Belajar untuk “Berhenti” Belajar (Unlearn)

thechangeblog.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Pengajar Filsafat Politik Unika Widya Mandala, Surabaya

Di tengah berbagai krisis bangsa, kita selalu menaruh harapan pada dunia pendidikan. Harapannya, dengan pendidikan yang bermutu, anak-anak kita akan menjadi pemimpin bangsa yang lebih baik untuk Indonesia di masa depan. Harapan itu, pada hemat saya, amat masuk akal. Percuma kita membenahi segala bidang kehidupan bersama, tetapi mengabaikan pendidikan. Pendidikan yang bermutu adalah kunci utama untuk menjadi bangsa yang berkarakter, yakni bangsa yang maju budaya serta peradabannya.

Namun, apa metode yang tepat untuk mendidik anak-anak kita? Jawaban atas pertanyaan ini mengajak kita untuk kembali ke lebih dari dua ribu tahun yang lalu, yakni ke dalam perdebatan antara Aristoteles dan Plato, gurunya, tentang pendidikan. Secara sederhana, Plato, dengan menggunakan mulut Sokrates di dalam tulisan-tulisannya, berpendapat, bahwa pendidikan adalah soal intelektualitas. Untuk menjadi baik berarti memahami sungguh apa artinya baik. Jika orang belum menjadi baik, maka ia tidak paham arti sesungguhnya dari baik itu sendiri.

Sementara itu, bagi muridnya, Aristoteles, intelektualitas semata tidaklah cukup. Memahami arti kata jujur tidak otomatis membuat orang jujur. Bahkan, pengertian sejati tentang kata jujur pun juga belum cukup untuk membuat orang menjadi jujur di dalam tindakannya sehari-hari. Kunci pendidikan adalah membentuk kebiasaan (habituation), sehingga akhirnya menjadi karakter. Untuk menjadi jujur, orang perlu dikondisikan dan dibiasakan untuk menjadi jujur, sehingga akhirnya kejujuran sungguh menjadi bagian utuh dari dirinya.

Situasi Indonesia

Pada hemat saya, dua pandangan ini juga menjadi inti perdebatan dunia pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, ada pandangan yang melihat pendidikan sebagai proses untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan pengetahuan serta informasi. Dalam konteks ini, penelitian amatlah penting untuk dilakukan. Pendidikan adalah proses membagi hasil penelitian kepada siswa, dan kepada masyarakat luas.

Di dalam pandangan ini, proses analisis adalah bagian utama dari pendidikan. Pendidikan berarti melihat dunia, dan membaginya ke dalam bagian-bagian kecil (analisis) dengan tujuan untuk memahaminya. Kunci utama pendidikan adalah pemahaman yang benar yang didasarkan pada informasi, penelitian, dan pengetahuan yang juga benar. Namun, sayangnya, pandangan ini, walaupun terkesan ilmiah dan masuk akal, punya kelemahan yang amat fundamental.

Yang pertama, informasi ilmiah hasil dari analisis sering hanya berhenti semata menjadi pengetahuan, hanya olah intelektual, tanpa mampu mengubah pandangan hidup seseorang. Orang bisa amat cerdas menyerap beragam informasi ke dalam dirinya, tanpa mengalami perubahan cara berpikir atas dirinya sendiri dan hidup yang dijalaninya. Ini pula yang menjelaskan, mengapa banyak teroris adalah orang-orang yang amat cerdas secara intelektual, namun mampu melakukan perbuatan kejam dengan membantai orang-orang yang tak bersalah.

Tumpukan informasi dan pengetahuan juga tidak mengubah perilaku seseorang. Orang bisa menyebutkan makna kejujuran dari beragam agama dan pemikiran para filsuf, sambil terus melakukan korupsi. Informasi pada akhirnya menjadi tumpukan sampah di kepala yang tidak mendorong perubahan cara berpikir, apalagi perubahan perilaku sehari-hari. Pada titik ini, kita perlu mempertimbangkan pandangan kedua.

Pandangan kedua menyatakan, bahwa informasi dan pengetahuan tidak cukup, tetapi juga harus sampai pada pengkondisian nilai-nilai hidup, sehingga akhirnya pengetahuan dan informasi menjadi nilai-nilai keutamaan yang membawa perubahan cara berpikir, dan juga membawa perubahan perilaku sehari-hari. Inilah yang menurut saya menjadi inti dari pendidikan karakter. Akan tetapi, apakah pendidikan semacam ini sudah ideal? Saya melihat setidaknya satu kelemahan mendasar di dalam pendidikan semacam ini.

Dasar dari pendidikan adalah kebebasan. Informasi dan pengetahuan digunakan untuk memperbesar kebebasan manusia di hadapan alam, sehingga ia tidak lagi tunduk patuh pada hukum-hukum alam semata, tetapi bisa bersikap kritis, dan turut serta di dalam menciptakan masyarakat, maupun alam. Konsep pengkondisian dan pembiasaan berusaha membentuk manusia seturut dengan hukum-hukum sosial yang berlaku di masyarakat. Dengan cara ini, eksistensi manusia disempitkan semata menjadi alat-alat masyarakat, dan kehilangan martabat yang dicirikan melalui kebebasannya.

Penyadaran

Di tengah perdebatan antara paradigma pendidikan Aristotelian (pembiasaan dan pengkondisian) dan Platonian (pengetahuan), saya ingin menawarkan satu pandangan, yakni pendidikan sebagai penyadaran (to be aware). Untuk menjalani proses penyadaran ini, orang harus belajar melupakan semua informasi maupun pengetahuan yang telah ia peroleh. Ia juga perlu berhenti menganalisis segala peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya. Orang harus belajar untuk unlearn.

Setelah semua informasi dan pengetahuan ditunda, dan pola berpikir analisis dihentikan, pendidikan harus mengajak orang untuk merasa, yakni merasa dengan keseluruhan eksistensi diri. Kejujuran tidak lagi sekedar konsep ataupun informasi, melainkan menjadi “rasa kejujuran” yang menempel di dalam seluruh diri. Kemurahan hati tidak lagi sekedar kebiasaan, yang sebelumnya dilatih dalam proses pengkondisian, melainkan menjadi gerak keseluruhan diri yang muncul dari perasaan yang mendalam tentang realitas itu sendiri.

Pada titik ini, pendidikan tidak lagi soal menghafal fakta, atau membangun kebiasaan, melainkan soal membangkitkan kesadaran diri manusia terhadap diri dan lingkungannya. Untuk melahirkan kesadaran semacam ini, orang perlu belajar untuk berhenti belajar (unlearn), dan melepaskan diri dari segala pola kebiasaan yang mencekik diri. Kesadaran mengubah cara orang di dalam melihat dunianya. Dan dengan itu, kesadaran mengubah seluruh diri manusia. Ia menjadi manusia yang bebas, bermartabat, sekaligus aktif membangun dunia dengan kebebasannya.

Ia tidak lagi menjadi bank informasi, yang hanya pandai menyerap dan memuntahkan informasi belaka. Ia tidak lagi menjadi robot-robot hasil bentukan lingkungan sosialnya melalui proses pembiasaan yang dilakukan secara rutin dan sistematik, sehingga menjadi pribadi yang tak mampu berpikir kritis, apalagi mengubah dunia ke arah yang lebih baik. Membangun kesadaran berarti menolak untuk tunduk pada satu atau dua pola pendidikan yang seringkali memenjara jiwa, melainkan melihat realitas apa adanya dengan segala rasa yang ada di dalam eksistensi diri manusia, lalu bertindak atas dasar rasa serta kebebasan itu.

Kualitas sebuah bangsa tidak dilihat dari tingkat ekonominya semata, tetapi dari kualitas pribadi orang-orang yang ada di dalamnya. Pribadi yang mirip bank informasi dan robot-robot patuh tidak akan membawa peradaban ke arah keagungannya, melainkan justru merusaknya. Pendidikan di Indonesia perlu menjadikan penyadaran sebagai jantung hati paradigma maupun kebijakan-kebijakannya. Hanya dengan begitu, kita bisa membangun harapan yang konkret akan masa depan yang lebih baik dan bermartabat untuk anak-anak kita.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

30 tanggapan untuk “Belajar untuk “Berhenti” Belajar (Unlearn)”

  1. mirip2 sama kuliah extensionnya romo Setyo kemaren tentang konsep pendidikan anak sejak usia dini dalam hal pembentukan karakter,,menarik euy,,,tar gue pinjemin hand out nya deh..*buruan ambil sebelom lo pergi yeee,,,,^^

    Suka

  2. Ketika kita masih kecil, isi otak semestinya terisi dengan kelakuan yg positif karna rekaman ketika dr kecil akan selalu melekat hingga tua nanti… semua awalnya terbiasa dan perlahan menjadi meresapi dan melakukan hal itu dari hati… sipppp artikelnya.. kalo aq jadi guru tk apa yg aq harus siapin ya..hehehe

    Suka

  3. Yth., Pak Reza Terima kasih kiriman tulisan-tulisan aktual Pak Reza. Bagaimana persiapan keberangkatan ke Jerman? Saya berharap semuanya lancar-lancar saja. Pak Reza baru saja saya menerima surat atas nama Pak Reza dari Penerbit Kanisius. Apakah saya boleh membukanya kemudian saya *scanning* dan saya kirim ke Pak Reza via *e-mail *atau tidak saya buka dan segerea saya kirimkan ke alamat Pak Reza di Jakarta? Mohon saya dikabari. Terima kasih.

    Pada 15 September 2012 11:33, Rumah Filsaf

    Suka

  4. hehehehe… justru kita harus melepaskan diri dari pembiasaan dan semua informasi yang kita miliki sejak kecil, mengkajinya secara kritis, dan belajar dengan kesadaran… hanya dengan begitu, kita tidak jadi bank informasi dan robot-robot patuh yang anti kemajuan…

    Suka

  5. Terima kasih untuk Pak Reza,bahwa tulisan Bapak sangat pas untuk dikembangkan.tetapi sebagai orang kampung Saya menyadari bahwa daya paham saya sedikit mungkin lebih rendah dari pembaca lainnya.dan karena itu Saya coba komentari tulisan Bapak dengan harapan mendapat umpan balik untuk menguji pemahaman Saya atas tulisan Bapak.Bahwa untuk menjadi orang yang dapat berbuat baik dan benar,tidak lagi bergantung kepada aba aba,atau teuri atau karena ada larangan tetapi lebih kepada membiarkan diri dikuasai dan ditaklukkan oleh kebenaran dalam perilaku, sebagai kebiasaan.terima Ksh.

    Suka

  6. “Untuk menjalani proses penyadaran ini, orang harus belajar melupakan semua informasi maupun pengetahuan yang telah ia peroleh. Ia juga perlu berhenti menganalisis segala peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya. Orang harus belajar untuk unlearn.” –> ini yang saya butuhkan saat ini!!! really i mean it! thanks

    Suka

  7. Halo, Pak Reza… menarik juga ternyata idenya. Muncul pertanyaan dalam pikiranku. Apakah seseorang bisa langsung melompat pada proses penyadaran tanpa melalui pembelajaran dan pengkondisian terlebih dahulu? apa yang perlu disadari jika tidak ada informasi dan pengkondisian terlebih dahulu?. karena jatuhnya belum belajar apa-apa sudah pake pembenaran “berhenti untuk belajar”. trims. salam pencerahan

    Suka

  8. Teringat pertanyaan ” Apakah pengetahuan menghasilkan pengalaman atau pengalaman yang menghasilkan pengertahuan ?” hehehe…

    Suka

  9. then….start with a new thing. seperti saya sekarang, kuliah lagi setelah 10 tahun bekerja, memulai belajar dari nol dan rasanya menyenangkan. sekalipun tidak semua hal saya terima begitu saja, tapi setidaknya saya sadar bahwa perlu sesekali kita untuk “unlearn” supaya mendapatkan sesuatu yang baru.

    Suka

  10. realitasnya, sedari kecil, kita sudah selalu belajar dan terkondisikan untuk merasa dan berpikir tertentu, ketika menanggapi suatu pengalaman tertentu. Proses belajar dan pengkondisian otomatis terjadi melalui perintah moral orang tua kita, maupun lingkungan sekitar kita. Ini semua yang membuat jati diri sosial kita terbentuk….

    Suka

  11. tu kannn sombonggg kann uda pergi ga blg2 kan loooo!!!!hhahahahahahha,,,,,aduh detilnya g lupa,,sebetulnya kan topik hr itu tentang Platon yg mengkritik seni dalam The Republic..cuma salah satunya dia menyinggung soal pendidikan anak usia dini yg baik dalam mencetak para prajurit yg tangguh. katanya kalo anak usia dini tuh harusnya diajarin puisi dan musik,,,gausa diajarin matematika atau ilmu2 yg ribet2 gt,,, ada jg jenis2 musik yg dianjurkan,,irama2 seperti apa yg dianjurkan supaya anak tu kuat..tidak kenor…heheheehhe,,istilahnya seru yak??tdk kendurr,,,hahahahahah,,,,selanjutnya lo tanya orangnya aje ndiri gmn?hehehe,.,.,,,tar gue salah lg neranginnya,,secara g nangkep jg cuma dikit2,,hehhe,,

    Suka

  12. ternyata selama ini saya baru sadar dengan eksistensi sy sebagai bank informasi. seharusnya wacana ini sy sadari sejak dulu.

    Suka

  13. gaada no hp nya gue,,lo tanya dosen lo yg masih disana ajah,,,pak budi hardiman atau siapa tuh pembimbing lo ituh

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.