Rekonstruksi Kesalehan

zcache.co.uk

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya

Pembantaian dan pembakaran di Sampang, Madura baru-baru ini sebenarnya bukan masalah baru. Untuk kesekian kalinya, masyarakat kita terjebak pada satu penyakit sosial yang akut, yakni tidak mampu hidup bersama di dalam keberagaman. Namun, sikap biadab itu tidaklah melulu berakar pada kejahatan manusia, melainkan pada niatnya untuk menjadi saleh. Orang-orang yang menyiksa, membunuh, dan membakar atas nama agama justru adalah orang-orang yang bercita-cita untuk menjadi orang saleh.

Paradoks Kesalehan

Dari kecil, kita diajarkan untuk menjadi orang-orang yang saleh. Kata saleh sendiri, di Indonesia, disamakan dengan kesalehan agama-agama. Setiap agama memiliki versi kesalehannya sendiri, yang seringkali tidak cocok dengan agama lainnya. Pada titik inilah masalahnya muncul; orang-orang saleh religius dikutuk untuk tidak bisa hidup bersama, karena mereka terperangkap dalam versi kesalehannya masing-masing.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata saleh diartikan sebagai beriman dan rajin beribadah. Kata beriman dan rajin beribadah mengandaikan ikatan pada tradisi religius tertentu. Dan setiap tradisi religius, agama, memiliki sikap tertutupnya masing-masing, terutama untuk mempertahankan keunikan ciri identitasnya. Pada titik ini, kita juga menemukan paradoks; semakin orang saleh dalam satu agama, semakin ia sulit untuk hidup bersama dengan orang-orang yang berbeda, maka semakin ia tidak saleh.

Saya menyebutnya sebagai paradoks kesalehan, yakni semakin orang saleh, maka ia semakin kehilangan kesalehannya. Masalah ini semakin terasa, ketika kita hidup di dalam masyarakat multikultur. Dalam arti ini, kultur adalah bentuk-bentuk cara hidup, dan multikultur berarti ada banyak bentuk-bentuk cara hidup yang tersebar di dalam suatu masyarakat. Di dalam suatu masyarakat dengan beragam bentuk-bentuk cara hidup, orang-orang saleh akan sulit untuk menjadi “saleh”.

Keberagaman

Nyatanya, Indonesia adalah suatu bentuk masyarakat multikultur. Ada begitu banyak ragam cara hidup tersebar di Indonesia. Beragam cara hidup itu melingkupi beragam cara beragama, pilihan ideologi, selera, orientasi seksual, ras, suku, etnis, dan sebagainya. Ketidakmampuan untuk mentransendensi sikap saleh, yang seringkali khas dan eksklusif agama tertentu, justru akan bermuara pada penindasan atas orang-orang dengan bentuk-bentuk cara hidup yang berbeda. Sikap saleh yang naif dan tidak berpikir akan bermuara tidak pada kebaikan, melainkan sebaliknya, yakni pada kebengisan itu sendiri.

Satu-satunya cara untuk menciptakan hidup yang bermutu di masyarakat multikultur adalah dengan menjadi pribadi rileks dan moderat. Menjadi rileks berarti siap untuk tidak ngotot memperjuangkan apa yang benar menurut diri sendiri. Menjadi moderat berarti siap untuk menertawakan sikap-sikap ngotot yang tersebar di masyarakat, tanpa jatuh dalam sikap penghinaan. Sikap rileks dan moderat inilah yang, pada hemat saya, kurang tertanam di benak orang-orang Indonesia.

Kutukan dari orang-orang saleh adalah mereka justru akan menjadi bengis dan kejam, ketika sedang berusaha menjadi orang yang saleh. Satu-satunya cara untuk menghindari pola gelap semacam itu adalah dengan menjadi rileks dan moderat. Menjadi rileks dan moderat, dalam konteks ini, berarti siap melihat ironi dan komedi yang tersembunyi di balik sikap ngotot, yang seringkali ditunjukkan oleh orang-orang saleh. Namun, bagaimana caranya untuk menjadi orang yang rileks dan moderat di tengah masyarakat multikultur, seperti Indonesia, sekarang ini?

Menjadi Rileks dan Moderat

Untuk bisa menjadi pribadi yang rileks dan moderat, kita perlu setitik relativisme dalam hidup. Berbeda dengan banyak orang di Indonesia, yang begitu terpesona akan kepastian, relativisme mengajarkan, bahwa hal-hal yang kita anggap mutlak di dalam dunia ini sebenarnya relatif, dalam arti tergantung pada konteks tempat, waktu, budaya, dan orangnya. Setitik relativisme baik untuk kesehatan jiwa, dan, tentu saja, kesehatan masyarakat itu sendiri.

Di tengah masyarakat yang begitu kaku dan terpesona pada kesalehan moral agama-agama, kesadaran akan perspektivisme baik untuk diperkenalkan. Dalam arti ini, perspektivisme adalah paham yang menyatakan, bahwa kebenaran di dunia manusia yang sementara dan cacat ini amat bergantung pada perspektif orang yang melihat. Perspektif adalah sudut pandang, dan sudut pandang setiap orang berbeda-beda satu sama lain, walaupun tetap bisa ditemukan irisan di antaranya.

Kesalehan tradisional religius, di dalam masyarakat multikultur, haruslah ditinggalkan. Yang kita perlukan kemudian adalah kesalehan 2.0, yakni kesalehan moral yang disertai dengan ciri rileks, moderat, dan relativisme. Kesalehan 2.0 ini, pada hemat saya, adalah salah satu keutamaan yang harus dipunyai setiap orang, supaya bisa hidup harmonis di dalam masyarakat multikultur, seperti Indonesia. Bagaimana menjelaskan kesalehan 2.0 ini?

Kesalehan 2.0

Kesalehan 2.0 bersikap rileks di hadapan segala kemutlakkan dunia. Ia tidak menjadi pasrah dan menyerah, melainkan berjuang tanpa sikap ngotot yang seringkali bermuara pada kebengisan. Saleh 2.0 bukanlah fatalisme, yakni paham yang menyatakan, bahwa kita harus menyerah dan pasrah pada takdir serta gerak dunia, melainkan sebaliknya, yakni tetap berjuang untuk sebuah nilai, namun dengan sikap terbuka, dan dengan sedikit humor.

Dalam arti ini, orang-orang saleh 2.0 berhasil melampaui kesempitan berpikir orang-orang saleh tradisional-religius sebelumnya. Mereka mencari dan menemukan tujuan yang lebih tinggi, yang berhasil melampaui tata nilai eksklusif agama-agama kuno. Mereka bukanlah orang-orang dangkal, melainkan sebaliknya, mereka menjalankan hidup yang bermakna, dengan tujuan yang jelas dan layak untuk diperjuangkan, serta sehat jiwanya.

Orang-orang saleh 2.0 terhindari dari kutukan orang-orang saleh, karena mereka bersikap rileks dan moderat. Orang-orang Indonesia harus mulai melampaui niat kesalehan tradisionalnya, dan memeluk kesalehan 2.0 ini, karena ini adalah keutamaan yang membuat kita di Indonesia, sebagai masyarakat multikultur, bisa hidup bersama dalam perdamaian. Hanya dengan begitu, kita bisa sedikit menjamin, bahwa hal-hal traumatif dan negatif, seperti di Sampang kemarin, tidak terjadi lagi di masa depan.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

39 tanggapan untuk “Rekonstruksi Kesalehan”

  1. Banyak wajah bertopeng, raja Daudpun pernah bertopeng saat diatas istananya melepas pandang pada wanita sedang mandi, si Besyeba gadis manis bersuami prajurit, Sang Raja bertitah “Pergilah berperang untuk membela bangsa” pada si prajurit, ‘tak lama kemudian sang prajurit tewas di medan perang yang terancang kalah telak. Adalah saat emas bagi Raja Daud untuk men “curi” Besyeba sebagai istrinya.
    Wajah manis bertopeng di Indonesia adalah fakta kemajemukan budaya, terlalu lama budaya kita mengajar untuk membuat beda-beda antar manusia, darahnya ada yang merah, biru, A,B,C; umurnya beda, kelaminnya beda; kulitnya beda, agamanya beda, tempatnya lahir beda, tembok klasifikasi inilah yang sering kali membuat “tak sadar” bahwa ada manusia yang merasa lebih baik dan bijak dari yang lain. Yang anehnya kata bijaknya adalah “lebih baik” — jadi berhak untuk menindas yang “kurang baik”. Kesanku di lingkungan hidupku juga demikian he he mungkin aq sendiri yang merasa diri sendiri yang “kurang lebih baik” — lhu ya lhu lah, gue ya gue lah — masa bodo dengan orang yang merasa “lebih baik”, Pak mohon tanya apakah kesimpulan kebenaran Relative dan Subyektif itu salah dalam pandangan Bapak? Aq paling ‘tak mau peduli dengan namanya agama budaya saat ini. Aq ngak mau cari Tuhan di tempat ibadah karena aq ‘tak pernah bertemu Tuhan di tempat ibadah. He he aq orang paling moderat ya….

    Suka

  2. Berbicara ttg kesalehan berarti berbicara ttg nilai. Dan berbicara ttg nilai tdk bisa lepas dari landasan pembentuk nilai dan landasan penilai nilai. Landasan pembentuk nilai dalam konteks ini adalah ajaran agama. Yg menjadi masalah, landasan apakah hendak dipakai sebagai penilai nilai. Sosio-kultural? Kemanusiaan universal? Hemat saya, ketika suatu landasan penilai bergerak dalam suatu ketegangan dialektis, maka validitasnya sebagai penilai nilai sangat dapat dipertanyakan. Salam…

    Suka

  3. Kebenaran itu, menurut saya, tak bisa diungkapkan sepenuhnya dengan bahasa, dan selalu bersifat paradoksal, yakni sekaligus relatif, sekaligus universal. Itu saja yang bisa saya katakan dengan menggunakan bahasa yang amat terbatas ini. Salam..

    Suka

  4. Saya setuju dengan anda. Sebelum menganut suatu nilai, atau bertindak atas dasar nilai, kita perlu untuk menguji keabsahan nilai itu dulu dengan sikap kritis dan terbuka. Disini yang selalu muncul tegangan dan gesekan yang memang tidak nyaman, tetapi harus dilakukan..

    Suka

  5. kesalehan merupakan ekspresi kepekaaan hati terhadap realitas yang dialami. banyak masyarakat public berdiskusi tentang kesalehan, termasuk di mimbar rumah ibadat sayangnya trkadang itu hanya sebatas wacana belaka lebih dari tindakan itu tidak kelihatan ekspresinya

    Suka

  6. Setuju…, dan dari sana, hemat saya, sikap toleransi yang menerima eksistensi mereka yg berbeda meski menolak keyakinannya dapat dibangun. Btw, sekarang di Jkt? Sukses terus utk yg Reza kerjakan. Salam…

    Suka

  7. Sebagai penutup diskusi, ijinkan saya mengusulan satu bentuk kesalehan yang meski mempertahankan keunikan agama, namun menerima keberagaman sebagai realita yang ada. Yang meski mempertahankan klaim2 eksklusif, namun tidak memaksakannya kepada orang lain. Yang meski tidak setuju dengan pandangan keyakinan yang berbeda, namun menerima eksistensi mereka sebagai sesama manusia. Sehingga pada akhirnya dapat diwujudkannya kesalehan diri di ruang publik. Dan mudah-mudahan “paradoks kesalehan” tidak lagi berparadoks. Salam…

    Suka

  8. buat saya kesalehan cuma topeng untuk menutupi kebusukan diri dan itu menguntungkan untuk beberapa orang, terutama di kalangan politikus. dan terkadang kesalehan itu menjadi bunglon di tengah masyarakat. saya orang yang termasuk taat agama tetapi tetap saya mau menjadi orang yang realistis dan kritis terhadap lingkungan sekitar saya. karena banyak hal pembodohan di sekitar kita berkedok agama dan kita tidak sadar akan hal itu karena takut dihukum Tuhan.

    Suka

  9. ya pak, kesalehan versi tulisan bapak yaitu rileks dan moderat, artinya tidak perlu ngotot. tetapi saya menulis begitu karena di Sampang-Madura itu bulan desember akan diadakan PILKADA pak, saya khawatir ini hanya kedok politik untuk menjatuhkan salah satu calon bupati di kota Sampang, karena Sampang-Madura itu dikenal sebagai serambi mekkah kedua, maka orang2 disana terutama yang tinggal di desa (karena kasus ini terjadi di desa bukan di kota Sampangnya) mudah sekali diprovokasi begitu. mereka nggak bisa pak, kalau sudah bicara agama mereka sensitive sekali. makanya kenapa saya berkomentar begitu. karena bapak mengambil kasus kerusuhan di Sampang. kerusuhan itu terjadi di desa Omben (masih wilayah Sampang). dan pada saat kejadian seperti itu di kota Sampangnya tidak apa-apa, aman saja. kenapa saya bilang realistis karena saya melihat kondisi yang ada. mereka tidak menjadi orang yang kritis dalam agama mereka karena mereka percaya sekali apa katanya pemimpin agama mereka tanpa ada kajian yang jelas. saya berharap sekali mereka bisa berubah menjadi orang saleh yang rileks dan moderat. bukan cuma mereka, kita semua. mereka itu ngotot perihal agamanya bukan karena mereka tahu kok pak, karena mereka di bayar atau taat, pengabdian pada pemimpin mereka. jadi ya begitulah hehehhe>>>

    Suka

  10. begitu ya. Menjadi rileks dan moderat juga berarti menjadi rileks dan moderat dalam memerangi para fanatik. Ketika kita sama kerasnya dengan orang yang kita “perangi”, maka kita juga kehilangan kesalehan 2.0 yang seharusnya kita pegang erat. Sikap ngotot, termasuk ngotot membela sikap kritis, pun juga harus dicegah. Suatu saat nanti, saya berpikir untuk membuat semacam proyek “Filsafat masuk Desa”. 🙂

    Suka

  11. Mas Reza, apakah tulisan ini boleh saya muat di Majalah SOROT Pusham Unair edisi Agustus-September 2012? karena tema majalah SOROT edisi ini adalah : kekerasan sipil – potret kegagalan berbangsa???

    Suka

  12. setujuuuuu! kalau mau saya bisa bantu, saya juga ada rencana kalau bazaar buku saya berhasil bulan januari 2013, saya akan buat perpustakaan keliling ke desa-desa dan buat acara ke desa-desa di tempat saya. tapi mungkin biar bazaar bukunya jalan dulu, sambil menunggu saya lulus kuliah dan kalau saya tidak menikah cepat ya pak hahahhahahaha…….

    Suka

  13. bebicara tentang kesalehan sama aja dengan bibicara eksitensi manusia yang seperti apa? sebab masing-masing manusia memiliki tujuan dan makna tentang kesalehan tersebut, seperti Derida yang mendekonstrusi makna yang berujung tidak memberi solusi namun cukup kritik atas konstruksi sosial atau kesalehan hanya sebuah “simulakra” yang tidak pernah menampakkan realitas sebenarnya……….dan manusia hanya sebagai Dasein yang terlempar oleh ruang dan waktu dan hanya menuggu kematian…..

    Suka

  14. Pendapat menarik, tetapi amat pesimis, dan sulit untuk membangun gerakan moral yang kuat untuk memperbaiki Indonesia. Mungkin, pendapat ini lebih pas ditujukan pada para fanatik dan fundamentalis. Salam kenal ya…

    Suka

  15. Kesalehan adalah soal kemanusiaan, bukan semata soal definisi agama atau moralitas sosial tertentu. Selama kemanusiaan, dalam artian menghargai kehidupan sebagai sebuah proses terbuka untuk menjadi manusia lebih baik tanpa menghancurkan kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri, menurut saya sudah mencerminkan kesalehan 🙂 Pendeka kata, kesalehan sesungguhnya tentu tidak berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan

    Suka

  16. Ada semacam kekhawatiran lain dalam diri saya ketika anda berkata bahwa menjadi moderat dan rileks itu kita harus berpikir relatif. Tapi apa yang anda maksud dengan relatif? Menerima bahwa semua benar atau sebaliknya? Kalau semuanya menjadi benar, lalu apa arti dari kebenaran itu sendiri? Bukankah kata “benar” ada karena ada kata “salah”? Kalau semua menjadi relatif, bukankah kita tidak akan mengenali mana yang benar dan salah? Kalau sudah begitu, kita akan mengalami kebingungan nilai. Kita kemudian menjadi tak tanggap, acuh tak acuh, kaku, diam, tidak memberikan komentar. Apakah yang seperti ini yang dimaksud dengan moderat? Saya khawatir kita moderat bukan karena kita bijak, tapi karena tidak tahu dan tidak mau tahu.

    Suka

  17. salam kenal balik mas kalau tidak salah kita pernah ketemu dan saya berharap lebih sering ketemu siapa tahu saya dapat belajar tentang bagaimana membangun Indonesia lebih bermoral dan berbudaya.

    Suka

  18. saya masih di Surabaya masih belum ada perubahan, oh ya selamat sekarang sudah ada di Jerman, saya tunggu gagasan2 selanjutnya n dapat berbagi pengetahuan2………

    Suka

  19. Terima kasih bung Reza atas ulasan yang bermanfaat….maaf baru balas. Memanusiakan manusia artinya bagaimana masing2 pribadi menilai orang lain tidak berdasarkan kebenaran relatif, melainkan berdasarkan kebenaran absolut. Alasannya,masing2 orang memiliki pandangan,pendapat dan apolegetika yang berbeda dan menurutnya benar, dan pada gilirannya menjadi fanatisme dan ngotot seperti yang bung Reza sampaikan. Pertanyaannya adalah kenapa manusia satu dengan lainnya berbeda? tentu ada maksud Sang Khalik. Oleh karena itu, paradigma saya mengenai kesalehan adalah harus dibangun berdasarkan nilai kebenaran absolut, yang terbagi 2 yaitu: 1) pengembangan dan refleksi spiritualitas pribadi bagi pembentukan iman,mentalitas,moralitas dan intelektualitas (ibadah/doa, sholat, membaca Alkitab, Qur’an, dsb); 2) aktualisasi substansi sifat atau perilaku moral yang baik tanpa syarat. Bila dianologikan dengan ukuran baju, maka itu tidak bisa dipaskan kepada orang lain, cukup untuk kita saja, dan orang lain bisa melihat bahwa baju yang kita pakai cocok. Dengan demikian, kita bisa lebih fileks dan moderat dalam bermasyarakat dan membangun kebersamaan masyarakat Indonesia…. Oya, salam kenal bung Reza

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.