Agama dan Demokrasi

wordpress.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Indonesia adalah bangsa “pecinta” agama. Hampir semua agama memperoleh pengikutnya disini. Bangsa kita mirip supermarket spiritual, dimana semua bentuk agama dan kepercayaan bertebaran, serta orang bisa memilih sekehendak hatinya. Konsumen utama  agama adalah adalah jiwa-jiwa manusia, dan ketika jiwa seseorang dikuasai, segala yang ada di dalam dirinya pun turut serta.

Orang yang beragama memiliki mental tertentu. Mental ini terwujud di dalam perilaku hidupnya sehari-hari. Kata-kata dan tindakannya lahir dari penghayatan mentalitas semacam ini. Di dalam proses untuk menjadi negara demokratis, apakah mentalitas agama semacam ini cocok dengan mentalitas demokrasi yang ingin kita hayati?

Mentalitas Agama

Salah satu mentalitas agama adalah mentalitas patuh. Orang dituntut untuk patuh pada ajaran agama, tanpa boleh mempertanyakannya. Ajaran agama dianggap sebagai ajaran Tuhan. Kehendak Tuhan pun dapat diketahui melalui para wakilnya di dunia, yakni para pemuka agama.

Inilah yang terjadi di Indonesia. Orang beragama dan patuh pada pemuka agamanya. Bahkan mereka lebih takut pada hukuman agama, daripada hukum positif yang berlaku di masyarakat. Yang kemudian terjadi adalah hukum positif tidak berfungsi, karena orang mengabaikannya. Hidup bersama di antara orang-orang yang berlatar belakang berbeda pun sulit berjalan.

Karena asal patuh maka mayoritas orang yang beragama cenderung tidak berpikir kritis pada ajaran agamanya. Mereka asal terima perintah agama, dan memilih untuk tidak mengunyahnya secara seksama. Orang lebih takut pada neraka yang dibuat oleh agama, daripada penjara yang sudah ada di depan mata.

Inilah yang terjadi di Indonesia. Orang tidak berani mempertanyakan ajaran agamanya. Mereka takut dituduh pengkhianat nista. Mereka takut dikucilkan oleh komunitasnya.

Orang yang beragama juga cenderung mendewakan pemuka agamanya. Disini terjadi pengkultusan individu yang berlebihan. Seolah yang keluar dari mulut pemuka agama adalah sabda Tuhan itu sendiri yang tak mengandung kesalahan. Pemujaan berlebihan semacam ini membuat para pemuka agama merasa kebal hukum dan tak dapat disalahkan.

Sehari-hari kita bisa melihat hal semacam ini terjadi. Jika suatu kasus terkait dengan salah satu pemuka agama tertentu, masyarakat segan menghukum. Seolah para pemuka agama memiliki kekuasaan tertentu yang membuat mereka lebih daripada umatnya. Kekuasaan yang sebenarnya semu, karena mengandung ketidakadilan di dalamnya.

Orang yang beragama juga cenderung sibuk dengan ritual. Mereka sibuk memperhatikan posisi berdoa, daripada motivasi dan kedalaman doa itu sendiri. Pola berpikir mereka jadi amat superfisial dan dangkal. Perilaku dan daya analisis mereka sehari-hari pun juga ikut menjadi dangkal dan superfisial.

Inilah yang terjadi di Indonesia. Daripada sibuk memperbaiki etos kerja dan profesionalitas, orang sibuk mengerjakan kewajiban agamanya yang bersifat formal semata. Spiritualitas keimanan yang mendalam digantikan oleh kesesuaian dengan tradisi yang sudah tak lagi relevan di dunia. Sikap asal patuh, tidak kritis, dan pikiran yang dangkal mewarnai kehidupan kita sehari-hari di Indonesia.

Orang yang beragama juga cenderung malas berpikir. Mereka hanya menggunakan ajaran-ajaran tradisional untuk melihat dunia yang terus berubah. Mereka tidak mau mengubah tolok ukur moral dan penilaian mereka, supaya bisa memahami gejolak jaman yang juga terus berubah. Sikap hidup mereka menjadi tidak kontekstual, dan cenderung primitif.

Kita pun seringkali seperti itu. Kita tidak mau secara kreatif melihat masalah dengan kerangka yang bijak dan relevan. Kita lebih memilih menyandarkan diri pada ajaran tradisi yang tak lagi relevan, atau pada kata pemuka agama yang juga seringkali dangkal dan superfisial. Tak heran orang beragama seringkali bersikap “ketinggalan jaman”.

Demokrasi

Jelas sekali bahwa mentalitas orang beragama di Indonesia tidak cocok dengan mentalitas demokrasi yang menjadi cita-cita bersama. Sikap asal patuh, tidak kritis, mendewakan pemuka agama, superfisial-dangkal, dan malas berpikir di dalam membuat penilaian moral kental di dalam masyarakat kita yang mengaku beragama. Tak heran proses demokrasi di Indonesia bagaikan merangkak nyaris tak bergerak.

Agama di Indonesia suka dengan hirarki. Ada yang lebih suci (pemuka agama), dan ada umatnya yang patuh serta tidak kritis. Di dalam hirarki pun ada hirarki lagi. Padahal demokrasi mengandaikan adanya kultur yang egaliter. Setiap orang setara di hadapan hukum.

Disinilah benturan antara mentalitas orang beragama dengan mentalitas demokrasi yang menjadi cita-cita bersama terjadi. Hirarki dan paham kesetaraan tidak akan pernah bisa berjalan bersama. Mentalitas demokrasi dan mentalitas agama, dalam soal ini, tidak akan pernah bisa cocok.

Agama di Indonesia suka memerintah. Umatnya pun patuh tunduk di depan perintah. Padahal demokrasi mengandaikan sikap kritis terhadap segala sesuatu. Aturan dan hukum harus melalui proses uji kritis seluruh elemen masyarakat di dalam ruang publik.

Sekali lagi kita dapat melihat, bagaimana mentalitas agama bertentangan dengan mentalitas demokrasi. Mentalitas asal patuh dan sikap kritis tidak akan pernah berjalan bersama. Dalam konteks ini saya berani menyatakan dengan lugas, bahwa mentalitas agama cenderung menghambat perkembangan demokrasi di Indonesia.

Orang beragama cenderung mendewakan pemuka agamanya. Apa yang keluar dari mulut para pemuka agama dianggap benar tanpa dipertanyakan. Padahal prinsip dasar demokrasi adalah verifikasi. Segala sesuatu harus diperiksa secara kritis dan seksama, lepas dari siapa yang orang yang mengatakan, atau yang mengeluarkan kebijakan.

Jelaslah mentalitas mendewakan pemuka agama tidak bisa sejalan dengan mentalitas demokrasi yang mengedepankan verifikasi. Yang satu tidak bisa ada, jika yang lain tetap berkuasa. Kita harus mengambil sikap, apakah akan menjadi bangsa beragama yang tidak relevan, atau menjadi bangsa yang demokratis dan bertujuan untuk menciptakan keadilan serta kemakmuran bagi seluruh warganya. Sekali lagi; keduanya tidak bisa berjalan bersama.

Orang beragama di Indonesia suka sekali ritual. Mereka tidak fokus pada apa yang menjadi substansi dari ritual tersebut. Akibatnya sikap beragama mereka jadi dangkal. Padahal demokrasi amat mengedepankan nilai-nilai substansial kehidupan, seperti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Demokrasi bukan hanya prosedur, tetapi juga cara hidup.

Mental pecinta ritual tidak cocok dengan mental demokrasi yang menghayati nilai-nilai substansial kehidupan. Keduanya tidak dapat ada berbarengan. Orang yang mencintai ritual, tanpa menghayati spiritualitas di belakangnya, cenderung berpikiran dangkal. Orang semacam ini sulit untuk bisa hidup di dalam demokrasi yang kental dengan kebebasan, keadilan, dan kesetaraan antar manusia.

Orang yang beragama cenderung melihat segala sesuatu dari kaca mata agama. Padahal ajaran agama dibuat ratusan (bahkan ribuan) tahun yang lalu. Dunia sudah berubah dan banyak ajaran yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Lagi pula ada banyak agama di Indonesia yang memiliki ajaran berlainan.

Padahal demokrasi mengandaikan adanya perubahan tata moral di dalam menyingkapi masalah jaman. Demokrasi mengandaikan adanya diskusi antar orang untuk memecahkan masalah yang relevan. Orang tidak akan bisa diajak berdiskusi tentang beragama masalah yang ada, jika ia hanya berpegang pada ajaran agamanya yang seringkali sudah ketinggalan jaman. Demokrasi mengandaikan kemauan untuk berubah, serta keterbukaan cara berpikir.

Tegangan ini terjadi di Indonesia. Dan jelas dapat dikatakan, bahwa mentalitas demokrasi yang mengedepankan diskusi yang bebas dan rasional tidak cocok dengan mentalitas agama yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang ajaran agamanya masing-masing secara tradisional. Mungkinkah hambatan terbesar proses demokratisasi di Indonesia adalah mentalitas agama?

Dasar dari demokrasi adalah hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia, semata karena ia adalah manusia, lepas dari kewarganegaraannya, status ekonominya, maupun latar belakang lainnya. Seringkali ada konflik antara HAM dengan ajaran agama, seperti dalam soal perpindahan agama.

Dari kaca mata HAM, perpindahan agama adalah hak asasi. Orang bebas memilih agama yang memberi makna bagi hidupnya. Sementara dari kaca mata mayoritas agama di Indonesia, perpindahan agama adalah suatu tindakan murtad. Hukumnya cuma satu yakni masuk neraka.

Jelaslah dalam banyak hal, HAM dan mentalitas agama di Indonesia tidak bisa berjalan berbarengan. Yang satu tidak bisa ada, jika yang lain tetap ada. Salah satu harus ada yang berubah, jika ingin tetap ada bersama. Yang manakah yang siap berkorban?

Mengubah Wajah

Cita-cita kita sebagai bangsa adalah menciptakan masyarakat demokratis yang adil dan makmur. Di dalamnya setiap orang hidup dalam kebebasan, kesetaraan, keadilan, serta kemakmuran, lepas dari status ataupun latar belakangnya. Sementara di sisi lain, kita adalah bangsa “pecinta” agama. Ajaran agama merasuk ke dalam berbagai dimensi kehidupan bangsa kita.

Sebelumnya sudah saya jabarkan, bagaimana mentalitas agama sulit sekali berjalan bersama dengan mentalitas demokrasi. Solusi untuk hal ini cuma satu, yakni wajah agama haruslah berubah dengan memberikan ruang untuk sikap kritis, pertimbangan rasional, keterbukaan pada ajaran lain, kebebasan umatnya, dan perubahan tata moral, supaya selalu bisa menanggapi perkembangan jaman secara bijak. Beragam agama di Indonesia harus lebih demokratis, dan memberi ruang untuk hak-hak asasi manusia universal.

Kita harus lebih proporsional dalam soal beragama. Sikap kritis tetap perlu, supaya perilaku beragama kita tetap rasional, sehat, manusiawi, dan bijaksana. Hanya dengan mengubah wajahnya, beragam agama di Indonesia bisa mendorong bangsa kita menjadi masyarakat demokratis yang adil, makmur, dan bebas untuk semua warga.

Beragam agama harus hidup bersama dengan hak-hak asasi manusia sebagai payungnya. Beragama agama tersebut harus saling membantu satu sama lain, supaya bisa mencapai kemakmuran dan keadilan bersama. Hanya dengan begitu masyarakat demokratis yang kita inginkan bisa tercipta. Tidak ada pilihan lain.

Sekali lagi; agama-agama di Indonesia harus mengubah wajahnya.***

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

4 tanggapan untuk “Agama dan Demokrasi”

  1. alam (minus orang) dan masyarakat memang memang tengah bergulat dengan produk-produkNya. agama dan demokrasi adalah dua dari sekian banyak hal rumit bagi kita. sebagai orang awam, egaliter adalah produk harapan dari demokrasi, dan figur taqwa adalah harapan dari agama. setahu saya jika seseorang taat, baik terhadap agama atau norma masyarakat/pemerintah, figur itu akan menjadi senyawa dari yang dominan. seperti tetes keringat yang tercebur di laut, ember air, atau air di manapun ia berada. maka ia akan langsung menjadi bagian besar dari senyawa itu. pasti sungguh indah jika ritual telah telah membersihkan batang ferit spiritual dalam diri dan semesta. hingga ia mendengung, yang bisa kita sebut iman.
    dalam keseharian,
    misal di hari pertama masuk sekolah.
    pagi ini saya melihat banyak tanaman yg pada kekeringan atau hampir mati, tanah kering, daun kering berserakan bercampur plastik, kegiatan pembakaran benda kering dilakukan di malam hari agar tak terlihat oleh orang umum. tentu saja kekeringan ini terjadi di mana-mana. baik yang tampak mata dan dan tak tampak mata. padahal visi dari tempat ini membangun figur yang beriman dan bertaqwa. didukung dengan biaya besar dari segenap pemegang saham. daun tetap kering! (tak ada yang taat atau yang egaliter!)

    Suka

  2. Terima kasih atas tanggapannya. Saya setuju dengan anda. Di Indonesia jarang sekali ada yang sungguh taat dengan hati, atau mengedepankan mentalitas egaliter di dalam kesehariannya. Saya juga setuju dengan anda, bahwa egaliter dan sikap taat bisa jalan bersama, asal ada kedalaman iman dan kebijaksanaan di dalamnya.

    Suka

  3. Asal ente tau ya…… Sistem demokrasi itu setan gila.. demos = setan, kratos/crazy = gila…….jadi orang yg mengelu2kan demokrasi semakin gila..hehe

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.