Manusia Perdamaian

Mihai Criste’s Painting

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman

Perang mencabik Syria. Ratusan ribu orang mati, karena letupan bom. Jutaan peluru beterbangan menerkam jiwa manusia. Sisak tangis sanak saudara mewarnai hari-hari keluarga yang ditinggalkan.

Media internasional meliput berita yang seringkali berat sebelah. Negara-negara kuat di dunia saling berwacana, apa yang akan terjadi dengan Syria, dan apa yang akan mereka lakukan dengan negara yang sedang tercabik perang tersebut. Sampai sekarang, belum muncul sosok-sosok manusia perdamaian, yakni manusia yang siap menjembatani konflik, dan mengakhiri kekerasan. Padahal, itulah yang kita butuhkan sekarang ini, tidak hanya di Suriah, tetapi juga di seluruh dunia.

Konflik

Konflik dan perang memang tak bisa dipisahkan dari hidup manusia. Seluruh tata dunia sekarang ini juga lahir dari perang dan konflik berdarah antar manusia. Karena perang, negara lahir. Karena perang, perjanjian dibuat, dan tata dunia pun terbentuk.

Pada level yang lebih kecil, hubungan antar manusia pun juga selalu diwarnai pertengkaran. Sahabat yang dekat juga seringkali terbentuk, karena mereka pernah bertengkar sebelumnya. Sepasang kekasih menjadi kekasih, karena mereka juga ditempa oleh konflik dan pertengkaran. Perang dan konflik memang merusak, tetapi juga mampu mencipta.

Di dalam setiap perang dan konflik kecil, selalu ada kepentingan tersembunyi yang tidak sepenuhnya dinyatakan. Kata yang keluar seringkali bukan kepentingan asli dari konflik atau perang yang terjadi, melainkan hanya permukaan yang menutupi kepentingan lainnya yang tak kelihatan. Hal ini, pada hemat saya, benar tidak hanya untuk perang yang sekarang mencabik Suriah, tetapi juga di dalam setiap konflik antar manusia.

Manusia Perdamaian

Di tengah situasi perang dan konflik, kehadiran manusia perdamaian amatlah dibutuhkan. Saya melihatnya setidaknya lima ciri dari manusia perdamaian. Yang pertama adalah kemampuan mengambil jarak. Manusia perdamaian tidak tenggelam dalam situasi yang negatif.

Mereka terlibat, tetapi tidak hanyut dalam emosi negatif yang lahir dari perang dan konflik. Mereka tahu, bahwa konflik harus segera berakhir, apapun taruhannya. Dendam dan marah memang ada, namun itu tidak menutup kejernihan mereka di dalam memahami situasi. Kekerasan berdarah, apapun taruhan dan dampak yang telah diciptakan, haruslah dihentikan.

Di dalam kehidupan, keadilan memang selalu lolos dari kenyataan. Namun, di mata manusia perdamaian, keadilan, walaupun tidak seratus persen, bisa tetap terwujud di kenyataan. Mereka berusaha menciptakan keadilan bagi kedua belah pihak yang berseteru. Peran mereka sebagai penengah amatlah penting untuk menciptakan perdamaian.

Di dalam proses menjaga jarak dari suasana negatif dan berupaya menciptakan keadilan, sosok manusia perdamaian menggunakan satu senjata andalan manusia, yakni kemampuan berempati. Empati adalah kemampuan orang untuk mengambil posisi orang lain, dan berusaha melihat dunia dari sudut pandangnya. Dengan empati, sosok manusia perdamaian mampu merasakan apa yang sesungguhnya menjadi kebutuhan setiap orang, terutama orang-orang yang berada dalam situasi konflik dan perang.

Kemampuan empati tidak mengaburkan kemampuan manusia perdamaian untuk memahami persoalan secara rasional. Mereka tetap bisa melakukan analisis, yakni memecah masalah ke dalam bagian-bagian, memahami akar masalah, dan melakukan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah. Ketajaman analisis dan kepekaan nurani, yang lahir dari sikap empati, adalah kunci untuk memahami dan menyelesaikan masalah-masalah kehidupan.

Berbekal sikap analitik dan empati, manusia perdamaian mampu mengungkap apa yang tak terungkap secara langsung. Dengan kata lain, mereka mampu bersikap kritis terhadap situasi, terutama melihat kepentingan yang tersembunyi di balik kata dan perbuatan. Ketika kepentingan yang sesungguhnya terungkap, proses perdamaian bisa segera dimulai, tidak lagi dengan kepura-puraan, tetapi dengan kesungguhan hati.

Kehadiran manusia perdamaian amat didambakan sekarang ini. Beribu konflik dan perang telah menyiksa manusia sepanjang sejarah. Keluarga berpisah, karena konflik di dalamnya. Jutaan orang mati, karena perang yang seringkali tanpa alasan yang masuk akal. Kita patut mengajukan pertanyaan kecil ini, jika bukan diri kita sendiri yang menjadi manusia perdamaian, siapa lagi yang bisa kita harapkan?

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

4 tanggapan untuk “Manusia Perdamaian”

  1. Greetings, I believe your web site could be having internet browser compatibility
    issues. When I look at your web site in Safari, it looks fine however, if opening in
    IE, it has some overlapping issues. I merely wanted
    to give you a quick heads up! Other than that, fantastic website!

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.