Filsafat “Rok Mini” Martin Heidegger

http://philossophy.files.wordpress.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Perempuan tampaknya memang tak pernah menjadi “tuan” atas tubuhnya. Beberapa kelompok masyarakat mewajibkan perempuan mengurung tubuhnya atas nama moralitas. Sementara, beberapa kelompok masyarakat lain mewajibkan perempuan membuka tubuhnya atas nama keindahan dan seni. Adakah yang pernah bertanya, apa sebenarnya yang diinginkan perempuan dengan tubuhnya? Permasalahan ini kembali muncul dalam kontroversi rok mini yang baru-baru ini terjadi. “Kasus rok mini” lahir dari gedung DPR, dan dari pernyataan gubernur Jakarta. Ketua DPR Marzuki Alie dari fraksi Partai Demokrat menyatakan, bahwa penggunaan rok mini bisa menimbulkan pelecehan seksual.

Fauzi Bowo, Gubernur Jakarta, juga pernah memberi pernyataan, bahwa orang yang naik angkot, dan kemudian menggunakan rok mini, pasti akan menimbulkan kegerahan dari yang melihatnya. Walaupun akhirnya meminta maaf, pernyataan tersebut sudah menempatkan perempuan sekali lagi sebagai “budak” dari tubuhnya sendiri. Pada hemat saya, pandangan Martin Heidegger tentang teknologi, terutama cara berpikirnya, bisa menerangi permasalahan sebenarnya terkait dengan “kasus rok mini” di atas.

Heidegger adalah seorang filsuf metafisis-fenomenogi-eksistensialis asal Jerman yang hidup di awal abad ke-20. Ia mencoba menanggapi secara kritis cara berpikir yang berada di balik ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang berkembang amat pesat pada jamannya. Untuk menjelaskan argumen ini, dan kaitannya dengan “fenomena rok mini”,  saya menggunakan teks Martin Heidegger yang berjudul The Question Concerning Technology and other Essays, dan teks sekunder yang amat membantu dari Arthur Windermere yang berjudul Understanding Heidegger’s Question Concerning Technology.

Realitas yang Mengungkapkan Dirinya

            Berulang kali Martin Heidegger menyatakan, bahwa pemikiran Barat telah mereduksi arti kebenaran (Wahrheit) hanya semata pada apa yang dapat diketahui manusia. Tidak hanya itu, apa yang benar, menurut Heidegger, sudah disempitkan melulu pada apa yang faktual nyata (Faktum). (Windermere, 2012) Menurutnya, pola berpikir semacam ini telah membatasi kemampuan manusia untuk sungguh memahami realitas yang ada di sekitarnya. Kebenaran bukanlah hanya soal pengetahuan, tetapi soal keterbukaan (aletheia) realitas itu sendiri pada manusia.

Dalam arti ini, dapatlah dikatakan, bahwa manusia bukanlah mahluk yang murni ada untuk mengetahui realitas di sekitarnya. Manusia hidup dengan hasrat, tujuan, dan kepribadian yang unik. Semua ini, menurut Heidegger, mempengaruhi cara manusia berhubungan dengan realitas di sekitarnya. Gambaran tentang realitas lahir dari penghayatan orang tersebut tentang realitas, dan apa yang menjadi latar belakangnya.

Seorang pelukis akan melihat lukisan abstrak sebagai karya seni yang indah. Sementara orang lainnya, atau pelukis dengan selera berbeda, akan melihat lukisan abstrak sebagai coretan tak berpola dan tak indah dipandang mata. Lukisan abstrak mengungkap dirinya secara berbeda pada orang-orang yang berbeda. Keduanya benar, dan keduanya, menurut Heidegger, adalah dua sisi yang berbeda dari satu realitas yang sama. Obyek yang mengungkapkan dirinya, itulah makna kebenaran menurut Heidegger. Ia menulis,

“Teknologi bukan hanya alat. Teknologi adalah jalan untuk mengungkapkan diri dari realitas. Jika kita memberikan ini kesempatan, maka ruang yang lain dari teknologi akan membuka dirinya pada kita. Ini adalah ruang untuk pengungkapan, misalnya, kebenaran” (Heidegger, 1977, hal. 12)

Dunia mengungkap dirinya, dan orang bisa menangkapnya dengan emosi, atau dengan akal budi (ilmu pengetahuan dan teknologi). Emosi dan akal budi, ataupun apapun dari manusia, adalah caranya berhubungan dengan dunia. Rasa benci terhadap kemacetan, seperti yang sering saya alami, adalah ungkapan kebenaran dari realitas, bahwa kemacetan itu menyiksa. Perasaan jatuh cinta berarti ungkapan realitas, bahwa yang dicintai itu memang layak untuk dicintai.

Esensi dari Teknologi Modern

Heidegger menulis satu buku kecil berjudul The Question Concerning Technology. Di dalam buku itu, ia hendak memahami esensi dari teknologi modern. Dalam arti ini, sebagaimana dicatat oleh Windermere, kita harus membedakan antara teknologi tradisional di satu sisi, dan teknologi modern di sisi lain. Misalnya seorang petani.

Seorang petani memiliki hubungan batin dengan tanahnya. Ia memperlakukan tanah dengan rasa hormat. Ia merawat tanah, menyiramnya, memupuknya, dan menggeburkannya. Dan dari beragam usaha tersebut, ia memetik hasilnya, ketika panen tiba. Inilah pola yang terjadi di dalam teknologi tradisional.

Sementara di dalam teknologi modern, manusia memperlakukan alam tidak dengan rasa hormat, melainkan hanya sebagai obyek untuk diperas sampai habis demi kepentingan manusia. Slogan teknologi modern adalah “hisap sebanyak mungkin dengan modal sesedikit mungkin”. (Windermere, 2012) Keindahan pantai dilihat tidak sebagai keindahan itu sendiri, tetapi sebagai obyek untuk diperas demi kepentingan pariwisata, pengumpulan modal, dan alat untuk mencapai kenikmatan belaka. Pantai adalah “alat”, atau “obyek”, untuk melayani kepuasan manusia. Heidegger menulis,

“Keterbukaan dari yang telah terbuka telah datang pada manusia sejak ia siap untuk menerima keterbukaan itu. Ketika manusia, dengan jalannya sendiri, dari pengungkapan mengungkap apa yang hadir, ia hanya menanggapi panggilan dari pengungkapan itu bahkan ketika ia menolaknya. Dengan demikian, ketika manusia menyelidiki, mengamati, dan melihat alam dari area yang dapat dicernanya, ia juga tidak diklaim dengan cara yang mengungkapkan tantangan pada dirinya untuk mendekati alam sebagai obyek penelitian, sampai obyek itu menghilang menjadi tidak ada obyek dan hanya berdiri sebagai sumber daya yang berdiri.” (Heidegger, 1977, hal. 19)

Di mata teknologi modern, dan praktisi serta penggunanya, alam adalah sekumpulan sumber daya yang perlu untuk diperas habis demi kepentingan manusia. Heidegger menyebut pola semacam ini sebagai “kekuatan yang koheren dan dapat diperhitungkan.” (Windermere, 2012) Seluruh ilmu pengetahuan modern, termasuk yang mengaku mencoba memahami perilaku manusia, semata melihat alam, dan manusia, sebagai alat ataupun obyek untuk dipergunakan, sebagai sumber daya untuk diperas habis demi kepentingan pengumpulan modal, atau melayani kepuasan beberapa pihak semata. Tentang ini, Heidegger menulis,

“Definisi instrumental dari teknologi in begitu benar sehingga itu juga bisa menjelaskan teknologi modern, namun dalam hal lain, kita tetap mempertahankan dengan pembenaran, bahwa berbeda dengan teknologi yang lebih tua, beberapa hal sangatlah berbeda, dan baru. Bahkan pembangkit listrik yang baru dengan turbin-turbinnya serta generator adalah buatan manusia sebagai alat dari satu tujuan yang ditentukan oleh manusia. Bahkan pesawat jet dan alat-alat berfrekuensi tinggi adalah alat dari satu tujuan tertentu. Stasiun radar jelas lebih sederhana dari alat perkiraan cuaca. Untuk lebih yakin, pembangunan alat-alat berfrekuensi tinggi membutuhkan kombinasi dari berbagai proses produksi yang bersifat teknis dan industrial.” (Heidegger, 1977, hal. 5)

Apa masalahnya? Bukanlah alam ini memang hadir untuk kepentingan manusia? Menurut saya, ini adalah pandangan yang amat picik. Alam hadir untuk alam itu sendiri, bukan untuk sesuatu diluarnya. Bagi Heidegger, pandangan yang melihat alam sebagai sumber daya untuk manusia telah meracuni cara berpikir kita sebagai manusia. Pada akhirnya, kita hanya mampu menangkap satu ungkapan dari alam, yakni ungkapan fungsi (Funktion). Sementara ungkapan-ungkapan alam lainnya tak lagi bisa kita sadari.

Di dalam ilmu pengetahuan, inilah yang, menurut saya, telah terjadi. Ilmu pengetahuan modern hanya mampu melihat dunia dengan satu kaca mata, yakni kaca mata ilmiah yang berarti empiris dan dapat dihitung. Ungkapan realitas lainnya yang lebih rumit dan agung tidak lagi bisa dirasakan oleh ilmu pengetahuan modern. Heidegger menyatakan, bahwa bukan berarti ilmu pengetahuan dan teknologi modern adalah sesuatu yang salah. Yang ingin ia tekankan adalah, bahwa ilmu pengetahuan hanyalah salah satu cara untuk menangkap ungkapan realitas yang begitu rumit dan kaya. Ada banyak ungkapan realitas lainnya yang lain dari “yang ilmiah”.

Alam dan realitas sebagai keseluruhan adalah entitas yang kaya dan terus mengungkapkan dirinya pada manusia. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan modern tidak boleh memonopoli kebenarannya sendiri sebagai satu-satunya kebenaran. Alam dan realitas bukan hanya entitas yang bisa “digunakan”, “dihitung”, atau semata sesuatu yang terjadi akibat “hubungan sebab akibat”. Alam dan realitas mengungkapkan dirinya pada manusia secara estetik, puitis, religius, filosofis, dan semua ini, menurut Heidegger, adalah ungkapan dari kebenaran itu sendiri.

Mencari Kebenaran

Realitas mengungkapkan dirinya pada manusia. Dengan kata lain, pengungkapan realitas mencerminkan adanya hubungan yang unik dan intim antara manusia dengan realitas itu sendiri. Realitas mengungkapkan dirinya tidak pada kekosongan, melainkan pada manusia yang sudah memiliki kesadaran (Bewubtsein) di dalam dirinya. Hubungan antara kesadaran manusia di satu sisi, dan ungkapan dari alam di sisi lain, mengubah diri manusia itu sendiri.

Sebagai seorang ilmuwan modern yang tidak kritis, orang bisa melihat alam semata sebagai entitas yang dapat dihitung. Pola ini juga mengubah kesadaran orang tersebut, yakni sebagai menjadi kalkulator dari realitas yang siap menghitung aspek untung rugi dari upaya untuk menghisap realitas demi kepentingannya. Orang semacam ini melihat tujuan dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagai upaya untuk menaklukan dan menghisap alam sehabis-habisnya. (Windermere, 2012)

Di dalam proses tersebut, roh manusia pun terkikis. Hubungan manusia dan alam tidak lagi unik dan intim, melainkan semata-mata kalkulasi untung rugi, dan bersifat eksploitatif. Kesadaran manusia hanya mampu menangkap satu bentuk ungkapan alam, yang akhirnya juga mengikis habis kesadaran manusia menjadi semata hitung-hitungan untung rugi. Akhirnya, manusia pun tak lebih dari elemen alam yang bisa diperas, diperbudak, dan dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan lain yang tak bisa dipertanggungjawabkan.

Padahal, menurut Heidegger, kesadaran manusia baru dapat utuh, jika ia dapat menangkap beragam ungkapan realitas yang tampil di hadapannya. “Menjadi utuh secara roh”, demikian tulis Windermere tentang Heidegger, “berarti kita mampu mengalami beragam bentuk kebenaran yang lebih tinggi.” (Windermere, 2012) Jika ini tidak dapat dilakukan, maka kita akan semacam menjadi robot penghitung yang tak punya jiwa.

Sekali lagi perlulah ditegaskan, bahwa Heidegger sama sekali tidak menolak perkembangan teknologi. Yang ditentang Heidegger adalah cara berpikir yang ada di balik teknologi modern, yang menyempitkan alam (Natur) semata sebagai sesuatu yang bisa dihitung dan diperas demi kepentingan manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi modern harus ditempatkan hanya sebagai salah satu dari upaya kesadaran manusia untuk menangkap beragam ungkapan kebenaran dari realitas yang begitu kaya dan rumit.

Yunani Kuno

Sebagai contoh, Heidegger mengajak kita melihat hubungan orang-orang Yunani Kuno dengan alam yang ada di sekitar mereka. Di mata para penyair, filsuf, dan seniman pada masa itu, alam adalah sesuatu yang perlu dirawat demi dirinya sendiri. Para seniman dan filsuf mengekspresikan kekaguman mereka dalam bentuk lukisan dan tulisan. Para pemahat dan pematung membiarkan alam tampil secara alamiah di dalam karya-karya mereka.  Tentang ini, Heidegger menulis,

“Ada waktunya ketika tidak hanya teknologi yang menggunakan nama techne. Dulu segala sesuatu yang mengungkapkan kebenaran juga dianggap sebagai techne. Dan poiesis dari seni juga disebut sebagai techne. Di Yunani, sebagai titik tolak takdir peradaban Barat, seni berkembang sampai pada titik tertinggi dari ungkapan realitas yang tampil kepadanya. Seni membawa kehadiran dewa-dewa, membawa dialog antara yang Transenden dan manusia menjadi kenyataan. Seni adalah techne. Seni adalah sesuatu yang tunggal, yang mengungkapkan realitas secara bertahap. Seni adalah keutamaan.. sebagai penjaga kebenaran. (Heidegger, 1977, hal. 34)

Dalam konteks itu, manusia adalah bagian dari alam. Manusia bukan tuan atas alam yang bisa menggunakan alam semata untuk memenuhi kepentingan dirinya. Dalam hubungan yang unik dan intim semacam ini, manusia bisa mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi, karena ia mampu melihat beragam ungkapan kebenaran dari alam dan realitas itu sendiri.

Rok Mini

Rok mini adalah bagian dari realitas. Tubuh perempuan juga adalah bagian dari realitas. Realitas mengungkapkan dirinya kepada kesadaran manusia. Pengungkapan diri realitas, termasuk rok mini dan tubuh perempuan, adalah bagian dari kebenaran itu sendiri. Kesadaran kita pun menangkapnya, dan menafsirkannya.

Rok mini dan tubuh perempuan adalah bagian dari realitas yang mengungkapkan dirinya kepada kesadaran kita dengan beragam cara, dengan cara estetis, biologis, puitis, kultural, filosofis, politis, moralis, dan sebagainya. Namun, sayangnya, kesadaran kita sudah tertutup, sehingga hanya mampu menangkap satu ungkapan dari realitas rok mini dan tubuh perempuan, yakni ungkapan seksual.

Ketika kita menangkap rok mini dan tubuh perempuan secara seksual semata, kesadaran kita pun berubah menjadi kesadaran “si binal”. Kita menyempitkan ungkapan kebenaran realitas rok mini dan tubuh perempuan dengan otak kita yang binal, yakni sebagai fenomena seksual dan pornografi yang harus dicegah. Akhirnya, kita pun menjadi semakin tidak bijaksana. Kita gagal memahami kekayaan realitas rok mini dan tubuh perempuan yang sesungguhnya begitu rumit dan agung.

Di dalam tubuh perempuan, ada lekuk alami yang menginspirasi beragam seniman di sepanjang sejarah manusia untuk menghasilkan karya seni yang luar biasa indah dan menggerakan hati. Di dalam tubuh perempuan, kita bisa melihat potensi untuk menciptakan, melahirkan, dan merawat kehidupan. Kita kehilangan kemampuan berpikir semacam ini, karena kita sudah berubah menjadi “si binal” yang melihat realitas melulu dengan otak kita yang telah “kotor”.

Kita tak berhak mengatur tubuh perempuan. Kita juga tak berhak melarang penggunaan rok mini. Hanya orang-orang berotak kotorlah yang hendak menindas tubuh perempuan atas nama moralitas dan kepantasan. Hanya orang-orang berpikiran “binal” yang melarang penggunaan rok mini.

Belajar dari pemikiran Heidegger, kita perlu belajar untuk melihat realitas tubuh perempuan dan rok mini dengan cara-cara baru yang bisa menangkap sisi lain kebenarannya, di samping sisi binal dan seksualnya. Hanya dengan begitu, kesadaran kita sebagai manusia bisa berkembang, dan kita terhindar dari bahaya untuk hidup sebagai “manusia-manusia binal”.

Daftar Rujukan

Heidegger, Martin, The Question Concerning Technology and Other Essays, William Lovitt (terj), Garland Publishing, New York, 1977.

Windermere, Arthur,  Understanding Heidegger’s Question Concerning Technology,http://arthurwindermere.hubpages.com/hub/QuestionConcerningTechnology, 30 Maret 2012

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

21 tanggapan untuk “Filsafat “Rok Mini” Martin Heidegger”

  1. Kecenderungan kita melihat perempuan sebagai OBYEK seksual itulah yang pada akhirnya menggiring kita untuk selalu memahami bahwa perempuan memakai rok mini akan mengundang kegerahan orang-orang disekitarnya.
    Sebagai perbandingan, di Jepang, perempuan memakai rok mini bukanlah sesuatu yang “menakutkan”. Bahkan pakaian siswa-siswa perempuan Jepang sangatlah pendek kalau bukan dikatakan “Super Mini” tetapi kita tidak mendengar bahwa akibat pakaian tersebut banyak terjadi pemerkosaan ataupun pelecehan seksual lainnya.
    Mudah-mudahan , cara pandang terhadap perempuan sebagai refleksi dari pemikiran Heidegger diatas mendapat relevansinya di Indonesia. Salam.

    Suka

  2. Saya setuju dengan anda. Otak masyarakat kita memang harus dibersihkan dari pornografi, bukan realitasnya. Ini semacam “idealisme pornografi”, di mana pornografi tidak melulu hasil cerminan realitas, tetapi isi dari pikiran manusia (ide).

    Suka

  3. Jadi yang menjadi masalah sesungguhnya adalah manusia-manusia binal ya? Tampaknya yang disebut realitas seringkali adalah upaya menyelubungi kebinalan-kebinalan ini. Masalah rok mini seakan merupakan relaitas yang menggelisahkan, padahal yang bermasalah ya justru orang-orang berotak binal itu hehehe

    Suka

  4. menurut saya masalah sesungguhnya bukan terletak pada manusia2 binal tetapi pada pikiran manusia yg kecenderungan dikuasai oleh nafsu sexual dan tidak punya pengendalian diri u menahan nafsunya. rok mini dipermasalahkan bahkan diperdebatkan di dalam karangan pemerintahan, hal tersebut dipakai hanya untuk menutupi kedok mereka saja. bagaimana dengan orang-orang di desa atau di daerah pinggiran pantai yang mayoritas mereka pekerjaannya sebagai nelayan, wanita2 disana hanya mengenakan kain sarung dan kebaya yg modelnya trawang bahkan mereka mandi di sungai dan di pinggir jalan, ditutup ala kadarnya saja? apakah perlu kita melarang dan mempermasalahkan pakaian mereka dgn alasan kejahatan atau pemerkosaan????? saya pikir pasti tidak demikian.

    Suka

  5. hehehe. itu persis argumen saya. Manusia berotak kotor itu saya sebut sebagai manusia binal. Pornografi itu masalah sudut pandang, bukan masalah obyektif, dan tidak mendesak sebenarnya, kalau kita mau secara dewasa dan rasional menyingkapinya.

    Suka

  6. saya mengalami dilemma pada saat saya harus mengatasi masalah beberapa murid saya melihat temannya sedang buang air kecil di kamar mandi dan anak itu masih kelas 2 SD…dilihat dari segi moral memang tidak baik tetapi pada saat saya datang ke rumahnya di gunung, saya bisa mengerti kondisi mereka, kondisi mereka seperti itu, mereka telanjang bebas tanpa pakaian dan bisa buang air besar dan buang air kecil di sembarang tempat dan tidak ada orang yg protes tentang hal ini…jadi saya setuju bapak, tergantung bagaimana sudut pandang kita melihat pornografi itu sebagai apa.

    Suka

  7. jadi, makna yang terbangun juga akan tumbuh megikuti sosiokultural dimana ‘rok mini’ itu tumbuh? kalau di jepang sudah biasa dengan rok mini, dan Indonesia tabu akan rok mini.

    Suka

  8. lalu pertanyaannya adalah apakah cara pandang atau paradigmana yang ada dalam pikiran manusia merupakan sesuatu yang hakikatnya ada dengan sendirinya tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor lain? bagaimana tahapan pembentukan konsep atau pemikiran dalam diri manusia?pemahaman tentang seksual sendiri datangnya darimana? saya pikir jawaban terhadap pertanyaan ini akan sangat membantu dalam upaya mengubah cara berpikir masyarakat tentang perempuan dan tubuhnya..apakah haidegger telah berusaha menemukan jawaban terhadap pertanyaan ini..???

    Suka

  9. betul bung rambu. paradigma itu saya yakin juga turunan/warisan sejarah yang perlu dilacak.sistem berfikir yang ujungnya menjadi paradigma kolektif juga adalah ‘ada’. tp ntuk menelusurinya kita ayaknya butuh faucoult. mungkin bisa memanggil seseorang yg menguasai mister botak satu itu. *saya sedang belajar, jd bisanya cm nanyak.hehehe…

    Suka

  10. Iya. Saya setuju. Heidegger memang tidak masuk ke dalam refleksi sosiologis-filosofis semacam itu. Ia lebih berbicara di level metafisis yang berupaya melampaui batasan sosiologis-historis manusia. Foucault dan Bourdieu lebih tepat.

    Suka

  11. maaf sebelumnya pak dosen.. saya hanya ingin bertanya sedikit. apakah heidegger berbicara mengenai hal-hal yang metafisis..? karena bagi saya jika ia berbicara mengenai hal metafisis, maka apa bedanya dia dengan para filsuf yang ia kritik sendiri sebagai jatuh dalam pemikiran yang metafisis? menurut saya ia tidak berbicara mengenai hal-hal yang metafisis…terima kasih..:) salam hangat pengagum heidegger..

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Charisma David Hume (@C_davidhume)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.