Demokrasi dan Ingatan Kolektif di Indonesia

http://kachinlandnews-jinghpaw.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Sejak berdirinya pada 1945 lalu, negara Indonesia sudah sepakat menjadikan demokrasi sebagai sistem politiknya. Namun, jika dilihat secara dekat, negara Indonesia tidak pernah bisa sungguh menjadi negara demokratis. Di masa Sukarno, demokrasi sempat dipelintir menjadi demokrasi terpimpin, yang sebenarnya adalah totalitarisme terselubung. Sukarno bagaikan seorang “raja” yang siap mengarahkan bangsa Indonesia ke arah yang ia kehendaki. Fungsi kontrol masyarakat, dan fungsi parlemen, pun otomatis lumpuh pada masa-masa itu. Pada era Orde Baru, situasi kurang lebih serupa. Soeharto berperan sebagai tiran militer yang bersembunyi di balik kedok demokrasi. Sekali lagi, Indonesia terjebak dalam sistem politik totalitarisme terselubung yang dijaga ketat oleh militer dengan cara-cara yang menindas. Di era reformasi, pasca 1998, Indonesia dilanda euforia kebebasan. Di dalam situasi semacam ini, anarkisme dan politik yang berpijak pada identitas-identitas primordial, seperti agama, ras, suku, dan golongan, memainkan peranan besar. Untuk ketiga kalinya, kita gagal membentuk masyarakat demokrasi yang sesungguhnya.

Di sisi lain, sebagai bangsa, ingatan kita amatlah pendek, terutama terkait dengan berbagai peristiwa-peristiwa jelek yang terjadi di masa lalu, mulai dari penculikan, pembantaian massal, penggusuran, korupsi, dan sebagainya.. Banyak peristiwa-peristiwa besar terlupakan, sehingga kita tidak bisa menarik pelajaran apapun darinya. Akibatnya, banyak peristiwa dengan pola yang sama terulang lagi, dengan skala yang lebih besar, dan orang-orang yang berganti. Pada hemat saya, ada kaitan amat erat antara kegagalan kita menciptakan masyarakat demokratis di satu sisi, dan ketidakmampuan kita untuk mengingat apa yang sungguh terjadi di masa lalu, terutama mengingat peristiwa-peristiwa negatif yang pernah terjadi. Kaitannya terletak pada kegagalan kita kembali untuk hidup dalam keberagaman, yang sebenarnya merupakan fondasi dari demokrasi, feodalisme yang mengalir deras dalam kehidupan politik dan sosial kita sebagai bangsa, serta korupsi yang terus terjadi, seolah tanpa henti.

Di dalam tulisan ini, saya ingin mengajukan argumen, bahwa demokrasi haruslah didasarkan pada ingatan kolektif yang kokoh, terutama ingatan kolektif terkait beragam peristiwa negatif yang pernah terjadi di masa lalu, yang dimiliki oleh komunitas terkait. Untuk menjelaskan argumen itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian. Awalnya, saya akan menjelaskan dasar-dasar konsep demokrasi, dan kaitannya dengan konsep ingatan kolektif. (1) Untuk ini, saya banyak terbantu dari uraian Ros Harrison. Berikutnya, saya akan menjelaskan terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan ingatan kolektif. (2) Untuk ini, saya menggunakan dasar teoritis yang dikembangkan oleh Bridget Fowler dan Jill Edy. Berikutnya, saya akan mencoba untuk melihat ketidakmampuan Indonesia berproses sebagai negara demokratis dengan analisis ingatan kolektif yang dimilikinya. (3) Tulisan ini akan saya tutup dengan kesimpulan dan catatan. (4)

1. Nilai-nilai Dasar Demokrasi

Demokrasi, secara harafiah, berarti pemerintahan yang dilakukan dengan menjadikan rakyat (demos) sebagai pemegang kekuasaan (kratos) tertinggi. Dalam arti ini, secara formal, demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tentu saja, di dalam negara-negara berpenduduk kecil, demokrasi bisa berjalan secara langsung, di mana rakyat secara langsung menentukan apa yang baik untuk dirinya sendiri melalui mekanisme diskusi publik. Namun, di negara-negara berpenduduk besar, seperti Indonesia, rakyat diwakili oleh orang-orang yang duduk di dalam perwakilan rakyat, dan mereka inilah yang memastikan, bahwa seluruh kerja pemerintahan mengacu pada kepentingan rakyat. Dari sudut pandang ini, menurut saya, demokrasi mengandaikan nilai-nilai moral tertentu di dalam prakteknya, seperti nilai kejujuran, keadilan, keterwakilan, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat yang lebih tinggi, dan bukan pada kepentingan sebagian kecil kelompok ataupun golongan yang ada di masyarakat.

Sejauh pengalaman di Indonesia pasca reformasi 1998 lalu, demokrasi dilihat dengan hati yang mendua. Di satu sisi, banyak orang memuja demokrasi sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang paling pas untuk mengantarkan bangsa Indonesia menuju keadilan dan kemakmuran. Di sisi lain, banyak juga orang mengutuk demokrasi, karena membiarkan kekacauan terjadi, atas nama kebebasan berpendapat. Karena banyak kekacauan yang bersembunyi dibalik adagium kebebasan berpendapat, maka usaha-usaha konkret untuk sungguh membangun keadilan dan kemakmuran di Indonesia pun terhambat. Pada level ontologis, yakni pada dirinya sendiri, konsep demokrasi pun juga sudah mengundang pro dan kontra. Banyak orang mendukung nilai-nilai dasar demokrasi, seperti kebebasan dan kesetaraan antar manusia. Namun, banyak juga yang berpendapat, bahwa nilai-nilai tersebut merusak tata sosial yang telah berabad-abad menyangga masyarakat manusia.[1]

Sepanjang sejarah pemikiran manusia, konsep demokrasi pun terus mengundang perdebatan. Para filsuf politik, mulai dari masa Yunani Kuno sampai sekarang, tidak memiliki pendapat yang sama, ketika mereka berbicara soal demokrasi. Seperti dicatat oleh Harrison, Jeremy Bentham, filsuf utilitarian asal Inggris, setuju dengan ide-ide dasar demokrasi.[2] Namun, Jean-Jacques Rousseau, filsuf politik Prancis, menolak konsep dan penerapan demokrasi, sebagaimana diterapkan di Indonesia sekarang ini. Baginya, di dalam demokrasi, rakyat harus berpartisipasi langsung, dan tidak bisa diwakilkan. Perwakilan politik, seperti pada DPR di Indonesia, hanyalah berujung pada penyelewengan kehendak rakyat. Pada hemat saya, persis itulah yang sekarang terjadi di Indonesia. Perwakilan rakyat justru menjadi aktor utama yang menyelewengkan kehendak serta kepentingan rakyat. Karl Marx, filsuf politik asal Jerman, juga memiliki versi demokrasinya sendiri, yakni demokrasi yang digerakan oleh kepentingan kaum pekerja, dan diciptakan melalui revolusi politik dan perjuangan kelas.

Di masa Yunani Kuno, yang menggunakan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, para filsuf pun masih berdebat tentang hakekat demokrasi, serta cara-cara penerapannya. Cukup untuk diketahui, bahwa Plato dan Aristoteles, dua filsuf yang paling berpengaruh di masa Yunani Kuno, tidak setuju menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Bagi Plato, pemimpin dari sebuah masyarakat haruslah seorang filsuf raja, yakni pimpinan yang hidup untuk mencari apa “yang baik”, dan menerapkannya di dalam pola pemerintahannya. Lepas dari perdebatan ini, sekarang ini, di seluruh dunia, demokrasi sudah menjadi semacam paradigma politik, yakni suatu pandangan yang diakui bersama sebagai pandangan yang dominan.[3] Mengapa ini bisa terjadi? Menurut Harrison, ini terjadi, karena demokrasi memiliki nilai-nilai dasar yang memiliki aspek universal, dalam arti diakui oleh cukup banyak orang sebagai nilai-nilai yang baik.[4] Pada bagian ini, dengan berpijak pada pemikiran Harrison, saya akan mencoba menjabarkan nilai-nilai dasar yang menopang paham maupun sistem politik demokratis.

Nilai pertama sebagaimana dinyatakan oleh Harrison adalah nilai pengetahuan. Semua kebijakan di dalam masyarakat demokratis haruslah berpijak pada pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan, dan diterapkan juga dengan pengetahuan yang menyeluruh tentang konteks yang ada. Artinya, tidak hanya data yang cocok dengan realitas, tetapi penerapan kebijakan-kebijakan publik di dalam masyarakat demokratis harus juga dengan cara-cara yang tepat. Untuk itu, pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan amatlah dibutuhkan. Dapat juga dikatakan, menurut saya, bahwa masyarakat demokratis adalah masyarakat pengetahuan. Demokrasi tidak dapat berfungsi, jika pengetahuan tidak dikembangkan melalui penelitian-penelitian yang bermutu. Di sisi lain, pengetahuan juga harus selalu mempertimbangkan nilai kedua dari demokrasi, yakni nilai otonomi.

Menurut Harrison, otonomi adalah nilai yang bersifat universal baik. Dalam arti, manusia, apapun latar belakangnya, adalah manusia yang utuh, jika ia mampu menjadi tuan atas dirinya sendiri. Dengan demikian, otonomi adalah nilai yang baik, karena membiarkan manusia mengatur dirinya sendiri.[5] Harrison juga menegaskan, bahwa di dalam masyarakat demokratis, nilai otonomi, yakni kemampuan manusia untuk mengatur dirinya sendiri, amatlah penting. Otonomi adalah salah satu nilai dasar dari demokrasi. Tanpa otonomi, tidak akan ada demokrasi. Pada level individual, orang-orang yang hidup di alam demokrasi adalah individu-individu yang mengatur dirinya sendiri, dan siap bertanggung jawab atas keputusan-keputusan yang diambilnya dalam hidup. Pada level kolektif, masyarakat demokratis adalah masyarakat yang mengatur dirinya sendiri. “Ide sentral dari demokrasi,” demikian tulis Harrison, “adalah tata kelola diri sendiri. Di dalam demokrasi rakyat mengatur dirinya sendiri.”[6]

Di dalam masyarakat demokratis, ada dua hal yang kiranya amat perlu diperhatikan di dalam pembuatan kebijakan publik. Yang pertama, tentu saja, isi dari kebijakan-kebijakan publik yang dibuat. Seperti sudah disinggung sebelumnya, di dalam masyarakat demokratis, kebijakan publik haruslah dibuat dengan berpijak pada penelitian-penelitian bermutu yang telah dilakukan sebelumnya. Yang kedua adalah proses-proses dari pembuatan kebijakan publik tersebut. Proses tersebut haruslah terbuka untuk publik, dan dibuat melalui proses diskusi maupun konsultasi dari masyarakat sekitar, yang terdiri dari orang-orang yang otonom, yakni mampu mengatur dirinya sendiri. Konsep demokrasi radikal, dimana setiap orang diajak ikut serta di dalam proses-proses pembuatan kebijakan publik, berdiri di atas fondasi dasar, bahwa setiap orang adalah manusia yang otonom, yakni yang mampu membuat keputusan, dan mengontrol dirinya sendiri, lalu bekerja sama untuk membuat kebijakan-kebijakan publik yang baik untuk kepentingan bersama.[7]

Di dalam filsafat politiknya, Hegel sudah melihat adanya masalah dalam pandangan ini. Baginya, hukum yang ada di masyarakat tidaklah pernah identik dengan moralitas, yang merupakan pandangan yang berada di dalam hati individu. Logikanya begini, ketika setiap orang mampu menentukan dan mengatur dirinya sendiri, maka seringkali apa yang dipikirkannya tidak identik dengan apa yang terjadi di luar dirinya, yakni di masyarakat. Moralitas, yang ada di dalam diri manusia, tidak selalu bisa sejalan dengan hukum yang berlaku di masyarakat. Jika ini yang terjadi, maka orang menjalankan sesuatu, karena hukum mengharuskannya, dan bukan karena kehendak dari dalam dirinya. Dengan kata lain, pada detik orang terlibat dalam hidup sosial, otonominya terancam, sehingga tidak lagi utuh, melainkan tinggal separuh, karena ia, mau tidak mau, harus bernegosiasi dengan orang dan situasi sekitarnya. Pada hemat saya, ini adalah keniscayaan politis, yakni sesuatu yang tak terelakkan dalam hidup bersama. Oleh karena itu, menurut saya, pada hakekatnya, demokrasi adalah demokrasi deliberatif, yakni demokrasi, dimana setiap kebijakan dibangun atas dasar diskusi rasional antara semua pihak yang berkepentingan dengan kebijakan tersebut. Dengan pola ini, otonomi setiap individu bisa tetap terjaga, walaupun memang status mutlaknya tak bisa dipertahankan.

Nilai ketiga yang, menurut Harrison, menjadi fondasi demokrasi adalah kesetaraan. Menurutnya, di masa Yunani Kuno dulu, “kebebasan dan kesetaraan adalah ciri utama dari demokrasi.”[8] Dengan kata lain, semakin besar kebebasan dan kesetaraan di dalam suatu masyarakat, maka semakin demokratislah masyarakat tersebut. Di dalam sejarah perkembangan masyarakat manusia, dorongan untuk menciptakan masyarakat demokratis amatlah kuat, dan ini terlihat dari semakin besarnya tuntutan atas kesetaraan di berbagai bidang kehidupan, terutama bidang politik. “Setiap kekuasaan penerus”, demikian tulis Harrison, “bertambah sebagai tanda meningkatnya kesetaraan, membuat kelompok-kelompok yang berbeda masyarakat memiliki kekuatan politik yang lebih setara.”[9] Bersama dengan status pengetahuan yang sahih dan nilai otonomi, kesetaraan adalah fondasi ketiga dari demokrasi. Dengan kata lain, ketiga konsep ini adalah kondisi-kondisi kemungkinan bagi terciptanya demokrasi.

Di sisi lain, menurut Harrison, kesetaraan adalah suatu nilai politis. Dan sama seperti nilai politis lainnya, makna dari kata kesetaraan pun terus berubah, dan terus menjadi bagian dari perdebatan politik di masyarakat. Ada beragam tafsiran tentang apa makna sesungguhnya dari kesetaraan. Semua tafsiran tersebut mengklaim, bahwa mereka adalah fondasi yang terpenting dari demokrasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Harrison, kesetaraan memungkinkan terciptanya demokrasi, dan demokrasi, pada akhirnya, juga memperbesar atmosfer kesetaraan di masyarakat. Pertanyaan yang cukup penting disini adalah, apakah benar, bahwa kesetaraan akan meningkatkan kualitas demokrasi di masyarakat, dan, dengan demikian, meningkatkan keadilan, kemakmuran, serta kecerdasan masyarakat? Dan yang lebih mendasar dari itu adalah, apakah kesetaraan di dalam realitas kehidupan sosial politik itu mungkin? Inilah dua pertanyaan yang, pada hemat saya, perlu untuk didalami dan ditanggapi lebih jauh.

Satu hal yang membedakan demokrasi dengan sistem pemerintahannya lainnya, seperti teokrasi, oligarki, ataupun monarki, adalah perlakuannya yang melihat semua warganya sebagai subyek-subyek hukum yang setara, yang memiliki harkat maupun martabat yang sama. Bagaimanapun juga, seperti dinyatakan oleh Harrison, demokrasi adalah “pemerintahan oleh semua, yang jelas bertentangan dengan pemerintahan oleh satu orang (monarki), ataupun pemerintahan oleh beberapa orang (oligarki).”[10] Dengan kata lain, ketika kita berbicara tentang demokrasi, konsep kesetaraan antar manusia sebagai subyek hukum yang memiliki harkat dan martabat yang sama sudah selalu terkandung di dalamnya. “Tidak lagi, itu dapat dipikirkan, dapat dan perlu dikatakan,” demikian tulis Harrison, “kesetaraan secara praktis ikut dari makna kata tersebut (demokrasi-Reza).”[11]

Namun, ada masalah dalam ide ini. Secara konseptual, kita bisa langsung menerima, bahwa kesetaraan adalah ide dasar dari demokrasi, bahkan sudah inheren di dalam konsep demokrasi itu sendiri. Namun, di level penerapan, demokrasi pada akhirnya menjelma menjadi voting, dan suara terbanyaklah yang menentukan keputusan tertinggi. Dengan kata lain, demokrasi berakhir pada dominasi suara mayoritas atas suara minoritas. Hal ini tidak terelakkan, karena prosedur demokrasi niscaya akan mengantarkan seluruh proses pembuatan keputusan pada situasi semacam itu. Dalam arti ini, dapatlah dikatakan, bahwa demokrasi tidak mendorong terciptanya kesetaraan, melainkan sebaliknya, yakni demokrasi justru menciptakan kesenjangan antara kepentingan mayoritas dan kepentingan minoritas. Inilah yang kerap kali disebut dengan demokrasi sebagai tirani mayoritas.

Menurut saya, lepas dari segala kekurangannya, demokrasi tetap merupakan bentuk pemerintahan yang terbaik di antara berbagai bentuk pemerintahan lainnya yang lebih buruk. Ini terjadi, karena demokrasi memiliki mekanisme pengecekan kekuasaan yang paling tinggi, sehingga tidak ada satu pun kekuasaan yang bisa diselewengkan untuk waktu yang lama. Dengan mekanisme pengecekan ini, proses-proses yang adil untuk mendirikan masyarakat yang cerdas, adil, dan makmur bisa dipastikan berjalan. Ini tentu saja mengandaikan, bahwa proses-proses demokrasi, dengan nilai-nilai dasarnya, seperti pengetahuan yang mencukupi, kesetaraan, dan otonomi warga negara, cukup kuat tertanam di masyarakat. Argumen yang ingin saya tawarkan dan pertahankan di dalam tulisan ini adalah, bahwa sistem pemerintahan demokrasi tidaklah berdiri di ruang kosong, melainkan berpijak pada konteks, dan konteks itulah yang disebut sebagai gelombang ingatan kolektif yang menentukan identitas sekaligus jati diri masyarakat terkait. Pertanyaan berikutnya yang perlu untuk diperdalam adalah, apakah yang dimaksud dengan ingatan kolektif?

2. Ingatan Kolektif

Konsep ingatan kolektif adalah konsep yang elusif, artinya sulit untuk didefinisikan, namun amat dirasakan kehadirannya. Walaupun begitu, di abad kedua puluh, banyak pemikir dari berbagai bidang ilmu mulai menganalisis konsep ini, dan mengamati dampaknya bagi kehidupan manusia secara luas. Kata ingatan kolektif terdiri dari dua kata, yakni kata ingatan, dan kata kolektif. Keduanya memiliki makna berbeda, dan memiliki arti yang lebih luas, ketika kedua kata tersebut disandingkan. Untuk memahami makna konsep ini, saya akan menggunakan pemikiran Bridget Fowler dan Jill Edy.

Filsuf pertama yang secara komprehensif mencoba memahami fenomena ingatan manusia, menurut Fowler, adalah Henri Bergson.[12] Pada masa ia hidup, yakni sekitar akhir abad 19 di Paris, Bergson mencoba mengajak kita memikirkan konsep ingatan dan pikiran manusia dengan cara-cara yang baru, yang sebelumnya tak ada. Sebelumnya, ingatan dipandang sebagai suatu gudang yang berisi beragam bentuk ide dan informasi. Pandangan ini ditantang oleh Bergson. Baginya, sesuai dengan semangat filsafat modern yang kental pada jamannya, ingatan adalah proses dialektis antara tubuh manusia dan peristiwa yang dialaminya. Lebih dalam dari itu, baginya, ingatan adalah hubungan antara pikiran dan materi. Interaksi antara pikiran dan materi ini, menurut Fowler, akan menghasilkan apa yang kita sebut sebagai persepsi. “Seluruh proses persepsi”, demikian tulisnya, “tergantung pada seleksi yang rumit, di mana informasi dari saraf yang diterima dari dunia luar disaring melalui gambaran ingatan dari masa lalu, di dalam pusat visual dari ingatan di dalam otak.”[13]

Dalam arti ini, menurut Fowler, pemikiran Bergson tentang ingatan menjadi jembatan antara paham subyektivisme dan obyektivisme di dalam memahami ingatan. Secara singkat, subyektivisme dalam teori tentang ingatan menyatakan, bahwa ingatan itu bersifat subyektif, dalam arti hanya dimengerti oleh orang yang mengalaminya, dan tidak memiliki acuan di luar dari diri orang itu. Sementara, paham obyektivisme dalam teori tentang ingatan menyatakan, bahwa ingatan merupakan cermin dari dunia di luar diri manusia. Ingatan menjadi semacam film yang mengulang secara persis apa yang pernah terjadi di luar diri manusia.

Menurut Bergson, keduanya adalah pandangan yang sifatnya reduktif atas ingatan manusia. Artinya, kedua pandangan itu menyempitkan pandangan tentang ingatan hanya pada satu sisi semata, dan melupakan sisi-sisi lainnya. Setiap bentuk pengetahuan manusia lahir dari persepsinya atas dunia. Persepsi tersebut, menurut Bergson sebagaimana dibaca oleh Fowler, disaring oleh pikiran manusia (yang memiliki sejarah dan kerumitannya sendiri), namun tetap harus memiliki acuan di luar manusia itu, artinya memiliki bukti-bukti nyata, bahwa itu sungguh ada dan terjadi. “Ingatan”, demikian tulis Fowler, “dengan demikian, bukan merupakan gudang ataupun kamera, tetapi terdiri dari sirkuit, seperti arus listrik, antara pikiran dan materi.”[14]

Bergson, sebagaimana dibaca oleh Fowler, masih membicarakan konsep ingatan dalam konteks individual. Pertanyaan kemudian adalah, bagaimana memahami konsep ingatan dengan menempatkan dimensi kolektif di dalamnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menggunakan pemikiran Emile Durkheim tentang apa artinya kolektivitas, atau apa yang disebutnya sebagai fakta sosial. Setiap makna dan simbol lahir dari manusia individual. Kita menciptakan simbol, dan kemudian memaknainya. Akan tetapi, proses interaksi antar individu yang saling mencipta simbol dan memaknainya tersebut akan menghasilkan suatu kolektivitas tertentu yang disebut Durkheim sebagai fakta sosial, atau kolektivitas itu sendiri. Proses untuk mencipta dan memberikan makna pada simbol, serta kemudian mewariskannya ke generasi masyarakat berikutnya, membutuhkan ingatan. Proses  mengingat yang dilakukan sedemikian banyak orang pada skala waktu tertentu, dan kemudian diwariskan ke generasi berikutnya, akan membentuk struktur ingatan kolektif tertentu.[15] Ingatan kolektif ini akan tetap ada, dan diwariskan ke generasi berikutnya, walaupun waktu berubah, dan tradisi menghilang.

Argumen ini dikembangkan oleh Maurice Halbwachs, seorang filsuf dan sosiolog asal Prancis yang hidup pada awal abad 20. Ia berpijak pada konsep yang dikembangkan Durkheim tentang fakta sosial yang berisi mentalitas kolektif dan struktur perasaan masyarakat yang terdiri dari beragam individu yang saling berinteraksi secara sosial. Di sisi lain, Halbwachs juga tertarik pada konsep ingatan yang dikembangkan oleh Bergson, dan mencoba membuat semacam sintesis antara konsep ingatan di satu sisi, dan konsep fakta sosial di sisi lain. Ia pun membuat argumen, bahwa ingatan manusia pada dasarnya tidak pernah bersifat murni individual, melainkan sudah selalu merupakan proses sosial, atau proses kolektif. Simbol-simbol yang ada di dalam peradaban manusia, dan pemaknaan atasnya, pun tidak pernah semata-mata bersifat individual, melainkan diciptakan dan ditujukan untuk kegunaan-kegunaan yang bersifat kolektif, seperti untuk mempertahankan masyarakat, mewariskan nilai-nilai kehidupan, membuat perubahan sosial, dan sebagainya. Dalam arti ini, ingatan kolektif memiliki fungsi yang khusus, yakni mencipta ulang sebuah peristiwa masa lalu untuk menjadi dasar bagi peristiwa masa kini, dan sebagai pijakan harapan bagi masa depan yang lebih baik.[16]

Di sisi lain, sebagaimana dicatat oleh Fowler, Halbwachs juga menyatakan, bahwa selain ingatan individual berpijak pada konteks kolektivitas yang lebih luas, ingatan kolektif juga memperdalam dan memperjelas ingatan individual itu sendiri. Contohnya adalah ketika kita berbahasa. “Orang”, demikian kutipan Fowler dari tulisan Halbwachs, “faktanya tidak dapat berpikir tentang sebauh peristiwa tentang masa lalunya tanpa berwacana tentangnya. Akan tetapi untuk berwacana tentang sesuatu berarti juga terhubung sistem ide-ide yang tunggal dari pendapat-pendapat kita dan dari lingkaran itu… kerangka kolektif memory mengurung dan mengikat kita atas ingatan kita satu sama lain yang paling intim.”[17] Saya mencoba untuk menafsirkan argumen ini lebih jauh.

Ketika kita berpikir, kita menggunakan bahasa. Artinya, kita mengaitkan diri kita dengan satu sistem tertentu yang telah berkembang lama, jauh sebelum kita dilahirkan, yakni sistem bahasa itu sendiri. Di dalam sistem bahasa, ada beragam simbol yang telah diciptakan oleh generasi sebelum kita, yang kemudian diwariskan ke generasi berikutnya, sampai ke tangan kita. Proses mencipta dan mewariskan tersebut membutuhkan suatu medium, dan medium itu adalah ingatan sosial, yakni proses mengingat yang dilakukan oleh suatu masyarakat untuk menjaga dan mengembangkan identitas sosial masyarakat tersebut. Dalam arti ini, ketika kita berpikir, kita sudah selalu melakukannya dalam konteks ingatan sosial suatu komunitas tertentu. Bahkan, pikiran-pikiran kita yang paling intim dan pribadi pun mengandaikan adanya suatu sistem sosial tertentu yang menjadi latar belakangnya. Inilah sebabnya, mengapat Halbwachs terus menegaskan, bahwa proses mengingat pada hakekatnya sudah selalu merupakan proses sosial.

Bahkan, sebagaimana dinyatakan oleh Halbwachs, mimpi pun tidak pernah sungguh-sungguh merupakan peristiwa pribadi, melainkan sudah selalu memiliki latar belakang kolektif. Di dalam mimpi, kita melihat tempat. Kita melihat konteks yang memberikan makna pada mimpi kita, entah ketika kita kecil, ataupun sudah dewasa. “Tidak ada ingatan”, demikian tulis Halbwachs sebagaimana dikutip Fowler, “yang mungkin di luar kerangka yang digunakan oleh orang yang hidup dalam masyarakat untuk menentukan dan menarik rekoleksi mereka.”[18] Hal ini paling jelas tampak, ketika kita bermimpi. Bagi Halbwachs, ingatan kolektif selalu terkait dengan tempat terciptanya ingatan tersebut, terutama tempat-tempat yang memang memiliki arti istimewa, seperti tempat suci, tempat lahir, dan sebagainya. Dalam arti ini, ingatan kolektif memang bukan sesuatu yang mutlak dan pasti. Seperti segala hal di muka bumi ini, ingatan kolektif adalah hasil penafsiran. Maka ingatan kolektif terdiri dari beragam aspek, dan terbuka untuk perubahan, demi pemaknaan akan masa kini, dan penciptaan harapan di masa depan.

Ingatan kolektif juga dapat dilihat sebagai aliran gelombang yang mendasari pemaknaan orang-orang yang hidup di dalam satu komunitas tertentu. Dalam arti ini, ingatan kolektif bukanlah sesuatu yang jelas, melainkan justru sebaliknya, yakni kabur dan dapat ditafsirkan dengan beragam cara. Ingatan adalah suatu proses, yakni proses mengingat. Dan proses tersebut selalu berada dalam konteks sosial, yakni proses mengingat bersama, bersama dengan saudara, teman dekat, koran berita setempat, gosip setempat, dan sebagainya. Proses mengingat adalah proses kolektif, proses sosial itu sendiri, maka selalu terbuka untuk proses tafsir dan perubahan.[19] Semua ini, menurut Halbwachs, berlaku baik pada level pribadi, keluarga, komunitas, bahkan sampai pada level bangsa.  Proses perubahan sosial, dari kelas petani menjadi kelas industrialis, dari kelas industrialis menjadi kelas kapitalis, juga terjadi dengan menjadikan ingatan kolektif sebagai dasar pijakannya.

Pemikir berikutnya yang juga banyak menulis soal ingatan kolektif adalah Walter Benjamin, filsuf asal Jerman di awal abad 20. Ia menuliskan pemikirannya tentang ingatan kolektif di dalam bukunya yang berjudul The Storyteller. Di dalam buku ini, sebagaimana dinyatakan oleh Fowler, Benjamin mencoba mengaitkan dua hal, yakni antara cerita tentang masa lalu yang telah meresap di dalam tradisi di satu sisi, dan pengalaman hidup yang sungguh terjadi di sisi lain.[20] Tidak ada hubungan yang bersifat langsung dan jelas antara dua konsep ini. Apa yang saya alami seringkali tidak terhubung langsung dengan apa yang saya ceritakan tentang apa yang saya alami. Fowler memberikan contoh, bagaimana para veteran perang dunia pertama tidak mampu secara akurat dan tegas melukiskan kembali ketegangan di dalam peristiwa tersebut. Mereka hanya bercerita sedikit, lalu terdiam.

Cerita tentang masa lalu biasanya mengendap menjadi semacam cerita rakyat yang berisi nilai-nilai moral yang hendak diajarkan ke generasi berikutnya. Cerita tersebut menjadi bermakna, karena berisi kebijaksanaan-kebijaksanaan masa lalu yang perlu untuk diwariskan dan ditafsirkan oleh generasi berikutnya. Di dalam cerita-cerita masa lalu tersebut, dan nilai-nilai moral maupun kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya, ingatan kolektif berperan penting di dalam memberikan makna dan konteks. Cerita rakyat menjadi alat bagi ingatan kolektif untuk memberi identitas sosial bagi suatu komunitas tertentu. Medium atau alat lain yang, menurut Fowler, juga penting adalah koran. Koran menjadi semacam kendaraan bagi ingatan kolektif untuk memberikan konteks bagi kekinian dan masa depan dari suatu komunitas.[21] Narasi tentang manusia, baik itu dalam bentuk kumpulan informasi ataupun dongeng, memuat ingatan kolektif yang memberi identitas serta makna bagi komunitas tempat manusia hidup, dan menafsirkan ulang dirinya secara terus menerus.

Benjamin juga menegaskan, bahwa ingatan kolektif tampak di dalam tata kota dan arsitektur suatu kota. Perubahan sosial juga dapat dilihat dengan jelas pada tata kota dan arsitektur tersebut. Ia memberi contoh bagaimana kota Paris mengalami perubahan dari kerajaan feodal beserta dengan ciri arsitekturnya menjadi kota modern yang mengedepankan aristektur yang serba efisien, efektif, namun juga indah. Perubahan tata kota dan arsitektur suatu kota juga mencerminkan perubahan mentalitas orang-orang yang hidup di dalamnya.[22] Semua proses itu, yakni perubahan mentalitas, perubahan tata kota, dan perubahan arsitektur, berpijak pada satu gelombang yang disebut sebagai gelombang ingatan kolektif yang membentuk kultur sekaligus identitas suatu masyarakat. Dalam arti ini, menurut saya, proses pelestarian ingatan, termasuk juga ingatan-ingatan yang negatif dan traumatis, adalah proses yang amat penting untuk menjaga kelestarian identitas diri, dan sebagai proses pembelajaran, supaya proses negatif yang sama sedapat mungkin tidak lagi terjadi, dan proses-proses positif di masa lalu bisa memperkuat dan mengembangkan identitas sosial yang ada.

Jika ingatan individual bisa terganggu, seperti karena telah berlalunya waktu, atau karena sudut pandang yang berbeda, ingatan kolektif pun bisa terganggu. Paul Ricoeur, filsuf Prancis abad 20, menyatakan dengan tegas, bahwa ingatan kolektif sudah selalu hidup dalam distorsi atau gangguan. Dengan kata lain, dapatlah dikatakan, bahwa ingatan adalah peristiwa yang selalu hidup dalam distorsi, baik pada level individual maupun level kolektif. Misalnya, sebagaimana dicontoh Fowler, ketika mencoba menjelaskan pemikiran Ricoeur, ingatan suatu masyarakat tentang salah satu tokohnya di masa lalu. Dilihat dari masa sekarang, setiap pahlawan yang hidup di masa lalu selalu dilukiskan secara agung, dan cenderung berlebihan. Kencenderungan ini, bagi Ricoeur, adalah bagian dari ingatan yang memang selalu terdistorsi, dan tak pernah secara persis mencerminkan peristiwa yang terjadi.[23] Semua monumen dan tugu adalah bentuk fisik material dari ingatan kolektif ini. Dalam arti ini, menurut Fowler, kita bisa melihat dialektika ingatan. Di satu sisi, peristiwa mempengaruhi ingatan kita. Namun di sisi lain, cara kita mengingat tentang masa lalu mempengaruhi pemahaman kita tentang masa lalu itu sendiri. Dengan kata lain, model atau metode mengingat kita akan mempengaruhi isi dari ingatan itu sendiri.

Jika ingatan adalah sesuatu yang sudah selalu mengandung distorsi, maka ingatan tidak pernah boleh dimutlakkan. Ingatan yang dimutlakkan bisa dengan mudah menipu, karena ingatan pada dasarnya adalah ingatan yang terhambat, atau ingatan yang termanipulasi. Mengingat sesuatu sebagai A, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah B, menurut Fowler, adalah ciri utama dari ideologi, atau kesadaran palsu. Orang bisa merasa mengingat sesuatu, padahal ia tidak sungguh-sungguh mengingat, atau memahami apa yang dialaminya. “Ingatan yang rusak semacam itu”, demikian tulis Fowler, “adalah komponen paling dasar dari ideologi.”[24] Ideologi itu merusak, karena menutupi mata dan pikiran manusia dari kebenaran itu sendiri, yang tidak pernah sungguh-sungguh sederhana, atau hitam putih, seperti yang dibayangkan, atau diinginkan oleh banyak orang. Singkat kata, ideologi membutakan mata manusia, membuatnya melihat katak sebagai anjing, atau kucing sebagai belalang. Pemutlakkan atas ingatan yang terdistorsi menggiring manusia masuk ke dalam ideologi, dan menjauhkannya dari kebenaran.

Dalam arti ini, sebagaimana dicatat oleh Fowler, ingatan kolektif adalah sesuatu yang perlu untuk terus dimurnikan, atau didemistifikasi, yakni dicopot ciri-ciri mistiknya, atau mitologisnya. Ciri mistik berarti, ingatan itu memiliki dimensi mistik yang tidak dapat disalahkan. Artinya, ingatan itu bersifat mutlak. Pandangan ini jelas salah, dan perlu menjalani proses demistifikasi. Di sisi lain, ingatan kolektif juga perlu dicopot ciri mitologisnya, yakni dicopot ciri-ciri yang membuat ingatan kolektif tersebut tidak rasional. Penjelasan mitologis adalah penjelasan yang menggunakan narasi, namun tidak menggunakan rasionalitas serta keterkaitan dengan realitas empiris sebagai tolok ukurnya. Ingatan kolektif yang berciri mitologis adalah ideologi itu sendiri, yang menutupi mata kita dari kebenaran, dan mengaburkannya dengan mitos-mitos yang menyesatkan pikiran. Dengan kata lain, proses demitologisasi dan demistifikasi ingatan kolektif perlu untuk dilakukan, supaya sebuah komunitas tidak terjebak pada ideologi yang membutakan mata mereka, serta bisa membentuk identitas sosial komunitas mereka dengan berpijak pada ingatan kolektif yang tepat.[25]

Setiap komunitas di dunia ini memiliki masa lalu. Bahkan, sebagaimana dinyatakan oleh Robert Bellah, apa yang disebut komunitas pun ditentukan oleh apa yang terjadi di masa lalu mereka. Ia berpendapat, bahwa komunitas sejati adalah komunitas ingatan-ingatan, yakni komunitas yang berpijak pada masa lalunya, dan tak pernah melupakannya. Untuk melestarikan masa lalunya, sebuah komunitas, demikian kata Bellah, membutuhkan sebuah cerita. Mereka menciptakan cerita yang berisi nilai-nilai yang dianggap bermakna bagi komunitas tersebut. Cerita-cerita semacam ini amatlah penting untuk melestarikan sekaligus mengembangkan identitas kolektif komunitas tersebut. Namun, yang diceritakan tidak hanya cerita-cerita tentang kebaikan dan keberhasilan masa lalu, melainkan juga cerita-cerita yang berisi tentang peristiwa-peristiwa menyakitkan, serta kegagalan-kegagalan yang bisa dijadikan bahan pembelajaran. Cerita-cerita tentang peristiwa negatif dari masa lalu justru bisa menjadi perekat identitas kolektif yang kuat, dan menciptakan rasa kebersamaan yang dalam. “Dan jika sebuah komunitas sepenuhnya jujur”, demikian tulis Bellah, “mereka akan mengingat cerita-cerita tidak hanya tentang penderitaan yang diterima, tetapi juga penderitaan yang diakibatkannya- ingatan yang berbahaya, karena ingatan itu mengajak komunitas tersebut untuk mengubah kejahatan yang kuno.”[26]

Ingatan kolektif juga mempengaruhi situasi politik suatu komunitas. Seperti dicatat oleh Edy, pada pemilu Presiden 2004 di AS, ingatan kolektif akan konflik sosial menjadi tema besar di dalam diskusi-diskusi politik pada masa itu. “Ingatan kolektif akan konflik sosial di masa lalu”, demikian tulis Edy, “dapat menyembuhkan pertentangan, menggarami luka, atau justru memicu perubahan sosial.”[27] Dengan kata lain, di satu sisi, ingatan kolektif tentang konflik sosial di masa lalu bisa menjadi sumber daya untuk melawan pola yang sama untuk berulang di masa depan. Namun, di sisi lain, ingatan kolektif akan konflik sosial yang terjadi justru bisa menciptakan dendam, dan mendorong kemungkinan terjadinya konflik serupa di masa depan. Kemungkinan kedua yang diajukan Edy, menurut saya, terjadi, karena ingatan kolektif mengalami cacat, atau terjebak dalam ideologi. Dalam arti ini, orang tidak mengingat apa yang secara kolektif dialami, melainkan hanya versi yang diinginkannya saja, yakni versi yang berat sßebelah, dan penuh dengan distorsi.

Ingatan kolektif tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, menurut Edy, juga dapat mempengaruhi apa yang akan terjadi di masa depan. Dalam arti ini, ingatan kolektif mempengaruhi karakter sekaligus perilaku suatu masyarakat, yang nantinya juga akan mempengaruhi masa depan mereka sebagai suatu komunitas. Walaupun begitu, seperti diingatkan oleh Edy, ingatan, baik individual ataupun kolektif, adalah gambaran yang tidak lengkap tentang masa lalu, meskipun kita seringkali melihat ingatan sebagai potret masa lalu. Ingatan kolektif tentang masa lalu menjangkau karakter dan sikap kita di masa sekarang, serta membentuk masa depan kita. Maka dari itu, ingatan kolektif tentang masa lalu adalah sesuatu yang mesti kita rawat dengan kebijaksanaan dan kesadaran penuh, bahwa semua itu mempengaruhi masa kini dan masa depan kita sebagai komunitas manusia. “Ingatan yang dirasakan secara kolektif”, tulis Edy, “dalam banyak hal, adalah ujung dari gunung es kultur politik kita.”[28]

Setiap bentuk ingatan, baik individual maupun kolektif, adalah suatu bentuk upaya untuk melukiskan ulang apa yang terjadi di masa lalu. Dalam arti ini, menurut Edy, komponen terpenting dalam ingatan adalah narasi, atau cerita. Masa lalu bukanlah fakta empiris, melainkan cerita yang selalu merupakan campuran antara imajinasi dan kejadian nyata. Ketika suatu peristiwa telah berlalu, maka peristiwa itu menjadi ingatan. Memang, seperti dinyatakan oleh Edy, jejak-jejak fisik tetap ada. Itulah yang disebut oleh para sejarahwan sebagai artefak, yakni jejak-jejak yang bisa mereka gunakan untuk membuat sebuah cerita, atau narasi, tentang masa lalu, supaya bisa menjelaskannya. Ada beragam fakta dan artefak, namun semua itu baru memiliki arti, jika ada cerita yang merangkainya menjadi suatu penjelasan yang bisa diterima oleh akal sehat. Upaya merangkai cerita itulah yang disebut Edy sebagai upaya “rekonstruksi”. Ketika seseorang diminta untuk melakukan proses rekonstruksi, yakni proses merangkai narasi dengan berpijak pada data-data yang ada, “Mereka”, demikian tulis Edy, “dipengaruhi oleh situasi di mana secara aslinya mendapatkan informasi dan konteks di mana mereka diminta untuk menuangkannya kembali.”[29] Dengan ini, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa proses mengingat apa yang telah terjadi di masa lalu merupakan sebuah jaringan ganjil antara fakta dan makna (yang terikat secara kontekstual dan kultural) yang berbentuk suatu narasi, atau cerita, untuk menjelaskan apa yang telah terjadi secara masuk akal.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, Maurice Halbwachs, filsuf dan sosiolog yang dianggap sebagai “bapak” teori tentang ingatan kolektif, juga memiliki argumen serupa. Baginya, ingatan pada hakekatnya sudah selalu bersifat kolektif, yakni proses yang dilakukan dalam konteks sosial. Dan seperti dinyatakan oleh Edy, hubungan-hubungan sosial, letak geografis, dan beragam aspek yang terkandung di dalam kehidupan bersama mempengaruhi cara suatu masyarakat mengingat masa lalunya, juga isi dari ingatan tersebut.[30] Dengan berpijak pada pemikiran Edy dan Halbwachs, kita bisa menyimpulkan, bahwa proses mengingat bukanlah potret tepat tentang masa lalu, melainkan proses rekonstruksi yang melibatkan keinginan untuk mencari dan memberikan makna pada masa sekarang, membangun harapan untuk masa depan, kontekstualisasi, dan juga terjadi dalam proses-proses sosial yang selalu ada di dalam kehidupan manusia.

Ingatan selalu dibangun dari cerita, atau narasi, dan cerita tersebut dapat berubah, sesuai dengan lahirnya kesadaran dan bukti-bukti baru tentang masa lalu. Di sisi lain, dalam konteks ingatan kolektif, setiap orang bisa memiliki ingatan yang berbeda tentang apa yang sungguh terjadi di masa lalu. Dalam situasi yang serba tidak pasti ini, bagaimana kita bisa memahami ingatan kolektif suatu komunitas? Seperti yang dinyatakan oleh Edy, dalam situasi semacam ini, ingatan kolektif dapat dipahami sebagai ingatan yang dominan dipahami oleh komunitas tertentu. Jadi, ingatan kolektif adalah ingatan yang dominan yang tersebar di dalam ruang publik masyarakat tertentu. “Ingatan kolektif”, demikian tulis Edy, “adalah cerita yang diketahui semua orang, walaupun tidak semua orang percaya pada cerita itu.”[31] Cerita, atau narasi, itu meresap ke dalam kultur suatu masyarakat, dan secara tidak sadar telah menjadi “bahasa” bersama dari masyarakat tersebut untuk menggambarkan dan menjelaskan masa lalu mereka. Setiap bentuk kritik terhadap masa lalu juga selalu berpijak pada narasi tersebut. “Bahasa” bersama inilah yang nantinya membentuk karakter dan perilaku masyarakat itu.

Di dalam teori-teori tentang ingatan kolektif, ada satu pengandaian dasar yang cukup umum ditemukan, bahwa apa yang kita ingat tentang masa lalu amat ditentukan pada kebutuhan masa sekarang, dan apa yang diharapkan dapat terjadi di masa depan. Inilah yang disebut Edy sebagai presentisme. Dengan kata lain, ingatan kolektif tentang masa lalu bukanlah gambaran fakta obyektif yang tidak dapat berubah, melainkan narasi yang mengabdi pada konteks sekarang, serta kebutuhan dan kepentingan yang ada di masa kini. Di dalam proses itu terjadi apa yang disebut Edy sebagai kompetisi ingatan kolektif, di mana berbagai bentuk narasi tentang masa lalu berusaha untuk merebut opini publik, dan menjadi ingatan kolektif yang dominan di masyarakat tersebut. Dalam arti ini, ingatan kolektif pun juga dapat dilihat sebagai tempat pertempuran antara berbagai narasi, atau cerita, di dalam masyarakat, yang berusaha menjelaskan masa lalu masyarakat tersebut. Narasi yang paling mampu mengabdi pada kepentingan masa kini dan masa depan akan menjadi ingatan yang dominan, yakni ingatan kolektif masyarakat tersebut, yang mempengaruhi karakter sekaligus pola perilaku orang-orang yang hidup dalam masyarakat itu.

3. Demokrasi dan Ingatan Kolektif di Indonesia

Bangsa Indonesia sudah berkomitmen untuk mendirikan negara demokrasi yang bisa menampung keberagaman, dan kemudian bekerja sama untuk mendirikan masyarakat yang cerdas, adil, dan makmur melalui jalan-jalan yang demokratis, yakni jalan-jalan yang memperhatikan kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Semua proses ini hanya mungkin, jika perilaku dan karakter bangsa Indonesia pada umumnya sejalan dengan cita-cita tersebut. Di dalam tulisan ini, saya sudah mengajukan argumen, bahwa perilaku dan karakter suatu masyarakat amat ditentukan oleh ingatan kolektif yang telah dihayati oleh masyarakat tersebut, baik sadar ataupun tidak. Dalam arti ini, sikap-sikap demokratis pun juga amat dipengaruhi oleh ingatan kolektif yang ada di dalam masyarakat. Ingatan kolektif adalah semacam gelombang pemahaman yang ada di dalam masyarakat, yang berisi narasi tentang masa lalu yang telah terjadi, namun juga bercampur dengan harapan akan masa kini dan masa depan, serta keinginan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, ingatan kolektif bukanlah potret atas masa lalu, melainkan pemaknaan atas masa lalu, baik sadar ataupun tidak sadar, yang mempengaruhi perilaku masyarakat sekarang ini, dan menentukan visinya untuk masa depan.

Di Indonesia, ingatan kolektifnya tidaklah utuh, karena banyak hal-hal negatif yang pernah terjadi di masa lalu diabaikan begitu saja. Pembantaian massal, konflik antar etnis, penindasan negara, dan korupsi berlalu begitu saja, tanpa ada proses-proses sosial yang tepat untuk menyingkapinya. Akibatnya, ingatan kolektif kita sebagai bangsa tidaklah utuh, melainkan cacat, karena banyak peristiwa yang ditutupi atas nama stabilitas sosial dan politik masyarakat. Namun, ingatan kolektif yang tidak utuh tidak pernah hilang begitu saja, melainkan terpendam menjadi semacam trauma kolektif yang berakar di ketidaksadaran kolektif masyarakat. Trauma itu mengental menjadi tradisi dan mentalitas yang mempengaruhi cara masyarakat tersebut berpikir, bertindak, dan berperilaku. Trauma adalah ingatan akan masa lalu yang tidak utuh, dan diingat dengan melebih-lebihkan sisi negatifnya. Pada level kolektif, trauma akan mempengaruhi cara berpikir, bertindak, dan berperilaku masyarakat tersebut dengan cara-cara yang negatif. Tidak hanya masa kini, ingatan kolektif yang cacat, yang mengendap menjadi trauma kolektif, juga membuat masyarakat tak berani berharap akan masa depan yang lebih baik. Pesimisme dan ketidakpedulian akan urusan-urusan bersama menjadi atmosfer kehidupan masyarakat. Inilah yang sekarang ini terjadi di Indonesia.

Dua perilaku ganjil yang tampak sebagai suatu bentuk trauma kolektif, akibat ditekannya berbagai ingatan tentang peristiwa negatif masa lalu, adalah sulitnya bangsa kita untuk hidup dalam perbedaan,baik itu perbedaan suku, ras, agama, maupun perbedaan cara berpikir, dan korupsi brutal yang berulang, sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum, moralitas pemimpin politik maupun bisnis yang sudah rusak, maupun teladan korupsi yang sudah diukir begitu dalam oleh para pemimpin semasa Orde Baru. Trauma kolektif yang lahir dari ditekannya berbagai ingatan kolektif yang jelek di masa lalu akan menimbulkan perilaku merusak pada masa kini, dan ketiadaan harapan akan masa depan yang lebih baik. Pola berpikir feodalistik, yang melihat manusia semata dari pangkat kulturalnya, seperti gelar tradisional, militer, ataupun akademik, menurut saya, juga bagian dari perilaku masyarakat Indonesia dewasa ini yang berpijak pada trauma kultural masa lalu atas peristiwa negatif yang belum pernah terselesaikan. Ketakutan akan otoritas, yang merupakan ciri dari perilaku feodalistik, adalah buah dari trauma kolektif.

Ketika mentalitas bangsa adalah mentalitas yang diwarnai oleh trauma, akibat tidak pernah diangkat dan dihadapinya berbagai peristiwa negatif yang pernah terjadi di masa lalu, maka mentalitas demokratik pun juga tidak akan berkembang. Ketika mentalitas demokratik tidak ada, maka seluruh proses demokratis untuk mencapai keadilan, kemakmuran, dan kecerdasan bangsa pun juga akan terhambat. Inilah yang pada hemat saya terjadi di Indonesia. Demokrasi hanya dilihat sebagai prosedur dan sistem, namun tidak dihayati secara kultural dan spiritual. Yang terjadi kemudian adalah sistem demokrasi beroperasi, tetapi dengan mentalitas yang takut akan perbedaan, takut akan otoritas, dan korupsi yang menggerogoti segi-segi kehidupan bersama. Ini semua terjadi, menurut saya, karena mentalitas traumatik yang terbentuk dari ingatan kolektif tentang peristiwa-peristiwa jelek yang pernah terjadi di masa lalu, namun tak pernah dihadapi dengan kebijaksanaan dan keadilan. Dari argumen ini, kita bisa menyimpulkan, bahwa proses-proses demokratis dapat berjalan di Indonesia, jika mentalitas demokratis sudah terbentuk, dan mentalitas demokratis bisa terbentuk, jika ingatan kolektif tentang masa lalu yang jelek di Indonesia bisa dihadapi dengan penuh kebijaksanaan dan keadilan, sehingga tidak mengendap menjadi trauma kolektif, yang secara negatif mempengaruhi cara berpikir dan perilaku orang Indonesia, seperti yang sekarang ini terjadi.

4. Kesimpulan dan Catatan

Demokrasi adalah sistem politik yang hendak mencapai keadilan, kemakmuran, dan kecerdasan masyarakat dengan cara-cara yang berpijak pada tiga nilai, yakni pengetahuan yang memadai tentang kehidupan bersama, otonomi diri manusia (kemampuan menentukan sendiri nilai-nilai hidupnya), dan kesetaraan antar manusia, lepas dari apa latar belakang suku, ras, agama, maupun sosial ekonominya. Sistem politik semacam ini jelas membutuhkan suatu landasan yang kokoh, dan landasan yang kokoh itu adalah identitas sosial yang juga kokoh. Dalam konteks ini, identitas sosial amat terkait dengan ingatan kolektif masyarakat tersebut, yakni bagaimana masyarakat itu melihat masa lalunya, memberinya makna, dan mencoba untuk menyusun masa kini dan masa depan dengan berpijak padanya. Ingatan kolektif bukanlah data faktual, ataupun potret akurat tentang masa lalu, melainkan pemaknaan atas apa yang pernah terjadi di masa lalu, lalu dikaitkan dengan kebutuhan masa kini, serta kebutuhan untuk membangun harapan akan masa depan. Ingatan kolektif dapat dilihat sebagai suatu gelombang yang melatarbelakangi identitas sosial maupun mentalitas suatu masyarakat, dan ini jelas amat berpengaruh pada mentalitas demokratis yang hendak dibangun di Indonesia.

Dalam konteks ini, ingatan kolektif akan masa lalu, terutama masa lalu yang negatif, perlu untuk diangkat, dan dihadapi dengan penuh kebijaksanaan serta keadilan, supaya bisa membantu pembentukan mentalitas demokratis yang tepat di masyarakat. Tanpa upaya untuk mengangkat ingatan kolektif tentang beragam kejadian negatif di masa lalu, maka trauma kolektif akan mengendap di dalam benak masyarakat, dan mendorong lahirnya perilaku-perilaku ganjil, mulai dari korupsi, sampai dengan pembantaian massal. Di sisi lain, tanpa kebijaksanaan dan keadilan, ingatan kolektif akan berbagai hal jelek di masa lalu justru bisa memecah masyarakat, dan menimbulkan konflik-konflik sosial yang merusak. Maka, ingatan kolektif yang sehat bisa menjadi faktor pendorong untuk terciptanya identitas sosial dan mentalitas demokratis, hanya jika sungguh-sungguh dimaknai dalam kaca mata kebijaksanaan dan keadilan.

Daftar Acuan

Edy, Jill E., Troubled Past, Temple University Press, Philadelphia, AS, 2006.

Fowler, Bridget, The Obituary as Collective Memory, Routledge, London, 2007.

Harrison, Ros, Democracy, Routledge, London, 1993.

Wattimena, Reza A.A., (ed), Filsafat Politik untuk Indonesia, Pustakamas, Surabaya, 2012.

Wattimena, Reza A.A., Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Yogyakarta, 2007.


[1] Untuk selanjutnya, saya terinspirasi uraian dari Harrison, Ros, Democracy, Routledge, London, 1993, hal. 217. Democracy has been seen to be good for reasons and also bad for reasons. Indeed the same kind of value, such as equality or liberty, has been found at different times to be ranked on both sides of the evaluation, counting both for and against democracy.”

[2] Ibid, hal. 132. In the first chapter it was remarked that throughout most of human history democracy has not been thought to be of value. Even the selected group of philosophers discussed in the succeeding historical chapters turned out to be equivocal about it. Bentham approved of it, at least towards the end of his life.”

[3] Wattimena, Reza A.A., (ed), Filsafat Politik untuk Indonesia, Pustakamas, Surabaya, 2012.

[4] Harrison, Ros, Democracy, …., hal. 132. So, as we now move to the present, and to the second, more analytical, part of this book, the chief task is to find out whether this near universal agreement about the goodness of democracy is justified. In so doing, we want to find out not so much whether democracy is of value but rather why it is. For even if we all agree that our ancestors were wrong and that we, by contrast, are right, we do not agree why they were wrong or why we are right. We must therefore now investigate the foundations of this supposedly valuable thing, democracy. If we can discover why it is of value, we should also discover what its actual value is.”

[5] Ibid, hal. 162. I say that autonomy is a natural moral value, because it is normally thought to be a good thing for people to have control of their own lives.”

[6] Ibid, “Yet the central idea of democracy is also self-rule. In democracy the people rule themselves.”

[7] Wattimena, Reza A.A., Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

[8] Harrison, Ros, Democracy, …., hal. 177. Ever since the Greeks, liberty and equality have been taken to be the central marks of democracy.”

[9] Ibid, Each successive increase of the franchise marked a growth of equality, rendering different groups of society more equal in their political power.”

[10] Ibid, hal. 178. The very name suggests that it, is the rule by everyone, as opposed to rule by one person (monarchy) or by a few (oligarchy).”

[11] Ibid, “No more, it might be thought, needs to be said; equality practically follows from the very meaning of the term.”

[12] Untuk selanjutnya, saya terinspirasi dari Fowler, Bridget, The Obituary as Collective Memory, Routledge, London, 2007.

[13] Ibid, hal. 26. “The entire processing of perceptions depends on a complex selection, in which nerve-cell information from the outside world is sieved or filtered through memory-images of the past, within the visual centres of memory in the brain.”

[14] Ibid, “Memory then, was neither a container nor a camera (1991: 38–39), but made up a circuit, rather like an electrical charge, between mind and matter.”

[15] Ibid, “? In Durkheim’s view this term was used to denote those categories and systems of classification which are fixed and carefully delim- ited due to the long and steady influence of the collectivity (Stedman Jones 2001: 70). Only in individual representations are signs and symbols purely elective or chosen (1965: 25). Of course, collective representations can exist only through the medium of individual interaction, but they are socially situated and are thus ‘social facts’. In the case of fields such as religion or metaphysical beliefs, they are conditioned by other representations as part of a wider grammar of ideas and are thus to a certain degree inde- pendent of socio- economic structures (1965: 31).”

[16] Ibid, hal. 27. However, in between these periods, Halbwachs suggests, collec- tive memory acts to recreate events, for example, imaginatively re-embody- ing the past within a whole topography of sanctified places. Indeed, it is collective memory itself which enhances the depth and clarity of individual memories.”

[17] Ibid, “One cannot in fact think about the events of one’s past without dis- coursing upon them. But to discourse upon something means to con- nect within a single system of ideas our opinions as well as those of our circle [ . . . ] the framework of collective memory confines and binds our most intimate remembrances to each other.”

[18] Ibid, hal. 28. No memory is possible outside frameworks used by people living in society to determine and retrieve their recollections.”

[19] Ibid, “Deploying Halbwachs’ own imagery, it can be said that while his- tory fixes dates and places precisely on the river-banks, collective memory offers a social current within which we ‘bathe midstream’. In the same vein, collective memory often possesses a certain fuzziness, as in the child’s evolving views of the father.”

[20] Ibid, hal. 30. “The second great interpreter of collective memory is Walter Benjamin. His most accessible and compelling account of such memory, for him ‘arti- sanal’ in character, is perhaps in The Storyteller. There he links the flour- ishing of the story-telling tradition to two conditions, both disappearing in contemporary societies (Eiland and Jennings 2002: 143–66).3 The first is the link between the story and lived experience, which always has its roots in the past.”

[21] Ibid, “In contrast, the main cultural source of the modern, deskilled city- dweller is the newspaper. Now in Benjamin’s view — with which I shall disagree — the newspaper can never be the vehicle for collective memory. Rather, newspapers merely process information, governed by ‘evident ver- ifiability’: ‘Every morning brings us news from across the globe yet we are poor in noteworthy stories’ he remarked (Eiland and Jennings 2002: 147). The only exceptions are the Soviet newspapers of the 1920s where an attempt was being made, via readers’ letters, to make a collective product by collating the old form of the story with the medium for the new literacy (Benjamin 1973: 90).”

[22] Ibid, hal. 31. Writing in 1936, amidst the shabby decay and destruction of the quartiers of the modernist city, Benjamin’s archaeological exploration is intended to reveal the contrasting newness — in the mid-nineteenth century — of the material and symbolic culture of the city, particularly the architecture that shaped its iron and glass arcaded shops and its great straight boulevards (see Frisby, 1985: 240–41). For Benjamin such physical forms went hand- in hand with the unprecedented social relations of the modern metropolis. No longer shaped by feudal hierarchies but by invisible differences, these social relations were founded increasingly on both social levelling and the new divisions of the money economy, as well as in the stratification created by fashion.”

[23] Ibid, hal. 39. It is in this context that Paul Ricoeur has tellingly expanded the Freud- ian notion of memory-distortion at the individual level, to the concept of memory-clarification and distortion at the social level (2000). Ricoeur is illuminating about collective memory: he says that we remember most clearly those individuals who are defined as great when they are seen against their background of social time.”

[24] Ibid, “Such wounded memory is a fundamental component of ideology.”

[25] Ibid, “In thus supplying factual materials — which can be interpreted through a wider socio-historical perspective — these exemplary instances, offered in the format of the obituaries, contribute a vital resource for actively shaping and demystifying collective memory (see Ricoeur 2000: 381–82, 450).”

[26] Bellah, Robert N., The Habits of the Heart, dalam Edy, Jill E., Troubled Past, Temple University Press, Philadelphia, AS, 2006, hal. 11. And if the community is completely hon- est, it will remember stories not only of suffering received but of suffering inflicted—dangerous memories, for they call the commu- nity to alter ancient evils.”

[27] Ibid, hal. 2. They can heal rifts, salt wounds, or provoke social transformations.” Selanjutnya saya terinspirasi dari uraian Edy.

[28] Ibid, “Socially shared memories are, in many ways, the tip of the iceberg of political culture.”

[29] Ibid, hal. 3. They are affected by the circumstances in which they originally encoded the information and the context in which they are asked to retrieve it.”

[30] Ibid, “His theory of collective memory, like Bartlett’s, posited that the context of both encoding and recalling information was significant, and he went on to argue that as social relationships, geog- raphy, and other aspects of social life changed, memories of the past might be altered or lost.”

[31] Ibid, “Collective memories are the stories that everyone knows about the past, even if not everyone believes the story.”

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

2 tanggapan untuk “Demokrasi dan Ingatan Kolektif di Indonesia”

  1. Pola analisis ttg ingatan kolektif & dinamika demokrasi di Indonesia dalam tulisan di atas sangat Freudian sekali Mr. Reza. Sy menemukan pola psikoanalisa Sigmund Freud dalam tulisan di atas, yaitu adanya:
    1. Ada’y ingatan masa lalu yg kacau/tdk sehat (Belum diselesaikan’y peristiwa” traumatik masa lalu di negeri ini)
    2. Lalu muncul pola perilaku yg menyimpang (korupsi, sulit menghargai pluralitas, dsb)
    3. Solusi yg diajukan: semacam berdamai dengan masa lalu dengan jalan mengangkat lagi masa lalu yg negatif, lalu menghadapi’y dgn penuh kebijaksanaan & keadilan.

    setujukah anda dengan analisa q thd pola anda? Ataukah memang demikian adanya? 🙂

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.