Tuhan dan Uang (Part 1)

wordpress.com

Membaca Ulang Pemikiran Max Weber tentang

Etos Protestantisme dan Semangat Kapitalisme

serta Relevansinya untuk Indonesia Abad ke-21

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

(Diajukan sebagai Materi Extension Course Filsafat Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya dengan tema “TUHAN DAN UANG: MEMIKIRKAN ULANG HUBUNGAN ANTARA TUHAN DAN UANG” Agustus-Desember 2011.)

            Di dalam tulisan ini, saya akan mengajak anda memikirkan ulang hubungan antara semangat kapitalisme, yang berupa penumpukan modal tanpa batas, dan etos kerja agama Kristen Protestan, sebagaimana dianalisis oleh Max Weber, serta menarik relevansinya untuk memahami situasi Indonesia di abad ke 21. Untuk itu saya akan membagi tulisan ini ke dalam lima bagian.

Awalnya saya akan memperkenalkan sosok Max Weber, filsuf dan sosiolog ternama Jerman di abad ke 18. Untuk bagian ini saya banyak terbantu dari Stanford Encyclopedia of Philosophy. (1) Berikutnya saya akan menjabarkan latar belakang pemikiran Weber tentang hubungan antara Protestantisme dan kapitalisme. Untuk ini saya mengacu pada tulisan Anthony Giddens. (2) Lalu saya akan membahas hubungan antara kapitalisme dan etos Protestantisme di dalam tulisan asli Weber yang berjudul The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism. Pada bagian ini saya banyak terbantu oleh tulisan Kieran Allen tentang Max Weber. (3) Kemudian saya juga akan menyinggung beberapa pemikiran Weber tentang tema yang sama, namun ada di dalam buku-buku lainnya, sebagaimana dibaca oleh Anthony Giddens. (4) Tulisan ini akan ditutup dengan beberapa catatan kritis saya terhadap pemikiran Weber, sekaligus relevansi pemikiran Weber untuk memahami situasi Indonesia di abad 21. (5)

1. Max Weber

            Nama lengkapnya adalah Karl Emil Maximilian Weber. Ia lahir pada 1864, dan meninggal pada 1920.[1] Ia lahir di Erfurt, Thuringia, Jerman. Ia lahir dan bertumbuh di keluarga pedagang dan industrialis di bidang tekstil. Tidak hanya itu keluarganya juga memiliki pengaruh besar di bidang politik maupun akademik pada masa itu. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa Weber lahir dan bertumbuh di keluarga yang amat makmur, dan memiliki pengaruh politik maupun budaya (akademik) yang amat besar di Jerman. Ia pun harus memilih, apakah akan menjadi seorang politikus yang gemerlap dengan kekuasaan, ataukah menjadi seorang ilmuwan yang hidup dalam kesunyian, guna mengembangkan pengetahuan?

            Weber melanjutkan studi di kota Heidelberg dan Berlin. Ia menekuni bidang hukum, dan mengembangkan penelitian di bidang Hukum Romawi serta sejarah agraria.[2] Setelah itu ia bekerja sebagai praktisi hukum dan pengawai negeri, walaupun hanya sebentar. Pada saat yang sama, ia memperoleh tugas untuk melakukan penelitian soal penindasan para pemilik modal Polandia terhadap petani Jerman. Hasil penelitiannya menimbulkan gejolak politik, sekaligus pujian dari berbagai kalangan. Ia pun diangkat sebagai salah satu profesor di Universitas Freiburg. Tak lama setelah itu, ia mendapatkan kedudukan tetap sebagai profesor di bidang ekonomi politik di Universitas Heidelberg.

            Istri dari Weber bernama Marianne. Ia sendiri adalah seorang intelelektual aktivis, terutama soal pembelaan hak-hak kaum perempuan.[3] Bersama Weber ia mendirikan “Lingkaran Weber” yang menarik banyak kaum intelektual pada masa itu untuk bergabung. Diantaranya adalah Georg Jellinek, Ernst Troeltsch, Werner Sombart, Marc Bloch, Robert Michels, dan György Lukács. Pengaruh publik maupun politisnya semakin besar. Ia semakin dikenal sebagai seorang analis politik ekonomi yang brilian, sekaligus seorang intelektual publik. Semua gelar terhormat ini dibarengi dengan reputasinya sebagai seorang intelektual yang tempramen dan tak dapat ditebak.

            Pada suatu hari di 1896, Weber bertengkar keras dengan ayahnya. Tak lama kemudian ayahnya meninggal. Kematiannya begitu mendadak. Ini amat mempengaruhi Weber. Ia pun jatuh sakit. Semua kegiatannya sebagai dosen dan peneliti terhenti. Bahkan ia tidak lagi mengajar pada 1903, dan baru kembali pulih pada 1919. Krisis besar dalam hidupnya ini mengubah arah maupun minat penelitiannya.[4] Ia pun berpaling untuk mempelajari filsafat dan agama. Salah satu karya terbesarnya setelah ini adalah The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism yang akan saya bahas secara detil di dalam tulisan ini.  Pada masa yang kurang lebih sama, ia menjadi kepala penyunting Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, dan berhasil membawanya menjadi jurnal ilmiah yang memiliki pengaruh akademik luas.

            Pengaruh politik Weber pun meningkat, terutama setelah Jerman kalah pada perang dunia pertama. Ia diminta pendapat untuk berbagai keputusan politik, dan bahkan diminta untuk menduduki beberapa jabatan publik. Namun ia tak bahagia. Ia pun kembali ke dunia akademik, dan melakukan penelitian besar di tiga bidang, yakni sejarah ekonomi, ilmu politik, metodologi penelitian sosial, dan sosiologi agama. Tema terakhir ini membawa nama Weber sebagai salah seorang pemikir besar di dalam sejarah filsafat maupun sosiologi. Semua ini berakhir pada 1920, ketika Weber meninggal di usianya yang kelima puluh enam tahun, karena pneumonia.[5]

2. Epistemologi dan Metodologi Pemikiran Weber

            Max Weber hidup di Jerman pada akhir abad ke-19. Pada waktu itu sebagaimana diamati oleh Anthony Giddens,[6] situasi ilmu pengetahuan amat berbeda dengan sekarang.[7] Kajian-kajian yang dilakukan di bidang politik, ekonomi, sosiologi, maupun filsafat memiliki ciri yang amat khas, jauh berbeda dari situasi ilmu pengetahuan di Jerman abad ke-21. Pada masa itu di Inggris, paradigma yang banyak berkembang adalah utilitarisme yang dirumuskan oleh J.S Mill.[8] Marxisme dan idealisme dari baru berkembang di Inggris di awal abad ke 20. Seperti ditegaskan oleh Giddens, utilitarisme yang dirumuskan Mill memiliki roh positivisme yang amat kuat. Bahkan Giddens menulis begini, “Mill adalah seorang murid terbaik dari positivisme Comtian di Inggris.”[9]

            Sementara bagi Giddens positivisme, sebagaimana dipahami oleh Comte sebagai paham yang berpendapat, bahwa pengetahuan manusia harus selalu berpijak pada fakta positif yang dapat diindera, tidak pernah mendapatkan tempat yang cukup kuat di Jerman.[10] Pengaruh Wilhelm Dilthey dengan Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu manusia, ilmu-ilmu moral yang bersifat humanistik)-nya jauh lebih besar di Jerman.[11] Dilthey melihat pembedaan tegas antara ilmu-ilmu alam yang menggunakan pendekatan menghitung untuk kontrol, dan ilmu-ilmu moral ataupun sosial yang menggunakan pendekatan untuk memahami realitas sosial.[12] Giddens berpendapat bahwa ilmu-ilmu manusia (moral dan sosial) di Jerman berakar pada tradisi hermeneutika yang memang amat dekat dengan tradisi idealisme Jerman. Diantaranya adalah pemikiran Kant, Hegel, Fichte, Schelling, dan bahkan Marx.[13]

            Apa ciri dari tradisi hermeneutika ini? Bagi Giddens ada satu ciri yang amat mendasar, yakni pembedaan tegas antara ilmu pengetahuan alam yang mempelajari alam natural, dan ilmu-ilmu sosial maupun moral yang ingin memahami manusia. “Sementara kita bisa menjelaskan peristiwa-peristiwa alam dengan hukum sebab akibat,” demikian tulisnya, “perilaku manusia secara intrinsik bermakna, dan harus ditafsirkan atau dipahami dengan cara yang berbeda dari peristiwa-peristiwa alam.”[14] Setiap perilaku manusia selalu didasarkan pada konteks sejarah. Tidak hanya itu pengaruh kultural pun selalu tertanam di dalam lintasan sejarah tersebut. Maka ada dua panggung yang perlu diperhatikan, ketika kita ingin memahami perilaku manusia; yakni panggung konteks sejarah dan konteks kultural yang menjadi latar belakangnya. Makna dari tindakan ataupun perilaku manusia lahir dari dua konteks tersebut.[15]

            Weber setuju dengan hal ini. Baginya sejarah adalah sesuatu yang amat penitng di dalam ilmu-ilmu sosial. Sejarah menjadi panggung yang membuat semua perilaku manusia bermakna. Ia juga setuju bahwa fokus dari ilmu-ilmu manusia (moral dan sosial) bukanlah menghitung dan mengontrol manusia, melainkan mendekati untuk memahami realitas dirinya. Di dalam proses ini, searah dengan Dilthey, Weber yakin, bahwa peran intuisi dan empati amatlah penting. Inilah yang dimaksud dengan metode hermeneutik-interpretatif di dalam ilmu-ilmu sosial untuk memahami manusia.  Perilaku manusia tidak bisa dipahami dengan menggunakan model pendekatan sebab akibat yang umum digunakan di dalam ilmu-ilmu alam. Seluruh epistemologi (dasar pengetahuan) dan metodologi (cara mendekati realitas untuk memperoleh pengetahuan) Weber, menurut Giddens, dapat dilihat dalam satu kalimat berikut; sebuah usaha untuk menyediakan konteks sejarah bagi setiap penelitian tentang manusia, yang digabungkan dengan kepekaan pada konteks kultural yang beragam, dan dengan penekanan pada faktor-faktor material yang ada di masyarakat.[16]

            Dengan latar belakang seperti itulah Weber kemudian mendalami Marxisme dan filsafat pada jamannya. Bahkan seperti dikatakan oleh Giddens, Weber terlibat dengan kelompok pemikiran Marxis progresif pada jamannya, yang berusaha menerapkan ide-ide Marx dalam konteks politik yang lebih praktis.[17] Fokus kajiannya lebih pada fenomena kapitalisme, terutama kapitalisme Eropa pada masa itu, dan logika yang bergerak di belakangnya.[18] Dalam konteks inilah sebagaimana dilihat Giddens, Weber melakukan kritik pada Marx; bahwa fenomena kapitalisme bukanlah fenomena universal umat manusia, melainkan fenomena yang sudah selalu tertanam pada satu konteks kultural tertentu.[19] Dengan titik tolak semacam ini, ia memasuki analisis tentang etos, semangat, dan bahkan roh yang mendorong lahirnya kapitalisme Barat di Eropa.

Bersambung…..


[1] Untuk bagian ini saya mengacu pada http://plato.stanford.edu/entries/weber/#LifCar diakses pada Jumat 24 Juni 2011.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Tulisan ini mengikuti alur tuturan Giddens di dalam pendahuluan buku Weber, Max, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Routledge, London, 2005 (asli 1920), hal. vii-xxiv.

[7] Untuk melihat konteks sejarah Jerman pada masa itu, anda bisa membaca,

[8] Lihat kajian yang amat menarik dari Crisp, Roger, Mill on Utilitarianism, Routledge, London, 1997.

[9] Giddens, Anthony, (intro), Weber, Max, The Protestant Ethic…, hal. ix.

[10] Untuk memahami arti positivisme sebagaimana dirumuskan oleh Comte, anda bisa melihat buku Gane, Mike, Auguste Comte, Routledge, London, 2006.

[11] Lihat sekelumit tentang hermeneutika Wilhelm Dilthey di dalam Prasetyono, Emanuel, “Manusia sebagai Peziarah Makna”, dalam Wattimena, Reza A.A., Membongkar Rahasia Manusia, Kanisius, Yogyakarta, 2010, hal. 21-29.

[12] Lihat pemaparan tentang sisi positif maupun negatif positivisme di dalam Budi Hardiman, F., Melampaui Positivisme dan Modernitas, Kanisius, Yogyakarta, 2003.

[13] Pemaparan saya tentang Immanuel Kant yang juga dikenal sebagai “bapak” Idealisme Jerman dapat dilihat di Wattimena, Reza A.A., Filsafat Kritis Immanuel Kant, Evolitera, Jakarta, 2010. Anda juga bisa melihat pemaparan tentang Idealisme Jerman dalam konteks situasi kontemporer di Hammer, Espen (ed), German Idealism, London, Routledge, 2007.

[14] Giddens, Anthony, (intro), Weber, Max, The Protestant Ethic…, hal. ix.

[15] Pemaparan saya tentang keterkaitan antara jati diri dan kultur dapat dilihat di Wattimena, Reza A.A., “Menebar Garam di Atas Pelangi; Self, Kultur, dan Multikulturalisme”, Evangelisasi; Menebar Garam di Atas Pelangi, WINA Press, Madiun, 2010, hal. 93-116.

[16] Giddens, Anthony, (intro), Weber, Max, The Protestant Ethic…, hal. ix.

[17] Lihat uraian tentang pemikiran Marx dalam Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx, Gramedia, Jakarta, 1999.

[18] Lihat pemaparan mendasar soal kapitalisme dalam Thrift, Nigel, Knowing Capitalism, London, Sage, 2005

[19] Giddens, Anthony, (intro), Weber, Max, The Protestant Ethic…, hal. x.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

3 tanggapan untuk “Tuhan dan Uang (Part 1)”

Tinggalkan Balasan ke nu

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.