Calo

lidahibu.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Kehadirannya dibenci tetapi juga dirindukan. Orang mencari dan menistanya secara bersamaan. Kutuk dilontarkan. Namun ia tetap ada, karena masyarakat seolah tetap “membutuhkan”. Itulah calo.

Ketika sibuk dengan pekerjaan, orang mencari calo untuk membantu mengurus SIM (Surat Ijin Mengemudi) mereka. Ketika tak mau pusing mengantri di pengadilan, orang mencari calo untuk bersidang mewakili mereka. Bahkan para politisi yang tak mau kotor bermanuver mencari pendukung di akar rumput menggunakan calo untuk memperbesar kuasa.

Mempermudah

Bagi beberapa orang kehadiran calo mempermudah urusan. Semua jadi cepat dan tak merepotkan. Cukup membayar dengan uang, urusan pun terselesaikan. Hidup seolah jadi lebih gampang.

Itulah yang terjadi di Indonesia. Di tengah rimba birokrasi yang tidak efisien, kehadiran calo menjadi amat diperlukan, supaya segala urusan berjalan sesuai rencana. Di berbagai bidang kehidupan di Indonesia, kita dapat dengan menemukan mereka; para calo yang seringkali tersamarkan oleh seragam dan lencana.

Pada jangka pendek kehadiran calo mempermudah segala hal. Pada jangka pendek kehadiran calo adalah berkah. Namun pada dasarnya calo adalah sebentuk tindak korupsi, karena terjadi penyalahgunaan jabatan di jajaran birokrasi untuk meraup keuntungan pribadi, terutama di bidang-bidang yang “basah”. Pada jangka pendek itu terlihat menguntungkan, namun tidak demikian, jika kita mau berpikir secara sistemik, dan melihat jangka panjangnya.

Merusak

Kehadiran calo merusak wibawa birokrasi. Birokrasi kehilangan integritas moralnya, dan dianggap sepele oleh masyarakat. Padahal masyarakat kita amat berpijak pada birokrasi sebagai sistem untuk menyangganya. Jika birokrasi kehilangan wibawa dan dianggap korup, maka penyangga masyarakat pun juga goyah. Lalu orang hidup dalam ketidakpastian dan kecemasan.

Itulah yang terjadi di Indonesia. Sistem birokrasi dianggap pincang dan tak punya standar moral yang memadai. Calo bertebaran di berbagai bidang, tanpa ada usaha tegas untuk melenyapkannya. Untuk mengurus KTP pun orang harus merasa resah dan cemas, karena biayanya yang dikeluarkan tidak pasti, dan prosesnya pun tidak pasti.

Pada jangka panjang kehadiran calo merusak sistem birokrasi yang menyangga masyarakat kita. Masyarakat lalu hidup dalam kecemasan dan ketidakpastian, sehingga rasa bahagia pun jauh dari genggaman jiwa. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik menurun. Jika keresahan, kecemasan, dan ketidakpastian sosial meningkat, konflik pun tidak dapat dihindarkan.

Demokrasi Calo

Demokrasi kita adalah demokrasi calo. Prosedur baku yang adil tidak ada. Calon pun lahir mengisi kekosongan, dan meninggalkan lubang di dalamnya. Mulai dari pemilu sampai membayar listrik, calo bertebaran menebarkan pesonanya. Kemudahan jangka pendek bermuara pada kerusakan moral yang bersifat sistemik, yang amat sulit untuk dibongkar akarnya.

Tak heran masalah sosial amat sulit terselesaikan di Indonesia. Birokrasi kita bolong karena calo menyelinap dan menggerogoti di dalamnya. Sistem demokrasi yang dijalankan kehilangan roh perwakilan dan partisipasi rakyatnya, dan berubah menjadi demokrasi calo yang mengedapkan suap rupiah belaka. Kita hidup di dalam ketidakpastian politik, karena calo, mulai dari level preman parkir, calo penempatan TKI, sampai calo pemilu,  bertebaran dimana-mana.

Bahkan keanggotaan partai pun diperjualbelikan. Calo politik menjualnya kepada penawar tertinggi yang siap menggelontorkan rupiah terbesar. Tak heran juga kualitas partai politik kita menyedihkan. Mereka tak punya ideologi, integritas, dan kepemimpinan. Yang tersisa hanya kepentingan jangka pendek yang dipertahankan oleh para calo yang “terhormat”.

Dalam pendidikan para calo juga bertebaran. Mereka menarik uang tanpa mengindakan peraturan. Orang tua murid pusing dibuatnya. Pemerintah berusaha membasmi namun tetap sia-sia, karena para calo sudah menjadi benalu agung di dalam birokrasi pendidikan kita.

Reformasi Birokrasi

Calo bisa ada karena kita yang membuatnya ada. Kita mengutuknya tetapi diam-diam menggunakannya. Untuk itu kita perlu mengubah cara berpikir yang ada. Kita harus mau repot berurusan langsung dengan birokrasi terkait, tanpa menggunakan calo. Calo adalah godaan yang menguntungkan kita untuk jangka pendek, tetapi merusak bangsa pada jangka panjang (bahkan sekarang sudah amat terasa kerusakannya).

Namun reformasi birokrasi harus tetap dijalankan. Birokrasi harus memudahkan urusan, sehingga orang tak merasa cemas dan tidak pasti, ketika berurusan dengannya. Prosedur pembuatan KTP sampai penempatan TKI harus dibuat efisien, tegas, adil, dan transparan. Hanya dengan begitu calo bisa dilenyapkan, dan kita tidak lagi hidup dalam kecemasan serta ketidakpastian.

Hidup sudah sulit. Jangan sampai dibuat lebih sulit oleh birokrasi yang mencekik leher. Jangan sampai karena birokrasi yang lambat dan korup, kita berpaling pada calo untuk mempermudah segala urusan. Jangan sampai. Taruhannya terlalu besar.***

Penulis adalah Dosen Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

2 tanggapan untuk “Calo”

  1. calo dalam kantor hampir sama dengan tikus dalam kantor. masyarakat atau properti negara tidak terdigitalisasi maka mereka banyak dimanipulasi. contohnya warga negara, mana yang mesti disubsidi dan mana yang mesti membantu tak jelas. mudah saja tulisan “bbm ini untuk warga kurang mampu”, dengan cara apa pertamina bisa kontrol pembelinya.

    ada contoh yg luar biasa, yaitu cara canggih mengelola pulsa dan uang di atm. jika orang memiliki nomor-nomor unik seperti yg tertanam dalam mesin atm atau telepon dan kartunya. saya yakin pemerintah mudah mengelola warganya. jika urusan ktp diurus dgn teknologi yg dipasang di satelindo atau telokomsel dan lainnya. maka tak ada ktp ganda, negara mudah bagi “pulsa” atau bantuan kepada warga. dst…dst…..

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.