Guru dan Kepemimpinan

http://www.arthit.ru

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

            Guru yang baik adalah seorang pemimpin yang baik. Dengan kata lain, untuk menjadi pemimpin yang baik, orang perlu belajar untuk menjadi guru yang baik. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara menjadi guru yang baik? Menurut Richard Leblanc, pengajar di York University, Ontario, Kanada, ada 10 hal yang mesti diperhatikan, supaya kita bisa menjadi guru yang baik. (Leblanc, 1998) Artinya, ada 10 hal juga yang mesti ada, supaya kita bisa menjadi pemimpin yang baik. Mau tahu? Saya akan jelaskan lebih jauh.

Cinta

            Leblanc berpendapat, bahwa inti dari pengajaran dan pendidikan adalah cinta. Dalam hal ini, bisa juga dikatakan, bahwa cinta, dalam soal pendidikan, itu lebih penting daripada penalaran rasional semata. Di dalam cinta, ada niat untuk mendorong orang untuk belajar, untuk membantu mereka menemukan sendiri pola belajar yang pas, untuk menemukan diri mereka sendiri. Setuju?

            Namun, menurut saya, guru, ataupun dosen, harus amat mencintai ilmu mereka sendiri terlebih dahulu. Cinta itu tampak di dalam gaya mengajar dan gaya guru ataupun dosen mendampingi murid-muridnya. Cinta itu lalu akan menular, sehingga si murid juga nantinya mencintai ilmu pengetahuan yang diajarkan. Cinta pertama-tama bukan soal transfer pengetahuan, tetapi transfer cinta. Bagaimana menurut anda?

            Memimpin pun harus juga dilakukan dengan cinta. Seorang pemimpin harus mencintai organisasi yang ia pimpin, dan juga mencintai visi serta misi yang diemban oleh organisasi itu. Cinta yang dimilikinya akan menular ke orang-orang yang ia pimpin. Hanya dengan begitu, ditambah dengan tata kelola yang baik, visi dan misi organisasi tersebut bisa sungguh menjadi kenyataan.

            Saya teringat pengalaman saya terakhir kali mengajar di Jakarta. Pada masa itu, banyak kekecewaan menghantam saya, dan saya pun nyaris putus asa. Kelas terakhir itu pun diwarnai dengan kekecewaan yang amat mendalam. Namun, saya ingat, saya mencintai ilmu saya (filsafat), dan mencintai mahasiswa saya.

            Saya mengajar dengan segala cinta dan tenaga yang saya punya. Saya teringat, para mahasiswa saya bertepuk tangan, setelah kelas berakhir. Tepuk tangan itu adalah tanda apresiasi atas diskusi yang begitu mendalam, yang terjadi di kelas pada waktu itu. Sampai sekarang, ketika melihat ke masa lalu, saya masih merasa, itu adalah salah satu kelas terbaik yang pernah saya ajar. Saya rasa, para mahasiswa pun berpikiran begitu.

Teori dan Praksis

            Seorang guru harus terus mengembangkan ilmunya. Itu tak dapat disangkal lagi. Ia perlu terus membaca, dan belajar untuk menerapkan ilmu yang ia punya untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan. Hanya dengan begitu, ilmunya menjadi hidup, dan mampu memberikan sumbangan untuk terciptanya kebaikan bersama. Setuju?

            Seorang pemimpin pun perlu terus melakukan yang sama. Ia perlu terus belajar, membaca, dan mencoba menerapkan teori serta ilmu yang ia punya untuk memperbaiki praksis organisasi yang ia pimpin. Hanya dengan begitu, ia bisa mewujudkan visi dan misi organisasi yang ia pimpin. Bagaimana menurut anda?

            Baru-baru ini, saya membaca biografi Steve Jobs yang ditulis oleh Walter Isaacson. Lepas dari sikap kasarnya, Jobs adalah pemimpin yang terus mau belajar, mengembangkan diri, dan mencoba menerapkan visi hidupnya ke dalam produk-produk yang ia keluarkan, mulai komputer Macintosh, komputer Next, film Toy Story serta produksi Pixar lainnya, sampai dengan iPod, iPad, dan sebagainya. Hambatan terus ada, dan beberapa kali, ia gagal. Namun semua halangan bisa dilawan dengan cinta dan visi yang jelas tentang kehidupan.

            Di dalam biografi seorang pengusaha Surabaya yang saya tulis, saya juga menemukan karakter yang sama, yakni kemauan untuk terus belajar, mengembangkan diri, lalu mencoba menerapkan pelajaran tersebut dalam organisasi dan bisnis yang ia miliki. Sekali lagi, hambatan akan terus ada. Beberapa kali, ia pun harus mengalami kegagalan. Namun, cinta dan visi yang jelas mendorongnya melampaui semua itu. Apakah anda punya pengalaman serupa?

Paradoks

            Leblanc juga mencatat, bahwa seorang guru harus hidup dalam paradoks. Di satu sisi, ia harus bersikap penuh hormat dan kelembutan pada murid-muridnya. Di sisi lain, ia juga harus bersikap keras dan menerapkan displin secara konsisten pada murid-muridnya, sehingga mereka bisa mengembangkan potensi dirinya semaksimal mungkin. Setuju?

            Seorang pemimpin pun juga harus melakukan itu. Ia tahu kapan harus bersikap lembut dan penuh hormat pada orang-orang yang ia pimpin. Namun ia juga harus tahu, kapan ia harus bersikap keras, dan menerapkan displin yang konsisten pada orang-orang yang ia pimpin, termasuk pada dirinya sendiri. Guru yang baik adalah seorang pemimpin yang baik. Bagaimana menurut anda?

            Saya amat beruntung. Saya punya guru-guru yang amat hebat, terutama sewaktu saya kuliah. Mereka bersikap egaliter pada saya dan teman-teman saya, yang pada waktu itu masih mahasiswa. Mereka amat menghargai pemikiran-pemikiran kami, mahasiswa, yang memang seringkali menggelikan.

            Namun di sisi lain, mereka juga bisa bersikap tegas dan displin, terutama dalam hal penulisan ilmiah, dan kesetiaan pada kontrak perkuliahan. Saya amat beruntung, dan sekarang, saya akan menerapkan pola yang serupa pada mahasiswa saya. Bagaimana dengan anda?

Keseimbangan yang Kreatif

            Leblanc berpendapat, bahwa guru yang baik adalah guru yang mampu bersikap seimbang secara kreatif. Artinya, ia mampu membuat kurikulum pengajaran yang baku, tetapi juga siap, bahwa dalam penerapan, kurikulum tersebut bisa berubah sesuai dengan dinamika kelas, dan perkembangan ilmu yang ada. “Guru yang baik”, demikian tulisnya, “adalah tentang keseimbangan kreatif antara diktator yang otoriter di satu sisi, seorang pendorong (pemotivasi) yang baik di sisi lain.” Setuju?

            Pemimpin yang baik juga harus mampu bersikap fleksibel. Ia harus memiliki strategi untuk mewujudkan visi dan misi organisasi yang ia pimpin. Namun, ia juga harus tahu, bahwa strategi itu tidak mutlak, melainkan mampu berubah seturut dengan perubahan situasi yang terjadi. Visi dan idealisme tetap ada, namun penerapannya perlu untuk selalu membaca tanda-tanda jaman. Bagaimana menurut anda?

            Saya pernah bergabung dengan klub sepeda motor di Jakarta. Waktu itu, klub tersebut baru berdiri, dan ketua pertamanya adalah Pak Sugeng. Ia berasal dari Bogor, Jawa Barat. Menurut saya, ia adalah sosok pimpinan yang luar biasa. Ia sadar betul, bahwa visi organisasi (klub motor kami) adalah menggandeng sebanyak mungkin pengendara motor, lalu membuka jaringan bisnis dan silaturahmi seluas mungkin.

            Ia bisa berubah menjadi amat tegas, ketika klub kami terancam pecah, atau visi organisasi mulai terlupakan. Namun ia juga amat bersahabat dengan mereka yang lebih muda, termasuk saya pada waktu itu. Sampai sekarang, menurut saya, Pak Sugeng adalah sosok pemimpin yang kuat, namun fleksibel. Sosok yang amat jarang ada di Indonesia. Bagaimana pengalaman anda?

Soal Gaya

            Leblanc dengan jenaka menegaskan, bahwa seorang guru harus punya gaya. Ia harus bisa menghibur mahasiswa! Dan ia juga tidak boleh kehilangan kedalaman ilmu maupun refleksi ilmiahnya! Ia harus mampu berkeliling kelas, dan menyapa mahasiswanya untuk berpikir serta belajar dengan rajin. Guru bisa dibayangkan sebagai pemimpin orkestra, dan murid-muridnya adalah pemain beragam alat musik yang ada. Pendidikan yang baik bagaikan musik yang indah. Setuju?

            Bukankah seorang pemimpin juga harus seperti itu? Bukankah ia harus punya gaya? Bukankah ia harus mampu bercanda dengan orang-orang yang ia pimpin, tanpa kehilangan fokus pada visi dan misi organisasi yang hendak diwujudkan? Bagaimana menurut anda?

            Saya teringat guru ekonomi saya di SMA dulu. Namanya adalah Pak Muji. Sampai sekarang, saya masih ingat, betapa pintar dan lucunya dia, ketika mengajar. Beberapa teori ekonomi dan akuntansi yang ia ajarkan masih melekat erat di kepala saya, walaupun sekarang saya belajar filsafat. Ia bisa mengajak kami belajar, menghibur dengan lelucon-lelucon yang segar, dan menegur kami, ketika kami malas, atau tidak belajar. Apakah anda punya pengalaman serupa?

Humor

            Leblanc juga berpendapat, bahwa pengajaran yang baik tidak bisa dilepaskan dari humor dan tawa! Guru yang baik tidak terlalu serius dalam melihat kehidupan. Ia selalu bisa menertawakan ironi dan absurditas hidup. Ia bahkan bisa menertawakan dirinya sendiri, menertawakan kegagalan dan kebodohannya sendiri. Setuju?

            Ini penting, supaya suasana belajar jadi lebih santai. Ini juga penting, supaya murid melihat gurunya juga sebagai manusia yang punya kelemahan, dan pernah gagal dalam hidupnya. Murid-murid pun bisa melihat wajah manusia di dalam sosok gurunya yang, walaupun penuh kelemahan, mampu belajar dari kegagalannya, dan maju terus menjalani kehidupan. Bagaimana menurut anda?

            Pemimpin juga harus mampu mengundang humor dan tawa, terutama ketika memimpin rapat. Ia mampu belajar dari kesalahannya sendiri, menertawakan kebodohan-kebodohan yang pernah ia perbuat, dan mengajak orang untuk belajar dari pengalamannya. Seorang pemimpin juga adalah manusia yang, walaupun menjalani hidup yang sulit, tetap maju terus melangkah dengan pasti di dalam kehidupan. Apakah anda adalah orang yang seperti itu?

            Sewaktu kuliah dulu, saya punya seorang dosen yang amat saya kagumi. Kebetulan ia juga adalah pemimpin program studi yang kami ambil. Jika mengajar, ia selalu mengambil contoh dari pengalaman-pengalamannya sendiri. Ia mampu menggali inspirasi-inspirasi kehidupan dari pengalaman hidupnya, bahkan berani menceritakan kegagalan-kegagalannya sebagai sarana kami untuk belajar. Tak heran, ia sekaligus adalah seorang pemimpin yang hebat. Program studi kami maju pesat, semenjak ia pimpin.

Memberikan Waktu

            Leblanc juga menegaskan, bahwa guru yang baik mencintai dan merawat murid-muridnya. Untuk bisa menerapkan cinta tersebut, ia butuh memberikan waktu dan tenaganya, bahkan lebih daripada yang dituntut darinya. “Menjadi guru yang baik”, demikian tulisnya, “berarti memberikan waktu banyak yang tak pernah dihargai untuk mengoreksi, membuat dan mengubah materi pengajaran, dan mempersiapkan bahan untuk mengembangkan pengajaran.” Ia menyebutnya dengan kata yang amat bagus, yakni thankless hours and efforts. Bagaimana menurut anda?

            Pemimpin yang baik perlu melakukan yang sama. Ia harus mampu melakukan hal-hal yang melampaui tanggung jawabnya untuk membuktikan cintanya pada organisasi, serta visi dan misi yang diemban organisasi itu. Ia juga seringkali menjalani thankless hours and efforts yang membuatnya sedih dan merasa kesepian. Setuju?

            Saya tidak pernah merasa menjadi guru yang baik, walaupun saya terus berusaha untuk menjadi guru yang baik. Saya juga tidak pernah merasa menjadi pemimpin yang baik, walaupun terus berusaha untuk menjadi pemimpin yang baik. Namun satu hal yang pasti, saya menjalankan hal-hal yang berada di luar tanggung jawab saya, namun tetap saya lakukan dengan rasa pengabdian dan pengorbanan. Dengan kata lain, saya tetap menjalani thankless hours and efforts, walaupun dengan perasaan kesepian, perasaan tidak dimengerti, dan beberapa kali ngedumel. Bagaimana pengalaman anda?

Sumber Daya

            Guru dan pemimpin yang baik juga harus didukung oleh sumber daya yang memadai. Sumber daya itu mencakup dana yang cukup, kesempatan yang cukup, dukungan dari manajemen dan kepemimpinan tertinggi, serta kebijakan-kebijakan yang cukup terbuka, namun mampu mewujudkan visi dan misi pendidikan menjadi kenyataan. Guru dan pemimpin yang baik akan mati tercekik, ketika tidak didukung oleh sumber daya yang memadai dari lingkungannya. Bagaimana menurut anda?

            Saya pernah punya pengalaman kurang bagus. Saya pernah dipercayakan untuk menjadi dosen sekaligus ketua panitia salah satu acara kampus di Jakarta dulu. Namun, saya tidak diberikan sumber daya yang memadai, yang dapat membantu saya mengerjakan dua hal itu dengan baik. Bahkan saya tidak diberikan meja dan kursi untuk bekerja. Bagaimana mungkin?

            Mata kuliah yang saya ampu, menurut saya, berakhir dengan baik. Namun, acara yang saya pimpin, walaupun berlangsung, berjalan kurang lancar. Saya merasa diperlakukan tidak adil. Inilah contoh jelek tentang pelaksanaan visi dan misi yang tidak dibarengi dengan sumber daya yang memadai. Bagaimana pengalaman anda?

Untuk Tujuan yang Lebih Tinggi

            Guru yang baik tidak mengajar untuk mendapatkan uang semata. Ia tidak mengajar untuk mendapatkan nama baik semata. Ia bekerja untuk tujuan yang lebih tinggi, yakni membentuk generasi bangsa masa depan yang mampu berpikir kritis, reflektif, kreatif, dan “bernafsu” untuk mewujudkan kebaikan bersama untuk semua. Dengan mengejar tujuan yang lebih tinggi, uang dan nama baik akan mengikuti. Setuju?

            Guru yang baik mengajar, karena ia senang mengajar. Ia mendidik, karena ia menemukan kebahagiaan di dalam mendidik. Uang dan nama baik adalah urusan belakangan, yang akan datang sejalan dengan kualitas pengajaran dan pendidikan yang diberikannya (bukan terbalik). Bagaimana menurut anda?

            Seorang pemimpin juga harus bekerja untuk tujuan yang lebih tinggi, yang sejalan dengan visi dan misi organisasi yang ia pimpin. Ia hidup dan bekerja dengan visi yang jelas, serta tidak gampang tergoda dengan keuntungan jangka pendek, ataupun kesempatan yang tidak jujur untuk mendapatkan keuntungan singkat. Ia yakin, bahwa uang dan nama baik akan datang, jika ia dan organisasinya memberikan yang terbaik kepada masyarakat sesuai dengan visi dan misi organisasinya. Setuju?

            “Keinginan terdalamku adalah membangun perusahaan yang mampu bertahan lama, di mana orang-orang termotivasi untuk membuat produk-produk bagus. Segalanya adalah nomor dua. Tentu saja, kita ingin membuat keuntungan, karena keuntungan memungkinkan kita untuk membangun produk-produk yang amat bagus.” Begitu kata Steve Jobs, ketika diwawancarai. Inilah yang saya maksud bekerja dengan “tujuan yang lebih tinggi”.

            Saya juga yakin, bahwa dosen-dosen saya sewaktu saya masih kuliah dulu tidak semata mencari uang ataupun nama baik. Mereka mengajar dan berkarya untuk kebaikan masyarakat luas. Dalam perjalanan, uang dan nama baik datang, serta semakin menunjang pengajaran dan karya-karya mereka. Dengan cara berpikir seperti inilah harusnya kita hidup. Bagaimana menurut anda?

Guru dan Kepemimpinan

            Untuk menjadi pemimpin yang baik, orang perlu untuk menjadi guru yang baik. Keduanya membutuhkan kualitas kepribadian yang sama. Keduanya membutuhkan cinta dan keseimbangan yang kreatif antara sikap fleksibel dan displin diri di dalam mendidik, mengajar, ataupun memimpin. Maka tidak heran jika di Indonesia, kita mengalami dua krisis yang berjalan berbarengan, yakni krisis kepemimpinan, sekaligus krisis guru yang bermutu. Ya kan?

            Belajar dari Richard Leblanc, walaupun bukan berprofesi sebagai guru, kita bisa mulai belajar menjadi “guru” yang baik dalam hidup sehari-hari kita. Kualitas-kualitas itu juga akan amat membantu kita dalam menjadi pemimpin di dalam hidup, mulai dari pemimpin keluarga, maupun pemimpin negara. Jadi tunggu apa lagi? Selamat belajar menjadi guru, dan selamat memimpin.

Tulisan ini diinspirasikan dari tulisan Richard Leblanc Leblanc, Richard, “Good Teaching: The Top Ten Requirements,” The Teaching Professor (June-July 1998), 1,7 and reprinted in: Insight: Advanced Learning Through Faculty Study, newsletter of the Teaching Excellence Centre, Rutgers University, Camden Campus (Fall 1998), 1, 2; The Point, newsletter of United Faculty of PBCC, (November 1998), 6; Briarcliffe College Faculty Newsletter, Briarcliffe College, Bethpage, NY (January-February 1999), 2; and Focus on Teaching, Newsletter of Buffalo State University of New York (Spring 1999), 2. http://www.yorku.ca/rleblanc/html/teach.html   

           

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

16 tanggapan untuk “Guru dan Kepemimpinan”

  1. Lama tak berkunjung karena sibuk 🙂 Bagus banget nih!

    Seorang pemimpin jelas harus bisa mengajak orang lain belajar. Di situlah makna ‘guru’ sesungguhnya. Dalam artian ini, guru dan kepemimpinan menjadi utuh dalam pemaknaan.
    Yang harus kita hindari adalah menjadi pemimpin yang tidak mengajak orang lain belajar, atau menjadi pengajar yang tidak memimpin, sehingga tidak menginspirasi orang lain untuk belajar.
    Dan ide sentral dari itu semua adalah bahwa siapapun bisa memimpin selama ia senantiasa belajar dan memberikan inspirasi pada orang lain melalui aplikasi hasil belajarnya dalam kehidupan sehari-hari.

    Ini tidak mudah 🙂

    Suka

  2. menurut bapak pendidikan itu termasuk subjek bisnis tidak? karena saya melihat dan mengamati sekarang lembaga pendidikan baik yang formal dan informal, menjadikan pendidikan sebagai ajang bisnis untuk meraup keuntungan yang banyak.

    Suka

  3. Pendidikan itu untuk membebaskan manusia dari kemiskinan dan kebodohan, serta untuk memanusiakan manusia. Jika ini tidak tercapai, maka pendidikan kita telah tersesat. Pendidikan yang menjadi hamba bisnis sebenarnya tidak pernah bisa disebut sebagai pendidikan.

    Suka

  4. saya agak kecewa karena kegiatan LKMM di WM menjadikan LBB (Lembaga Bimbingan belajar) sebagai contoh dari bisnis atau usaha. dan sabtu ini kami (para mahasiswa) masing-masing kelompok mempresentasikan hal ini. dan yang membuat saya heran lagi, mereka melakukan itu karena disuruh.

    by the way terima kasih pak buat penjelasannya.

    Suka

  5. ya pak, kalau ada forum tanya jawab, saya akan tanya ke dosen yang membawakan materi, nanti hari sabtu tgl. 25 ini. karena pada prakteknya, LBB itu dan pendidikan itu tidak bisa mendatangkan keuntungan. sementara dasar dan tujuan orang berbisnis itu untuk mendapatkan keuntungan semata, kalau perlu jangan pernah rugi, jadi otomatis kontradiksi sekali.

    Suka

  6. ya. Anda harus vokal soal ini. Jangan sampai pendidikan menjadi komoditi mahal yang dijual oleh para pendidik palsu kepada masyarakat. Ini adalah ideologi neoliberalisme yang kini menghantam pendidikan kita. WM rupanya tak kebal.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.