Belajar Bahasa itu sama Seperti Memimpin. Kok Bisa?

classk12.org

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Grüße dich. Mein Name ist Reza Alexander Antonius Wattimena. Ich wohne in Keputih, Surabaya, Indonesien. Ich komme aus Duren Sawit, Jakarta, Indonesien. Ich bin Philosophie Lehrer / Professor. Ich bin achtundzwanzig Jahre alt. Ich liebe Lesebuch, lehre, Musik hören, folgende Diskussion, und Basketball spielen. Ich möchte weiterhin dem Studium der Philosophie in Deutschland. Sie verstehen mich? Ich hoffe so (Banyak salah grammatiknya, biarin aja, masih belajar soalnya)

            Sudah seminggu ini, saya belajar bahasa Jerman. Setiap hari Senin sampai Jumat, pukul 7.30 sampai jam 12.00 siang, saya berkutat dengan kata-kata asing, dan aturan-aturan bahasa yang tak pernah saya tahu sebelumnya. Memusingkan, tetapi juga menyenangkan. Apakah anda juga pernah belajar bahasa baru sebelumnya? Bagaimana perasaan anda?

Setelah saya pikirkan lebih dalam, ada kesamaan antara belajar bahasa dan mental kepemimpinan. Belajar bahasa butuh kemampuan menghafal, begitu pula seorang pemimpin perlu untuk menghafal data-data penting terkait dengan organisasi yang dipimpinnya. Belajar bahasa butuh kemampuan intuitif dan merasa, begitu pula kepemimpinan butuh intuisi dan rasa. Menarik ya? Coba saya jelaskan lebih jauh.

Menghafal

Banyak orang malas belajar bahasa baru, karena mereka harus menghafal hal-hal baru. Itulah yang saya alami. Namun, untuk sungguh bisa berbicara, menulis, dan membaca dalam bahasa baru, kita harus menghafal. Tidak ada jalan lain. Kata orang Amerika, take it or leave it!

Untuk menghafal, orang harus menggunakan akal budinya semaksimal mungkin. Ia harus mampu menemukan pola yang sama di berbagai konteks kalimat ataupun kata yang berbeda. Ia harus mampu membuat rumus-rumus sendiri untuk membantunya menghafal. Iya kan?

Sewaktu SMA dulu, saya pernah belajar bahasa Latin. Setiap mau ujian, kami harus benar-benar hafal deklinasi dan konjugasi perubahan kata-kata Latin yang ada. Benar-benar harus hafal mati! Gawat kan?

Sekarang pun saya mengalaminya. Namun, saya berhasil menemukan rumus. Menghafal akan jadi lebih mudah, jika kita mampu merasakan bahasa itu. Merasa? Ya merasa! Kita harus bisa merasakan “rasa” dari bahasa itu. Dengan itu, kita bisa mulai “jatuh cinta” pada bahasa tersebut, dan bisa mempelajarinya dengan jauh lebih mudah. Menarik bukan?

Intuisi

Merasa tidak hanya menggunakan perasaan, tetapi menggunakan intuisi. Menurut saya, intuisi itu semacam kombinasi antara pikiran dan perasaan. Intuisi amat membantu kita di dalam membuat keputusan. Intuisi juga amat membantu kita untuk belajar bahasa. Tidak percaya?

Saya punya pengalaman pribadi. Tahun lalu, saya ujian TOEFL IBT. Ini ujian yang terkenal sulit dan lama. Karena amat percaya diri, saya tidak belajar. Sehari sebelum ujian, saya hanya tidur, nonton DVD (dalam bahasa Inggris), dan santai-santai. Hasilnya?

Ujian saya sukses besar! TOEFL IBT memakan waktu sekitar 6 jam, dan saya mengerjakannya dengan amat baik. Saya tidak menghafal. Saya menggunakan intuisi, ketika mengerjakan ujian. Orang belajar bahasa tidak hanya menggunakan otak untuk menghafal, tetapi intuisi untuk merasa. Setuju?

Ternyata, intuisi juga tidak hanya berguna untuk belajar bahasa, tetapi untuk belajar apapun. Intuisi amat berguna untuk membuat keputusan. Singkat kata, kita perlu untuk “merasakan” apa yang sedang kita kerjakan, dan apa yang ingin kita putuskan. “Rasa” ini, menurut saya, adalah pembimbing kita yang paling setia dalam hidup. Bagaimana menurut anda?

Namun, intuisi tidak selalu benar. Kita tetap butuh data-data dan informasi yang berguna untuk keputusan yang kita ambil. Maka itu, kita butuh kehadiran orang lain untuk melengkapi intuisi kita. Kita butuh orang lain untuk melengkapi diri kita seutuhnya. Tidak hanya dalam membuat keputusan, atau belajar bahasa, secara umum, tanpa orang lain, kita bukan apa-apa. Ya kan?

Memahami Aturan

Belajar bahasa juga perlu untuk memahami aturan di balik gramatiknya. Dalam bahasa Jerman, aturan ini disebut die Regel. Di balik setiap susunan kata, di balik semua perubahan kata, ada die Regel. Intuisi dan menghafal akan menjadi kacau, jika tidak mengikuti die Regel. Ingat, die Regel ini bukan Regal (biskuit), melainkan aturan. Jangan tertukar..

Ini juga berlaku, ketika saya belajar bahasa Inggris dan bahasa Latin dulu. Die Regel tersembunyi sebagai tata kelola dari bahasa, sehingga bahasa itu bisa dipahami, dan mampu menyampaikan ide-ide yang ada di dalam pikiran. Die Regel tak terlihat, namun pengaruhnya amat terasa. Ia seperti udara, tak terlihat, namun amat terasa. Bagaimana kalau udara, dan die Regel, tidak ada? Apa yang terjadi?

Di dalam hidup, kita pun hidup dengan die Regel. Di berbagai aspek kehidupan, ada die Regel yang mesti dipatuhi. Namun perlu juga diingat, die Regel ini tidak abadi. Ia berubah sejalan dengan perubahan pemahaman manusia. Bahasa itu hidup. Die Regel itu hidup, dan bisa berubah, ketika banyak orang menghendakinya untuk berubah. Bisakah anda sebutkan contohnya?

Kepemimpinan

Kepemimpinan perlu menghafal, sama seperti kita belajar bahasa. Kita perlu tahu siapa dan apa yang kita pimpin. Kita perlu tahu data-data penting terkait dengan organisasi yang kita pimpin. Kita perlu tahu visi dari organisasi yang kita pimpin. Ini wajar-wajar saja. Iya kan?

Sekarang ini, saya bertugas sebagai Sekretaris Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya. Saya hafal dengan visi organisasi, data-data terkait dengan mahasiswa, situasi keuangan fakultas, tata kelola fakultas, dan sebagainya. Semua ini amat membantu saya dalam beraktivitas sehari-hari. Bagaimana jika seorang pemimpin tak mengenal organisasi yang ia pimpinan? Apa yang terjadi?

Sama seperti belajar bahasa, kepemimpinan juga perlu intuisi. Pertimbangan data-data tidak pernah cukup. Pemimpin harus menggunakan “rasa” di dalam mengambil berbagai keputusan terkait organisasinya. Memang, “rasa” dan intuisi tidak selalu benar. Namun, keduanya tidak pernah boleh dikesampingkan. Setuju?

Saya teringat salah satu pidato Bung Karno yang pernah saya baca dulu. Ia bilang begini,

“Kita boleh kesulitan makan. Tapi bangsa kita, Bangsa Indonesia, punya prinsip dan harga diri! Dan dengan prinsip dan harga diri itu, kita akan membangun bangsa ini menuju keadilan dan kemakmuran untuk semua! Kita tidak akan menjilat siapapun, baik itu negara-negara Barat, ataupun negara-negara komunis!”

Bung Karno punya visi yang jelas untuk bangsa yang ia pimpin. Namun sayang, sebelum visi itu bisa dikerjakan, ia jatuh dari posisinya. Ia adalah contoh pemimpin yang tidak pernah mau jadi budak data. Apakah anda budak data yang tak berani berinovasi, atau pemimpin visioner yang menggunakan intuisi, rasa, dan data-data (namun tak pernah menjadi budak data) untuk mengambil keputusan?

Dan terakhir, sama seperti belajar bahasa, kepemimpinan juga perlu untuk memahami dan mematuhi die Regel. Ada aturan lain untuk setiap hal, dan seorang pemimpin harus memahami dan mematuhi itu semua. Tentu saja, die Regel bukan untuk dijalankan secara buta. Kita tetap perlu fleksibel dan bijak di dalam menghayati die Regel. Iya kan?

Sewaktu muda (memang sekarang sudah tua?),  saya sering tak peduli pada aturan. Menurut saya, aturan itu bodoh, mengekang, dan membunuh antusiasme serta kreativitas. Saya sering bertengkar dengan otoritas, karena sikap ini. Seringkali juga, banyak rencana saya gagal, karena sikap itu. Apakah anda punya pengalaman seperti ini juga?

Sekarang saya sadar (akhirnya..), aturan, die Regel, tetap perlu ada, dan dihayati. Yang penting, kita tetap memerlukan sikap kritis untuk memahami dan menerapkannya sesuai konteks, serta sejalan dengan prinsip-prinsip keamanusiaan universal. Aturan diciptakan untuk kebaikan manusia, bukan manusia dikorbankan, bahkan dibunuh, untuk tegaknya aturan. Setuju?

Singkat kata, memimpin itu seperti belajar bahasa. Kita perlu untuk menghafal informasi terkait dengan organisasi yang kita pimpin, membuat keputusan dengan menggunakan intuisi dan “rasa”, serta memahami dan menerapkan die Regel, aturan main, yang berlaku. Hanya dengan begitu, kita bisa menciptakan organisasi yang bermakna, yang berpartisipasi besar dalam terciptanya kebaikan bersama untuk semua orang, tanpa kecuali. Selamat memimpin! Glückwünsche Blei! Auf Wiedersehen!

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

8 tanggapan untuk “Belajar Bahasa itu sama Seperti Memimpin. Kok Bisa?”

  1. Mengapa bapak belajar bahasa Jerman? Mau melanjutkan studi ke sana? Saya sedang berniat balajar bahasa POlandia … tetapi wah … ternyata repot belajar bahasa asing sendirian …

    Suka

  2. Saya suka tulisan ini, mas. Saya terinspirasi dan akan juga berusaha merasakan apa yang saya pelajari. Selamat belajar berbahasa baru. Saya tidak akan kalah dengan anda 🙂

    Suka

  3. he he belajar bahasa asing itu proses pembelajaran yang paling sering saya menjadi mengantuk tanpa tahu penyebabnya, sampai-2 saya berkesimpulan kalau tidak bisa tidur sampai tengah malam– maka cara mengatasinya adalah belajar bahasa asing atau he he bahasa langit saja.

    tapi kenapa ya kok bisa mengantuk? kalau membaca buku yang lebih asyik malah bergairah tidak bisa tidur. Misteririus ya.

    He he ternyata di dalam kepala saya ada dua jalur untuk bisa menampung informasi yang “asing” — masuk jalur memori jangka pendek dan panjang — kalau informasinya tampak “asing” ya begitu di tampung langsung keluar (ngak ingat lagi) dan bisa menurunkan potensi batteri (mengantuk) tetapi jika yang “asing” itu di manupulasi sedemikian rupa sehingga tampak “tidak asing” maka niscaya masuk jalur jangka panjang.

    aq sendiri paling sering memanupulasi informasi supaya masuk jalur jangka panjang — pakai cara metode gaya jepang kali namanya TaKuTiRuKo — obyek informasi “asing” aq berusaha untuk meTambahkan, meKurangi, memTiru-tiru,meRubah dan mengKobinasikan alternatif — contoh The Gun = di manupulasi es degan dinoyo.

    yang paling penting belajar bahasa asing — tentukan target supaya MAMPU — bicara, membaca dan mendengar —- maka niscaya akan berhasil — itu kata komik silat Khoh Ping Ho he he —- ini bisa di verifikasi kebenarannya lho — buktinya aq sekarang mampu bahasa asing : Jepang, Rusia, Yunani, Mandarin, Arab, Spanyolan, Madura, Jawa, Sangseketa, Ibrani kuno — tapi aq jujur lho sementara masih MAMPU MENDENGAR doang tanpa memahami artinya

    Suka

  4. Menulis, sama dengan menjadi “pemimpin”.
    Menjadi penentu apakah tanda koma perlu dipakai,
    misalnya, di belakang kata “Menulis”

    “Pemimpin yang tegas sekaligus kanak-kanak yang ceria”
    demikianlah saya membahasakan penulis yang baik.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.