami, kemudian mengalami semacam withdrawal yang membuat antipati terhadap keberagaman di luar dan mendorong untuk tenggelam dalam ‘perlindungan’ sempit fanatisme.

    It is big and complex, but it is necessary to be discussed.

    Suka

  2. apakah semua model kefanatikan berdampak buruk? apakah tidak ada model kefanatikan yang membawa ke arah positif?

    Suka

  3. diskusi yang menarik sekali. saya terus mengikuti blog ini dan mungkin jga tertarik dengan analisis bung reza. namun yg jadi pertanyaan saya. bukankah orang-orang yang menolak fanatisme mati2an bukankah itu juga bentuk fanatisme? sehingga orang2 yg menolak fanatisme pada dasarnya adalah juga fanatik, fanatik terhadap kefanatismean dia sendiri. lantas bagaimana bentuk ketidakfanatikan? menurut saya bentuk ketidakfanatikan adalah dengan tidak mempedulikan orang-orang fanatik dan juga orang-orang yang kontra fanatik. menurut sya inilah bentuk ketidakfanatikan. terima kasih bung reza. salam kenal…

    Suka

  4. diskusi yang menarik sekali. saya terus mengikuti blog ini dan mungkin jga tertarik dengan analisis bung reza. namun yg jadi pertanyaan saya. bukankah orang-orang yang menolak fanatisme mati2an bukankah itu juga bentuk fanatisme? sehingga orang2 yg menolak fanatisme pada dasarnya adalah juga fanatik, fanatik terhadap kefanatismean dia sendiri. lantas bagaimana bentuk ketidakfanatikan? menurut saya bentuk ketidakfanatikan adalah dengan tidak mempedulikan orang-orang fanatik dan juga orang-orang yang kontra fanatik. menurut sya inilah bentuk ketidakfanatikan. terima kasih bung reza. salam kenal…

    Suka

  5. Mayoritas orang-orang fanatik hanyalah meereka yang berpengetahuan sempit bahkan terhadap pandangan-Nya sendiri, sehingga mereka dengan mudahnya untuk “Dibodohi”.

    Suka

  6. Ini argumen menarik. Anti fanatisme bisa menjadi fanatisme baru. Mungkin, kebijaksanaan yang tersembunyi disini adalah bersikap lentur di dalam hidup. Kelenturan menjauhkan kita dari fanatisme itu sendiri.

    Suka

  7. ketiga faktor di atas sangat sesuai dg apa yg trjadi di Indo, baik dl hal bragama maupun dlm hal2 sosial lainx. Lebih drpd itu sangatlah ptg klw org2 yg trjebak dlm primordialisme atau etnosentrisme membaca tulisan ini. Salam…

    Suka

  8. tetapi yg hrus kita ingat bhw ada yg disbt fanatisme sempit atau dangkal yakni fanatisme yg dibarengi dg subjektivitas atau dlm tataran trtntu sovinisme

    Suka

  9. Salam kenal.

    Saya seorang mahasiswa psikologi tingkat awal, jadi mohon maaf apabila pertanyaan saya terkesan remeh dan dangkal.
    Yang ingin saya tanyakan kalau nasionalisme itu termasuk sikap fanatik atau tidak?
    Terima kasih.

    Suka

  10. Tidak, selama nasionalisme itu tidak berubah menjadi tindak menghancurkan yang berbeda… selama nasionalisme ditujukan pada perkembangan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan, maka itu tidka bisa dianggap sebagai fanatisme.Bagaimana?

    Suka

  11. saya sering menjumpai hal2 yg berbau fanatik,,terlebih dlm beragama
    mereka cenderung tak mau belajar di masa sekarang karena takut akan terpengaruh pemikiran liberal,atau sekuler. dan ngerinya lagi,,kalo udah debat,,pasti udah saling mengkafir2kan,,menyalahkan dan bahkan mendosa-dosakan. jika sudah mulai pembicaraan ,akan berakhir debat kusir

    Suka

  12. Cukup mudah, fanatisme di klub bola didasari akan BIRG (basking in reflected glory) atau berjemur di kejayaan yang dipantulkan. Mereka merasa mereka adalah bagian dari klub tersebut jadi pada saat klub tersebut menang, mereka merasa mereka menang, pada saat klub tersebut kalah mereka merasa malu atau sedih atau marah. Padahal mereka tidak berbuat apa-apa, mereka hanya orang-orang yang tidak merasa hidupnya cukup menarik untuk dijadikan patokan kebahagiaan, jadi mereka sangat bergantung kepada kesuksesan orang lain untuk membahagiakan mereka. Miris sekali.

    Suka

  13. Mudah sekali dibedakan, orang yang fanatik kebanyakan tidak dapat diajak berdiskusi secara rasional dan tidak mau menerima perbedaan sama sekali, mereka cenderung agresif atau defensive bahkan sampai memakai kekerasan. Orang yang tidak fanatik mau berdiskusi secara rasional dan mau menerima bila memang mereka salah, mengakui bahwa mereka tidak tahu akan semua hal dan terbuka akan segala kemungkinan.

    Bila Anda ditantang untuk berdiskusi sesuatu yang berbeda dengan kepercayaan Anda lalu hal pertama yang Anda pikirkan “saya yang benar, dia yang salah, maka saya harus berdebat”, Anda fanatik. Bila Anda selalu dapat mengandai-andai kalau seandainya Anda atau apa yang anda percayai itu salah, kemungkinan Anda tidak fanatik.

    Suka

  14. selalu excited ketika baca artikel bapak. saya setuju dengan contoh kasus di atas, karena saya ada melihat seseorang yg kuliah di luar negeri, menurut saya dia pintar, tapi sayang dia fanatik dan terlihat angkuh karena merasa paling benar. sangat disayangkan banyak orang pintar secara intelektual tapi tidak cerdas secara emosi dan lemah pribadinya sehingga tidak bisa berpikir luas…

    Suka

  15. Hubungan Fans dengan idolanya adalah hubungan irrasional. Hubungan irrasional tentu saja tidak mewajibkan alasan rasional untuk mebenarkannya. Alasan rasional digunakan hanya untuk menaikkan martabat hubungan irasional tersebut.

    Suka

  16. Saya membedakannya dengan melihat argumen dasar yang menyertainya. Jika argumen yang dikapai pada cinta tanah air itu menggunakan argumen irasional yang mematikan argumen rasional, maka ia akan menjadi fanatisme (rasis). Jika argumen dasar cinta tanah air yang digunakan adalah argumen rasional yang meletakkan argumen irasional dibelakang rasionalitas maka itu adalah nasionalisme yang positif.

    Suka

  17. Rasanya Radikal tidak bermuara pada kebodohan tapi berawal dari kebodohan. Ketika masih dalam bentuk pemikiran/keyakinan maka disebut fanatisme, ketika sifat fanatik dapat membahayakan orang lain maka ia menjadi ekstrim. Ketika sikap ekstrim ini mewujud dalam tindakan maka ia menjadi radikal. Mestinya bukan lingkaran toh pak Reza? 🙂

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.