Panca Dharma Agama di Indonesia, Apa itu?

blogspot.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Beberapa hari yang lalu, saya memberikan ujian lisan pada salah satu mahasiswa saya. Ini adalah ujian mata kuliah Filsafat Ilmu dan Logika. Dari judulnya sudah terlihat jelas, yakni “filsafat”, “ilmu”, dan “logika”. Apa yang sama dari ketiga kata ini? Coba tebak.

Yang sama adalah ketiganya mengutamakan akal budi manusia, atau daya nalar manusia. Awalnya, saya menduga akan terlibat diskusi panjang dan dalam dengan mahasiswa saya. Harapan saya ternyata salah. Yang keluar adalah nasihat-nasihat normatif yang mengatasnamakan Tuhan. Kacau….

Intinya, ia sama sekali tidak belajar. Ia juga tidak bisa membedakan wilayah iman dan akal budi. Menurut saya keduanya berbeda tetapi amat perlu untuk bekerja sama. Bagaimana menurut anda?

Pengalaman kecil ini mendorong saya untuk bertanya, mengapa banyak orang Indonesia, terutama anak-anak muda, suka sekali bawa-bawa Tuhan di dalam pola berpikir mereka? Tidak bisakah mereka berpikir sendiri? Lalu, sebenarnya apa sebaiknya peran agama dalam kehidupan bersama kita? Anda mau mencoba berpendapat?

Saya berpendapat bahwa agama sekarang ini harus menjalankan lima peran. Saya menyebutnya Panca Dharma Agama di Indonesia. Apa saja isinya? Saya akan jelaskan lebih jauh.

Suara Hati

Pertama, menurut saya, agama harus menjadi suara dari hati nurani masyarakat. Agama menyuarakan apa yang sungguh diinginkan dan dibutuhkan oleh manusia. Agama menjadi rambu-rambu yang mengingatkan kita tentang apa yang sungguh penting dalam hidup. Agama menjadi hati nurani kita sebagai bangsa. Setuju?

Saya senang sekali ketika para tokoh agama di Indonesia bekerja sama untuk menyuarakan keprihatinan mereka secara nasional. Suara mereka adalah suara rakyat. Suara mereka adalah suara hati nurani yang terpendam di batin rakyat. Bahkan menurut saya suara mereka jauh lebih mewakili rakyat daripada suara anggota DPR kita di Senayan sana. Bagaimana menurut anda?

Namun di sisi lain, saya juga melihat, banyak pemuka agama, di berbagai agama, belum menjalankan peran ini. Mereka seringkali hanya menggunakan agama untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi mereka. Mereka berbuat jahat lalu bersembunyi di balik agama untuk membenarkan tindakannya. Apakah anda punya pengalaman seperti ini?

Sikap Kritis Sosial

Yang kedua, menurut saya, agama harus menjadi fungsi kritis di dalam menanggapi berbagai situasi sosial masyarakat. Ini sebenarnya terhubung dengan yang pertama sebelumnya, yakni agama sebagai hati nurani masyarakat. Untuk bisa menjadi hati nurani, agama harus menjadi fungsi kritis masyarakat. Apa maksudnya?

Artinya, agama harus mengajarkan orang tentang nilai-nilai kehidupan yang paling penting. Agama mengajarkan orang tidak gampang terpesona dengan kekuasaan. Agama mengajarkan orang untuk punya sensitivitas pada ketidakadilan. Inilah agama yang menjalankan fungsi kritisnya dalam masyarakat. Bagaimana menurut anda?

Menjabarkan argumen ini, saya teringat dua pengalaman. Pertama, saya sering melihat di berbagai belahan dunia, bagaimana agama sungguh menjadi fungsi kritis di hadapan kekuasaan politik yang korup dan totaliter. Datanya beragam, mulai dari teologi pembebasan, sampai dengan pemberontakan organisasi-organisasi Islam progresif di berbagai negara Arab akhir 2011 lalu sampai 2012 sekarang ini. Ini tak terbantahkan. Ya kan?

Namun saya juga punya pengalaman langsung, bagaimana agama menjadi candu untuk membuai rakyatnya. Saya melihat sendiri bagaimana agama mengalihkan orang dari isu-isu yang sungguh penting untuk hidup bersama, dan membawa mereka fokus pada isu-isu mistik yang penuh dengan takhayul. Saya melihat agama memperbodoh, dan membuat orang jadi dangkal, pengecut, dan tak peduli. Bagaimana pengalaman anda?

Kritik Diri

Yang ketiga, sikap kritis keluar diri akan menjadi sia-sia, jika tidak dibarengi sikap kritis ke dalam diri. Agama harus melakukan refleksi dan bersikap kritis pada dirinya sendiri. Agama harus berani bercermin, dan memperbaiki kesalahan-kesalahan tindakannya selama ini. Setuju?

Saya juga menyadari bagaimana agama yang saya anut sekarang ini bergelut selama berabad-abad, dengan korban jiwa yang begitu banyak, untuk memperbaiki dirinya sendiri. Sampai sekarang proses itu masih terus berlanjut. Saya amat mendukung proses ini. Semoga anda berani mendukung, atau bahkan memulai, proses kritik diri agama anda masing-masing. Semoga..

Di sisi lain, saya juga melihat banyak orang-orang yang beragama secara bebal. Mereka merasa nyaman dengan dirinya sendiri, dan tak peduli yang lainnya. Ada juga orang-orang yang beragama secara merusak. Mereka amat yakin dengan kebenaran yang mereka pegang, dan membunuh serta menghancurkan semua yang bertentangan. Seram ya?

Untuk mencegah itu, agama harus berani melakukan refleksi diri. Agama harus berani melihat ke dalam dirinya sendiri, mengakui kesalahan-kesalahan yang pernah ia buat, dan berusaha memperbaikinya. Saya amat terharu, ketika Paus Yohanes Paulus II, atas nama Gereja Katolik Roma, meminta maaf pada Galileo Galilei. Ingat ketegangan antara Gereja Katolik Roma dan Galileo Galilei pada abad pertengahan dulu?

Makna dan Kedamaian Diri

Yang keempat, menurut saya, agama bisa menjadi sumber makna dan nilai hidup yang berharga untuk kehidupan pribadi. Agama tidak hanya perlu fokus pada hidup sosial, tetapi juga hidup eksistensial-individual para penganutnya. Intinya, agama bisa memberikan tujuan hidup yang bermakna sekaligus kedamaian untuk penganutnya. Ini adalah peran yang tak tergantikan dari agama. Ya kan?

Baru-baru ini, saya membaca buku tulisan James Martin. Isinya tentang bagaimana humor justru merupakan komponen penting setiap agama. Banyak orang lupa dengan ini. Andai kata lebih banyak humor di dalam agama kita masing-masing, bukankah hati kita lebih damai, dan dunia pun juga jadi lebih damai? Kita seringkali beragama dengan cara-cara yang terlalu serius. Bagaimana menurut anda?

Saya juga pernah (tidak sering) bertemu dengan para pemuka agama yang bertampang galak. Wajahnya seram. Kata-katanya seringkali bernada menilai dan sok-sok moralis, seolah ia sendiri tak punya salah dalam hidupnya. Jika para pemuka agamanya seperti ini, bagaimana penganut agamanya bisa merasa damai? Bagaimana agamanya bisa menjadi tujuan yang bermakna untuk para penganutnya? Ndak mungkin lah…

Kedamaian Sosial

Yang kelima, hati yang damai adalah kunci pertama perdamaian dunia. Jika hati setiap penganut agama itu damai, tidak ada rasa benci dan dendam, maka perilaku beragamanya juga pasti damai. Pada peran kelima ini, menurut saya, agama perlu menjadi simbol perdamaian bangsa-bangsa. Ini peran yang tak dapat dibantah lagi! Setuju?

Saya melihat sendiri, bagaimana agama bisa menggerakan hati orang untuk melakukan hal-hal yang luar biasa indah dan baik. Saya mengalami sendiri, bagaimana agama bisa membawa orang pada dimensi yang lebih tinggi dari hidup kesehariannya. Agama menjadi inspirasi bagi orang untuk menghasilkan karya-karya yang luar bisa indah, atau dalam bahasa Steve Jobs, hal-hal yang insanely great!..

            Namun saya melihat sendiri, bagaimana agama bisa menjadi sumber kebencian dan sikap-sikap merusak. Saya mengalami sendiri, bagaimana agama bisa menjadi alat untuk mendiskriminasikan orang, membuat orang tidak menjadi manusia, tetapi hanya semata sebagai benda, atau bahkan musuh yang perlu dihancurkan. Sayang sekali memang…

Panca Dharma

Di Indonesia, kita tidak bisa hidup tanpa agama. Semua orang berbicara tentang agama. Ini fakta yang tidak dapat dibantah lagi sekarang ini. Namun hidup beragama tidak bisa sembarangan, tetapi harus menjalankan panca dharma agama, sebagaimana saya jelaskan sebelumnya. Sudah cukup jelas bukan?

Isinya adalah berikut, yakni kemampuan agama untuk menjadi suara hati nurani bangsa (1), agama sebagai fungsi kritis pada situasi masyarakat (2), agama yang reflektif, dalam arti mampu melihat dirinya sendiri secara jernih (3), agama yang memberikan kedamaian hati dan makna hidup bagi setiap penganutnya (4), dan agama yang berperan besar dalam perdamaian dunia (5). Pada hemat saya, inilah jalan yang harus ditempuh setiap agama. Saya ingin aktif membantu terciptanya agama-agama semacam itu. Pertanyaannya, maukah anda?

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

22 tanggapan untuk “Panca Dharma Agama di Indonesia, Apa itu?”

  1. tulisan yang luar biasaaaaaaaaaa………

    hal yang sama juga saya temukan ketika mencoba untuk melakukan satu dari panca darma diatas…mengkritik diri. dalam melakukan kritik terhadap diri, maka kemungkinan timbulnya kerentanan itu sangat besar apalagi hal ini menyangkut dengan keyakinan, namun jalan itu yang nantinya akan membawa kita menuju kesadaran. Mereka yang tidak mampu/mau melakukan kritik diri lebih merasa nyaman hidup dalam ketidaksadaran ‘keyakinan’ yang dipegang secara kaku dan bersifat tahayul, pada titik inilah hikmat menjadi jauh bagi orang2 yang tidak mampu melakukan kritik diri.

    keep writing kak..kita semua butuh pencerahan 🙂

    Suka

  2. he he kacau, kacau, tampaknya murid Bapak “CERDAS KEROHANIAANNYA” (Spriritual Quotion nya) terlalu tinggi sampai langit — sampai-sampai tidak tahu LOGIKO, FILSAFAT dan ILMU

    Tapi ada pertanyaan Bapak yang saya beri garis krn saya sampai print makalah ini yaitu
    ” Ia juga tidak bisa membedakan wilayah iman dan akal budi. Menurut saya keduanya berbeda tetapi amat perlu untuk bekerja sama. Bagaimana menurut anda?’

    He he saya sependapat domain IMAN dan AKAL BUDI BERBEDA tapi saya sih berpendapat PAKAI TITIK SAJA PAK karena nantinya akan ber temulah antara IMAN dan LOGIKA he he ini pendapat saya based on empiris saya.

    Saya sering berpikir bagamaina menyatukan PENGETAHUAN dgn IMAN? Bahasa PENGETAHUAN manusia meyakini nenek moyangnya MOYET ‘kok — truth lah tapi bahasa Agama meyakini di ciptakan dari NIHIL menjadi ADA — betulah — saya gabungkan saja — biarkan saja orang yakin turunannya MONYET, tapi nurani saya lebih gengsilah TURUNAN MANUSIA SEUTUHNYA he he lalu coba-coba pakai logiko kritisi semua yang ada, coba berpikir kritis seharusnya bagaimana ? lha apa namanya nanti apa tidak SUBYEKTIF, NORMATIF Pak, seperti katanya pendapat Bapak seharusnya PANCA DHARMA AGAMA.

    Obyektif negara-negara yang TEISME tinggi tidak menjamin moral n etikanya sesungguhnya baik walaupun tampaknya tata kramanya tinggi (bahasa jawanya inggih-2 bendol buri– orang yang sering berkata amien, amien, amien, puji Tuhan bukan TIKUS KORUPTOR) tetapi yang negara ATHEIS — kalau ada TIKUS KORUPTOR langsung di bantai, jadi sangat langka.

    Bagai mana jika saya berpendapat epistemologi teisme adalah masalah jika di tinjau dalam perpektif pengetahuan? Bagaimana menurut Bapak?

    Suka

  3. Soal humor di tulisannya James Martin itu sepertinya menarik, pak. Saya punya teman yang sedang meneliti humor dari segi filsafat, dan mengaitkannya dengan stereotipe suatu etnis melalui humor, seperti humor Madura. Menurut dia, humor yang berkembang mengenai orang madura cenderung menjelek-jelekkan orang Madura sendiri, tanpa disadari oleh mereka yang melontarkan humor tersebut.
    Kalau buku itu berupa file, tolong dikirim ke email saya, pak. Terima Kasih

    Suka

  4. Dalam deklarasi parlemen agama-agama dunia, Hans Kung mengeluarkan sebuah jargon: tak ada perdamaian antar bangsa tanpa perdamaian antar agama. Ungkapan Hans Kung – menurutku – merupakan respon terhadap perkembangan dunia yang sedang terjadi dan merupakan antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk yang akan mengancam manusia sebagai satu kemanusiaan. Mungkin ungkapan ini bernada pesimis dengan menempatkan dunia berada dalam keadaan krisis. Terutama jika aku menempatkan ungkapan itu dalam negara Indonesia.

    Lalu apa kaitannya dengan pertanyaan Pak Reza, “apa sebaiknya peran agama dalam kehidupan bersama kita?” Menurutku, agama sebaiknya berperan dalam empowering demokratisasi. Dengan kata lain, agama harus menjadi dinamisator demokratisasi. Tetapi, bagaimana mewujudkan hal itu dalam agama yang sedang dalam persimpangan jalan. Yang sedang berada di antara pihak yang melakukan proses demokratisasi dan pihak yang sedang dibayang-bayangi post-power syndrome. Menurutku, disinilah peran refleksi-kritis. Agama harus memilih. Agama harus memihak. Agama digugat peran profetisnya. Maka, perlu kerja sama antara iman dan akal budi.

    Berdasarkan apa yang Pak Reza tulis tentang sisi “lain” hidup keagamaan kita, memang benar bahwa agama sedang “ditempatkan” pada posisi yang amat sulit. Dan tafsiran yang salah bisa semakin memperpendek sumbu kekerasan antar agama. Kemudian, berdasarkan pertanyaan Pak Reza, “maukah anda?” Aku mencoba memahaminya, bahwa hal ini bukan soal kemauan (atau keinginan) baik atau tidak. Melainkan sudah menyangkut soal kemauan untuk memasuki proses atau tidak.

    he…he…he… Bagaimana Pak Reza?

    Suka

  5. hehehe.. ini salah satu debat abadi. Posisi saya tetap. Berdasarkan penelitian yang saya buat, iman dan akal budi bisa memperkaya satu sama lain. Iman bisa memberikan rambu-rambu moral pada akal budi. Sementara akal budi bisa membersihkan iman dari fanatisme sempit yang merusak..

    Suka

  6. Iman & akal budi. Memakai akal budi untuk memisahkan wilayah akal budi dan iman juga merupakan suatu iman bukan? Yaitu iman bhw akal budi terpisah dari iman. Jadi, terpisahkah keduanya?

    Suka

  7. Saya setuju dengan Hans Kueng dan kamu. Agama memang harus menjalankan peran profetisnya sebagai penggerak demokrasi di Indonesia. Yah tidak ada hasil tanpa proses. Maka ajakan di dalam tulisan ini juga bisa dianggap sebagai ajakan untuk berproses.

    Suka

  8. kalau bicara agama lebih bicara mengenai kultur dan tradisi
    bicara mengenai iman dan akal, nah saya selalu menjaga keseimbangan dua hal ini
    jangan terlalu percaya dengan iman… jangan terlalu percaya dengan akal…..
    saya melihat banyak orang yang terlalu mengandalkan iman tetapi akhirnya tindakannya tidak beriman, contoh ada “pasukan pembela Tuhan” tetapi menyakiti kaumnya sendiri
    banyak orang yang terlalu mengandalkan akal tetapi akhirnya tindakannya tidak berakal, contoh teknologi dan ilmu ada untuk mencapai kemakmuran dan kemudahan tetapi prosesnya banyak pengorbanan sumber daya alam dan manusia lalu hasilnya tetap ada peperangan.
    maka dari itu saat saya mulai terjerumus dalam iman dengan indikatornya saya merasa nyaman dalam diskusinya maka saat itu saya harus kembali memaksa ke dalam akal saya,
    demikian sebaliknya…

    Suka

  9. Masalah agama dan pemerintahan, saya melihat lebih kepada masalah menunjukan identitas.
    contoh saya sebagai penganut tradisi kristiani yang hidup di tanah air ini.
    Dalam hidup berbangsa dan bernegara saya menjalani hidup yang partisipatif tetapi bersamaan dengan itu saya menjadi sosok yang eksemplaris.
    Saya ikut serta dalam kehidupan berpolitik dan bermasyarakat tetapi bersamaan dengan itu saya menjaga keunikan iman dan tradisi kekristenan saya, serta menampakannya.

    Suka

  10. iman religius dan iman rasional (apapun namanya, presaposisi, paradigma, axioma, dll) didalam naturnya sama-sama subyektif bukan? Obyektifitasnya tergantung kepada korespondensi iman – yang manapun juga – dengan realita faktual. Demikian hemat saya. Sehingga pembedaan antara kedua macam iman tsb tentunya merupakan penerapan standart ganda atas penilaian obyektifitas iman. Bukankah begitu?

    Suka

  11. Btw, saya setuju dgn kesimpulan akhir mas Reza ttg relasi iman-rasio. Memakai kalimat yg lain, iman tanpa rasio akan menjadi iman yg buta. Sementara rasio tanpa iman akan menjadi rasio yg liar. Salam…

    Suka

  12. hehehe.. saya amat setuju dengan anda. Yang kita butuhkan adalah “keseimbangan yang kreatif” antara iman, agama, dan akal budi. Keseimbangan kreatif itulah yang amat sulit untuk diwujudkan.

    Suka

  13. Ini fenomena yang amat rumit. Segala hal yang ada di dalam hidup manusia selalu memiliki aspek subyektivitas manusia, karena manusia yang memikirkan dan mempersepsikannya. Maka subyektivitas tidak pernah bisa ditolak.. terutama dalam soal iman. Menurut saya agama dan iman harus bisa mendorong subyektivitas manusia untuk sungguh berpartisipasi di dalam terciptanya kebaikan bersama… disinilah mungkin letak kaitannya dengan realitas faktual, seperti yang anda tuliskan…

    Suka

  14. Setuju mas Reza, subyektifitas memang adlh fenomena yg rumit. Dan ketika iman maupun struktur akal budi mns disepakati sama2 bersifat subyektif. ( Ttp agar kita tdk jatuh ke dlm subyektivisme.) Maka, saya mengusulkan agar justifikasi kebenaran iman-rasio, yaitu obyektifitasnya, terletak pd korespondensi iman atau rasio dgn realita faktual. Jika keduanya sama2 berkorespondensi dg realita faktual maka tentunya tdk akan ada kontradiksi antara keduanya. Dan dikotomi iman-akal budi tdk diperlukan. Disini posisi saya. Tetapi justru krn keduanya seringkali tdk harmonis, dan ada upaya2 ttt utk mengakomodasi keduanya, maka domain iman-akal dirasa perlu utk dipisahkan. Tdp romantisme yg tdk rela utk melepaskan salah satu diantara keduanya. Meski dlm perkembangannya, keduanya pun tdk lagi duduk sejajar. Rasio selalu menundukkan iman meski rasio sendiri jg lahir dr suatu iman. (Silahkan dikaji pertentangan filosofis yg melatari turning point dikotomi). Iman sendiri kini sekedar dipandang dari aspek manfaat yg melayani kebutuhan manusia entah secara psikologis, normatif, atau apapun juga.

    Suka

  15. Saya rasa refleksi anda cukup dalam. Mungkin refleksi semacam ini bisa disebarkan lebih luas ke publik. Dalam diskusi iman dan akal budi, saya ingin menambahkan satu lagi komponen yang, walaupun ada bersama di dalam diri manusia, tetapi tetap harus dibedakan, yakni hasrat. Seturut penelitian dan pembacaan saya, hasrat adalah daya terkuat dalam diri manusia. Iman dan akal budi seringkali hanya memberikan pembenaran-pembenaran untuk hal-hal yang sebelumnya telah dihasrati oleh manusia. Dengan hasratnya manusia membongkar misteri alam semesta, dan menguasai dunia. Namun dengan hasratnya pula, manusia berpotensi besar untuk menghancurkan dirinya sendiri.

    Suka

  16. Hasrat…, menarik utk digali lebih dalam lagi. Terima kasih utk diskusi yg panjang ini, hehehe. Dan ijinkan saya menutup dg mengutip pandangan seorg filsuf kontemporer, Francis Schaefer, “I do what I think and I think what I believe”. Salam

    Suka

  17. Sama-sama. Saya senang berdiskusi dengan anda. Pandangan anda sangat kritis dan rasional, namun juga berpijak pada kultur dan keimanan anda. Saya tertarik memberi catatan pada kutipan anda, bahwa seringkali, kita tidak tahu apa yang kita percayai, dan bahwa kita percaya bahwa kita tidak mempercayai apapun. Jarang orang secara sadar mengakuinya. Namun kita bisa dengan mudah melihat gejala ini pada sikap kesehariannya.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.