Indonesia dan Kesempitan Berpikir Kita

http://media1.razorplanet.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya

Kita hidup dalam dunia yang telah disempitkan. Hal-hal yang kaya dan rumit disempitkan menjadi hal-hal sederhana yang justru membunuh arti pentingnya. Gejala ini dapat dilihat di semua bidang kehidupan, mulai dari pendidikan, politik, sampai dengan seni. Penyempitan dunia kehidupan ini perlu untuk kita refleksikan, lalu kita kurangi sisi merusaknya.

Politik

Dunia politik disempitkan menjadi pengejaran kekuasaan. Aliansi antar partai politik dibangun bukan untuk meningkatkan kinerja politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, melainkan untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Negosiasi dibangun bukan untuk menciptakan kebijakan yang efektif dan efisien untuk menunjang kinerja mesin politik, melainkan untuk membuat proyek-proyek baru yang penuh dengan lubang untuk dikorupsi.

Dunia politik juga disempitkan menjadi kesempatan untuk menumpuk uang. Orang berlomba-lomba menjadi anggota DPR dan DPRD bukan untuk melaksanakan pengabdian, melainkan untuk mencari celah, guna mengembangkan modal keuangan mereka. Ketika menjabat sebagai kepala daerah, orang berlomba-lomba untuk mendapatkan proyek dan tender, guna mendapatkan uang lebih banyak lagi, setidaknya untuk menutupi ongkos kampanye politik sebelumnya.

Padahal sejatinya, politik adalah soal pengabdian pada kepentingan rakyat untuk mewujudkan terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali. Ketika ini disempitkan semata menjadi pengejaran kekuasaan dan kesempatan untuk menumpuk uang, masalah besar muncul. Politik adalah soal tata kelola masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip yang bisa dipertanggungjawabkan bersama. Ketika politik tidak berjalan, tata kelola masyarakat pun tidak berjalan, dan semua urusan akan berantakan.

Pendidikan

Dunia pendidikan pun mengalami penyempitan. Pendidikan disempitkan menjadi semata-mata latihan untuk berhasil dalam tes. Murid dibombardir dengan latihan tes terus menerus, terutama menjelang UNAS. Metode menghafal dan memuntahkan kembali menjadi yang utama, dan, sejalan dengan itu, membunuh kreativitas dan orisinalitas berpikir anak.

Pendidikan juga disempitkan menjadi semata-mata mengulang apa yang dikatakan oleh guru. Dalam arti ini, menurut saya, pendidikan telah berubah menjadi perbudakan pikiran. Pikiran yang kreatif dan orisinil dianggap pemberontak, maka harus didisplinkan dan dihukum. Pada akhirnya, anak-anak menjadi robot yang patuh, tanpa kemampuan kritis dan kreativitas berpikir.

Padahal sejatinya, pendidikan adalah pembebasan anak dari kebodohan dan kemiskinan. Pendidikan juga adalah proses penyadaran anak atas situasi sekitarnya, dan mengajaknya untuk mengambil sikap yang tepat atas berbagai situasi itu. Dalam arti ini, pendidikan adalah pembentukan proses berpikir manusia untuk secara cerdas dan tepat menanggapi situasi kehidupannya. Pemahaman inilah yang terlupakan dari dunia pendidikan kita.

Bisnis dan Ekonomi

Bidang bisnis juga mengalami penyempitan yang sama. Bisnis semata-mata disempitkan menjadi proses untuk mengumpulkan keuntungan semata, jika perlu dengan cara-cara yang tidak baik. Padahal, bisnis adalah soal tata kelola untuk menciptakan produk-produk yang bermutu, maupun pelayanan-pelayanan yang baik kepada masyarakat. Di dalam bisnis, keuntungan adalah akibat logis dari mutu, dan bukan tujuan utama.

Ekonomi juga disempitkan menjadi pengamatan pada data statistik semata, yang seringkali berbeda jauh dengan kenyataan di lapangan. Sejatinya, ekonomi juga adalah soal tata kelola perdagangan dan transaksi barang, uang, dan jasa di dalam masyarakat, supaya bisa menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat.

Dalam hal ini, data statistik adalah alat bantu analisis masalah dan pembuatan kebijakan. Yang seharusnya menjadi perhatian utama adalah kenyataan di lapangan, terkait dengan pemerataan kekayaan bagi seluruh rakyat. Ini semua tidak terjadi, ketika orang hanya terpaku pada data statistik yang seringkali dibuat dengan penyimpangan-penyimpangan metodologis, demi alasan efisiensi dan efektivitas.

Agama, Seni, dan Kepemimpinan

Agama di Indonesia pun juga mengalami penyempitan menjadi semata-mata kumpulan aturan, larangan, dan ritual semata. Agama kehilangan spiritualitasnya yang justru menjadi lambang kesucian dan hubungan manusia dengan yang transenden itu sendiri.

Kepemimpinan di berbagai bidang pun disempitkan menjadi semata-mata soal kerapihan administrasi. Kemampuan pemimpin untuk memotivasi dan memberikan inspirasi ke arah tujuan-tujuan yang baik telah hilang, dan digantikan dengan semata-mata dengan soal pemberian tanda tangan, dan kerapihan dokumen semata.

Seni pun disempitkan semata menjadi pemuas selera pasar dan konsumen. Seni sebagai ekspresi otentik dari penghayatan diri atas peristiwa-peristiwa kehidupan sudah nyaris tak terdengar. Di sisi lain, penelitian ilmiah yang sejatinya untuk mengungkap kebenaran dan menemukan pengetahuan di berbagai bidang kini disempitkan semata sebagai pemburuan hibah dari pemerintah, ataupun sekedar untuk penambah poin untuk peningkatan karir dosen.

Matinya Akal Sehat

Ini semua adalah tanda-tanda dari apa yang disebut Dahlan Iskan sebagai pembunuhan akal sehat. Artinya, akal sehat kita tahu, bahwa ada yang salah. Namun, karena kita merasa tak berdaya untuk memperbaiki kesalahan, maka kita pun beradaptasi. Akal sehat kita melemah, dan kini telah menyesuaikan dengan penyimpangan-penyimpangan yang ada. Hannah Arendt menyebutnya sebagai banalitas kejahatan, yakni kejahatan yang tak lagi dilihat sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang “biasa-biasa saja”.

Dalam konteks ini, kita membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir progresif, yakni orang-orang yang berani menggugat dan mempertanyakan segala sesuatu yang ada, menemukan kelemahan di dalamnya, dan berjuang untuk menambal kelemahan-kelemahan itu, atau mengubah seluruh tatanan yang ada, supaya lebih baik untuk semua orang. Sayang, di tengah dunia yang semakin global ini, kehadiran orang-orang progresif justru disalahpahami sebagai pemberontak, penyebar ajaran sesat, atau orang-orang yang “bikin susah”. Sayang memang….

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

8 tanggapan untuk “Indonesia dan Kesempitan Berpikir Kita”

  1. Pertamax gan…. ^_^, Memang betul seperti yang anda tulis bahwa Indonesia sudah mengalami atau memang sekarang diposisi dengan pikiran yang sempit akan tetapi hal tsb terjadi karena suatu proses yang sangat panjang dan masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan itu semua. Saya berpendapat satu2nya jalan untuk lepas dari semua itu adalah masyarakat Indonesia harus “terbebas” dari semua “kebiasaan/kelembaman” yang ada saat ini dengan cara setiap individu harus dapat berfikir secara “bebas” adapun caranya agar dapat befikir “bebas”adalah Indonesia harus “terbebas” dari hal2 yang selama ini membuat masyarakat Indonesia “terbiasa” dengan keadaan saat ini untuk itu setiap masyarakat Indonesia harus mulai belajar untuk berfilsafat atau belajar menelaah bagian per bagian apakah hal2 selama ini yang membuat Indonesia menjadi “terbiasa” adalah baik atau salah bagi kita masing2.
    Satu hal bagi saya untuk membuat saya berfilsafat adalah saya berfikir. Saya berfikir karena itu saya “ada”, saya berfikir seperti yang dilakukan Ki Hajar Dewantara pertama kali lakukan yaitu dia berfikir bahwa ada yang “salah” pada Indonesia saat itu yang masih bernama Hindia Belanda. Dia berfikir ada yang “salah” dengan perilaku pemerintahan Belanda yang pada saat itu ingin merayakan hari kemerdekaannya akan tetapi pemerintah Belanda meminta biaya dan sumber daya dari Hindia Belanda dan merayakannya di Hindia Belanda. Sungguh tidak benar untuk menuruti keinginan pihak Belanda tsb sementara pada saat itu pemerintah Belanda menempatkan pemimpin2 boneka mereka di tiap2 daerah Indonesia dimana pemimpin2 tsb merupakan tokoh2 masyarakat yang pada saat itu dianggap memiliki “hak waris” ditiap2 daerah tersebut, hal ini sudah “terbiasa” dirasakan masyarakat Indonesia berdasarkan adat istiadat yang masih berpengaruh sekali pada saat itu.
    Berdasarkan itu Ki Hajar Dewantara berfikir (pada saat itu Indonesia belum eksis karena masih dalam nama Hindia Belanda) ada yang “salah” dengan pemerintahan Hindia Belanda tsb dan dia melakukan kritik yang dirasakan sangat pedas terhadap pemerintahan pada saat itu melalui surat kabarnya dan dia segera diasingkan.
    Alasan saya mengambil contoh ini adalah “dasar” pemikiran beliau pada saat itu yang tidak dipunyai Indonesia pada saat ini. Beliau mungkin hingga pada saat dia berfikir, bukanlah siapa2, dia bukanlah sebagai hakekatnya individu bebas atau sebagai “Indonesia” dia hanyalah seorang yang “terbiasa” dengan dogma2 atau aturan2 yang ditanamkan dari lahir oleh pemerintah Belanda maupun adat istiadat. Tetapi dengan befikir beliau dapat “terbebas” dari dogma2 dan aturan saat itu yang seperti diketahui beliau pada akhirnya adalah seorang cendikiawan yang pemikirannya sangat fundamental terhadap proses eksisnya Indonesia hingga saat ini.
    Saya hanya menyarankan hendaknya bangsa Indonesia untuk tiap Individunya harus peduli dan mulai memandang Indonesia kita ini dari berbagai sudut pandang, saya berpendapat janganlah kita buru2 untuk mengambil suatu kesimpulan karena kita harus selalu meragu dan berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang terjadi saat ini di Indonesia. Bagi saya agar bangsa Indonesia dapat berfikir “bebas” terhadap keadaan Indonesia saat ini bangsa Indonesia harus peduli terhadap keadaan kita saat ini, saya yakin sekali bahwa bangsa Indonesia berfikir pasti ada yang “salah” dengan Indonesia kita saat ini. Dan dengan berpijak pada ada yang “salah” saat ini setiap dari kita haruslah mengkritik keadaan Indonesia saat ini karena kritikan hakikatnya adalah mencari kesalahan dan semoga saja Indonesia termasuk kita semua menerima dan memikirkan secara kritis kritik2 yang ditujukan dari kita dan mungkin juga kritikan itu ada ditujukkan ke kita semua benar atau salahnya, tq.

    Bagi saya Filsafat adalah suatu cara untuk menemukan suatu kebenaran melalui cara befikir yang selalu meragu dan kritis.

    Suka

  2. Orang” smart, kritis, berjiwa pendobrak kemapanan udah ga sdikit di negeri ini, q dah banyak menjumpai’y kok. Masalah’y bagi q adl orang yg bisa menyampaikan kritik”y dgn cara komunikasi yg baik, elegan, smart & dpt diterima smua orang… itu yg msh jarang q temui… 🙂

    Suka

  3. Masalah lgi bwt gue adl bagaimana “mendaratkan idealisme” q yg kadang terlalu tinggi & melayang-layang agar dpt diterima n dipahami dgn baik oleh semua pihak. Kok gue jd pragmatis gini yak?!#$% –> efek mngambil jarak (refleksi trhadap diri sndiri) yg dah tenggelam & menggila ama filsafat.. 🙂

    Suka

  4. Yap. Orang-orang kritis dianggap sebagai penyesat. Memang kita perlu yang kamu bilang, bisa mengkomunikasikan ide-ide kritis ke publik luas dengan cara yang bisa diterima semua orang. Tertarik mengisi peran itu?

    Suka

  5. Memang orang orang telah dibonsaikan sejak lama dan untuk menjadi tumbuhan yang normal sebagai tumbuhan,butuh orang yang memiliki pikiran seperti Bapak,tetapi harus juga berdaya gebrak yang besar dan kuat seperti Pak Amin Rais.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.