Marx, Kapitalisme, dan Masalah Kepemimpinan

wordpress.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Sekitar dua abad yang lalu, Karl Marx, seorang filsuf asal Jerman di abad 19, sudah meramalkan, bahwa kapitalisme akan mengalami masalah besar. Beberapa ramalannya tidak terjadi. Namun beberapa telah terjadi. Di dalam tulisannya Umar Haque (2011) memberikan beberapa catatan.

Ramalan Marx

Yang pertama Marx menyatakan, bahwa kapitalisme akan memiskinkan kaum buruh. Kaum buruh akan diperlakukan semata sebagai alat, dan akan diekspoitasi habis-habisan oleh para pemilik modal. Gaji akan tetap sementara harga barang-barang kebutuhan akan terus meningkat, dan situasi kerja akan semakin tidak manusiawi.

Inilah yang sekarang ini terjadi. Seperti dicatat oleh Haque, di negara-negara maju, pendapatan per orang hampir tidak bertambah. Sementara harga barang-barang produksi terus bertambah, dan hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang yang memiliki sumber daya ekonomi besar. Bukankah ini yang juga terjadi di Indonesia?

Krisis

Yang kedua Marx meramalkan, bahwa kapitalisme akan mengalami krisis, di mana jumlah barang produksi akan bertambah, sementara daya beli tidak berubah. Yang kemudian terjadi adalah orang-orang akan berhutang; hutang yang belum tentu bisa mereka bayar. Dalam skala global yang terjadi adalah krisis hutang global, seperti sekarang ini.

Marx menyebutnya dengan istilah yang bagus sekali, yakni “kemiskinan di tengah kumpulan orang-orang yang kaya.” Inilah yang sekarang ini terjadi di seluruh dunia. Seperti dicatat oleh Haque, tiga dekade belakangan ini, dunia ditandai dengan krisis global dalam bentuk produksi berlebih, yakni suatu situasi, di mana permintaan (karena lemahnya daya beli) jauh di bawah ketersediaan barang. Yang terjadi adalah orang lalu berhutang untuk menutupi kelemahan daya belinya.

Stagnasi         

Yang ketiga Marx meramalkan akan terjadi stagnasi ekonomi, di mana keuntungan real akan berkurang, karena barang produksi tak laku terjual (lemahnya daya beli masyarakat). Ini pula yang sekarang terjadi.

Sekilas tampaknya Marx salah. Banyak perusahaan mendapatkan keuntungan besar. Namun seperti diingatkan oleh Haque, yang dimaksudkan oleh Marx adalah keuntungan real, bukan hanya sekedar kumpulan data angka yang sebelumnya telah dimanipulasi oleh para akuntan palsu. Inilah yang disebut sebagai keuntungan artifisial yang bertentangan dengan keuntungan real.

Di dalam konsep keuntungan artifisial, keuntungan dipandang sebagai nilai transfer, dan bukan penciptaan nilai. Artinya di atas kertas, nilai suatu perusahaan meningkat. Namun di dalam realitas, perusahaan tersebut tidak memiliki apa yang disebut Michael Porter sebagai nilai yang dirasakan bersama (shared value).

Hal ini juga berarti, tidak ada keuntungan real. Jika banyak perusahaan mengalami ini, maka yang sesungguhnya terjadi adalah stagnasi total. Ekonomi hanya seolahnya tampak maju, walaupun sejatinya stagnan, dan bahkan cenderung menurun.

Keterasingan

Yang keempat Marx juga menyatakan, bahwa kaum buruh, dan pekerja pada umumnya, akan mengalami keterasingan. Mereka terputus secara emosional dan eksistensial dari proses maupun hasil kerjanya. Mereka merasa tak memiliki hasil kerja kerasnya sendiri.

Bekerja lalu menjadi terpaksa. Karena mayoritas hidup manusia diisi dengan bekerja, maka manusia pun menjalani hidup dengan kering dan tak bermakna. Ia menjadi terasing dari pekerjaannya, dari lingkungannya, dan bahkan dari dirinya sendiri. Marx dengan jeli melihat situasi ini di dalam kehidupan kaum buruh abad 19.

Apakah analisis Marx masih berlaku untuk awal abad 21? Jawabannya adalah ya. Bahkan di perusahaan-perusahaan besar, yang memiliki fasilitas luar biasa mewah, situasi kerja seringkali menyesakkan dada. Banyak rapat menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, dan hasilnya seringkali mengecewakan. Tugas-tugas yang harus dijalankan seringkali membuat otak menjadi buntu, dan seringkali linu.

Target yang harus dicapai terkesan tidak realistis, dan membuat orang merasa tertekan. Tak heran banyak pekerja merasa terasing dengan pekerjaannya, lepas dari besar gaji maupun jenis perusahaan tempatnya bekerja. Orang menjadi terasing, merasa tak terlibat, moralnya menurun, tidak termotivasi, dan tidak ada inspirasi di dalam bekerja, maupun hidupnya.

Kesadaran Palsu

Yang kelima Marx juga berbicara soal kesadaran palsu, yakni suatu situasi, di mana orang tidak sadar, bahwa ia sebenarnya sedang ditindas. Di dalam masyarakat kapitalis, kata Marx, kaum buruh mengalami penindasan, tetapi mereka tidak merasakannya sebagai penindasan, dan bahkan merayakan penindasan itu.

Di dalam kajian psikologi, hal ini seringkali disebut sebagai sindrom Stockholm, yakni suatu situasi, di mana korban/tawanan merasakan empati pada pelaku kejahatan. Banyak kaum buruh membela tuannya, walaupun tuannya telah jelas-jelas bersikap tidak adil dan tidak manusiawi terhadap dirinya.

Fetisisme

Yang keenam Marx pernah menulis soal fetisisme komoditas. Obyek fetis adalah sesuatu yang telah dimaknai lebih dari sekedar simbol. Obyek itu diyakini memiliki kekuatan nyata, seperti pada simbol-simbol religius. Sekarang ini barang-barang konsumsi diperlakukan sebagai fetis; dinilai secara berlebih.

Barang-barang konsumsi “menjadi seperti jimat, disembah melalui pertukaran transaksional, dianggap memiliki kekuatan mistik yang memberinya nilai internal, dan salah mengartikan nilai benda itu..” (Haque, 2011) Apakah analisis Marx masih berlaku sekarang? Coba lihat antrian membeli HP, smartphone, ataupun tablet terbaru. Coba lihat kerusuhan di London, di mana orang tidak lagi merampok roti, melainkan video game.

Seperti dicatat oleh Haque, kritik Marx terhadap kapitalisme masih amat relevan sekarang ini. Dan seperti diketahui banyak orang, solusinya adalah dengan melakukan revolusi, mengubah sistem, melenyapkan hak milik pribadi, dan semuanya akan beres. Tentu saja solusi ini tidak masuk akal, karena terlalu banyak korban dan ketidakpastian di dalamnya. Mungkin lebih bijak jika kita mempelajari analisis Marx saja, tanpa terlalu terpikat pada solusi yang diberikannya.

Jadi apa masalah sebenarnya? Mengapa ramalan Marx masih menjadi nyata di abad 21 ini?

Masalah Kepemimpinan

Masalah utamanya adalah kepemimpinan. Saya ingin mengajukan pertanyaan kecil, apa bedanya negara kita dengan negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara? Bedanya hanya satu. Kita memahami teori tetapi tidak menjalankannya, sementara negara-negara maju memahami teori, dan menjalankannya.

Supaya teori bisa dijalankan, bangsa kita butuh kepemimpinan yang kuat. Tentu saja ada banyak aspek yang perlu diperhatikan di dalam kepemimpinan. Saya hanya ingin menyoroti satu hal disini, yakni aspek elegansi di dalam kepemimpinan.

Elegansi kepemimpinan adalah salah satu aspek dari kepemimpinan yang berupa kemampuan untuk mengarahkan “emosi dan reaksi dengan cara yang tidak membuat semua pihak khawatir”, ketika keputusan penting harus dibuat. Itulah pendapat Justin Menkes di dalam artikelnya soal kepemimpinan.

Fokus Diri

Seorang pemimpin bukanlah Tuhan. Ia jelas memiliki kelemahan yang menghambat perkembangan diri maupun kelompok yang ia pimpin. Dalam situasi ini aspek elegansi didorong oleh kesadaran penuh, bahwa kepentingan organisasi lebih tinggi daripada kepentingan pribadi sang pimpinan. Kesadaran ini akan menuntunnya pada fokus diri, yang jelas amat diperlukan untuk memimpin.

Fokus pada apa? Jelas seorang pemimpin harus fokus pada tujuan keberadaan dari organisasinya; jangan campur adukan perusahaan dengan institusi pendidikan, ataupun institusi lainnya yang memiliki tujuan spesifik. Dengan memegang teguh tujuan dari organisasi yang ia pimpin, seorang pemimpin akan bisa terus fokus pada apa yang penting, terutama pada saat krisis melanda.

“Pikiran dan emosi anda akan secara alamiah tersambung pada tujuan yang penting, dan sebagai dampak sampingnya, anda akan melihat bahwa dorongan untuk takut dan panik berkurang banyak,” demikian tulis Menkes. Tujuan keberadaan suatu organisasi bukanlah formalitas belaka, tetapi justru menjadi pegangan untuk tetap bergerak di arah yang benar, ketika krisis melanda.

Bentuk nyata dari fokus diri adalah ketenangan hati. Bahkan di dalam krisis dan stagnasi yang sedang terjadi, senyum dan sapaan ramah bisa membawa dampak yang luar biasa besar bagi moral dan motivasi organisasi. Di dalam masa yang semakin tidak pasti, seperti yang diramalkan oleh Marx (dan terjadi), kemampuan untuk mempertahankan fokus diri pada tujuan yang terpenting, dan kemampuan memberikan inspirasi dari ketenangan hati tidak boleh terlupakan.

Marx boleh saja benar. Analisisnya tajam dan akurat. Namun solusi yang ditawarkan problematis di abad 21 ini. Revolusi beresiko besar dan memakan banyak sekali korban jiwa. Yang mungkin lebih tepat adalah merombak semua aspek kepemimpinan dari organisasi yang ada di dalam masyarakat kapitalis. Dengan mengasah dimensi kepemimpinan, kita bisa keluar dari krisis dan stagnasi global yang tidak hanya merusak dimensi ekonomi, melainkan juga moralitas dan eksistensi kita sebagai manusia.

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

           

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

4 tanggapan untuk “Marx, Kapitalisme, dan Masalah Kepemimpinan”

  1. kapitalisme suatu faham yang tak pernah memperhitungkan maslah sosial,.
    menurut kaca pengamatan karl marx, bahwa sesungguhnya pernan tang terpenting dalam suatu perusahaan adalah buruh bukan para pemodal, karena buruh lah yang menentukan baik tidaknya kualitas dari produk..
    seharusnya para pemodal harus memperdulikan nasib parah buruh, kesejahteraan buruh, bukan malah menindasnya..

    salam kenal pak, saya agus setiawan mhssw fisika ’06 unair..

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.