Enam Kesesatan Berpikir Orang Indonesia

wikimedia.org

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya

Mengapa bangsa kita sulit sekali untuk bergerak menjadi bangsa maju? Dalam arti ini, bangsa maju memiliki tiga ciri berikut, yakni kemakmuran ekonomis yang merata di seluruh warganya (kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin tipis), keadilan hukum dan jaminan atas hak-hak asasi bagi semua rakyat (lepas dari ras, suku, agama, ideologi, dan orientasi seksual), dan munculnya produk-produk dari bangsa tersebut, baik dalam bentuk barang ataupun jasa, yang berguna bagi banyak orang. Jika dilihat dari tiga indikator ini, maka jelas, bahwa bangsa Indonesia sama sekali belum bisa disebut sebagai bangsa maju.

Mengapa ini terjadi? Pada hemat saya, ini terjadi, karena kita mengalami kesesatan berpikir yang melanda berbagai bidang kehidupan di Indonesia. Saya setidaknya menemukan enam kesesatan berpikir yang bisa dengan mudah ditemukan di dalam diri orang Indonesia pada umumnya, yakni cara berpikir teologis-mistik, kemalasan berproses/kultur instan, logika jongkok, konformisme kelompok, tidak taat perjanjian, dan bekerja setengah hati.

Kesesatan Berpikir

Orang Indonesia pada umumnya senang sekali melompat ke ranah teologis-mistik, ketika berusaha menjelaskan hidupnya. Ketika ada masalah, ia tidak mencari akar masalahnya terlebih dahulu, melainkan melompat untuk melihatnya sebagai bagian dari Kehendak Tuhan atas dirinya. Ini terjadi, menurut saya, karena kemalasan berpikir mandiri dan rasional sebagai manusia, sehingga melemparkan segalanya ke Tuhan. Ini adalah sikap kekanak-kanakan. Selama kita masih melihat segala sesuatu dengan kaca mata teologis-mistik semacam ini, kita tidak akan pernah berhasil melampaui masalah-masalah konkret kehidupan yang kita hadapi sehari-hari.

Orang Indonesia juga malas sekali menempuh proses. Mereka cenderung mencari cara yang cepat dan praktis untuk sampai pada tujuan-tujuannya, walaupun cara-cara itu seringkali bersifat koruptif. Kita juga suka langsung berbicara penerapan, sebelum kita sungguh-sungguh menguasai suatu ilmu ataupun teknologi yang ada. Yang kemudian terjadi adalah, dalam jangka pendek, kelihatannya semua baik-baik saja. Namun, haruslah juga diingat, bahwa segala hal yang dibangun dengan cepat dan instan selalu rapuh, dan mudah hancur, ketika diterpa badai masalah kehidupan.

Di sisi lain, logika orang Indonesia adalah logika jongkok. Dalam arti ini, logika dapat dipahami sebagai segala upaya untuk menjelaskan mengapa suatu hal terjadi. Logika jongkok berarti ketidakmampuan untuk membedakan mana sebab dan mana akibat, sulit berpikir runtut, tidak mampu membangun argumentasi yang memadai, dan akhirnya salah mengambil keputusan. Penyakit logika jongkok ini dengan mudah ditemukan, mulai dari keputusan-keputusan politis tingkat tinggi, sampai kehidupan sehari-hari yang terkait dengan keputusan-keputusan kecil dalam hidup.

Setengah Hati

Orang Indonesia juga amat peduli pada tekanan kelompok. Banyak tindakan dilakukan bukan atas dasar kesadaran diri, melainkan atas dasar “apa kata orang”, dan paksaan kelompok. Ketika diminta berpikir sendiri, dan membentuk pendapat pribadi, kita cenderung bingung. Tindakan yang lahir dari keterpaksaan hanya akan menghasilkan kekacauan di kemudian hari. Tak heran, banyak tindakan yang kita lakukan sehari-hari, karena didasarkan pada keterpaksaan, tidak memberikan dampak yang diinginkan. Yang terjadi kemudian adalah ketidakbahagiaan hidup.

Di sisi lain, orang Indonesia juga sulit sekali patuh pada peraturan dan perjanjian. Padahal, peraturan seringkali dibuat untuk keselamatan mereka sendiri, seperti misalnya peraturan lalu lintas, dan peraturan terkait kelestarian lingkungan. Namun, karena abai, mereka justru melanggarnya atas dasar alasan-alasan yang tidak masuk akal. Perjanjian yang telah dibuat pun seringkali dilanggar, juga karena alasan-alasan yang bodoh. Ketika banyak peraturan dan perjanjian dilanggar, ketika itu pula kehidupan bersama jadi kacau, karena banyak hal meleset dari tujuan.

Puncak dari semua ini, menurut saya, adalah tidak adanya kesungguhan hati di dalam menjalankan hidup. Banyak orang Indonesia tidak hidup sesuai dengan cinta dan passion-nya sebagai manusia, sehingga segalanya dilakukan dengan setengah hati. Bekerja tidak sungguh-sungguh. Bekerja tidak untuk mengembangkan diri dan dunia, melainkan semata untuk mengeruk keuntungan finansial belaka. Apapun yang dilakukan setengah hati hanya akan menyiksa diri, dan akhirnya akan menghasilkan hal-hal yang kualitasnya setengah pula.

“Enam kesesatan berpikir” ini saya peroleh dari pengalaman dan pengamatan saya, selama hidup dan bekerja dengan orang-orang Indonesia selama lebih dari 29 tahun ini. Kesesatan berpikir adalah sumber utama dari kesesatan tindakan, dan kesalahan dalam pembuatan kebijakan yang melanda berbagai bidang kehidupan di Indonesia dewasa ini. Langkah pertama adalah dengan menyadari adanya kesesatan-kesesatan berpikir ini di dalam pelbagai perilaku orang Indonesia. Baru dengan begitu, kita bisa mulai mengubahnya.

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

56 tanggapan untuk “Enam Kesesatan Berpikir Orang Indonesia”

  1. Memang, masih banyak lagi sifat-sifat buruk orang Indonesia, apalagi kalau menyimak ulasan klasik Almarhum Mochtar Lubis mengenai “penyakit mental” orang Indonesia.

    Tapi, sebenarnya masih banyak pribadi handal di Indonesia yang patut menjadi teladan dan sumber inspirasi.

    nurani saya tersentak di saat terik matahari, seorang pemulung tua menggayuh becak reotnya demi seonggok barang rongsokan untuk mempertahankan hidup.

    Kalau Donny Gahral Adian menyebut para pemulung sebagai penyelamat lingkungan, saya menyebutnya petarung handal kehidupan. Ketegaran, kesetiaan pada profesi memulungnya, adalah penghayatan hidup yang inspiratif.

    Bagi saya, kehidupan kaum miskin menyimpan penghayatan hidup dengan segala kebijaksanaan khasnya dan menjadi pengasah nurani (kalau kita mau peduli).

    Terimakasih, Salam Kenal Mas Reza.

    Suka

  2. setujuuuuuuuuu!!!!!!!!!!! sayapun berpikir apa yang bisa saya rubah dari Indonesia??? gimana mau maju, kalau orang-orang di dalamnya lebih cinta hal-hal yang dari luar daripada produk2 Indonesia sendiri??? contoh paling sederhana yang sedang booming sekarang yaitu seni dan music korea, banyak boy and girl band korea yang digemari anak2 muda Indonesia, pertanyaan di kepala saya, kenapa yang dicintai justru hasilnya bukan prosesnya gimana mereka bisa buat music korea hingga mendunia. padahal saya belajar sejarahnya kerennnnnnnnn! pemerintah membiayai setiap orang2 yang mau ahli di bidang seni (music, dance dsb) ke amerika, setelah mereka ahli, mereka pulang ke negaranya dan memajukan negaranya! itu yang benar! apa yang tidak impor sekarang di Indonesia…semua impor kok, padahal orang yang mampu dan pintar di Indonesia banyak di luar negeri sana, tetapi mereka tidak mau kembali ke negaranya, karena alasan yang klasik. jadi bagaimana??? susahkan???

    Suka

  3. Ya. Saya ingat ulasan klasik tersebut. Kalau saya melihat fenomena itu, saya melihat kegagalan kita, masyarakat, untuk menghargai jerih payah orang untuk bertahan hidup. Tidak ada yang patut dibanggakan dari fenomena itu. Salam kenal juga ya.

    Suka

  4. dari sisi individu, faktor mental menjadi pertama. tetapi apa yang membentuk mental semacam itu? ada nilai-nilai dan kebiasaan tertentu yang secara diam2 berakar dalam pemikiran dan laku masyarakat kita. Saya percaya, ada faktor individu (orang indonesia) atas keterpurukan ini, akan tetapi saya juga percaya ada sebuah sistem yg lebih besar yg mendorong individu memiliki mindset semacam itu. mungkin doktrin2 kapitalisme, sistem pendidikan yg mengabdi pada politik, penguasa dan pengusaha…dsb …. tidak banyaknya kelas filsafat dan pemikiran kritis adalah salah satu buktinya…

    Suka

  5. Ya. Ada interaksi rumit antara sistem dan individu. Sistem dibuat oleh manusia, sekaligus membuat manusia itu sendiri. Kesesatan berpikir tentu berakar pada konteks sosial sekaligus konteks individual manusia itu sendiri. Keduanya tak bisa dipisahkan. Mandulnya pemikiran kritis dan filsafat, terutama di level politik praktis Indonesia, memang, seperti anda bilang, adalah gejala yang nyata.

    Suka

  6. Saya sangat setuju,bahwa akibat dari kesesatan berpikir adalah semakin berusaha menyelasaikan persoalan,setiap kali memunculkan persoalan yang baru…haa…ha…ha…ha…

    Suka

  7. Emang yah kalo sudah menjadi kebiasaan pasti sulit untuk diubah (‘sulit’ diubah yah, brarti masih ada kemungkinan bisa diubah), kyk uda kebiasa makan nasi stiap hari tapi diganti makan roti. hehehe

    Suka

  8. penggalian mendalam lagi mengenai sumber kultur berpikir tersebut, apakah dari agama,atau kepercayaan lokal saja….kalau dari agama atau kepercayaan lokal ya kita bisa rekonstruksi pemahaman keagamaan kita..namun yang jelas, saya (maaf) tidak sependapat jika agama dikaitkan dengan keterbelkangan berpikir….tulisannya sangat bagus…makasih pa reza…saya suka mengnjungi blog ini

    Suka

  9. bang reza benar sekali, di indonesia sendiri masih sangat primitif soal ras & agama… banyak yang bilang ras A,B,C orangnya sombong2 jadi wajib di musuhin bla bla bla, ahirnya saling bermusuhan karena perbedaan ras dan agama…. kalo dari sisi pandang saya lihat pakai mata kepala sendiri dan gak main nuduh sembarangan… jangan mendengar kata orang lain… malahan yang sesama saja bisa saling bermusuhan, rugi dong hasil kerja keras leluhur kita yang menyatukan bangsa, tapi generasi sekarang malah memutuskan tali persodaraan dan jadi pecah belah…..

    Suka

  10. Saya kira masalah utamanya cuma satu. Pendidikan umum yang mendorong daya tarik duniawi (harta, tahta dan popularitas) terlalu gencar sementara pendidikan kita diberikan oleh orang-orang yang mengalami penyakit yang sama. Mari kita ubah pendidikan dasar kita sebagai tempat mendorong berpikir, bukan solusi untuk masa depan. Toh itu akan lebih mudah dicapai pula bila pemikiran cukup baik.

    Suka

  11. Kuncinya pada integritas seseorang, karena kebanyakan kita masih suka membenarkan hal-hal yang sudah biasa bukan membiasakan diri untuk berpikir dan berperilaku yang benar. Dan saya termasuk sangat percaya bahwa integritas dan karakter seseorang sangat dibentuk oleh pendidikan informal di dalam keluarga / lingkungan masyarakat maupun pendidikan formal di sekolah / bangku kuliah, di samping pilihan pergaulan dan upaya penambahan wawasan yang dilakukannya secara individu

    Suka

  12. Bisa ditambahkan dua ciri orang Indonesia. Malas mencatat, miskin budaya tulis menulis. Sebagai akibatnya orang Indonesia tidak teliti, tidak akurat, gampang lupa atau mudah, dengan sengaja membelokkan fakta. Contoh konkrit, kita punya banyak versi surat Centini, juga ada beberapa versi Surat Pemerintah 11 Maret yang berbeda satu sama lain.
    Orang Indonesia sangat mementingkan citra, image, status, pandangan dari orang lain, dari pada substansi. Pesta perkainan amat sangat penting karena menyangkut citra keluarga. Bila perlu keluarga itu harus ngutan habis-habisan, atau korupsi. Kemdibud suka sekali dengan angka-angka prestasi pendidikan kita, seperti kelulusan 99,48% yang sama sekali tidak mengambarkan prestasi yang sesnguhnya.

    Suka

  13. suka sama topik nya. dan bener bgt…..!!!!
    1. Orang-orang indonesia itu cendrung suka sok tahu. Merendahkan orang, mencibir orang, dan suka iri kalau melihat ada orang yang lebih baik dari mereka. Baik itu dari segi pendidikan, financial, wajah dan tubuh. Juga untuk penampilan, baju, ponsel, tas, aksesoris, kendaraan, rias wajah, mereka suka iri dan ga sudi untuk dikalahin.
    2. Gak mau dikalahin. Jika mereka merasa terjepit, maka dipakelah sistem keroyokan. Kasihan kan yang dikeroyok…. Padahal belum tentu dia yang salah. Berlaku juga untuk ditempat kerja dan sekolah.
    3. Provokative dan juga mudah untuk diprovokasi. Tidak mencari tahu dulu kebenarannya, langsung percaya saja. Ikut memusuhi si “musuh masyarakat” itu. Ooooohhhhh………… Betapa dangkal pikirannya….
    4. Wawasannya sempit.Tapi ngerasa yang paling benar dan tahu. Gak mau denger omongan orang. Padahal belum tentu dia yang benar.
    5. Mendramatisir keadaan atau cerita. Tukang fitnah dan provokativ.

    Suka

  14. Blah.. blah.. blah.. bacot.

    Jangan kawatir. Bangsa abal ini sudah tak tertolong lagi. Jadi habis gini bubar. Tapi itu akan lebih baik karena akhirnya banyak daerah di Indon yg akan bisa mengelola dan menentukan nasib mereka sendiri. Kan selama ini kalo ente” mau pikir, siapa sih yg menikmati hasil dari ‘persatuan’ & ‘perjuangan’ bangsa Indon? Dan sebetulnya bukan salah mereka juga. Bangsa Indon-nya aja yg terlalu dongo. Pendidikan aja kwaliteit jauh dari India, jangakan saingan sama China. Elit pemerintah sepertinya sengaja rakyatnya di-cacat mental-kan selamanya. Sikap busuk dari yg elit diatas sampai para jongos dibawah itu bagaikan kegilaan berjamaah secara massal.

    Dulu bersatunya kan karena melawan belanda. Kalo sekarang yg mau diusir siapa? Meskipun ada target musuh bersama (koruptor misalnya), perbedaan antara jakarta tempat semua uang berputar dan bagian” Indon yg lain sudah tak terjembatani lagi. Dan lagi, apa ente” yakin ibukota Indon Jakarta? Kok duitnya pada di kota Singa? Berdoa aja saat pecah-nya sebentar lagi tidak terlalu berdarah darah.

    Bagaikan karkass yg sudah dipenuhi belatung, meskipun diatasnya tumbuh jamur bunga ekonomi yg indah, bangsa ini tinggal terurai.

    Peace ya ndon…

    Suka

  15. Menurut saya sumber “retarded” penyakit masyarakat itu dari TOA masjid agama islam. Kerjanya menakut-nakuti, menyalahkan orang, bicara yg paling benar, mematikan logika. So.. There you go.

    Suka

  16. Menurut saya tentang peraturan dan pelanggaran itu ibarat pertanyaan “mana lebih dahulu, telur atau ayam?”.hehe bagaimana menurut Pak Reza?

    danke lai

    Suka

  17. Baru menemukan blog ini, dimana blognya sudah ditulis 3 tahun yang lalu. Ulasan yang sangat kreatif dan terbuka, terlebih dari sudut pandang seseorang yang menyukai filosofi. Saya sendiri lama di luar negeri, sehingga lebih jelas melihat pola pikir atau kebiasaan orang Indonesia pada umumnya.

    Yang saya mau tambahkan dari poin2 di atas adalah, kurangnya pendidikan dasar yang mengajarkan moral kepada anak2 pada usia dini yang akan membentuk pola pikir mereka di kemudian hari. Seingat saya, di sekolah dasar, murid hanya diajarkan untuk menghafal, tidak berpikir secara kritis maupun tidak dibiasakan untuk berpendapat, sehingga memang susah sekali untuk seseorang untuk bisa berpikir “out of the box” (bisa di google arti dari kutipan tersebut bagi yang tidak mengerti). Dari kecil kita sudah dididik untuk lebih takut terhadap yang tua, bukan melihat hal secara rasional dan bisa berpendapat yang masuk akal (mungkin ini juga karena difaktorkan ini bagian dari budaya timur sendiri).

    Sekian dari saya, terima kasih!

    Suka

  18. Terima kasih atas pendapatnya. Sampai batas tertentu, moralitas itu penting. Namun, ia juga bisa menjadi penyakit bagi masyarakat. Coba cek posting saya dengan judul “Moralitas itu Berbahaya”

    Suka

  19. Saya baru menemukan tulisan ini setelah 3 tahun ditulis 🙂

    terima kasih pak reza atas tulisannya.

    Btw setelah kita menganalisis dan berhasil menyimpulkan kesesatan berpikir orang indonesia,apakah ada solusi untuk itu semua pak?

    Karena saya sendiri yakin bahkan dalam beberapa dekade mendatang rata2 orang indonesia keadaannya akan juga masih menjadi seperti ini.

    Suka

  20. Saya cuma ingin menyampaikan apresiasi untuk tulisannya, mas Reza. This is really validating to me. Saya berharap semakin banyak orang Indonesia yang memiliki naratif seperti ini di pikirannya. Semoga semakin banyak orang yang merasakan kecemasan ketika sadar bagaimana orang Indonesia hidup selama ini. Conformity memang memberi rasa penerimaan dan syarat2 yang kelihatan komprehensif untuk ngerasa bener, free of judgment, dan bermoral, tapi untuk mulai beralih dari kapak batu ke kapak logam kita harus pakai imajinasi manusia, benar-benar merasakan apa yang salah dan apa yang bisa diperbaiki, atas motivasi sendiri. Kita harus temukan cara menghadapi pikiran-pikiran kolot yang menghakimi, berusaha bikin kita ngerasa bersalah untuk alasan2 yang nggak rasional dan… simply spiritually discouraging.

    Suka

  21. Sepertinya akan menjadi lebih menarik dan efektif counter measure-nya ketika bisa dirunut lagi root cause dari ke enam temuan diatas, misalnya:
    1. Cara berpikir teologis-mistik <– Kedangkalan dalam pemahaman agama
    2. Kemalasan berproses/kultur instan <– Budaya instan
    3. Logika jongkok <– Sistem pendidikan (orang tua & sekolah) yang tidak kritis
    4. Konformisme kelompok <– Fanatisme Irrasioanl
    5. Tidak taat perjanjian <– Pendidikan rumah
    6. Bekerja setengah hati <– Budaya

    Sebab2 ini tidak berhenti hanya disitu bisa terus dirunut hingga ditemukan root cause.
    Secara umum saya melihat bahwa budaya di rumah sangat kurang mendukung. Banyak orang tua yang tidak memiliki cukup pengetahuan (nudaya) untuk bisa ditularkan kepada anak2nya. Anak2 tumbuh sembarang. Sistem kekeluargaan di masyarakat indonesia mengakibatkan hampir setiap orang ikut serta dalam "mendidik" (saudara, kakek/nenek, tetangga dll). Budaya2 dasar jarang terlihat di masyarakat indonesia, seperti budaya disiplin, budaya tanggung jawab.

    Suka

  22. Kesesatan ini memang sudah mengakar di dalam budaya, yakni keseharian hidup orang Indonesia… prosesnya panjang, mulai dari tradisi feodal, ajaran agama yang disalahpahami sampai dengan penjajahan selama ratusan tahun

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.