Dilema Para “Diktator”

Lukisan Mihai Criste

Oleh Reza A.A Wattimena,

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang belajar di Bonn, Jerman

Masyarakat Eropa Barat sudah biasa memisahkan dua ruang dalam hidupnya, yakni ruang publik dan ruang privat. Gaya berpikir semacam ini akhirnya menyebar ke Amerika dan Australia, serta juga menjadi bagian dari kultur mereka. Berkat proses globalisasi, gaya berpikir ini juga menyebar ke seluruh dunia, walaupun tidak seratus persen diterima begitu saja.

Di Jerman, ada ungkapan sehari-hari yang menarik untuk menjelaskan obsesi mereka pada ruang privat. Bunyinya begini, das geht Sie nichts an! Yang artinya, itu bukan urusanmu, atau itu tidak ada kaitannya denganmu! Ungkapan ini menegaskan sikap diktator orang-orang Jerman terhadap ruang privatnya. Dalam arti ini, diktator berarti orang yang memiliki kehendak  kuat untuk mengatur segalanya sesuai dengan keinginannya, dan, dalam konteks ini, ruang privatnya.

Sementara, untuk konteks ruang publik, ada ungkapan lainnya yang sudah begitu merasuk ke dalam kultur orang-orang Jerman, yakni Ordnung muss sein, yang artinya, segalanya harus ditata, segalanya harus memiliki aturan. Ini memang bukan ungkapan sehari-hari. Walaupun begitu, menurut saya, ungkapan ini telah menjadi bagian dari perilaku sehari-hari maupun cara berpikir orang-orang Jerman, yang ingin mengatur segalanya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dua sikap ini menggambarkan sikap diktator orang-orang Jerman terhadap ruang publik dan ruang privat dalam hidupnya. Segalanya harus diatur sesuai dengan pikiran dan rencana, baik ruang publik, yakni masyarakat, lalu lintas, dan segalanya yang terkait dengannya, maupun ruang privat, yakni urusan-urusan pribadi yang tak perlu dicampuri, seperti soal agama, selera, dan soal cinta. Di balik mentalitas ini, ada satu pengandaian yang amat kuat, yakni kesadaran diri manusia sebagai individu yang memiliki hak dan kekuatan untuk mengatur dunianya.

Kekuatan Sikap Diktator

Para filsuf idealisme Jerman, dari mulai Immanuel Kant sampai dengan Hegel, sudah menekankan pentingnya kesadaran diri ini. Bahkan, para filsuf Idealisme Jerman lainnya, seperti Fichte dan Schelling, banyak berbicara tentang aku, Ich, yang murni dan tak terkondisikan. Pikiran semacam inilah yang mendorong lahir dan berkembangnya sains di peradaban Eropa Barat, yakni manusia sebagai “aku” (Ich) yang bebas dan punya otoritas atas seluruh alam. Pikiran inilah juga,  menurut saya, yang melahirkan mentalitas diktator atas ruang publik dan ruang privat.

Dari sikap diktator ini, masyarakat Eropa Barat, terutama Jerman, melahirkan peradaban yang amat menekankan akurasi di dalam segala hal. Transportasi umum, seperti bis, kereta, dan pesawat berjalan seakurat mungkin dengan jadwal yang telah dibuat. Urusan pribadi dan urusan publik benar-benar dipisahkan, dan sama sekali tak boleh dicampur baurkan. Rapat dan janji dibuat setepat mungkin dengan apa yang telah disepakati.

Tak heran, Jerman adalah surga bagi orang-orang yang ingin mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan, yang memang amat menekankan akurasi di dalam berpikir. Mahasiswa dan peneliti dari seluruh dunia datang untuk belajar dan meneliti bersama. Para professor dari seluruh dunia datang untuk belajar, atau melakukan seminar bersama. Teknologi terbaru dibidang energi alternatif dan rekayasa genetika di Jerman pun kini menjadi acuan seluruh dunia.

Di sisi lain, sikap diktator terhadap ruang publik dan ruang privat ini juga melahirkan integritas pribadi maupun integritas sosial. Integritas pribadi berarti orang hidup dengan prinsip yang kokoh, dan tak dapat diganggu gugat, walaupun banyak tantangan di depannya. Sekilas, ia memang terkesan amat diktatorial dengan ketegasan prinsip dan tindakannya. Namun, orang yang memiliki integritas pribadi, yang sekilas mirip diktator, adalah orang yang jauh dari korupsi, dan seorang pemimpin yang pas di tengah situasi krisis dan penuh ketidakpastian.

Sikap diktator di dalam ruang publik juga bisa mendorong terciptanya integritas sosial masyarakat, yakni masyarakat yang kokoh identitas komunalnya, dan tak takut menghadapi perjumpaan dengan kultur yang berbeda. Dengan kata lain, diktator tidak hanya menghasilkan masyarakat yang tertutup dan terbelakang, tetapi juga masyarakat yang teratur dan tertata dengan baik di segala dimensinya. Ada sisi positif dari mentalitas diktator yang bisa kita pelajari, lepas dari beragam sisi jeleknya yang sudah kita ketahui.

Mungkinkah?

Pertanyaan kritis pada titik ini adalah, sejauh mana kita mampu menjadi diktator atas ruang publik dan ruang privat kita? Bagaimana pun, alam adalah sesuatu yang lain, dan jauh lebih besar, dari manusia itu sendiri. Kekuatan kehendak dan akal budi manusia tidak akan pernah sungguh menjadi tuan atas alam, melainkan hanya “seolah tuan” atas alam itu sendiri. Seketatnya pemerintah menata masyarakatnya, tetap saja, tidak akan pernah masyarakat itu, yang merupakan alam sosial, bisa diatur sepenuhnya.

Sikap diktator atas alam sosial juga bisa menjadi bumerang baru, yakni terciptanya masyarakat totaliter. Indonesia dan Jerman punya pengalaman yang serupa dalam hal ini, dengan NAZI di Jerman dan Orde Baru di Indonesia. Keduanya hendak secara total menata alam sosial sesuai dengan versi yang diinginkan. Keduanya gagal dan runtuh di tengah jalan.

Bagaimana dengan sikap diktator di dalam ruang privat? Orang bisa menciptakan jarak dengan orang lain, bahkan jarak yang sangat jauh. Namun, tetap harus diakui, kita amat membutuhkan orang lain, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Sikap berjarak, yang konon merupakan tanda kedaulatan ruang privat, juga bisa menjadi bumerang, yakni terciptanya kesepian, rasa curiga berlebihan terhadap orang asing, dan keterasingan diri di tengah kota yang justru amat padat penduduknya.

Sikap diktator juga ada batasnya. Realitas alamiah tak dapat sepenuhnya dipahami dan diatur oleh manusia. Realitas sosial juga selalu lolos dari genggaman kebijakan pemerintah yang hendak menatanya. Kehidupan pribadi juga selalu penuh kejutan, serta membutuhkan sentuhan orang lain, termasukan sentuhan dari orang-orang yang asing bagi kita. Gagal memahami fakta ini akan membuat kita gampang kecewa dan frustasi, ketika kehidupan memberontak dari rencana kita.

Sikap diktator memang perlu, tetapi harus tahu batas. Para diktator, yakni orang-orang yang punya kehendak serta kekuatan untuk menata hidupnya sesuai rencananya, selalu hidup dalam dilema, yakni menata hal-hal yang tak pernah sungguh bisa tertata, yakni kehidupan ini. Artinya, kita perlu mengatur segala hal yang tak pernah sungguh bisa diatur, namun tetap perlu untuk diatur. Inilah dilema para diktator.

Untuk situasi Indonesia, tentu saja, kita perlu lebih banyak diktator, terutama dari pihak negara. Polisi perlu menjadi diktator atas kelompok-kelompok masyarakat yang merusak hidup bersama. Polisi lalu lintas perlu menjadi diktator pada para pelanggar lalu lintas yang membahayakan hidup orang lain. SBY dan seluruh jajaran pemerintah Republik Indonesia perlu menjadi diktator yang tegas pada para koruptor yang menggerogoti sistem pemerintahan di Indonesia. Untuk itu, saya rasa, kita tidak perlu merasa dilematis. Setuju?

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

10 tanggapan untuk “Dilema Para “Diktator””

  1. Untuk sikap yang terakhir itu – Tak perlu dilema untuk Koruptor – saya setuju, Mas Reza 🙂 Kalau ada sikap dilematis barang sedikitpun menandakan ada sesuatu yang janggal.

    Wah Mas Reza sekarang sedang belajar di German?Semoga sukses selalu.
    Salam dari saya, salah seorang yang suka tulisan-tulisan Mas Reza.

    Suka

  2. 1. harusnya begitu pak, karena negara kita ini belum siap untuk dipimpin secara demokratis, butuh pemimpin2 yang diktator di Indonesia ini untuk menindak tegas dan benar2 berdiri pada apa yang menjadi prinsip dasar negara.
    2. mengenai diktator atas ruang privat , menurut saya pada kenyataannya tidak demikian, kita sering terjebak oleh aturan masyarakat dan norma2 yang dianggap benar tanpa melihat kondisi yang ada. sehingga ketika kita berusaha untuk menjadi diktator untuk diri kita sendiri, kita harus berjalan berlawanan arus dengan apa yang sudah ada dan kita dikatakan tidak taat atau pemberontak.
    contoh: cewek tidak boleh pulang malam-malam atau cewek tidak boleh sering-sering ke rumah cowok. sementara cowok bisa melakukan apa saja yang dia inginkan atas dirinya. sementara cewek punya batasan2 sehingga dia tidak memiliki diktator atas ruang privatnya sendiri. menurut bapak gimana?

    Suka

  3. Untuk poin satu, saya setuju. Ketegasan memang salah satu aspek dari sikap diktator. Namun, rakyat tetap harus mengontrol, agar ketegasan tersebut tetap sesuai dengan hukum yang berlaku. Untuk poin dua, sikap diktator ruang privat memang belum banyak berkembang di Indonesia, kecuali di beberapa elemen masyarakat di kota besar. Ada sisi positif dan negatif dari sikap diktator ruang privat. Tinggal kita memilih mana yang pas buat kita, lalu meninggalkan yang jelek.

    Suka

  4. sikap kediktatoran dibarengi dengan nafsu menguasai tanpa akal yang jernih…menurut saya sia-sia. kebanyakan diktator selalu merasaa dirinya yang paling benar mengurus negeri dan sikap ke-aku-annya itu menafikan pikiran di luar pikirannya…terima kasih..tulisan ini meliaht dari sisi lain dari seorang diktator.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.