“Pengungsi”: Pandangan Biopolitik Giorgio Agamben

http://3.bp.blogspot.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Tulisan-tulisan Giorgio Agamben, filsuf Italia kontemporer awal abad 21, tentang biopolitik merupakan tanggapannya terhadap filsafat politik Hannah Arendt tentang kaitan antara hak-hak asasi manusia dan situasi politik para pengungsi. Bagi Arendt, sebagaimana dicatat oleh Agamben, ada kaitan yang amat erat antara keberadaan negara-bangsa di satu sisi, dan hak-hak asasi manusia di sisi lain. Hubungan ini bersifat paradoks. Di satu sisi, hak-hak asasi manusia dilindung oleh negara. Namun supaya hak-hak asasi seseorang bisa dilindungi, maka ia harus menjadi warga negara tertentu yang nantinya akan melindungi hak-hak asasinya. Situasi menjadi membingungkan, ketika seorang pengungsi yang baru melarikan diri dari negara tempat tinggalnya, dan pergi ke suatu negara yang bukan merupakan negaranya. Pertanyaannya lalu, siapa yang akan menjamin dan melindungi hak-hak asasinya sebagai manusia? “Di dalam sistem negara bangsa”, demikian tulis Agamben, “hak-hak yang dianggapi suci dan tak dapat diambil dari manusia menunjukkan dirinya mengalami kekurangan perlindungan dan realitasnya pada saat ini di mana ia tidak dapat diambil dari hak-hak warga negara yang melihat.”[1] Artinya, saya rasa, cukup jelas, bahwa hak-hak asasi manusia baru menjadi nyata, ketika orang menjadi warga negara. Jika ia, karena sesuatu dan lain hal, kehilangan kewarganegaraannya, maka ia otomatis akan kehilangan jaminan atas hak-hak asasinya sebagai manusia.

Lebih dari itu, di dalam deklarasi-deklarasi yang terkait dengan hak-hak asasi manusia, Agamben, sejalan dengan Arendt, ada ambiguitas tentang kata manusia, terutama dalam deklarasi hak-hak asasi manusia yang dikumandangkan dalam revolusi Prancis 1789. Di dalam deklarasi tersebut, kata manusia seringkali diartikan sebagai warga negara. Hak-hak asasi manusia diartikan sebagai hak-hak warga negara Prancis. Dengan begitu, yang sungguh dijamin hak-hak asasinya adalah orang Prancis. Sementara orang-orang di luar negara Prancis, seperti yang berasal dari Afrika dan Asia, tidak mendapatkan perlindungan serupa. Bahkan, pada level yang lebih ekstrem, orang-orang yang berasal dari luar Prancis tidak dianggap sebagai manusia, tetapi hanya sebagai mahluk yang lebih rendah, maka bisa dibenarkan untuk dijajah, ataupun dieksploitasi.[2]  

Menyimak fenomena ini, Agamben mengajak kita untuk mengubah kerangka berpikir kita dalam memahami konsep hak-hak asasi manusia. “Sekarang”, demikian tulisnya, “adalah saatnya kita untuk berhenti memandang berbagai deklarasi-deklarasi tentang hak sebagai pernyataan atas yang abadi, meta hukum yang memiliki nilai yang mengikat para pembuat hukum (dan tidak berhasil) untuk menghormati prinsip-prinsip etik, dan mulai melihatnya sejalan dengan fungsi historisnya di dalam negara-bangsa yang modern.”[3] Dengan kata lain, ia ingin mengajak kita melihat hak-hak asasi manusia tidak sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan universal, dalam arti berlaku untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun, melainkan sebagai sesuatu yang terlibat dalam gerak realitas dunia yang penuh dengan intrik politik dan pertarungan kekuasaan.

Deklarasi hak-hak asasi manusia di berbagai belahan dunia, dengan demikian, dapat dipandang sebagai perkawinan antara otoritas metafisis tentang manusia di satu sisi, dan kekuasaan politis institusi-institusi dunia di sisi lain. Keduanya dibutuhkan, supaya hak-hak asasi manusia bisa dijamin. Di dalam rezim totaliter, walaupun ada pemahaman metafisis tentang manusia, hak-hak asasi manusia menjadi terabaikan. Begitu pula sebaliknya, di dalam tata politik modern, namun tak memiliki pemahaman metafisis tentang manusia yang cukup sejalan dengan hak-hak asasi manusia, hak-hak asasi itu pun juga menjadi sulit diterapkan. Menurut Agamben, dibutuhkan “perkawinan” pemahaman dari manusia sebagai mahluk alamiah yang sudah selalu menggendong hak-hak asasi (prinsip nativitas) menjadi warga negara yang memiliki hak sekaligus kewajiban legal tertentu (prinsip politik). Inilah yang menurutnya disebut sebagai prinsip biopolitik.[4]

Di dalam negara-negara modern, manusia harus selalu dipandang dalam tegangan antara mahluk alamiah yang telanjang tanpa atribut apapun di satu sisi (bare life), dan mahluk legal politis (political creature) di sisi lain. Dengan kata lain, pengandaian antropologis dari negara-negara modern bukan manusia yang rasional dan bebas, seperti yang banyak dipikirkan oleh para filsuf modern, melainkan manusia yang telanjang, tanpa status dan atribut apapun, yang kemudian mendapatkan statusnya sebagai subyek hukum, dan memperoleh jaminan atas hak-hak asasinya sebagai manusia. “Hak-hak”, demikian tulis Agamben, “dapat ditempelkan pada manusia, atau muncul dari dalam dirinya, hanya sejauh manusia itu hilang dan kemudian menjadi warga negara.”[5]

Pertanyaan kemudian yang amat perlu untuk dijawab adalah, siapa itu warga negara? Apa yang dibutuhkan, supaya orang berhak menyandang status sebagai warga negara dari suatu komunitas politis tertentu? Untuk menjawab pertanyaan ini, Agamben terlebih dahulu membedakan antara hak-hak pasif dan hak-hak aktif. Secara padat, hak-hak pasif adalah hak-hak orang yang diperolehnya, hanya semata-mata karena ia adalah manusia. Dengan adanya hak-hak ini, keberadaan suatu masyarakat bisa dipertahankan, walaupun dalam bentuknya yang paling primitif. Sementara, hak-hak aktif adalah hak-hak orang untuk terlibat secara penuh dalam menentukan berbagai keputusan yang mempengaruhi kehidupan bersama. Setiap orang memiliki hak-hak pasif. Namun hanya orang-orang tertentu yang bisa memperoleh hak-hak aktif, dan menjalankannya dalam aktivitas hidupnya. Orang-orang, yang dianggap tak mampu untuk terlibat dalam kehidupan bersama, tidak mendapatkan hak-hak aktif, dan harus puas dengan hanya memiliki hak-hak pasif dalam hidupnya.[6]

Dapatlah dikatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak-hak pasif. Namun tidak setiap warga negara memiliki hak-hak aktif. “Dengan demikian”, tulis Agamben dengan nada agak melecehkan, “anak-anak, orang-orang gila, para remaja, perempuan, dihukum untuk menempatkan diri mereka semata pada ruang privat dengan membatasi kebebasan mereka,… mereka bukanlah warga negara (dalam arti sepenuhnya, yakni memiliki hak-hak pasif dan hak-hak aktif).”[7] Dalam konteks ini, kita bisa langsung menemukan adanya peluang untuk penindasan dan diskriminasi. Mereka “yang lain” dari yang mayoritas, termasuk orang gila dan kelompok minoritas, amat mudah untuk mendapatkan cap “bukan warga negara”, dan dengan demikian tidak mampu menjalankan hak-hak aktif mereka secara maksimal. Dalam beberapa kasus ekstrem, hak-hak pasif yang sudah selayaknya diterima sebagai manusia pun tidak juga dapat terpenuhi secara layak.

Pada titik ini, Agamben, menurut saya, membuat argumen yang amat penting. Di dalam pembedaan antara warga negara dan bukan warga negara, kita tidak hanya bisa melihat pembedaan politis semata, tetapi juga makna biopolitik yang tersembunyi di belakangnya. “Salah satu tanda dari biopolitik modern, yang akan terus bertambah pada abad kita hidup”, demikian tulisnya, “adalah kebutuhan terus menerus untuk medefinisikan ulang batas-batas di dalam hidup antara apa yang ada di dalam dan apa yang ada di luar.”[8] Dengan kata lain, di dalam masyarakat modern, selalu ada kebutuhan untuk menciptakan garis yang memisahkan kita dengan mereka, antara kita yang layak mendapat tempat, dan mereka yang tidak layak mendapatkannya. Garis itu beragam, mulai dari garis ras (ras mayoritas dan ras minoritas), garis agama (agama yang mayoritas dan agama minoritas), garis politik (aliran politik dominan dan aliran politik minoritas), garis ekonomi (kelas ekonomi atas dan kelas ekonomi bawah), garis pendidikan (mereka yang mendapatkan pendidikan tinggi dan yang tidak), dan sebagainya. Garis-garis itu memisahkan orang, dan memecah masyarakat ke dalam bagian-bagian yang saling berkonflik satu sama lain. Tidak hanya itu, garis-garis buatan manusia tersebut juga menentukan hidup matinya seseorang, misalnya antara mereka yang kaya dan yang miskin, atau antara yang berpendidikan dan yang tidak.

Agamben lebih jauh menegaskan, bahwa konsep “pengungsi” adalah kelemahan mendasar di dalam filsafat politik modern, terutama dalam tegangan antara konsep tubuh alamiah manusia, dan konsep warga negara yang bersifat legalistik. Pertanyaan kuncinya begini, di dalam masyarakat demokratis modern, siapakah pengungsi? Apakah dia memiliki hak-hak yang dapat dijamin secara universal? Ataukah karena ia bukan warga negara, maka hak-haknya sebagai manusia juga terbatas? Dalam arti ini, menurut Agamben, keberadaan para pengungsi di berbagai belahan dunia, akibat pecahnya perang, ataupun diskriminasi politik lainnya, memaksa kita untuk memikirkan ulang konsep kekuasaan dan hak-hak asasi manusia di dalam filsafat modern. Solusi yang ditawarkannya begini, “Para pengungsi sesungguhnya adalah manusia dengan hak-hak, … yakni penampakan sebenarnya dari hak-hak di luar fiksi tentang warga negara yang selalu menutupinya.”[9] Keberadaan pengungsi memaksa kita untuk melihat manusia dalam arti sebenarnya, bukan sebagai warga negara terhormat suatu negara, melainkan sebagai manusia telanjang yang tanpa status legal apapun, hanya tubuh dan jiwanya yang datang, tanpa kepura-puraan apapun.

Agamben melihat, bahwa di dalam pandangan politik modern, konsep hak-hak asasi manusia dikaitkan dengan keberadaan suatu entitas politik tertentu yang bernama negara. Artinya, yang satu hanya dapat ada, jika yang lain tetap ada, dan kuat. [10] Di dalam pemerintahan totaliter, negara ada, namun hak-hak asasi manusia diabaikan. Dalam arti ini, negara hanya tinggal menunggu waktu saja untuk roboh, entah karena revolusi, ataupun karena perang saudara. Sebaliknya, di dalam kasus-kasus terkait dengan keberadaan pengungsi, negara menjadi tiada, sehingga tidak ada satu pun entitas politik yang menjamin hak-hak asasi manusia mereka. Keterkaitan ini, yakni antara negara dan hak-hak asasi manusia, haruslah dibuat relatif, sehingga tidak menjadi ikatan yang mutlak. Artinya, bagi Agamben, lepas dari ada atau tidaknya negara yang legal, hak-hak asasi manusia seseorang haruslah memperoleh jaminan, terutama dalam situasi-situasi yang ekstrem, seperti perang, rasisme, diskriminasi, ataupun bencana alam.

Filsafat politik Agamben juga sering disebut sebagai filsafat biopolitik, yakni filsafat politik yang berbicara tentang kehidupan. Para filsuf politik sebelumnya melihat kehidupan manusia selalu dalam konteks politik, yakni konteks adanya suatu negara, ataupun entitas politik lainnya, yang menopang kehidupan manusia tersebut. Semua itu, menurut Agamben, menjadi patah, ketika kita berhadapan dengan konsep “pengungsi”. “Pengungsi”, demikian tulisnya, “haruslah dilihat sebagai apa adanya dirinya: tidak kurang dari konsep yang terbatas yang secara radikal mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap kategori-kategori dasar dari negara-bangsa, dari lahirnya suatu negara sampai dengan adanya warga negara,..”[11] Keberadaan pengungsi yang semakin banyak di akhir abad 20 dan abad 21 membuat kita harus memikirkan ulang konsep manusia di dalam filsafat politik modern, tidak lagi sebagai manusia legal politis yang terikat pada suatu entitas politik tertentu, seperti negara, melainkan sebagai manusia yang telanjang, rapuh, tak berdaya, tak punya kewarganegaraan. Agamben mengajak kita untuk melebarkan secara radikal perlindungan hak-hak asasi manusia kepada sosok-sosok “telanjang” semacam itu. Apakah kita bisa?

 

 


[1] Agamben, Giorgio, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, Stanford University Press, California, 1995, hal. 126.“In the system ofthe nation-state, the so-called sacred and inalienable rights of man show themselves to lack every protection and reality at the moment in which they can no longer rake the form of rights helonging to citizens of a stare.”

[2] Ibid, hal. 127. In the phrase La declaration des droits de !’homme et du citoyen, it is not clear whether the rwo terms homme and citoyen name rwo autonomous beings or instead forma unitary system in which the first is always already included in the second. And if the latter is the case, the kind of relation that exists between homme and citoyen still remains unclear. From this perspective, Burke’s boutade according to which he preferred his “Rights ofan Englishman” to the inalienable rights ofman acquires an unsuspected profundiry.”

[3] Ibid, Yet it is time to stop regarding declarations of rights as proclamations of eternal, metajuridical values binding the legislator (in fact, without much success) to respect eternal ethical principles, and to begin to consider them according ro their real historical function in the modern nation­ state.”

[4] Ibid, hal. 128. The fact that in this process the “subject” is, as has been noted, transformed into a “citizen” means that birth­ which is to say, bare natural life as such-here for the first time becomes (thanks to a transformation whose biopolitical conse­ quences we are only heginning to discern today) the immediate bearer ofsovereignty.”

[5] Ibid, “Rights are attributed to man (or originate in him) solely to the extent that man is the immediately vanishing ground (who must never come to light as such) of rhe citizen.”

[6] Ibid, hal. 130. Only this tie between the rights of man and the new biopolitical determination of sovereignty makes it possible to understand the striking fact, which has often been noted by historians of the French Revolution, that at the very moment in which native rights were declared to be inalienable and indefeasible, the rights of man in general were divided into active rights and passive rights.”

[7] Ibid, hal. 131. And after defining the membres du souverain, rhe passage of Lan­ juinais cited above continues with these words: “Thus children, the insane, minors, women, those condemned to a punishment either restricting personal freedom or bringing disgrace. . . will not be citizens”

[8] Ibid, “One of the essential characteristics of modern biopolitics (which will continue to increase in our century) is its constant need to redefine the threshold in life that distinguishes and separates what is inside from what is outside.”

[9] Ibid, “the refugee is truly “the man of rights,” as Arendt suggests, the first and only real appearance of rights outside the fiction of the citizen that always covers them over.”

[10] Ibid, hal. 134. “The concept of the refugee (and the figure of life that this concept represents) must be resolutely separated from the concept of the rights of man, and we must seriously consider Arend t’s claim that the fates of human rights and the nation-state are bound together such that the decline and crisis of the one necessarily implies the end of the other.”

[11] Ibid, “The refugee must be considered for what he is: nothing less than a limit concept that radically calls into question the fundamental categories of the nation-state, from rhe birth-nation to the man-citizen link”

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

4 tanggapan untuk ““Pengungsi”: Pandangan Biopolitik Giorgio Agamben”

  1. kalau di Indonesia tidak bisa pak, kalau di negara lain ada kemungkinan masih bisa. contoh paling konkret yg saya alami adalah kenapa setiap kali pemilu di tempat saya dan dimanapun juga saya mengamati, kalau salah satu partai politik kalah suaranya dan mereka emosi, marah kemudian mereka melampiaskan dgn cara anarkis (merusak rumah2 ibadah, gedung perkantoran, toko2 orang china dsb) akhirnya masalah politik dikaitkan dengan SARA, itu yg saya sampai hari ini tidak mengerti dengan orang2 Indonesia ini dan pemerintah tidak berdaya u mengatasi masalah ini. kemana perlindungan hak asasi manusia untuk kasus tersebut????

    untuk masalah pengungsi juga demikian, saya ingat sekali waktu kejadian Tsunami di Aceh, pemerintah disana termasuk FPI dan MUI menolak bantuan dari agama lain hanya karena kekhawatiran mereka yg tidak beralasan. mereka sama sekali tidak mau menerima bantuan dari USA, HARAM hukumnya, mereka bilang begitu. sekarang gimana bisa melindungi hak2 para pengungsi kalau caranya begini yg dipakai???? rasanya kok ajaib kalau bisa ya….hehehhehe

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.