Tak Lupa

wordpress.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

             Saat ini Indonesia tengah mengalami krisis kepemimpinan. Di berbagai sektor kehidupan sangat sulit dijumpai seorang pimpinan yang bisa sungguh mengarahkan organisasi yang dipimpinnya untuk mencapai kegemilangan secara manusiawi. Yang banyak ditemukan adalah pemimpin yang permisif. Mereka mencari popularitas dengan bersikap ramah dan baik, namun tidak memiliki ketegasan untuk membuat keputusan. Akibatnya organisasi menjadi tidak memiliki arah yang jelas, dan ketidakpastian menghantui aktivitas organisasi tersebut. Dalam hal ini negara dan masyarakat bisa dipandang sebagai sebuah organisasi yang, juga, mengalami krisis kepemimpinan.

            Juga jamak ditemukan seorang pemimpin yang bersikap otoriter terhadap pihak-pihak yang dipimpinnya. Ia memimpin tidak dengan persuasi dan argumentasi, melainkan dengan arogansi dan, jika perlu, kekerasan fisik. Kepemimpinan dengan pola semacam ini bisa ditemukan mulai dari organisasi adat, agama, sampai dengan birokrasi bisnis modern, seperti di kantor. Motivasi sang pimpinan adalah mencapai kegemilangan organisasi dengan menekan para pekerja, sehingga mereka bisa memeras tenaga dan pikiran demi kepentingan organisasi. Ironisnya tujuan tersebut (kegemilangan) tidak akan pernah tercapai. Ini juga merupakan satu bentuk krisis kepemimpinan.

            Dewasa ini suatu organisasi, sama juga seperti masyarakat, terdiri dari banyak orang yang memiliki latar belakang yang begitu beragam. Di dalam teori-teori sosial, keberagaman latar belakang ini disebut juga sebagai masyarakat atau organisasi multikultur. Pola kepemimpinan yang cukup tepat digunakan untuk menata organisasi ini pun juga khas. Yang pasti pola kepemimpinan permisif dan otoriter yang sudah disinggung sebelumnya sama sekali tidak tepat untuk menata organisasi multikultur. Yang diperlukan adalah pola kepemimpinan multikultur, yakni kepemimpinan yang sungguh mengakui dan mengembangkan berbagai kultur dari pihak-pihak yang dipimpin. Pengakuan dan pengembangan kultur menuntut pengetahuan yang mendalam terhadap beragam kultur yang ada di masyarakat. Untuk itu seorang pemimpin perlu untuk belajar sejarah dan memahami ingatan kolektif pihak-pihak yang dipimpinnya.

            Di dalam tulisan ini, saya ingin mengajukan argumen, bahwa kepemimpinan multikultur haruslah berpijak pada pengetahuan dan pemahaman akan ingatan kolektif yang tepat dari pihak-pihak terkait. Ada dua konsep dasar yang perlu diperjelas terlebih dahulu, yakni kepemimpinan multikultur dan ingatan kolektif.  Untuk itu saya akan membagi tulisan ini ke dalam tiga bagian. Awalnya saya akan menjabarkan makna dari kepemimpinan (leadership), terutama kepemimpinan multikultur (1). Pada bagian berikutnya saya akan menjabarkan makna dari konsep ingatan kolektif (2). Kemudian saya akan mencoba merumuskan sintesis teoritis dan praktis antara konsep kepemimpinan multikultur dan konsep ingatan kolektif. Bagian ini juga merupakan kesimpulan dari seluruh tulisan ini (3). Sebagai acuan utama saya menggunakan penelitian Zaleznik, Bordas, dan Assmann tentang kepemimpinan multikultur dan ingatan kolektif.

1.Kepemimpinan Multikultur

            Abraham Zaleznik[1] menulis artikel yang sangat menarik di dalam Harvard Business Review. Ia mencoba membandingkan pemimpin dan manajer. Setiap masyarakat memiliki tipe idealnya sendiri tentang pemimpin. Di dalam praktek organisasi modern, pemimpin disamakan dengan manajer. Namun “selagi memastikan kompetensi, kontrol, dan keseimbangan kekuasaan…”, demikian tulis Zaleznik, “kepemimpinan manajerial sayangnya tidak merangsang imajinasi, kreativitas, ataupun perilaku etis…”[2] Manajer terlalu berfokus pada kontrol dan birokrasi. Fokus yang berlebihan tersebut akan secara bertahap namun pasti mematikan kreativitas dan imajinasi, yang sesungguhnya sangat penting untuk kemajuan organisasi.

            Kepemimpinan adalah suatu upaya menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan orang lain. Maka sosok pemimpin adalah sosok yang berkuasa. Menurut Zaleznik kekuasaan tersebut selalu mengandung resiko. Ada dua resiko yang, menurut saya, patut diperhatikan. Pertama, banyak pemimpin mengira, bahwa kekuasaan itu otomatis memproduksi hasil langsung yang nyata. Pemimpin yang berkuasa diharapkan untuk segera menyelesaikan persoalan, atau memenuhi tujuan tertentu. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Pemimpin yang diharapkan langsung menyelesaikan masalah justru bisa mengancam kejernihan dan integritas sang pemimpin tersebut.

            Kedua, pemimpin mudah sekali tergoda untuk memperbesar kekuasaannya, dan menyalahgunakannya untuk kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan awal. Inilah penyakit klasik yang cukup banyak dialami oleh para pemimpin di dalam sejarah. Dua bentuk resiko ini juga dapat ditemukan, menurut Zaleznik, di dalam organisasi modern, seperti bisnis, pemerintahan, sekolah, universitas, maupun rumah sakit. Dalam arti ini organisasi dapat dipahami sebagai, “sistem, yang memiliki logika pada dirinya sendiri, dan semua beban dari tradisi…”[3] Sistem tersebut semakin kokoh. Pemimpin di dalam organisasi modern pun kini disebut sebagai manajer.

Menurut Zaleznik organisasi modern, dengan manajer sebagai pimpinannya, menekankan kultur rasionalitas dan kontrol. Dalam arti ini manajer adalah orang yang mengatur semua sumber daya yang ada untuk mencapai satu tujuan tertentu. “Seorang manajer”, demikian tulisnya, “adalah orang yang penyelesai masalah (problem solver).”[4] Dalam arti ini kepemimpinan disempitkan melulu menjadi usaha untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis. Hal-hal praktis tersebut dapat diselesaikan, jika manajer, dan semua sumber daya yang dimilikinya, mampu bekerja secara efektif dan efisien. “Tidak diperlukan seorang jenius ataupun sikap pahlawan untuk menjadi seorang manajer”, demikian Zaleznik, “melainkan konsistensi, keteguhan pikiran, kerja keras, kecerdasan, kemampuan analitis, dan mungkin yang terpenting, toleransi dan kehendak baik.”[5]

Namun menurut Zaleznik di dalam organisasi modern, pemimpin berubah menjadi manajer yang cara berpikirnya birokratis. Manajer semacam ini mempercepat tumbuhnya kultur birokratis di dalam organisasi modern, yang nantinya juga menjadi penghambat kreativitas. Jika sampai politik dan pendidikan menjadi birokratik, maka roh yang mendasari keduanya akan terkikis. Yang tercipta adalah prosedur politik tanpa semangat demokratis, dan prosedur pendidikan yang dikosongkan dari pencerahan ataupun kemanusiaan. Kiranya itulah yang dikhawatirkan oleh Zaleznik.

            Di samping orientasi pada kreativitas dan dinamika organisasi, Juana Bordas, di dalam bukunya yang berjudul Salsa, Soul, and Spirit: Leadership for a Multicultural Age,[6] menambahkan, bahwa para pimpinan dan manajer haruslah mengadopsi gaya kepemimpinan multikultur, supaya bisa berhasil di dalam dunia yang semakin multikultur ini. Sekarang ini banyak organisasi di dalam masyarakat hidup dan berkembang dalam interaksi dengan berbagai kultur, baik di dalam maupun antar organisasi. Orang-orang dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, bangsa, dan usia bekerja sama dalam satu organisasi. Pola kepemimpinan yang diperlukan untuk memimpin organisasi multikultur ini pun berbeda dengan pola kepemimpinan gaya lama, yang cenderung otoriter dan birokratis.

            “Model kepemimpinan sekarang, walaupun mungkin berbeda dari orang ke orang dan metode ke metode,” demikian tulis Bordas, “ secara umum memiliki bias yang sama ke arah pengaruh cara berpikir Barat – atau Eropa.”[7] Fakta keberagaman adalah suatu keuntungan tersendiri. Tugas seorang pemimpin baik di dalam organisasi ataupun masyarakat multikultur adalah menggali kekayaan pembelajaran dan nilai, yang terdapat di dalam masing-masing kultur yang ada, guna mencapai dinamika kerja yang paling maksimal. Bordas di dalam bukunya berulang kali menegaskan, bahwa organisasi yang paling berhasil di masyarakat sekarang ini adalah organisasi  yang “menggabungkan pengaruh, praktek, dan nilai-nilai dari berbagai kultur yang berbeda dengan cara yang penuh hormat dan produktif.”[8] Ada dua keuntungan mendasar yang dapat diperoleh, jika kepemimpinan multikultur ini diterapkan. Pertama, lingkungan kerja akan terasa nyaman. Kenyamanan akan mendorong kinerja dan produktivitas. Kedua, bila organisasi tersebut adalah organisasi bisnis, pelanggan yang berasal dari beragam kultur juga dapat merasa nyaman membangun hubungan dengan organisasi tersebut.

            Paradigma multikulturalisme sangatlah pas untuk diterapkan di dalam pola kepemimpinan. Kepemimpinan multikultur semacam ini akan menciptakan pola kerja yang adaptif dan terbuka, sehingga berbagai orang, yang berasal dari latar belakang yang berbeda, mampu memberikan yang terbaik di dalam proses kerja mereka. Kepemimpinan multikultur juga akan mampu menciptakan komunitas kerja yang harmonis, dan bukan hanya sekedar perusahaan bisnis semata. Orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang bisa mengembangkan potensi mereka semaksimal mungkin, dan menyumbangkannya untuk kepentingan bersama. Menurut Bordas kepemimpinan multikultur mutlak diperlukan oleh organisasi, guna bertahan secara kompetitif di era globalisasi sekarang ini.[9]

            Bordas juga menegaskan bahwa syarat pertama dari kepemimpinan multikultur adalah kemauan para pimpinan untuk mempelajari kembali sejarah bangsa-bangsa, terutama masa kolonialisme. Kolonialisme yang merupakan penjajahan sekaligus penyebaran budaya Eropa hampir ke seluruh dunia menghasilkan cara berpikir eurosentris, yakni cara berpikir yang menilai segala sesuatu dari cara berpikir orang Eropa yang rasional, logis, sistematis, dan teknis. Segala sesuatu yang tidak memenuhi kriteria itu dianggap tidak baik. Cara berpikir tersebut juga menempatkan orang-orang Eropa pada status yang lebih tinggi daripada bangsa-bangsa lain.

            Teori-teori kepemimpinan sendiri memang banyak dirumuskan di negara-negara maju, seperti Eropa dan Amerika. Akibatnya teori-teori tersebut seringkali mengabaikan pentingnya mengelola perbedaan kultur, terutama pada kultur non Eropa dan Amerika, untuk meningkatkan kinerja. Maka dari itu menurut Bordas, seorang pemimpin yang memiliki paradigma multikulturalisme haruslah sadar akan sejarah. Pemimpin haruslah mempelajari sejarah secara mendalam. Inilah tugas tersulit yang harus dijalankan oleh seorang pemimpin multikultur, karena ia dipaksa untuk mengubah cara berpikir yang, mungkin saja, telah ia pegang bertahun-tahun. Proses memahami sejarah tersebut tidak bisa hanya dengan satu atau dua seminar sejarah. Proses pemahaman datang melalui waktu dan ketulusan untuk memahami. Faktor ini membuat kepemimpinan multikultur menjadi tantangan terbesar para pimpinan sekarang ini.[10]

            Menurut saya argumen Bordas tersebut sangatlah penting. Seorang pemimpin multikultur adalah seorang pemimpin yang memahami dan sadar akan sejarah. Pada titik ini sejarah, menurut saya, bukanlah dipahami sebagai deskripsi fakta semata, tetapi juga mencakup ingatan kolektif yang beragam kultur yang terkait dengan kehidupannya. Dapat dengan lugas dikatakan, bahwa seorang pemimpin multikultur haruslah memahami ingatan kolektif orang-orang yang dipimpinnya, karena di dalam ingatan kolektif terdapat pemaknaan identitas dan harapan dari manusia yang ada di dalamnya. Dengan kata lain ingatan kolektif adalah konsep historis yang lebih luas dan menyeluruh daripada sejarah faktual semata. Namun apa yang dimaksud dengan ingatan kolektif? Pada bagian berikutnya saya akan menjelaskan beberapa inti penting dari konsep ingatan kolektif dengan mengacu pada pemikiran Jan Assmann.

2.Ingatan Kolektif

            Menurut Assmann ingatan adalah kemampuan manusia untuk menciptakan kesadaran tentang dirinya sendiri, baik di level pribadi maupun sosial.[11] Kesadaran tersebut muncul dalam pemaknaan ruang dan waktu. Ruang dan waktu itulah yang menjadi panggung bagi peristiwa. Namun menurut Asmann waktulah yang sungguh mempengaruhi pembentukan dan pengembangan identitas, baik personal maupun kolektif.

            Assmann berpendapat bahwa ingatan terdiri dari dua level, yakni level personal dan level sosial. Pada level personal “ingatan adalah materi dari sistem mental-saraf kita.”[12] Sebelum wacana tentang ingatan kolektif berkembang, para ahli hanya mengenali tipe ingatan ini di dalam kajian mereka. Namun penelitian dan teori berkembang, lalu ditemukan level kedua dari ingatan, yakni level sosial. Pada level sosial “ingatan adalah soal dari komunikasi dan interaksi sosial.”[13] Assmann dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh Maurice Halbwachs, seorang pemikir Prancis yang mengajukan argumen, bahwa ingatan lebih kuat berpijak pada sosialisasi dan komunikasi. Dalam arti ini terdapat dialektika antara ingatan dan masyarakat. Di satu sisi ingatan muncul dalam proses relasi manusia dengan lingkungan sosialnya. Di sisi lain ingatan membuat manusia mampu hidup bersama dengan manusia lainnya.

            Assmann lebih jauh berpendapat, bahwa kultur adalah bagian dari ingatan kolektif suatu masyarakat. Ingatan kolektif terekam dalam simbol-simbol yang kurang lebih permanen, seperti struktur bangunan, tata jalan raya, dan sebagainya. Simbol tersebut kemudian diwariskan ke generasi berikutnya. Pewarisan simbol adalah pewarisan kultur. Dan pewarisan kultur akan mempengaruhi identitas kelompok terkait. Semua itu terkait erat dengan konsep ingatan. “Ingatan kita”, demikian Assmann, “yang kita miliki sebagai mahluk yang dilengkapi dengan pikiran manusia, ada hanya dalam interaksi terus menerus tidak hanya dengan ingatan manusia, tetapi juga dengan benda-benda.”[14] Benda-benda itulah yang disebut Assmann sebagai simbol-simbol eksternal.

            Assmann juga berpendapat bahwa ada relasi dialektis antara manusia yang mengingat dengan benda yang menciptakan ataupun menyulut ingatan. “Benda-benda”, demikian tulisnya, “tidak memiliki ingatan pada dirinya sendiri, tetapi benda-benda itu mengingatkan kita, memancing ingatan kita, karena benda-benda itu membawa ingatan yang telah kita tanamkan kepadanya, benda-benda seperti piring, ..ritus, gambar, cerita, tata atur bangunan..”[15] Seperti yang langsung diduga, Assmann menjabarkan relasi antara tindak mengingat dan pemicu ingatan di level individual. Namun bagaimana dengan level sosial?

            Di dalam level sosial, peran simbol justru semakin penting. Bagi Assmann kelompok tidaklah bisa mengingat. Yang mengingat adalah individu-individu yang hidup di dalam kelompok. Individu-individu tersebut menciptakan simbol yang menegaskan jati diri mereka sebagai sebuah kelompok. Inilah dasar berpikir dari keberadaan museum, monumen, arsip, dan semua tugu peringatan lainnya. Assmann menyebut ini sebagai ingatan kultural (cultural memory). “Untuk dapat menanamkan kembali tingkatan dari generasi,” demikian Assmann, “ingatan kultural… ada di dalam bentuk-bentuk yang ditanamkan dan membutuhkan institusi dari pelestarian..”[16] Dengan kata lain ingatan kolektif membutuhkan simbol untuk mempertahankan dan mengembangkan dirinya sendiri.

            Assmann membedakan antara ingatan kultural dan ingatan kolektif. Ingatan kultural membutuhkan institusi resmi untuk pelestarian dan pengembangannya. Sementara ingatan kolektif –atau yang disebutnya sebagai ingatan komunikatif- tidak. “Ingatan komunikatif”, demikian tulisnya, “tidak institusional; ingatan komunikatif tidak didukung oleh institusi apapun.”[17] Ingatan kolektif menurut Assmann tidak memerlukan peringatan, tidak diformalisasikan dengan upacara, tugu, ataupun simbol-simbol material lainnya. Sebaliknya ingatan kolektif hidup dan berkembang di dalam percakapan dan komunikasi sehari-hari antara manusia. Idealnya ingatan kolektif berkembang menjadi ingatan kultural yang diabadikan dalam tugu peringatan, baik material maupun imaterial. Namun ingatan kolektif seringkali terlupakan begitu saja, walaupun tidak pernah seutuhnya terlupakan, karena ia akan mengendap menjadi tradisi.

            Ingatan kolektif adalah sesuatu yang dinamis, penuh tegangan, dan berproses terus menerus. Bahkan dapat juga dikatakan, bahwa ingatan itu sebenarnya bukanlah sebuah kata benda, melainkan kata kerja. Maka ingatan berarti ‘mengingat’. Kata mengingat lebih tepat menggambarkan ingatan, karena menekankan aspek perubahan dan proses yang terus berkelanjutan.[18] Hal yang sama berlaku dengan relasi antara ingatan dan identitas. Assmann juga mengutip pendapat Amartya Sen tentang identitas. Bagi Sen identitas yang tetap adalah suatu ilusi. Identitas tunggal juga merupakan sebuah ilusi. Identitas manusia terbentuk dari persilangan antara beragam identitas, mulai dari ras, agama, suku, ideologi, dan sebagainya. Identitas manusia juga terbentuk dari ingatan kultural dan ingatan kolektif.

Walaupun begitu ingatan kolektif, seperti kita sudah singgung sebelumnya, adalah sesuatu yang terbuka dan penuh dengan ketidakpastian. Identitas akan terbentuk jika ingatan kolektif tersebut dilekatkan pada sebuah simbol, baik simbol material ataupun imaterial. Dalam arti ini menurut Assmann, ingatan dapat dipahami sebagai pengetahuan yang terkait dengan identitas, terutama identitas diri yang berasal dari dengan keanggotaan pada suatu kelompok tertentu, baik itu komunitas, bangsa, keluarga, ataupun agama.

Setiap kelompok menurut Assmann terbentuk dan bertahan, karena adanya ikatan afeksi di antara anggotanya. Inilah yang kiranya disebut Halbwachs, sebagaimana dikutip Assmann, sebagai komunitas afektif. Afeksi atau perasaan mengikat semcam ini bisa tumbuh, karena adanya ingatan bersama, baik ingatan kolektif maupun ingatan kultural. “Mengingat”, demikian Assmann, “adalah perwujudan dari rasa kepemilikan, bahkan kewajiban sosial.”[19] Untuk bisa menjadi bagian integral dari suatu kelompok, orang harus dapat mengingat ikatan yang ia miliki dengan kelompok tersebut. Begitu pula ketika ia berpindah ke kelompok lain, ia juga harus dapat melupakan ikatannya yang lama, dan mengingat serta menghayati tempatnya yang baru.

3. Sintesis dan Kesimpulan

            Zaleznik sudah mengingatkan kita, bahwa kepemimpinan tidak boleh dipersempit hanya kepada kontrol dan soal birokratis semata. Sebaliknya kepemimpinan harus mencerminkan roh dan idealisme yang melampaui soal kontrol dan birokrasi. Di sisi lain Bordas juga sudah mengingatkan kita, bahwa kepemimpinan di dalam masyarakat multikultur memang melibatkan idealisme, tetapi juga perlu berpijak pada sejarah dan ingatan kolektif pihak-pihak yang terkait dengan kepemimpinan itu. Artinya sang pemimpin harus memahami sejarah dan ingatan kolektif pihak-pihak yang dipimpinnya.

            Seperti yang telah dijabarkan oleh Jan Assmann, ingatan di level masyarakat setidaknya dapat dibagi dua, yakni ingatan kultural dan ingatan kolektif, atau yang disebutnya juga sebagai ingatan komunikatif. Ingatan kultural tercipta dan berkembang melalui mekanisme peringatan. Ingatan kultural dilestarikan dalam bentuk simbol yang terwujud secara materil di dalam monumen, tugu, dan sebagainya. Pendek kata ingatan kultural dilestarikan secara sistematis. Sementara di sisi lain, ingatan kolektif tidak dilestarikan secara sistematis, melainkan secara spontan melalui pola komunikasi sehari-hari. Oleh karena itu menurut Assmann, ingatan kolektif biasanya meresap ke dalam tradisi, walaupun sudah sedikit sekali orang yang mengingatnya.

            Di dalam tulisan ini, saya, dengan berpijak pada pemikiran Zaleznik, Bordas, dan Assmann, mengajukan argumen, bahwa seorang pemimpin yang memiliki kesadaran multikulturalisme haruslah memahami ingatan kolektif, dan juga ingatan kultural, yang terkait dengan identitas pihak-pihak yang dipimpinnya. Saya akan mencoba menjelaskan argumen tersebut dengan tiga langkah. Pertama, di dalam dunia kerja, orang selalu membawa identitasnya di dalam pekerjaannya. Dengan kata lain mereka membawa keutuhan diri mereka di dalam bekerja. Di dalam masyarakat multikultur, seorang pimpinan harus mengenali dan memahami keunikan identitas pihak-pihak yang dipimpinnya, supaya ia bisa memaksimalkan apa yang menjadi kekuatan mereka, sekaligus meminimalkan kelemahan-kelemahan yang dimilikinya di dalam proses kerja internal maupun antar organisasi.

            Proses pengenalan dan pemahaman identitas seseorang hanya dapat dipahami melalui pemahaman dan pemaknaan ingatan kolektif maupun ingatan kultural. Dengan kata lain seorang pimpinan harus sungguh memahami sejarah (faktual?) maupun sejarah sebagaimana dimaknai (ingatan kolektif dan ingatan kultural) dari orang-orang yang dipimpinnya. Hanya dengan begitu ia, sang pimpinan, bisa memahami, mengapa orang-orang yang dipimpinnya berperilaku demikian di dalam aktivitas keseharian mereka. Dengan pengenalan dan pemahaman akan manusia yang tepat, maka proses tata kelola akan juga berjalan dengan maksimal. Tata kelola yang tepat akan menjamin kinerja dan kebahagiaan (well-being) orang-orang yang bekerja sama di dalam organisasi terkait.

            Kedua, secara filosofis kerja adalah tindakan manusia yang memiliki makna mendalam. Kerja adalah realisasi identitas manusia yang membuatnya berkembang dan menjadi semakin manusiawi. Setiap pekerjaan melibatkan identitas pekerjanya, dan identitas terbentuk di dalam ingatan individu yang selalu sudah tertanam di dalam konteks sosial tertentu.[20] Kepemimpinan multikultur harus menyadari betul hal ini. Kepemimpinan multikultur yang berpijak pada ingatan kolektif akan bisa memacu para pekerja untuk tidak hanya menyelesaikan hal-hal teknis semata, tetapi mengembangkan diri dan identitas mereka yang unik dalam relasi satu sama lain. Inilah yang menjadi esensi dan tujuan kepemimpinan multikultur. Jika ini berhasil diterapkan, maka inovasi akan menjadi kultur dominan dari organisasi terkait.

            Tiga, kepemimpinan selalu melibatkan pembuatan kebijakan. Dalam hal ini teori diskursus Habermas bisa menjadi acuan di dalam pembuatan kebijakan di dalam organisasi ataupun masyarakat multikultur.[21] Prinsipnya sederhana bahwa setiap kebijakan, baik di dalam masyarakat maupun internal organisasi, haruslah merupakan hasil dari proses diskusi yang rasional dan bebas antara pihak-pihak yang nantinya terkena dampak dari kebijakan tersebut, baik langsung ataupun tidak. Dalam konteks kepemimpinan multikultur, pembuatan kebijakan haruslah mempertimbangkan identitas partikular pihak-pihak yang dipimpin. Kebijakan yang ada haruslah menampung dan mengembangkan –sedapat mungkin- semua pihak terkait.

            Untuk itu seperti sudah ditekankan sebelumnya, seorang pemimpin haruslah terlebih dahulu memahami sejarah dan ingatan kolektif pihak-pihak yang dipimpinnya. Hanya dengan begitu pemahaman akan partikularitas identitas bisa tercipta. Pemahaman adalah tahap awal untuk bersikap dan perumusan kebijakan. Jika pembuatan kebijakan suatu organisasi, ataupun masyarakat, sudah menempuh proses ini, maka suatu organisasi akan bisa beradaptasi dan berubah sesuai dengan tuntutan jaman, dan mencapai kegemilangan dengan tetap memperhatikan hak-hak asasi manusia di dalam prakteknya. Para pemimpin sekarang ini perlu untuk mengadopsi pola kepemimpinan multikultur yang melibatkan pengetahuan atas sejarah (faktual) dan ingatan kolektif yang mendalam atas pihak-pihak yang dipimpinnya. Pola kepemimpinan semacam ini dapat menjamin terciptanya keadilan kultural bagi semua pihak terkait. Hanya dengan begitu kita bisa sungguh hidup dan bekerja bersama di dalam masyarakat multikultur dewasa ini. ***

Daftar Rujukan

Zaleznik, Abraham, “Managers and Leaders, Are They Different?”, dalam Leadership Insight,

Harvard Business Review, Harvard University Press, 1992, 15-24.

Bordas, Juana, Salsa, Soul, and Spirit: Leadership for a Multicultural Age, San Fransisco:BK

Publisher, 2007.

Assmann, Jan, “Communicative and Cultural Memory”, dalam Media and Cultural Memory,

New York, Berlin: Walter de Gruyter, 2008, 109-118.

Wattimena, Reza, A. A., “Ingatan Sosial, Trauma, dan Maaf”, dalam Jurnal Respons, vol 13,

Desember, Jakarta: Atma Jaya, 2008.

——————————, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Internet:

http://newsblaze.com/story/20070906054647tsop.nb/topstory.html diakses pada 12 Maret pk.

8.42.


[1] Saya mengacu pada Zaleznik, Abraham, “Managers and Leaders, Are They Different?”, dalam Leadership Insight, Harvard Business Review, Harvard University Press, 1992, 15-24.

[2] Ibid, 15.

[3] Ibid.

[4] Ibid, 16.

[5] Ibid.

[6] Untuk selanjutnya saya mengacu pada http://newsblaze.com/story/20070906054647tsop.nb/topstory.html diakses pada 12 Maret pk. 8.42. Tulisan tersebut berpijak pada buku berikut: Bordas, Juana, Salsa, Soul, and Spirit: Leadership for a Multicultural Age, San Fransisco:BK Publisher, 2007. Saya juga menjadikan buku ini sebagai acuan.

[7] Ibid, “”Today’s leadership models, although they may differ from person to person and method to method, generally have a common bias toward Western- or European-influenced ways of thinking,”

[8] Ibid, “that the most successful businesses will be those that incorporate the influences, practices, and values of these diverse cultures in a respectful and productive manner”

[9] Lihat, Ibid, ““Multicultural leadership encourages an inclusive and adaptable style that cultivates the ability to bring out the best in our diverse workforce and to fashion a sense of community with people from many parts of the globe,” says Bordas. “It enables a wide spectrum of people to actively engage, contribute, and tap their potential. That’s why making sure that your workplace has culturally inclusive leadership will be one of the most important transitions you make into the new globalized world.”

[10] Lihat, Ibid, ““For mainstream leaders, understanding the history that gave rise to ethnocentricity is perhaps the most difficult step in transforming leadership to an inclusive, multicultural form,” says Bordas. “You can’t just go to a seminar for a day and come out understanding why the old Eurocentric leadership models won’t work in a globalized world. You need to learn about these cultures in order to develop the clarity that allows you to incorporate multicultural leadership techniques into your organization.”

[11] Pada bagian ini saya mengacu pada Jan Assmann, “Communicative and Cultural Memory”, dalam Media and Cultural Memory, New York, Berlin: Walter de Gruyter, 2008, 109-118. “Memory is the faculty that enables us to form an awareness of selfhood (identity), both on the personal and on the collective level.”

[12] Ibid, 109, “memory is a matter of our neuro-mental system”

[13] Ibid, “memory is a matter of communication and social interaction”

[14] Ibid, 110, “Our memory, which we possess as beings equipped with a human mind, exists only in constant interaction not only with other human memories but also with “things,”

[15] Ibid, “Things do not “have” a memory of their own, but they may remind us, may trigger our memory, because they carry memories which we have invested into them, things such as dishes, feasts, rites, images, stories and other texts, landscapes, and other “lieux de mémoire.””

[16] Ibid, 111, “In order to be able to be reembodied in the sequence of generations, cultural memory, unlike communicative memory, exists also in disembodied form and re-quires institutions of preservation and reembodiment.” 

[17] Ibid, “Communicative memory is non-institutional; it is not supported by any institutions”

[18] Pendapat ini saya kembangkan dalam diskusi dengan Eric M. Santosa, Dosen Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya, Jakarta.

[19] Assmann, 2008, 114, “Remembering is a realization of belonging, even a social obligation”

[20] Lihat, Wattimena, Reza, A. A., “Ingatan Sosial, Trauma, dan Maaf”, dalam Jurnal Respons, vol 13, Desember, Jakarta: Atma Jaya, 2008.

[21] Lihat, Wattimena, Reza A.A , Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

2 tanggapan untuk “Tak Lupa”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.