Penyakit “Asal Luar Negeri”

http://2.bp.blogspot.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Alkisah hiduplah seorang pemimpin fakultas di salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Selama ia menjalani masa pendidikan sampai level doktoral, ia tak pernah ke luar negeri. Ia menjalani pendidikannya di Indonesia. Ia pun merasa iri dengan teman-temannya yang berhasil menyelesaikan pendidikannya di luar negeri.

Setelah ia menjadi dekan, ia pun membuat kebijakan, agar semua dosen di bawah pimpinannya melanjutkan studi di luar negeri, di universitas apapun, asal di luar negeri. Pada hemat saya, ini adalah kebijakan yang amat salah kaprah. Ada dua alasan. Pertama, tidak semua institusi pendidikan di luar negeri itu bagus. Kita tidak boleh terjebak pada cara berpikir “asal luar negeri”.

Yang kedua, banyak paradigma penelitian di luar negeri dilakukan dalam konteks sosial mereka. Artinya, apa yang mereka temukan, dan cara berpikir di belakangnya, tidak selalu cocok untuk digunakan untuk memahami situasi Indonesia. Cara berpikir “asal luar negeri” ini mencampurkan kedua hal itu, tanpa berpikir sama sekali. Tak heran, banyak lulusan luar negeri di Indonesia tidak mampu menyumbangkan kontribusi nyata bagi perkembangan bangsa.

Si dekan ini suka sekali mengundang tamu-tamu dari luar negeri. Bayaran yang ia tawarkan kepada mereka pun juga amat besar, jauh lebih besar dari apa yang dibayarkan pada para tenaga pengajar “pribumi”. Dia senang ikut seminar dan konferensi di luar negeri, walaupun tidak mendapat apapun, kecuali prestise semata. Ironisnya, dekan, atau bahkan rektor, semacam ini tidak cuma satu di Indonesia, tetapi amat banyak. Pertanyaan kecil saya adalah, mau dibawa kemana dunia pendidikan kita, jika para pemimpin institusi pendidikan kita masih menggunakan cara berpikir “asal luar negeri”, tanpa sikap kritis sama sekali?

Bule-isme

Alkisah ada sebuah restoran di daerah Jakarta, Indonesia. Restoran ini mempekerjakan banyak sekali koki dari berbagai belahan dunia. Ada dua orang yang paling menonjol. Yang satu orang Indonesia. Sementara yang lain adalah orang yang berasal dari Eropa.

Mereka memiliki beban kerja yang sama. Tanggung jawab dan target kerjanya juga sama. Namun, pendapatan orang yang berasal dari Eropa berpuluh kali lipat, daripada orang Indonesia dengan pekerjaan dan tanggung jawab yang sama. Hal ini merupakan kebijakan dari manajemen restoran yang sebenarnya adalah orang Indonesia juga.

Pola semacam ini bisa ditemukan di berbagai bidang bisnis, mulai dari restoran, hotel, universitas, sekolah, perusahaan minyak, dan sebagainya. Dengan tanggung jawab yang sama, orang-orang Eropa dan Amerika yang berkarya di Indonesia mendapatkan gaji berpuluh kali lipat dari pada orang Indonesia yang bekerja di tempat yang sama, dengan tanggung jawab yang sama.

Saya menyebut beragam fenomena ini sebagai “bule-isme”, yakni pemujaan pada orang-orang bule. Apa yang orang-orang Bule lakukan selalu dianggap lebih daripada yang orang-orang Indonesia lakukan, walaupun, jika ditelaah lebih obyektif, proses dan hasilnya sama saja. Apa sebenarnya akar dari semua fenomena ini, yakni fenomena bule-isme dan pola berpikir “asal luar negeri”?

Mentalitas Kita

Kita memuja segala sesuatu yang berasal dari luar negeri, terutama dari Eropa dan Amerika. Mereka yang selesai belajar dari sana dianggap lebih mampu, padahal belum tentu. Banyak sekali lulusan Amerika dan Eropa yang tak mampu memberikan kontribusi banyak pada perkembangan bangsa, dan hanya hidup dengan prestise semu belaka. Orang-orang yang berasal dari sana dianggap lebih kompeten, padahal tidak ada kepastian sama sekali, bahwa orang-orang “bule” lebih mampu bekerja, daripada orang Indonesia.

Cara berpikir yang mengagungkan “luar negeri” seraya menginjak bangsa sendiri inilah yang saya sebut sebagai pola pikir bangsa terjajah. Harus saya tegaskan, bahwa bangsa kita sama sekali belum merdeka dari jajahan asing, baik secara politik, ekonomi, dan, terutama, dari cara berpikir. Kita masih hidup sebagai bangsa terjajah, dan itu terlihat jelas dari sikap kita yang suka “menjilat” orang-orang bule, dan orang-orang luar negeri lainnya.

Bangsa kita masih merasa inferior di hadapan bangsa-bangsa asing lainnya. Kita belum menemukan kebanggaan pada jati diri kita sebagai bangsa. Keindonesiaan masih merupakan barang langka yang nyaris punah di Indonesia. Akibatnya, kita selalu merasa rendah diri, dan kemudian bertindak untuk semata-mata menjilat bangsa asing lainnya, sambil juga merendahkan kualitas kerja bangsa sendiri. Mental inferior di hadapan bangsa asing dan mental asal luar negeri inilah yang, pada hemat saya, menjadi salah satu musuh pendidikan dan pengembangan budaya di Indonesia.

Kebenaran, Kebaikan, dan Keindahan

Apa yang benar harus selalu mengikuti standar luar negeri (Eropa dan Amerika). Apa yang ilmiah harus selalu mengikuti standar luar negeri. Bahkan harga minyak milik kita kita sendiri pun harus selalu mengikuti standar luar negeri. Inilah gejala-gejala dari bangsa yang menderita penyakit inferioritas dan penyakit “asal luar negeri”.

Apa yang baik juga selalu mengikuti standar luar negeri, terutama Eropa dan Amerika. Moralitas dan tata krama pun tidak dianggap “eksis”, jika tidak sejalan dengan tata krama dan moralitas luar negeri. Sambil memuja kebaikan orang-orang bule yang berasal dari luar negeri, kita tertawa-tawa menghina bangsa sendiri, dan melanjutkan hidup sebagai bangsa terjajah dan bodoh, seperti pada masa penjajahan Belanda dulu.

Apa yang indah dan cantik pun selalu mengikuti standar luar negeri. Orang Indonesia berlomba-lomba untuk menjadi putih, seperti orang luar negeri. Padahal, kulit putih itu kulit lemah, dan jauh lebih tidak sehat, daripada kulit coklat atau kulit hitam yang tebal pigmennya. Lukisan orang luar negeri juga selalu dihargai lebih tinggi, daripada lukisan anak bangsa sendiri, dengan teknik dan kedalaman refleksi seni yang sama. Dengan melanjutkan pola berpikir semacam ini, kita terus akan menjadi bangsa yang terbelakang, terjajah, inferior, dan, terus terang saja, memalukan!

Lalu Bagaimana?

Yang harus ditegaskan adalah, bahwa orang bisa belajar dimanapun, baik di luar negeri, ataupun di dalam negeri. Yang perlu terus dibawa adalah, baik ketika di luar ataupun dalam negeri, baik ketika berhadapan dengan orang asing ataupun orang pribumi, sikap kritis dan skeptis yang sehat dan konstruktif. Dua hal itu yang terus ada, supaya kita tidak terjebak menjadi bangsa yang bermental penakut dan penjilat, sambil menjadi penindas bangsa sendiri, seperti yang sekarang ini terjadi.

Yang paling penting bukanlah dari mana kamu berasal, atau di mana kamu sekolah, tetapi apa yang bisa kamu lakukan untuk mengembangkan komunitas tempatmu hidup dan berkarya. Dan ini seringkali tidak ada kaitannya dengan dari mana kamu berasal, atau di mana kamu menyelesaikan pendidikan. Kita tak boleh semata menilai orang dengan semata dari mana ia berasal, atau di mana ia sekolah, melainkan dari apa yang secara nyata ia berikan untuk mengembangkan komunitas tempatnya hidup dan berkarya.

Lebih dalam lagi, ini adalah soal Keindonesiaan, yakni kecintaan dan kebanggaan kita pada bangsa kita, tempat kita lahir, hidup, dan berkarya. Kita boleh membenci pemerintah, karena sikap korup, dan kebijakan-kebijakan irasional yang dikeluarkannya. Kita boleh membenci orang-orang yang berpikir fanatik, sempit, dan bodoh, yang notabene adalah anak bangsa kita juga. Namun, kita tidak boleh membenci bangsa Indonesia, dengan segala sejarah dan kisah perjuangannya, hanya karena pemerintahnya korup, atau sebagian kecil warganya berperilaku bodoh, dan picik.

Sebaliknya, dengan hati yang terbakar dan pikiran yang jernih, kita bisa terus berkarya dibarengi dengan sikap kritis dan kreativ untuk mengembangkan bangsa kita. Kita bisa mulai menyembuhkan diri dari penyakit “asal luar negeri”, dan mentalitas “bule-isme”. Kita bisa mulai merasa bangga dengan melihat sisi-sisi baik dari bangsa kita yang mungkin kita abaikan sebelumnya, karena masih terkena penyakit “asal luar negeri” dan “bule-isme”. Saya rasa, sekarang sudah waktunya bangsa kita sungguh-sungguh merdeka, terutama merdeka dari penjajahan cara berpikir.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

8 tanggapan untuk “Penyakit “Asal Luar Negeri””

  1. wah saya senang bapak membahas ini, itulah realita yg ada di Indonesia dan bukan hanya orang Indonesia yg diperlakukan demikian, saya punya teman orang asli dari cina, dia mengajar bahasa mandarin di salah satu sekolah swasta di Surabaya, mereka mengeluh pada teman saya sesama guru mandarin, karena gaji yg dia peroleh jauh lebih rendah dibandingkan dengan temannya (sama guru bahasa Mandarin juga) yg berasal dari Singapura dan Taiwan. Gaji orang Taiwan dan orang Singapore sebagai native speaker di Indonesia tinggi sekali jika dibandingkan dengan orang cina asli. entah standard darimana yg dipake pemimpin2 lembaga sekolah atau pemerintah atau sejenisnya dsb. mereka bisa “have mind set” seperti yg bapak jelaskan di atas. padahal maaf, hampir semua orang lulusan luar negeri, rata-rata karakternya buruk! kalau mau diprosentase 70% lah, mereka susah diajak kerjasama, mereka arogan, mereka merasa paling hebat dan bangga dengan titelnya, apalagi kalau jadi pemimpin, terlihat sekali mereka menjiplak gaya kepemimpinan luar negeri yg sama sekali tidak cocok di indonesia. seharusnya (buat saya pribadi khususnya) saya belajar sesuatu di luar negeri sebagai perbandingan, sebagai bahan penelitian, sebagai pengetahuan baru untuk pengembangan diri kita. saya sangat tidak suka kalau saya bertemu dengan seorang pemimpin yg punya mindset-bule minded itu pak. dan buat saya orang Indonesia ini kasihan sekali, dijajah dan dibodohi orang luar negeri tidak terasa dan tidak tahu. beberapa waktu lalu saya ke Amerika dan saya melihat orang Indonesia belanja gila2an barang2 branded Amerika. dan semuanya orang berduit. hanya supaya keluarga dan teman2nya tahu kalau dia dari Amerika hahhahaha…dengan alasan beli barang punya luar lebih kuat dan tahan lama sekalipun harganya mahal. padahal sekarang hampir 70% barang-barang Amerika buatan cina. gimana cara merubah orang2 yg demikian ya pak?

    Suka

  2. Hehehe. Terima kasih atas sharingnya. Pendidikan adalah cara paling tepat untuk mengubah pola berpikir. Tinggal kita memikirkan bentuk pendidikan yang tepat, yang disampaikan juga dengan cara-cara yang efektif.

    Suka

  3. SETUJU!! ijin posting di social media lainnya boleh?? pastinya boleh dong,,ehhehehehe,,,,

    Suka

  4. Hehehehe….bagus banget nih. Baru sempet baca sekarang. Memang mental jajahan ini dimana-mana, dan tercipta dari rasa inferior yang muncul dari kesadaran dalam hati nurani bahwa selama kita merdeka, begitu banyak hal tolol yang kita lakukan. Hal-hal tolol yang tampaknya jarang dilakukan bangsa lain. Celakanya, bukannya menghijaukan rumpit di halaman sendiri, kita malah bingung dan silau dengan rumput tetangga.
    Ini susah, karena dalam pendidikan dan kebudayaa yang menjadi cikal bakal masyarakat di masa depan pun, ini terjadi.

    Suka

  5. Tulisannya bagus banget pak! Memang benar sekali seringkali kita lihat faham buleisme ini masih dipakai di Indonesia, padahal kemampuan orang Indonesiapun tidak kalah jika dibandingkan orang bule. sudah seharusnya kita memiliki sikap menghargai kemampuan bangsa sendiri krn kita memang bisa dan sanggup melakukan apa yg mereka kerjakan.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.