Hannah Arendt, Banalitas Kejahatan, dan Situasi Indonesia

blogspot.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Para pelaku kejahatan tidaklah harus orang-orang jahat berhati kejam penuh dendam. Orang-orang biasa pun bisa melakukan kejahatan besar, ketika ia tidak memiliki imajinasi untuk membayangkan posisi orang lain, dan tidak berpikir kritis di dalam melihat keadaan secara lebih luas. Di dalam tulisan ini, dengan berpijak pada pemikiran Hannah Arendt, saya akan mencoba menjelaskan argumen tersebut, dan menggunakannya untuk memahami situasi Indonesia. Awalnya saya akan memperkenalkan secara singkat sosok Hannah Arendt (1), menjabarkan pemikirannya tentang banalitas kejahatan yang tertulis di dalam bukunya yang berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (2), dan menunjukkan relevansi pemikiran Arendt untuk memahami situasi di Indonesia (3). Saya banyak terbantu dari tulisan Seyla Benhabib tentang Arendt.

1. Hannah Arendt

Hannah Arendt adalah seorang filsuf politik ternama di abad keduapuluh. Ia lahir pada 1906 di Hanover, Jerman, dan meninggal di New York pada 1975.[1] Pada 1924 ia belajar di Universitas Marburg, Jerman, dan berjumpa dengan Martin Heidegger. Pada masa itu Heidegger sudah dikenal sebagai salah satu filsuf besar di dalam Sejarah Filsafat. Pemikirannya tentang fenomenologi ada (phenomenology of being) memicu diskusi filosofis di berbagai universitas di Eropa dan Amerika. Walaupun sebentar perjumpaan Arendt dengan Heidegger amat mempengaruhi pemikiran filsafat Arendt. Kisah cinta mereka pun menjadi legendaris di kalangan para filsuf, sampai sekarang ini. Ia belajar di Marburg selama setahun, lalu pindah ke Freiburg. Di Freiburg Arendt belajar di bawah Edmund Husserl. Pada 1926 ia pindah ke Universitas Heidelberg untuk belajar di bawah Karl Jaspers, seorang filsuf Jerman ternama. Arendt dan Jaspers menjalin persahabatan yang amat dekat dan panjang. Pada 1933 karena Hitler memperoleh kekuasaan politik tertinggi di Jerman, Arendt terpaksa meninggalkan Jerman, lalu pergi ke Polandia, Swiss, dan kemudian Paris, Prancis. Di sana ia tinggal selama 6 tahun, dan bekerja sebagai pendamping para pengungsi.

Pada 1941 Arendt dipaksa untuk keluar dari Paris, dan pindah ke New York, Amerika Serikat bersama keluarganya. Di New York Arendt langsung terlibat di dalam dunia intelektual di sana, dan berpartisipasi di dalam pembuatan jurnal ilmu-ilmu sosial yang amat berpengaruh pada masa itu, yakni Partisan Review. Setelah perang dunia kedua berakhir, ia menjadi dosen, dan mengajar di beberapa universitas di Amerika. Diantaranya adalah Princeton, Berkeley, dan Chicago. Namun Arendt sendiri lebih dikenal sebagai salah satu pemikir New School of Social Research. Ia menjadi professor filsafat politik di sana sampai pada 1975. Ia juga menghasilkan buku-buku filsafat yang amat inspiratif, mulai dari The Origins of Totalitarianism, Eichmann in Jerusalem (yang menjadi fokus kajian tulisan ini), dan The Human Condition.

2. Banalitas Kejahatan

11 Mei 1960 anggota intel Israel menangkap Adolf Eichmann, seorang tentara Nazi yang melarikan diri di Argentina.[2] Ia dibawa ke Israel untuk diadili atas kejahatannya selama perang dunia kedua terkait dengan pembunuhan orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Tugas utamanya sebagai prajurit adalah mengatur transportasi jutaan orang Yahudi dari seluruh Eropa ke dalam kamp-kamp konsentrasi buatan Nazi. Dan dalam hal ini, ia menjalankan tugasnya dengan amat baik. Setelah perang usai ia pergi ke Argentina, dan hidup sebagai orang biasa dengan identitas palsu. Konon pemerintah setempat mengetahui hal ini, dan tetap bersikap diam. Pemerintah Israel tidak berhasil melakukan perundingan terkait dengan extradisi tahanan dari Argentina. Intel mereka pun bermain. Setelah Eichmann sampai Israel, pemerintah Israel membuka sebuah sidang publik yang bersifat terbuka. Ketika diminta memberikan pendapat tentang persidangan ini, David Ben-Gurion, perdana menteri Israel pada masa itu, berpendapat, bahwa sidang terbuka ini untuk menarik perhatian dunia pada “peristiwa yang paling tragis di dalam sejarah kami, fakta paling tragis di dalam sejarah manusia.”[3]

Menurut Benhabib ada dua tujuan dari tindakan ini. Yang pertama adalah untuk mencari keadilan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang dilakukan oleh Eichmann selama perang dunia kedua terhadap orang-orang Yahudi. Yang kedua adalah untuk menegaskan kepada dunia, betapa besar skala kejahatan yang dilakukan kepada orang-orang Yahudi pada masa perang dunia kedua. Memang pada masa itu, sudah ada cerita tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Nazi Jerman. Namun belum ada suatu pengadilan resmi yang mengungkapkan aspek-aspek legal dan moral atasnya. Harapannya dengan pengadilan ini bisa muncul diskusi-diskusi publik yang lebih luas atas holocaust yang terjadi pada masa perang dunia kedua.[4] Sampai saat ini pengadilan terhadap Eichmann dianggap sebagai salah satu peristiwa yang telah menetapkan standar untuk menyatakan bahwa suatu kejahatan dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Hannah Arendt mendengar berita itu. Ia pun mengajukan diri sebagai reporter atas pengadilan itu kepada editor kepalanya di The New Yorker, William Shawn. Shawn menyetujuinya. Arendt pun pergi ke Yerusalem untuk meliput sidang Eichmann tersebut mulai dari 11 April 1961 sampai 14 Agustus 1961. Ketika mendarat di Yerusalem, Arendt begitu kaget, karena ternyata Eichmann, pelaku kejam kejahatan terhadap kemanusiaan selama perang dunia kedua, adalah orang biasa yang sama sekali tak tampak kejam. Sebaliknya ia adalah “warga negara yang patuh pada hukum.”[5] Tidak ada tanda-tanda kejahatan di dalam dirinya. Ia hanya menjawab dengan pernyataan-pernyataan baik yang normatif. Rupanya seperti ditulis oleh Benhabib, pikiran yang kejam tidak diperlukan untuk melakukan suatu kejahatan yang brutal. Kejahatan yang brutal bisa mengambil rupa wajah orang baik-baik, orang-orang biasa.

Sebelumnya banyak orang menganggap, bahwa Eichmann adalah orang yang kejam dan biadab. Pikirannya pasti dipenuhi fanatisme terhadap Nazi, dan kebencian mendalam pada orang-orang Yahudi. Persepsi semacam inilah yang dikembangkan oleh para jaksa Israel, ketika mereka melakukan tuntutan resmi kepada Eichmann. Arendt sendiri sebenarnya amat kesal dengan pola ini. Ia merasa jaksa-jaksa Israel tersebut terlalu berlebihan di dalam menggambarkan Eichmann. Padahal seperti sudah disinggung sebelumnya, di mata Arendt, terutama setelah mengikuti sidang tersebut sampai selesai, orang-orang biasa, dengan wajah dan pikiran yang seringkali amat lurus, mampu melakukan kejahatan brutal terhadap manusia lainnya, tanpa merasa benci, ataupun merasa bersalah. Pandangannya ini ditulisnya di dalam publikasi hasil laporan terhadap sidang tersebut yang diterbitkan pada 1963 dengan judul Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil.

Argumen Arendt di dalam buku disebutnya sebagai banalitas dari kejahatan, yakni suatu situasi, dimana kejahatan tidak lagi dirasa sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang wajar. Argumen ini ia dapatkan dari pengamatannya terhadap orang-orang Jerman biasa, yang tidak memiliki pikiran jahat, namun mampu berpartisipasi aktif di dalam suatu tindak kejahatan brutal. Argumen ini jugalah yang mengagetkan para pembaca laporan Arendt tersebut. Apakah argumen ini berlaku untuk konteks di luar Jerman? Coba kita perhatikan argumen Arendt berikut ini. Eichmann adalah seorang perwira militer yang patuh. Dan sikap patuh di dalam militer adalah suatu keutamaan, bukan kejahatan. Ia tidak akan pernah berkhianat atau bahkan membunuh orang lain demi memuaskan kepentingan pribadinya. Bahkan menurut Arendt sebagai seorang perwira militer, Eichmann sama sekali tidak sadar tentang akibat dari tindakan patuhnya tersebut.[6]

Yang kurang dari Eichmann adalah imajinasi. Bahkan ketika ia diinterogasi oleh dua orang polisi, ia berkata, bahwa penyesalannya terbesarnya adalah tidak dipromosikan ke pangkat yang lebih tinggi di SS Nazi Jerman pada masa itu. Karena itu ia kemudian menyarankan dilakukannya evaluasi ulang atas nilai-nilai yang dianut oleh militer. Jelaslah sebagaimana diamati Arendt, Eichmann bukanlah orang bodoh. Yang menjadi “penyakit” utamanya adalah ketidakberpikiran.[7] Tidak berpikir berbeda sama sekali dengan bodoh. Orang bisa saja amat cerdas, namun tak menggunakan kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara menyeluruh, berpikir secara sistemik (bukan sistematis).  Dan karena tak berpikir, ia seringkali tak sadar, bahwa tindakannya itu merupakan suatu kejahatan brutal. Maka salah satu hal mendasar yang dibutuhkan untuk menjadi penjahat brutal adalah ketidakberpikiran.

Ketidakberpikiran membuat suatu tindakan menjadi terasa wajar, termasuk tindakan yang mengerikan. Orang-orang biasa seperti Eichmann bukanlah orang jahat atau kejam. Banyak orang menganggap bahwa pelaku kejahatan brutal adalah penjelmaan setan. Wajahnya pasti sangar. Matanya kejam. Badannya besar. Namun faktanya tidaklah seperti itu. Sebaliknya Eichmann adalah orang biasa, cerdas, dan patuh. Tidak ada niat jahat ataupun kejam di dalam dirinya. “Ketercabutan dari realitas semacam itu dan ketidakberpikiran semacam itu”, demikian tulis Arendt, “dapat jauh lebih merusak dari semua insting jahat dijadikan satu.. dan semua ini ada di dalam diri manusia.”[8] Inilah yang kiranya menjadi pelajaran dari pengadilan Eichmann di Yerusalem, sebagaimana dianalisis oleh Arendt. Ketidakberpikiran adalah sisi gelap manusia yang menjadi sumber dari lahirnya kejahatan. Inilah kejahatan khas abad keduapuluh yang, menurut Arendt, tidak pernah ditemukan sebelumnya. Saya yakin banyak orang seperti Eichmann. Mereka bukan orang gila. Mereka bukan orang kejam. Mereka hanyalah orang-orang yang amat normal, dan karena normalitasnya, mereka menjadi menakutkan. Mereka adalah orang-orang yang tak berpikir.

3. Arendt dan Konteks Indonesia

Analisis Arendt pada hemat saya bisa digunakan untuk memahami berbagai tragedi di Indonesia. Salah satunya yang terbesar adalah penangkapan dan pembantaian orang-orang yang dituduh PKI pada 1965-1969. Pelaku penangkapan dan pembantaian tersebut adalah militer dan sipil di berbagai penjuru di Indonesia. Para pelaku tersebut bukanlah orang-orang jahat yang berhati kejam. Sebaliknya sama seperti Eichmann, mereka adalah orang-orang biasa, yakni rakyat kebanyakan, dan militer yang patuh pada perintah atasan. Dan sama seperti Eichmann, mereka adalah orang-orang yang miskin imajinasi, sehingga tak mampu membayangkan perasaan orang-orang yang mereka tangkap atau bantai pada masa-masa itu. Mereka adalah orang-orang yang tak berpikir, karena hanya asal menjalankan perintah dan mengikuti trend umum masyarakat (menangkap dan membantai), sehingga pembantaian pun dilihat sebagai suatu tindakan yang biasa-biasa saja.

Hal yang sama kiranya terjadi pada era 1996-1999 di Indonesia, yakni penculikan aktivis pro demokrasi di masa rezim otoriter Orde Baru. Pelaku penculik kebanyakan adalah anggota militer, walaupun ini masih bisa diperdebatkan. Mereka menangkap, menculik, menyiksa, dan bahkan membunuh aktivis-aktivis pro demokrasi yang pada waktu itu mayoritas adalah mahasiswa. Mereka tak peduli akan ketakutan dan penderitaan yang dialami oleh korban penculikan. Yang ada di pikiran mereka hanya satu, yakni menjalankan perintah, tanpa pernah sungguh bertanya, apakah perintah itu masuk akal atau tidak? Apakah perintah itu manusiawi atau tidak? Sama seperti Eichmann para pelaku penculikan aktivis tersebut bukanlah orang-orang yang kejam dan jahat, namun hanya orang-orang biasa yang miskin imajinasi dan tak berpikir, yang melihat tindakan jahat sebagai suatu tindakan yang wajar (banal).

Fenomena penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan pembantaian massal adalah fenomena universal umat manusia. Artinya kita bisa menemukan peristiwa-peristiwa semacam ini di berbagai peradaban di berbagai lintasan waktu. Belajar dari Arendt kita bisa menemukan dua ciri mendasar dari fenomena ini. Yang pertama adalah distorsi persepsi dari pelaku tentang korbannya. Orang bisa menculik, menyiksa, dan membunuh orang lain, karena ia tidak melihat orang lain tersebut sebagai manusia, melainkan semata sebagai benda, atau bahkan musuh yang harus dihancurkan. Distorsi persepsi mengaburkan pandangan orang tentang dunia, dan ini jelas amat mempengaruhi tindakannya. Yang kedua adalah ketidakberpikiran. Ketika bertindak jahat orang menutup imajinasinya, sehingga ia tidak bisa membayangkan perasaan dan ketakutan korbannya. Dan belajar dari Arendt, kita bisa tahu, bahwa orang-orang biasa pun bisa melakukannya, tidak hanya orang-orang yang memang berhati kejam. Dua ciri ini bisa kita temukan di berbagai peristiwa penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan pembantaian massal di berbagai peradaban di berbagai lintasan waktu.

Dari pemikiran Arendt kita bisa mengajukan satu argumen kontroversial, bahwa kejahatan terbesar justru dilakukan oleh orang-orang biasa yang tidak merasa melakukan tindakan jahat, tetapi melihat kejahatan semata sebagai sesuatu yang wajar. Dalam konteks ini ada satu penyakit sosial yang telah lama diderita oleh masyarakat Indonesia, yakni diskriminasi sistemik. Diskriminasi sistemik adalah tindakan meniadakan atau mengecilkan peran seseorang di masyarakat, karena latar belakang suku, agama, rasa, ataupun golongannya di masyarakat. Misalnya etnis minoritas yang tidak akan pernah menjabat sebagai presiden, sulitnya kelompok minoritas memasuki perguruan tinggi negeri, sulitnya penganut agama minoritas mendirikan rumah ibadah, dan berbagai diskriminasi lainnya. Disebut bersifat sistemik karena kejahatan ini telah begitu mengakar pada budaya maupun sistem birokrasi di Indonesia, sehingga tidak lagi dilihat sebagai suatu tindakan jahat, namun sebagai tindakan yang sewajarnya dilakukan (banal). Pada titik ini analisis Arendt jelas amat relevan untuk memahami permasalahan diskriminasi sistemik di Indonesia. Para pelaku dari kejahatan ini bukanlah orang-orang kejam, melainkan orang-orang yang tidak berpikir secara mendalam, dan tak punya imajinasi untuk membayangkan penderitaan orang lain.

Dengan berpijak pada pemikiran Arendt, kita bisa menyimpulkan satu argumen sederhana, bahwa akar kejahatan tidak melulu kebencian, dendam, ataupun pikiran kejam, melainkan sikap patuh buta pada sistem dan aturan, yang tidak disertai dengan sikap kritis maupun reflektif. Kejahatan semacam ini memiliki dampak amat besar, namun pelakunya adalah orang-orang biasa yang tidak merasa berbuat jahat. Mirip seperti seekor monyet yang menyelamatkan ikan, karena ia mengira, ikan itu tenggelam di air. Akhirnya si monyet justru membunuh si ikan, walaupun niat awalnya adalah menolong si ikan. Yang perlu dilakukan kemudian adalah pendidikan untuk berpikir kritis dan reflektif di dalam bertindak dan memahami pelbagai hal di dunia. Berpikir kritis berarti orang mampu mengambil jarak dari peristiwa yang dialaminya, bersikap skeptik, lalu membuat penilaian secara tepat atas peristiwa tersebut. Berpikir reflektif berarti melihat ke dalam diri sendiri, lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan, apakah jalan yang ditempuhnya sudah tepat. Pola semacam ini tidak hanya diterapkan di sekolah, tetapi juga di dalam keluarga. Hanya dengan mengembangkan pola berpikir kritis dan reflektif di berbagai segi kehidupan bangsa, Indonesia bisa terhindar dari penyakit tak berpikir dan kemiskinan imajinasi yang mematikan.

Daftar Rujukan

Arendt, Hannah, Eichmann in Jerusalem, Macmillan Company, New York, 1963

Seyla Benhabib, “Arendt’s Eichmann in Jerusalem”, Cambridge Companion to Hannah Arendt,  Villa, Dana (ed), Cambridge University Press, Cambridge, 2000

http://plato.stanford.edu/entries/arendt/#Int diakses pada 20 Desember 2012 pk. 14.46.


[1] Bagian ini diinspirasikan dari http://plato.stanford.edu/entries/arendt/#Int diakses pada 20 Desember 2012 pk. 14.46.

[2] Bagian ini diinspirasikan dari Seyla Benhabib, “Arendt’s Eichmann in Jerusalem”, Cambridge Companion to Hannah Arendt,  Villa, Dana (ed), Cambridge University Press, Cambridge, 2000, hal. 66. On May 11, 1960, members of the Israeli Secret Service kidnapped the Nazi fugitive Adolf Eichmann in Argentina, spiriting him out of the country so he could stand trial in Israel for crimes he had committed in the course of the “Final Solution.””

[3] Ibid, ““the most tragic in our history, the most tragic facts in world history.”

[4] Ibid, hal. 67. “From the beginning, then, the Israelis saw the trial of Eichmann as serving a dual function. First, and most obviously, Eichmann was to be brought to justice for the crimes against humanity he had committed in helping to implement the Nazis’ “Final Solution” to the “Jewish question.” Second (and almost equally important from the Israeli point of view) was the education of public opinion, in Israel and the rest of the world, about the nature and extent of the Nazi extermination of European Jewry. The enormity of the crime was known, but – until the Eichmann trial – there had been rela- tively little public discussion of the legal, moral, and political dimensions of the genocide.”

[5] Ibid, “She was taken aback by what she later described as the sheer ordinariness of the man who had been party to such enormous crimes: Eichmann spoke in endless clichés, gave little evidence of being moti- vated by a fanatical hatred of the Jews, and was most proud of being a “law- abiding citizen.”

[6] Untuk berikutnya saya mengikuti uraian Arendt, Hannah, Eichmann in Jerusalem, Macmillan Company, New York, 1963, hal. 135. “Except for an extraordinary diligence in looking out for his personal advancement, he had no motives at all. And this diligence in itself was in no way criminal; he certainly would never have murdered his superior in order to inherit his post. He merely, to put the matter colloquially, never realized what he was doing.”

[7] Ibid, “He was not stupid. It was sheer thoughtlessness – something by no means identical with stupidity – that predisposed him to become one of the greatest criminals of that period. And if this is “banal” and even funny, if with the best will in the world one cannot extract any diabolical or demonic profundity from Eichmann, that is still far from calling it commonplace.”

[8] Ibid, That such remoteness from reality and such thoughtlessness can wreak more havoc than all the evil instincts taken together which, perhaps, are inherent in man.”

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

22 tanggapan untuk “Hannah Arendt, Banalitas Kejahatan, dan Situasi Indonesia”

  1. Terima kasih atas fresh opini Bapak, sangat membantu mencerdaskan cara berpikir dari beberapa ulasan yang saya terima. Saya sangat tertarik sekali dengan fenomena Evil Things (Kejahatan dan Penderitaan) dalam dunia sekitar kita ini, sering kali tanpa menyadari seseorang telah, sedang dan selalu melakukan kejahatan, mungkin saya juga lho Pak. Apa yang dalam persepsi saya adalah normal masih ada peluang bahwa yang normal itu abnormal he he.
    Dalam dunia ini realitasnya ada Evil Things, buanyak sekali — tapi Pak apa boleh saya bertanya APAKAH DALAM DUNIA INI SESUNGGUHNYA ADA TUHAN sih? Argument Ateolog Natural kadang kala sangat menyakinkan saya.
    Aq rasanya adalah orang yang benar-benar ATHEIS, sudah lama aq tidak beribadah he he setelah aq baca buku GOD,FREEDOM and EVIL – Alvin C Plantinga, apalagi aq tidak suka kemunafikan, aq menjadi orang yang sangat meragukan atas apa katanya orang-orang THE TRUTH, tapi aq juga paling takut mati nih, bagaimana ya?

    Suka

  2. Normal dan abnormal itu masalah mayoritas dan minoritas saja. Jadi tetap bisa berubah. Tuhan itu ada namun memang dia bekerja dengan cara-cara yang berada di luar kemampuan manusia untuk memahaminya. Artinya Dia ada namun tidak melulu dengan cara yang kita kira. Eksistensinya unik. Jangan takut mati. Mati itu alami. Nikmati hidup dan mati dengan bangga.

    Suka

  3. wah udah lama ga main ke blognya mas Reza hehehe. ada satu film yang cukup bagus untuk memvisualisasikan konsep banalitas kejahatan terutama di lingkup fasisme, judulnya the Reader. Kate Winslet, yang saat itu memerankan Hannah Schmidt memberikan kesaksian yang sangat “polos” menurut saya. ketika hakim bertanya, mengapa anda membiarkan sekelompok orang (yahudi) terperangkap dalam gereja yang dibakar? Hannah hanya menjawab, saya adalah seorang penjaga, maka tugas saya adalah memastikan bahwa tidak ada tahanan yang keluar dari gereja, sesuai yang diperintahkan kepada saya 🙂

    Suka

  4. Menurut saya ini interpretasi yang tepat tentang konsep ‘banalitas kejahatan’ milik Arendt, dan saya setuju dengan bagaimana Mas membaca situasi Tragedi Mei ’98 menurut bingkaian teori ini.

    Apakah Mas fasih dengan filsafat Agamben? Karena membaca buku-bukunya, tragedi ini terus terbayang di benak saya. Mas menulis tentang “distorsi persepsi dari pelaku tentang korbannya” dimana “ia tidak melihat orang lain tersebut sebagai manusia, melainkan semata sebagai benda, atau bahkan musuh yang harus dihancurkan.” Kalau saya baca ‘distorsi persepsi’ ini melalui konsep Agamben tentang ‘bare life’ dan ‘state of exception’, maka di mata pelaku, korban (misalnya suku Tionghoa) dilihat bukan sebagai manusia bukan karena ia semata beda atau musuh, tapi karena telah korban tidak lagi mempunyai hak, dimana ‘hak’ adalah ‘milik warganegara’ dan ‘warganegara’ secara esensialis dimengerti sebagai ‘pribumi’.

    Senang mendapati blog ini tanpa sengaja, dan saya akan sering-sering berkunjung 🙂

    Suka

  5. Saya sependapat dengan Pak Mitha dan ada pencerahan juga bagi diri saya. Banalitas Kejahatan dan Filsafat Agamben.

    Saya coba mempersepsikan dalam kaitan Tragedi Kemanusian di Indonesia tahun ’65 yang dimana saat itu saya masih umur 9 tahun dan kebetulan sekali baru kemarin(16 February 2012) saya melihat kembali secara visual kembali tragedi yang telah terjadi — saya subyektif dan obyektif begitu melihat foto beberapa orang yang pernah saya tahu terpenggal dan kepalanya di tusuk seperti sate dan di elu-elukan dan dipertontonkan ke orang banyak dengan rasa bangga dan suka cita, saya pribadi tadi malam sampai pagi tadi masih merasakan “distorsi” dalam pemahaman sampai mimpi buruk kepanjangan he he .

    Saya pribadi lepas dari pemahaman benar atau salah dalam politik, keyakinan dan lain-lainnya — saya adalah orang yang tidak mampu menyembelih kepalanya orang apalagi membuat sate kepala orang, dan kalau bisa di buat studi pembandingan berapa banyak orang yang mampu melakukan sebagai jagal manusia sekaligus sebagai tukang satenya.

    Keyakinan saya adalah adanya “distorsi persepsi” pelakunya akibat dari sesuatu yang saya ngak pernah pahami kenapa.

    Sayang ya mengapa EVIL THINGS ini ada, aq sampai ‘tak paham mengapa ini dibiarka terjadi dalam hidup ini dan mengapa DIA ‘tak mendengar dan menolong–kenapa manusia suka makan manusia yang bagi saya adalah KEKONYOLAN dan KEJAHATAN dan aq bersyukur saya tidak pernah mampu jadi jagal manusia, sampai memotong ayampun aku tidak sanggup dan mau.

    Suka

  6. Saya belum pernah membaca karya-karya Agamben. Arendt sendiri juga bicara tentang hak yang ditempelkan pada konsep warga negara. Artinya hanya warga negara, mungkin lebih sempit lagi, yakni pribumi, yang memiliki hak-hak sebagai manusia. Paradigma semacam ini yang memang perlahan-lahan harus diubah.

    Suka

  7. Dahsyat tulisan ini luar biasa, membuka cakrawala berpikir saya untuk menyikapi keadaan saat ini. Alhamdulillah saat ini saya sedang menjalani prkuliahan di salah satu PTN di Indonesia. Dan saya mengamati cukup banyak perihal kejadian yang ‘nampak’ baik namun nyatanya malah menjerumuskan dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa. Seperti aktivitas di luar belajar (kuliah) yang begitu aktif dan itu dianggap baik, padahal tanpa sadar malah melalaikan kewajiban kita terhadap perkuliahan.

    Ok mudah-mudahan lancar segala urusannya mas.

    Suka

  8. Salam Pak Reza. Saya sedang menyusun Skripsi tentang Banalitas Kejahatan-nya Hannah Arendt. Saya mau nanya, apakah buku “Eichmann in Jerusalem, A Report on the Banality of Evil” yang diterbitkan oleh London: Penguin Book, 1977, sama isinya dengan buku “Eichmann in Jerusalem yang diterbitkan oleh Macmillan Company, New York, 1963” yang Bapak kutip? jika berbeda, bolehkah saya dibantu untuk memperolehnya? Terima kasih Pak. Salam.

    Suka

  9. Salam Pak Reza.
    Saya mau tanya lagi nih, mohon bantuannya:
    berangkat dari argumen arendt tentang eichmann sebagai model sempurna dari kejahatn yg banal, apakah kita boleh juga menyebut bahwa eichmann juga korban dari sistem totalitarisme yg diterapkan Hitler? jika boleh atau tidak, mengapa? (atau adakah buku/artikel yg bisa saya baca utk menjawab pertanyaan ini?)
    Terima Kasih Pak. Salam.

    Suka

  10. Apa yang dimaksud dengan korban? Jika mereka adalah orang-orang tak berdaya, Eichmann tentu bukan korban. Ia adalah orang bebas yang menyerahkan kebebasannya di bawah payung penguasa totaliter.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.