Manusia-manusia Korup

http://www.thailandlaw.org

Pengantar ke dalam Buku:

Manusia-manusia Korup

Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani Manusia di balik Korupsi

(Terbit akhir tahun ini)

Oleh Reza A.A Wattimena

Buku ini ingin mengupas akar-akar korupsi dari sudut pandang filsafat dengan tujuan untuk mencegah dan melenyapkannya. Akar dari korupsi ada bermacam-macam. Wacana tentang korupsi pun bertebaran di berbagai bidang keilmuan, mulai dari filsafat, teologi, hukum, sampai dengan ekonomi.[1] Pada ranah moral korupsi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang merusak moral, atau yang mencerminkan kerusakan moral. Tindakan korup adalah tindakan yang menjauh dari yang baik, dari yang ideal. Di dalam wacana ekonomi dan hukum, korupsi adalah pembayaran atau pengeluaran yang mengangkangi aturan hukum yang berlaku. Ada beragam sebutan untuk tindakan ini, mulai dari menyuap, main belakang, sampai sebutan unik di daerah Timur Tengah, yakni bakseesh. Secara etimologis kata korupsi berasal dari kata Latin, yakni corruptus. Artinya adalah tindakan yang merusak, atau menghancurkan. Ketika digunakan sebagai kata benda, korupsi berarti sesuatu yang sudah hancur, sudah patah.

Bentuk korupsi pertama adalah korupsi politik. Artinya adalah penyalahgunaan kekuasaan publik (politik) untuk memperoleh keuntungan pribadi. Misalnya anda dipercaya mengelola anggaran DPR, namun anda menggunakan sebagian anggaran itu untuk memperkaya diri anda sendiri, atau untuk kepentingan pribadi lainnya. Penggunaan kekuasaan sebagai pejabat negara yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku juga dapat disebut sebagai korupsi. Pada level yang paling parah, korupsi sudah menjadi penyakit sistemik, sehingga sudah dianggap biasa, dan orang sudah tak lagi punya harapan untuk memberantasnya. Biasanya korupsi amat luas tersebar dan tertanam amat dalam di sistem politik dan ekonomi negara-negara berkembang. Ini terjadi karena sistem pembagian kekuasaan antara eksekutif (pelaksana kebijakan), legislatif (pembuat kebijakan), dan yudikatif (pemantau kebijakan) tidak berjalan dengan lancar. Akhirnya sistem hukum tak memiliki kekuatan dan kemandirian yang cukup untuk menjamin bersihnya pemerintahan dari korupsi.   

Di dalam filsafat klasik, korupsi dianggap sebagai segala hal yang bertentangan dengan kemurnian. Dalam arti ini jiwa adalah sesuatu yang murni, sementara tubuh, dan semua materi fisik, adalah hal-hal yang korup. Yang diperlukan untuk mencapai kebijaksanaan dan pencerahan adalah menyangkal fisik dan materi, serta mencari kebenaran di dalam jiwa. Di sisi lain, sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles, korupsi juga bisa identik dengan dua hal, yakni kematian dan dekadensi moral yang disamakan olehnya dengan hedonisme, yakni hidup yang tujuan utamanya adalah mencari nikmat badaniah semata. Pada level politik yang cukup terlihat adalah karena kesenjangan ekonomi yang terlalu tinggi, dan rusaknya kepercayaan yang mengikat antar anggota masyarakat. Ini bergerak seperti lingkaran setan. Penyebab korupsi dalam konteks ini adalah krisis kepercayaan. Namun karena korupsi krisis kepercayaan pun meningkat, kesenjangan ekonomi semakin besar, dan akhirnya merusak berbagai dimensi kehidupan bersama. Inilah yang menurut Uslaner menjadi penyebab, mengapa korupsi mampu bertahan lama, dan sulit sekali untuk dibasmi.[2] Korupsi adalah penyakit universal negara yang bisa ditemukan dimanapun. Penyebabnya amat mendalam sehingga upaya untuk mengganti sistem pemerintahan, misalnya dari totaliter ke demokrasi, seperti di Indonesia, tidak akan cukup untuk menaklukan korupsi sampai ke akarnya. Justru sebaliknya negara-negara yang notabene berhasil melenyapkan korupsi, seperti Singapura dan Hongkong (Cina), bukanlah negara demokratis.

Di sisi lain masalah utama menyebarnya korupsi adalah karena orang tidak tahu persis apa arti kata korupsi. Pada dasarnya korupsi adalah suatu konsep yang amat sulit untuk dijelaskan, apalagi dipahami. Setiap definisi menurut Uslaner selalu bermasalah, dalam arti tidak cukup mewakili kerumitan arti kata tersebut. Secara umum dapat dikatakan, bahwa korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Kekuasaan publik adalah kekuasaan yang diberikan oleh publik, dan publik bisa berarti masyarakat, ataupun organisasi-organisasi yang ada di dalamnya.[3] Pada level ini banyak orang sepakat dengan definisi tersebut. Namun pada level yang lebih kecil, masalahnya menjadi semakin rumit. Misalnya apakah pemberian hadiah pada seseorang (karena jabatannya) adalah suap yang berarti adalah korupsi? Bagaimana dengan hadiah Lebaran atau hadiah Natal, apakah tidak boleh juga?

Inilah masalah utamanya. Korupsi seringkali didefinisikan dengan mengacu pada standar nilai masyarakat tertentu yang tidak selalu bisa diterima oleh masyarakat lainnya. Artinya apa yang bagiku merupakan korupsi, bagi orang lain merupakan silaturahmi, atau tindakan wajar. Bahkan sebagaimana diamati oleh Uslaner, ada beberapa masyarakat yang mengangap tindak korupsi adalah suatu keharusan, karena merupakan bagian dari kultur masyarakat tersebut.[4] Pada hemat saya pola berpikir semacam ini amatlah sesat, karena mengabaikan begitu saja akibat-akibat yang merusak dari praktek korupsi dengan menggunakan alasan-alasan kultural yang seolah luhur, namun sebenarnya busuk. Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kebaikan bersama dihisap oleh orang-orang yang duduk di kursi kekuasaan untuk mempergendut rekening pribadinya. Akibatnya orang-orang yang seharusnya mendapat pertolongan justru semakin terpuruk di dalam sulitnya kehidupan.

Kultur korupsi di masyarakat bisa tercipta, karena adanya lingkaran setan kesenjangan ekonomi, tidak adanya kepercayaan, adanya korupsi yang berkelanjutan, dan mulai lagi menciptakan kesenjangan ekonomi yang lebih besar, begitu seterusnya. Di dalam kultur semacam ini, perbuatan korup, seperti menyuap dan mencuri, adalah sesuatu yang biasa, bagian dari rutinitas. Dengan kata lain orang harus korupsi, kalau mau selamat. Orang-orang yang tidak korup justru menjadi korban, dan dikucilkan. Korupsi menjadi sebentuk hegemoni, yakni kekuasaan yang menindas, namun dilihat sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, justru malah wajar dan bernilai baik. Orang menyuap karena tidak ada jalan lain untuk melakukan pekerjaan, selain menyuap. Orang mencuri karena tidak ada jalan lain untuk hidup, selain mencuri. Sementara tindak menyuap dan mencuri justru malah mengembangkan kultur korupsi yang telah ada sebelumnya. Inilah lingkaran setan korupsi.

Yang juga perlu ditegaskan adalah, bahwa korupsi bukan hanya soal hukum, tetapi lebih dalam dari itu, yakni soal kultur. Jika urusan korupsi hanya diserahkan pada para penegak hukum, maka di negara-negara yang memiliki kultur korupsi kuat, orang-orang yang kaya dan berkuasa tidak akan pernah dituntut secara hukum, apalagi dihukum. Juga jika korupsi hanya dilihat sebagai soal hukum, maka pasal-pasal yang multitafsir dapat digunakan oleh para koruptor untuk melakukan korupsi. Dan di Indonesia pasal-pasal yang multitafsir dan saling bertentangan satu sama lain amatlah banyak. Dua hal ini akan membuat pemberantasan korupsi menjadi semakin sulit, dan kultur korupsi akan semakin kuat. Maka kita boleh secara sempit melihat korupsi semata sebagai masalah hukum saja.

Di dalam buku ini, saya akan mencoba meneropong fenomena korupsi dari kaca mata filsafat. Dalam arti ini korupsi adalah ekspresi dari situasi manusiawi kita sebagai manusia, yakni karena kita memiliki hasrat berkuasa, gemar berburu kenikmatan, memiliki sisi-sisi hewani yang brutal,  sehingga korupsi seolah menjadi tindakan wajar yang tak lagi dilihat sebagai kejahatan. Saya akan jelaskan ini lebih jauh nanti. Namun sebelumnya kita sudah melihat, bagaimana korupsi amat terkait dengan kesenjangan ekonomi dan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat. Pertanyaan besarnya tetap bagaimana cara kita membasmi korupsi? Secara empiris yang pertama-tama kita butuhkan adalah basis data yang kokoh dan akurat. Sebagaimana dikutip oleh Uslaner, sampai saat ini hanya ada 18 negara yang memiliki data lengkap terkait dengan korupsi.[5] Dengan kata lain hanya ada 18 negara di dunia ini yang sungguh peduli pada pemberantasan korupsi. Mereka adalah Argentina, Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Hungaria, Irlandia, Italia, Jepang, Meksiko, Belanda, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Inggris, Amerika Serikat, dan Jerman. Sementara yang lainnya entah berjalan setengah hati, sehingga data tak lengkap, yang berarti pola pemberantasan korupsi juga tak berjalan mulus, atau tak peduli sama sekali.

Uslaner juga menegaskan bahwa kunci untuk memberantas korupsi adalah dengan membuat masyarakat tidak lagi tergantung pada cara-cara korup untuk mencapai sukses, atau sekedar menjalani hidup.[6] Artinya orang berdagang tidak harus menyuap. Orang mendirikan perusahaan tidak harus menyogok. Orang mengejar tender tidak harus menjilat sang pembuat tender. Orang masuk sekolah elit tidak perlu harus menyogok si kepala sekolah. Orang bisa menjadi pemimpin negara, tanpa harus menjilat pengusaha rakus, atau menipu rakyat dengan slogan-slogan penuh kebohongan. Tindak menyuap polisi untuk meloloskan diri dari surat tilang memang terlihat sebagai tindakan kecil. Namun itu tetaplah tindakan korupsi. Dan seperti sudah disinggung sebelumnya, korupsi kecil itu berpartisipasi di dalam memperbesar kultur korupsi, yang nantinya bisa merusak seluruh sistem masyarakat, dan menghancurkan masyarakat tersebut. Di dalam seluruh proses ini tetap dibutuhkan sosok pemimpin negara yang tegas dan berani mengambil keputusan untuk memberantas korupsi, dan menghukum para koruptor.

Supaya masyarakat tak perlu lagi bergantung pada cara-cara korup untuk hidup, maka perlu ada sistem jaminan sosial yang bermutu, yang mampu menopang hidup mereka sebagai manusia yang memiliki martabat. Dalam konteks ini menurut Uslaner, yang terpenting adalah adanya sistem pendidikan yang mampu menjangkau semua warga masyarakat, tanpa kecuali.[7] Artinya pendidikan gratis untuk rakyat, mulai dari taman kanak-kanak, sampai dengan universitas. Tidak mungkin? Swedia, Denmark, Botswana, Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan sudah menjalankan proses ini, walaupun memang masih ada cacat di dalamnya. Dengan adanya pendidikan yang bermutu pada semua orang, maka mereka bisa lebih kritis di dalam memahami praktek-praktek apa yang bisa diterima secara moral, dan mana yang tidak. Adanya kesadaran kritis tersebut membuat perilaku korup menjadi problem yang dipertanyakan dan dipikirkan. Perilaku korup menjadi masalah, dan bukan lagi sesuatu yang wajar. Ini adalah langkah awal untuk memberantas korupsi. Dan yang kedua dengan menyimak pengalaman-pengalaman Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan, pendidikan gratis untuk semua orang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi.[8]

Tantangannya juga cukup besar. Di negara-negara yang “sehat”, orang membayar pajak dengan gembira, karena mereka tahu, bahwa uang itu akan digunakan untuk membiayai program-program pemerintah yang menjamin terciptanya masyarakat yang adil dan makmur untuk semua. Salah satu program itu adalah pendidikan gratis untuk semua, tanpa kecuali. Namun di negara-negara yang korup, orang akan enggan untuk membayar pajak, karena mereka tahu, uang pajak akan lari ke kantong-kantong penguasa dan orang-orang dekatnya untuk mempertahankan dan bahkan memperbesar kekuasaannya, sementara kesejahteraan rakyat, terutama mereka yang miskin, akan terbengkalai. Tidak hanya itu mereka juga tahu, jika sakit, rumah sakit akan meminta bayaran tinggi. Jika masuk sekolah mereka akan diminta membayar mahal. Di dalam rutinitasnya mereka juga berpikir, bahwa mencuri hal-hal yang berada di bawah otoritas mereka adalah hal wajar. Jika sudah seperti itu, kultur korupsi akan semakin besar, dan akan semakin sulit untuk dilenyapkan. Semakin besar kultur korupsi, maka semakin besar pula kemungkinan suatu negara untuk hancur, atau jatuh dalam perang saudara yang menelan banyak korban, baik korban jiwa, maupun korban harta benda.

Namun bukankah pendidikan bagi semua warga tanpa kecuali itu membutuhkan biaya besar? Mampukah kita? Kekhawatiran yang ada biasanya berpijak pada argumen berikut, bahwa uang yang digunakan untuk pendidikan bisa digunakan untuk keperluan mendesak jangka pendek, yakni peningkatan ekonomi dalam bentuk pembukaan lapangan kerja. Bukankah kerja (jangka pendek) lebih penting dari pada pendidikan (jangka panjang)? Ahli manajemen ternama asal Harvard University, AS, Michael Porter, berpendapat, bahwa strategi perusahaan harus selalu mempertimbangkan aspek jangka pendek dan jangka panjang pada saat bersamaan. Pendapat ini diungkapkannya ketika dimintai pendapat soal strategi bisnis di tengah resesi ekonomi yang melanda AS pada 2008 lalu. Saya sepakat dengan Porter. Ada beberapa data yang mendukung argumennya.

Pada pertengahan abad 19, Swedia membuat kebijakan pendidikan universal, yakni pendidikan untuk semua warga, tanpa kecuali. Sampai sekarang para pengambil kebijakan di Swedia amat yakin, bahwa itu adalah langkah terbaik untuk melenyapkan korupsi dan menjamin pertumbuhan ekonomi yang mantap dalam jangka panjang sampai sekarang ini.[9] Belajar dari pengalaman Swedia, pada hemat saya, untuk bisa memberantas korupsi sampai ke akarnya, serta menjamin pertumbuhan ekonomi yang mantap mulai dari sekarang sampai masa datang, sistem jaminan sosial, dalam bentuk pendidikan bermutu serta pelayanan kesehatan yang memadai untuk semua rakyat, harus dimulai. Dana untuk itu memang besar, tetapi bisa diperoleh dengan pembuatan pajak progresif (semakin besar harta seseorang, maka semakin besar pajaknya), dan membentuk sistem hukum yang kokoh, yang menjamin tata laksana sistem tersebut berjalan sebersih mungkin.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, korupsi selalu melibatkan pengkhianatan atas kepercayaan yang diberikan publik, baik publik rakyat ataupun publik organisasi. Secara positif korupsi juga dapat dilihat sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan privat.[10] Misalnya mobil dinas kementrian (kepercayaan publik) yang digunakan untuk berlibur ke luar kota (kepentingan privat-keluarga). Sebagian korupsi dilakukan untuk memperoleh uang untuk kepentingan pribadi dari sumber-sumber yang seharusnya untuk kepentingan publik. Di balik konsep ini tertanam pengandaian dasar, bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar antara barang publik dan barang privat di dalam masyarakat. Korupsi mengaburkan pembedaan ini, dan memperlakukan barang publik sebagai barang privat. Pengaburan ini tidak selalu haru identik dengan kehendak jahat ataupun kerakusan manusia, tetapi juga oleh ideologi yang sedang kuat berpengaruh di dalam masyarakat.

Di dalam gejala liberalisasi ekonomi, di mana semua unsur bisnis dan ekonomi masyarakat dijadikan milik swasta, orang menjadi amat sulit membedakan antara milik publik dan milik privat. Inilah yang saya maksud, ketika menyatakan, bahwa ideologi bisa amat mempengaruhi kemampuan orang untuk sungguh membedakan barang privat dan barang publik. Johnston juga mencatat, bahwa perubahan kebijakan pemerintah juga membuat orang sulit membedakan barang privat dan barang publik. Kesulitan yang bermuara pada kebingungan ini merupakan peluang terjadinya korupsi yang tak disadari. Pada level yang paling parah, menurut Johnston, perilaku korup tidak lagi dilihat sebagai korupsi, melainkan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, yakni bagian dari rutinitas. Korupsi menjadi udara yang kita hirup sehari-hari, sehingga kita tidak lagi menyadari keberadaannya.[11]

Berbicara tentang korupsi kita selalu berbicara tentang dua hal, yakni pengkhianatan dan penyalahgunaan. Pertanyaan yang lebih kritis adalah, bagaimana kita mengartikan “penyalahgunaan” secara tepat, secara persis? Seperti dicatat oleh Johnston, biasanya orang mengartikan “penyalahgunaan” sebagai hal-hal yang secara langsung bertentangan dengan hukum formal yang berlaku. Hal ini dianggap menguntungkan, karena hukum formal dianggap cukup stabil, dan mengikat.[12] Namun ada kelemahan yang cukup mendasar dari argumen ini. Jika sang penguasa itu korup, maka ia pasti akan membuat hukum-hukum yang juga korup, yang membenarkan kekuasaannya. Inilah lingkaran setan korupsi yang akan muncul, jika kita menyandarkan definisi hukum semata-mata secara legal formal. Lalu apa pilihan yang kita punya?

Altenatif lain sebagaimana dicatat oleh Johnston adalah ukuran kultural sebagai ukuran korupsi. Artinya korup atau tidaknya suatu tindakan diukur dari sistem nilai budaya yang berlaku di tempat tersebut. Argumen ini juga amat lemah, karena sistem nilai budaya suatu masyarakat seringkali amat kabur, dan mengundang beragam tafsiran yang berbeda, sehingga menciptakan kebingungan. Juga muncul bahaya relativisme, di mana satu orang mengira satu tindakan sebagai korupsi, sementara orang yang berasal dari budaya lain melihat itu sebagai tindakan yang wajar, bahkan baik. Pada hemat saya ketika mencoba mendefinisikan korupsi, kita perlu selalu berpijak pada beberapa nilai dasar, yakni nilai keadilan, perdamaian, dan akuntabilitas, atau pertanggungjawaban. Jadi apapun tolok ukur normatifnya, entah itu hukum formal ataupun sistem nilai budaya, prinsip keadilan, perdamaian, dan akuntabilitas tetap harus terkandung di dalamnya.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, pada hemat saya, korupsi adalah suatu tindak penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Beberapa konsep yang perlu ditekankan, sebagaimana dicatat oleh Johnston, adalah konsep “penyalahgunaan”, “publik”, “privat”, dan bahkan “keuntungan”. Banyak orang memiliki pemahaman yang berbeda tentang konsep-konsep tersebut. Masyarakat yang satu memiliki pemahaman yang amat bertentangan dengan masyarakat lainnya tentang konsep-konsep itu. Saya rasa di titik inilah kita memiliki kesulitan besar untuk memahami arti tindakan korupsi, dan bagaimana cara mencegah, ataupun menghancurkannya. Di masyarakat Indonesia, pembedaan antara ruang publik maupun ruang privat pun masih tidak jelas. Misalnya ketika saya parkir di pinggir jalan untuk membeli buah, apakah itu melanggar kepentingan publik, atau tidak? Biasanya orang akan menjawab iya, walaupun tindakannya tetap melanggar apa yang ia katakan. Intinya ia tetap melanggar kepentingan publik.[13]

Di Indonesia sebagaimana saya amati, korupsi tidak lagi dijalankan secara perorangan, tetapi sudah membentuk sistem persekongkolan orang-orang korup. Akibatnya sistem persekongkolan yang korup tersebut menghambat kemajuan mentalitas maupun institusi-institusi yang menopang masyarakat, dan menghambat gairah partisipasi rakyat untuk terlibat dalam proses pembangunan. Dan juga sudah kita lihat sebelumnya, bagaimana suatu tindakan yang mengikuti aturan dan hukum yang ada pun juga bisa merugikan masyarakat, yakni menghambat perkembangan institusi dan partisipasi rakyat. Hal ini bisa terjadi, ketika pemerintah yang ada, terutama lembaga legislatif, membuat peraturan undang-undang yang korup, yakni undang-undang yang memungkinkan terjadinya perilaku korup. Inilah yang menurut Johnston terjadi di negara-negara maju sekarang ini. Parlemen menghasilkan undang-undang yang tidak adil, sehingga memicu terciptanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang korup dan merugikan rakyat.[14]

Menurut saya salah satu solusi yang bisa diambil untuk menanggapi masalah ini adalah dengan membuat pembedaan yang tegas antara kepentingan publik dan kepentingan privat. Pembedaan ini kemudian disosialisasikan secara masif dan intensif kepada seluruh rakyat melalui pendidikan, maupun media-media lainnya. Memang harus diakui pembedaan itu tidaklah mutlak, dan bisa berubah sesuai dengan situasi. Segala urusan publik harus diputuskan dengan menggunakan mekanisme publik pula yang mengikutsertakan, sedapat mungkin, semua pihak terkait. Jangan sampai keputusan-keputusan publik dibuat dengan mekanisme-mekanisme kepentingan privat yang seringkali bertentangan dengan kepentingan bersama. Inilah yang sekarang ini terjadi. Keputusan-keputusan yang terkait dengan kepentingan bersama dibuat melalui mekanisme-mekanisme yang hanya melibatkan sekelompok orang dengan kepentingan pribadinya masing-masing.[15] Akibatnya tidak ada pertanggungjawaban yang bersifat publik. Ketidakadilan pun tercipta. Pada hemat saya ini juga bisa digolongkan sebagai korupsi, karena terjadi percampuran yang ganjil antara kepentingan publik dan kepentingan privat.

Maka keputusan yang bersifat publik harus dilempar ke publik, dan tidak pernah boleh dibuat di dalam ruang-ruang rahasia yang bersifat privat. Di dalam proses ini, peran pemerintah amatlah besar, terutama dalam dua hal, yakni sungguh menerapkan proses-proses publik di dalam setiap pembuatan kebijakan, serta memberikan hukuman yang proporsional pada setiap percampuran ganjil antara ruang publik dan ruan privat. Kegagalan untuk menjalan dua peran itu bisa melahirkan sistem korupsi yang luas dan dalam, sehingga amat sulit untuk dibongkar. Lalu bagaimana dengan sektor privat, seperti bisnis dan beragam jenis perusahaan lainnya yang dimiliki perorangan? Bagaimana proses akuntabilitas di dalam organisasi-organisasi yang memang bukan milik publik? Sebenarnya sejauh saya paham, proses-proses hukum semacam itu memang sudah ada. Hukum sudah mengenali beragam bentuk penipuan di lingkungan perusahaan bisnis, mulai dari pemalsuan, penipuan, dan monopoli pasar yang juga bisa dikategorikan sebagai korupsi, sehingga bisa dijerat dengan pasal-pasal hukum yang ada. Walaupun begitu tetaplah harus dipahami, bahwa korupsi-korupsi yang terjadi di Indonesia, baik di sektor privat maupun sektor publik, sudah bersifat sistemik dan kultural. Maka analisis dan intervensi yang dilakukan tetap harus menggunakan pendekatan yang juga bersifat sistemik dan kultural. Inilah yang akan coba saya lakukan di dalam buku ini.

Selepas perang ideologi yang ditandai dengan runtuhnya rezim totaliter di Uni Soviet pada awal dekade 1990-an lalu, masyarakat dunia berharap, bahwa proses-proses pasar bebas dan demokrasi politis akan mengantarkan pada terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Komunisme dan sosialisme, yang dianggap sebagai satu-satunya penghalang untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan, kini sudah tidak lagi laku sebagai ideologi tata kelola politik dan ekonomi masyarakat. Namun harapan memang tak selalu sejalan dengan kenyataan. Ideologi pasar bebas yang mengedepankan kompetisi, dicabutnya berbagai aturan yang mengekang gerak modal, dan dicabutnya berbagai subsidi untuk rakyat justru malah mengancam proses-proses demokrasi itu sendiri. Bisa dibilang kini demokrasi sudah berubah menjadi aristokrasi, yakni pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok elit. Dalam konteks ini elit bisnislah yang memegang kekuasaan sesungguhnya. Dengan kata lain ideologi pasar bebas justru malah mengangkangi demokrasi, dan menjauhkan rakyat dari keadilan yang diimpikan bersama.

Ideologi pasar bebas juga telah mengubah pandangan dunia manusia-manusia abad 21. Singkat kata solidaritas sosial komunitas digantikan oleh kompetisi ekonomi, nilai-nilai ideal hidup digantikan semata menjadi kekayaan ekonomi, dan partisipasi politik digantikan semata-mata menjadi membayar pajak, tak lebih dan tak kurang. Dengan kata lain menurut saya kini terjadi privatisasi kehidupan publik, yang berdampak pada rusaknya tata komunitas yang telah ada sebelumnya, dan menjadi sumber identitas sosial masyarakat tersebut. Di era pasar bebas ini, bagi banyak orang, kata demokrasi dan ekonomi membawa nada negatif, yakni semakin lebarnya jurang antara yang kaya dan yang miskin, serta semakin besarnya kecemasan orang akan kehilangan pekerjaan yang telah menopang dia dan keluarganya selama ini. Pada sisi politik gerak pasar bebas telah menghisap idealisme kepemimpinan yang telah membawa Indonesia pada kemerdekaan lebih dari 60 tahun yang lalu. Kepemimpinan politis sekarang ini pun tak luput dari nilai-nilai kompetisi ekonomi yang jauh dari cita-cita solidaritas maupun keadilan sosial.

Akibatnya terjadi berbagai anomali politik di berbagai negara di dunia. Banyak lahir negara-negara yang maju secara ekonomi, namun terbelakang secara demokrasi, seperti Cina, Singapura, dan Kuwait. Di sisi lain negara-negara yang mencoba untuk meningkatkan kualitas demokrasinya justru terjebak dalam hutang luar negeri yang begitu besar, dan mengalami krisis di berbagai bidang, seperti AS, Eropa, dan Indonesia. Pada hemat saya putusnya hubungan harmonis antara pasar bebas dan demokrasi bisa terjadi, karena tingkat korupsi yang begitu dalam, yang terjadi di negara-negara demokratis. Korupsi terjadi di sektor publik, maupun di sektor privat dalam bentuk monopoli pasar, praktek suap, dan manipulasi harga produk yang juga berari penipuan masyarakat luas demi meraup keuntungan finansial. Maka pembongkaran dan pemusnahan korupsi menjadi tugas kita bersama, karena korupsi menjadi satu-satunya penghalang kita untuk sampai pada keadilan sosial dan kebaikan bersama untuk semua.

Sekarang ini banyak orang hanya melihat korupsi semata sebagai persoalan ekonomi dan politik. Padahal akar dari korupsi adalah situasi manusia itu sendiri, dan mengakar amat dalam di dalam kultur masyarakat terkait. Diperlukan kehendak politik yang amat besar dari seluruh masyarakat, terutama pimpinannya, untuk menciptakan tata kelola demokratis yang bebas dari korupsi, serta menciptakan aturan-aturan yang menata ekonomi, supaya bisa memastikan sumber daya yang ada bisa tersebar secara merata, dan keadilan sosial bisa tercipta. Buku ini ingin membantu terjadinya proses-proses tersebut dari sudut pandang filsafat. Buku ini hendak melihat korupsi sebagai fenomena manusiawi, kultural, dan sistemik, serta menjauhi kebiasaan masyarakat untuk melihat korupsi semata sebagai persoalan politik maupun ekonomi belaka. Harapannya jelas supaya kita semua bisa memahami akar dari korupsi yang tertanam di dalam diri kita masing-masing, dan belajar untuk menjinakkannya. Untuk itu buku ini akan dibagi ke dalam tujuh bagian.

Pada bagian awal saya akan mencoba melihat korupsi sebagai bentuk konkret dari kehendak untuk berkuasa yang tertanam di dalam diri manusia. Untuk ini saya banyak terbantu oleh pemikiran Friedrich Nietzsche. (Bab 1) Pada bagian berikutnya saya akan mencoba memahami korupsi sebagai bentuk konkret dari pemburuan kenikmatan yang khas manusia. Saya menggunakan pemikiran Marquis de Sade di dalam bab ini. (Bab 2) Kemudian saya akan mencoba menempatkan korupsi sebagai bentuk konkret dari sisi hewani manusia. Sebagai pijakan teoritis, saya menggunakan pemikiran Ellias Canetti. (Bab 3) Pada bagian berikutnya saya akan mencoba memahami korupsi sebagai bentuk dari ketidakpekaan kita atas kejahatan. Hannah Arendt menyebutnya sebagai banalitas kejahatan, yakni kejahatan yang tidak lagi dilihat sebagai kejahatan, tetapi semata sebagai sesuatu yang wajar. (Bab 4) Kemudian saya akan mencoba memahami korupsi dalam kaitannya dengan simbol-simbol kejahatan yang tersebar di dalam sejarah manusia. Saya menggunakan pemikiran Paul Ricoeur dalam bab ini. (Bab 5) Berikutnya saya akan mencoba memahami korupsi sebagai suatu bentuk kejahatan sistemik. Pemikiran Adorno amat membantu saya dalam hal ini. (Bab 6) Terakhir saya akan mencoba memahami korupsi sebagai suatu bentuk kekosongan jiwa manusia. Pemikiran Slavoj Žižek membantu saya dalam hal ini. (Bab 7) Seluruh buku ini akan ditutup dengan beberapa butir pemikiran saya terkait dengan upaya-upaya “melampaui” korupsi. Selamat membaca.


[1] Untuk berikutnya saya mengikuti uraian yang masuk akal dari wikipedia tentang corruption.

[2] Bagian ini diinspirasikan dari Uslaner, Eric, Corruption, Inequality, and Rule of Law, Cambridge University Press, Cambridge, 2008, hal. 4. “Corruption, in turn, leads to less trust in other people and to more inequality.”

[3] Ibid, hal. 6. ““Corruption” is a term whose meaning shifts with the speaker….I use the common definition of corruption as the “misuse of public power for private or political gain,”

[4] Ibid, “The controversy goes further, as some societies are described as having a culture in which corruption is acceptable.”

[5] Ibid, hal. 241. “The big question remains: How might we reduce corruption? To answer this, we would need time series data on corruption, inequality, trust, legal fairness, and institutional quality (among other variables) for a large number of countries.”

[6] Ibid, hal. 246. “The key to reducing corruption seems to involve making people less dependent upon it.”

[7] Ibid, hal. 247. “The key mechanism to make people less dependent upon corrupt leaders is a universal social welfare regime – and especially one based upon education for all.”

[8] Ibid, “Singapore, Hong Kong, and South Korea all pro- vide free education to all children and this has been a key component in their economic growth.”

[9] Ibid, “Rothstein (2007) argues that the adoption of universal education in Sweden in the mid-nineteenth century was central to the long-term decline in corruption.”

[10] Untuk berikutnya saya terinspirasi dari Johnston, Michael, Syndromes of Corruption, Cambridge University Press, Cambridge, 2005.

[11] Ibid, hal. 11. “Benefits and costs may be intangible, long-term, broadly dispersed, or difficult to distin- guish from the routine operation of the political system (Thompson, 1993). Particularly where the problem is severe, corrupt demands and expectations can be so ingrained into a system that they go unspoken.”

[12] Ibid, “One school of thought advocates definitions based on laws and other formal rules because of their relative precision, stability, and broad application”

[13] Ibid, hal. 12. “I define corruption as the abuse of public roles or resources for private benefit, but emphasize that ‘‘abuse,’’ ‘‘public,’’ ‘‘private,’’ and even ‘‘benefit’’ are matters of contention in many societies and of varying degrees of ambiguity in most. If our goal were to categorize specific actions as corrupt those complications would be a serious difficulty; indeed they are reasons for the inconclusive nature of the definitions debate. But at a systemic level, particularly where the problem is severe, such contention or ambiguity can be useful indicators of difficulties or change at the level of participation and institutions.”

[14] Ibid, “Some systemic corruption problems might involve uses of wealth and power that are legal but still impair institutions and preempt the participation of others. Indeed, I will argue in chapter 4 that such is the case in the United States and many other market democracies.”

[15] Ibid, hal. 13. Even where institutions are strong, more activities and key decisions are taking place in essentially private arenas through markets, or market-like processes, subject to less restrictive rules and mechanisms of accountability.”

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

11 tanggapan untuk “Manusia-manusia Korup”

  1. Waou masih akan terbit akhir tahun ini ya Pak? he he apa bisa dipercepat, sangat menarik membaca buku dan kalau terlalu lama lupa dengan perasaan penasaran saya.

    Suka

  2. jadi bisakah akar “penyalagunaan” dalam pengertian korupsi secara sederhana bisa mengeneralisir mentalitas korup yang telah berepidemic dinegeri ini dengan motif politik semata..?(dalam hal penyalagunaan wewenang maupun jabatan untuk mendatangkan keuntungan) dengan motif munculnya korupsi yang terjadi pada sejarah peradaban dunia barat..?. Mendeskripsikan korupsi secara sederhana menurut perspektif saya, pasti akan menarik jika ditilik menurut perspektif moral dari orang-orang yang bermental korup di negeri ini. tapi mungkinkah hasrat ataupun keinginan dari manusialah yang memang secara sengaja (labidinal) merekonstruksi budaya demi kepentingan2nya sendiri ataukah kedepan akan berkembang pada domain yang cenderung ekslusif dan kolektif. termasuk mengapresiasikan jalannya sejarah ekonomi dengan segala artifak pasar bebas-nya yang terus berkembangan dari era modern awal hingga kini… overall..tulisan yang mencerahkan, inspiratif dan selalu membumikan ide2 filsafat yang melangit menjadi isu-isu hangat yang menarik, laiknya seorang Socrates yang menggugah skaligus mencemaskan dengan pertanyaan2nya kepada orang2 yang kerap ia temui di jalan2, kedai minum hingga dipasar-pasar….salam filosofi dan jabat erat slalu Mas Reza…

    Suka

  3. Die Korruption ist eine Erbe der unvernünftigen Menschen, die nur an ihre Interesse denken und ahnen sich nach mehr. Solche Menschen im Grunde genommen sind zugleich Tiere, die tierisch nach mehr und mehr suche aber die sind nicht vergnügend.

    Suka

  4. Genau gesagt. Aber wie können auch beobachten, dass Tiere oft besser als Mensch sind. Sie konsumieren nur für ihre Bedürfnisse, nicht wegen Gierigkeit. Andererseist konsumieren die Menschen nicht nur für ihre Bedürfnisse, sondern auch für ihre Gierigkeit. Am Ende wird die Natur wegen dieses Musters des Konsums vernichtet.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.