Mengubah Paradigma Pendidikan di Indonesia

http://blogs.tribune.com.pk

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Sudah lama di Indonesia, profesi guru dan dosen dianggap sebagai profesi kelas dua. Mereka yang memiliki kompetensi tinggi justru lebih ingin menjadi praktisi bisnis, insinyur, ataupun dokter. Sementara, orang-orang yang kebingungan mau jadi apa nantinya justru memasuki sekolah-sekolah pendidikan. Pandangan ini jelas salah, dan perlu diubah.

Di sisi lain, salah satu akar utama masalah pendidikan di Indonesia adalah lemahnya otoritas pendidikan yang ada. Dalam arti ini, lemah berarti otoritas tersebut tidak memiliki konsep pendidikan yang jelas, dan sembarangan mengeluarkan kebijakan yang justru kontra produktif bagi pengembangan pendidikan. Saya yakin jika para petinggi pendidikan di Indonesia ditanya, apa arti pendidikan, mereka tidak akan mampu menjawab secara jelas dan tepat.

Mengembangkan Pendidikan

Guru adalah profesi yang amat luhur, karena langsung terkait dengan pembentukan cara berpikir yang menentukan semua perilaku manusia. Apalagi guru adalah pendidik calon-calon pemimpin masa depan. Posisi guru amat penting untuk menggulirkan perubahan cara berpikir yang lebih rasional, kritis, dan anti korupsi di masa depan. Mengingat semua ini, maka profesi guru haruslah diisi oleh orang-orang yang sungguh kompeten dan peduli pada pembangunan karakter serta cara berpikir bangsa. Pemerintah dan rakyat harus menunjang kehidupan para guru, sehingga mereka bisa hidup secara manusiawi, dan bangga dengan profesinya.

Otoritas pendidikan, baik pada level nasional maupun lokal, harus bisa dikontrol secara demokratis. Proses pembuatan kebijakan, sampai dengan jumlah anggaran yang tersedia, haruslah dibuat seterbuka mungkin, sehingga bisa dikontrol secara demokratis oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Orang-orang yang duduk di dalamnya juga harus teruji sebagai tokoh pendidikan yang visioner, dan bukan hanya sekedar administrator yang miskin visi.

Seleksi guru dan dosen juga diperketat. Tidak semua orang bisa menjadi pendidik. Hanya orang-orang yang sungguh mencintai pendidikan, mencintai peserta didik mereka, dan sungguh kompeten dalam bidang ilmunyalah yang layak menjadi guru dan dosen. Otoritas pendidikan di Indonesia, baik level nasional maupun lokal, harus berani tegas dalam hal ini. Jangan mengangkat orang sebagai guru, hanya karena kedekatan pribadi, kesamaan latar belakang (politik, ras, ataupun agama), ataupun tujuan-tujuan lainnya di luar peningkatan kualitas pendidikan.

Paradigma Pendidikan

Yang juga amat penting adalah perubahan paradigma pendidikan. Kultur pilihan ganda haruslah dihapus, dan diganti dengan kultur ujian untuk mencipta, misalnya menjalankan proyek tertentu untuk menghasilkan karya cipta sesuai dengan bidanganya. Ini perlu dilakukan mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi.

Kultur menghafal juga harus diganti dengan kultur menyelesaikan suatu permasalahan terkait dengan bidang ilmunya. Jika difokuskan untuk menyelesaikan masalah dan berkarya, maka materi pendidikan akan menjadi bagian dari penghayatan pribadi yang melekat seumur hidup, dan bukan sekedar hafalan yang akan segera lenyap, setelah ujian selesai.

Kultur guru otoriter, dan guru sebagai sumber kebenaran utama, juga harus diganti dengan kultur pendidikan demokratis, di mana siswa bisa berpendapat secara rasional dan berdiskusi secara sehat dengan segala pihak. Kultur bertanya juga harus dikembangkan, karena dari pertanyaan-pertanyaanlah pikiran kita berkembang, dan wawasan kita sebagai manusia bertambah luas. Bahkan, menurut saya, yang terpenting bukanlah menjawab secara benar, tetapi mengajukan pertanyaan yang benar. Karena seringkali jawaban yang benar atas pertanyaan yang salah justru membawa kita pada kesesatan.

Partisipasi Rakyat

Semua ini perlu didukung oleh sumber daya yang besar. Maka pemberantasan korupsi harus dilakukan secara agresif, sehingga kita memiliki sumber daya yang memadai untuk mengembangkan hal-hal yang sungguh penting bagi kehidupan berbangsa kita, yakni pendidikan anak-anak kita. Pemberantasan korupsi tidak bisa hanya mengandalkan KPK atau pemerintah semata, tetapi juga harus mendapatkan dukungan nyata dari seluruh rakyat terkait, terutama ketika mereka menyaksikan sendiri korupsi terjadi di depan mata mereka.

Partisipasi kita sebagai rakyat amat dibutuhkan untuk mewujudkan semua langkah di atas menjadi kenyataan. Kekuatan masyarakat demokratis bukan pada pimpinannya, tetapi pada rakyatnya yang peduli dan terus berjuang mengontrol kekuasaan, sehingga bisa tetap dipergunakan untuk kepentingan yang lebih baik dan lebih besar.

Di titik ini, kita menemukan sebuah logika melingkar. Di satu sisi, partisipasi demokratis dari seluruh rakyat amat penting untuk mengontrol kekuasaan, terutama untuk memastikan terciptanya pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat. Di sisi lain, pendidikan yang humanistik, seperti yang saya jelaskan di atas, bisa menjamin kultur demokratis di negara kita tetap terjaga. Dengan mengontrol kekuasaan secara demokratis, kita bisa melapangkan jalan untuk menjadi masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimana yang kita impikan bersama.

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Mengubah Paradigma Pendidikan di Indonesia”

  1. mantabbbb pak, saya suka topik ini> saya punya cerita lucu pak dan ini mungkin salah satu contoh paradigma yang salah dari pendidikan yang ada.
    temen saya tadi pagi mendiskusikan tentang hasil nilai UTS mereka yang tidak terlalu bagus, kemudian salah satu dari mereka berkata: “pokoknya saya harus dapat A semua.” kemudian saya tanya ke dia, “kalau kamu sudah dapat A semua,terus gimana? mau buat apa ke depan? nilai A mu itu?” ya ndak dibuat apa2,senang aja kalau dapat A. saya langsung ketawa dalam hati pak,hahahhaha 🙂 aduh kasihan teman-teman saya ini polos semua, terus saya tanya ke dia, menurutmu lebih penting mana, kamu kuliah dapat nilai A atau kamu kuliah dapat pengetahuan dan pengalaman? dia tidak bisa menjawab pertanyaan saya tersebut. ini contoh paradigma yang salah menurut saya pak, karena bagi semua orang nilai A adalah yang terbaik dan kalau dapat A kamu adalah orang pintar. sehingga mereka mati-matian belajar supaya dapat A tanpa tujuan yang jelas. kenapa saya harus dapat A. saya suka kata-kata penjelasan yang bapak lontarkan di kelas…saya sangat senang mendengarnya. mereka tidak tahu essensi pendidikan, kenapa saya harus belajar ya dan kuliah??? apakah nilai A menjamin saya bisa mendapatkan pekerjaan lebih cepat?? apakah dengan nilai A hidup saya akan terjamin (cari pekerjaan tidak susah, gaji pas-pasan). bagaimana mengubah pola pemikiran orang yang sudah tertanam bertahun-tahun????

    Suka

  2. hhehehe.. banyak pengalaman dengan pola serupa. Perubahan cara berpikir paling efektif adalah lewat pendidikan. Maka yang mengajar memang harus dosen-dosen yang punya paradigma pendidikan yang jelas, bukan sekedar mengajar teknis, atau memindahkan isi buku saja.

    Suka

  3. Bagaimana dengan perpustakaan? Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki tingkat baca yang tinggi. Jepang telah membuktikan hal itu dengan sangat cantik.

    Suka

  4. luar biasa pak,,,,,
    saya mau curhat pak…… hehehhehe….sebuah perusahaan, sekolah, rekruitmen pegawai tentu tolak ukur mereka yang pertama adalah nilai yang bagus,,,,,
    nah nilai bagus itu akan terlihat berkualitas atau tidak ketika seseorang sudah bekerja……

    ada beberapa teman yang nilai kuliahnya mendapat A tetapi ketika terjun bekerja,,,, tidak mempunyai greget, daya juang, inovasi bahkan dicap jelek….. sedangakn ada satu sisi yang nilainya pas pasan tetapi pintar berorganisasi malah menjadi sosok yang luar biasa dalam bekerja….

    terimakasih….. bagaimana tanggapan bapak?

    Suka

  5. Nilai tidak banyak berbicara soal karakter seseorang. Ketika bekerja, yang terpenting adalah karakter. Kecerdasan bisa dilatih. Orang bisa belajar. Nilai bukan tolok ukur apapun. Bagaimana menurutmu?

    Suka

  6. terimakasih
    benar…. dan setuju saya dengan pendapat anda. tetapi sebagian besar ketika awal mau masuk kerja pasti dilihat IPKnya berapa?

    contoh: dibutuhkan guru dengan kriteria memiliki IPK 3.00, ada teman saya yg hanya memiliki IPK 2.5 dan dia tidak diterima di perusahaan itu….

    puji Tuhan IPK saya di atas 2.75 sehingga skrg bisa bekerja…. seandainya saya seperti teman saya yang IPKnya 2.5,,,, mungkin tidak akan diterima menjadi guru……bagaimana pendpatmu?

    Suka

  7. Saya pikir, itulah salah satu kesalahan terbesar pendidikan kita, yakni “memberi nilai”. Pada hemat saya, uraian yang bersifat deskriptif tentang orang jauh lebih manusiawi daripada memberinya nilai. Akhirnya, seluruh sistem penilaian, sampai dengan penerimaan kerja, pun mengikuti nilai. Ini, menurut saya, salah satu cara berpikir yang masih harus diubah.

    Suka

  8. Benar, saya setuju. Bagaimana kita sebagai anak Bangsa merubah paradigma tersebut?

    Ada teman saya di luar negeri mengatakan: “nilai tidak menjadi ukuran disana” tetapi dilihat cara bekerjanya…. maka adanya treaning….

    Suka

  9. Yap. Kita harus lihat manusianya, bukan nilainya, karena seringkali, ada jarang yang jauh antara keduanya. Beri kesempatan, tes melalui kerja, bukan melalui proses mengisi kertas-kertas tes yang tak ada gunanya. Saya rasa, kita harus mulai dari komunitas masing-masing untuk mulai mengubah paradigma dan cara-cara tersebut.

    Suka

  10. yup, betul.. semua harus dimulai dari diri sendiri melalui komunitas2 yang visioner. karena jika harus menunggu pemerintah, penyakit pendidikan ini semakin akut.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.