Mitos Otentisitas?

blogspot.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Pada awalnya ada sebuah kata; kebebasan. Ada sebuah mimpi; kebahagiaan. Keduanya seolah menyatu di dalam cita-cita; otentisitas. Katanya dengan hidup otentik –asli sesuai panggilan hati-, orang bisa mencapai kebebasan, dan dengan itu, ia akan mencapai kebahagiaan. Kita bisa menerima ini, karena tampak langsung menyentuh akal budi maupun hati nurani yang kita punya.

Seringkali kita diminta untuk melihat ke dalam diri sendiri, dan hidup seturut dengan panggilan hati terdalam yang kita punya. Sekilas ini semua terlihat menarik. Namun apakah saran semacam itu masih tepat untuk situasi Indonesia sekarang?

Di tengah sedikitnya lapangan kerja yang layak, apakah kita masih meminta anak-anak kita untuk menjadi otentik, dan setia pada panggilan hati mereka sendiri? Apakah kita siap dengan resiko, bahwa mungkin saja, mereka tidak mendapat pekerjaan yang layak, dan hidup di dalam kegagalan, ketika mengejar mimpi dan panggilan hati mereka dengan penuh semangat?

Slogan Sesat?

Di dalam kolom terbarunya di New York Times, David Brooks (2011) berpendapat, bahwa slogan “jadilah otentik”, “ikutilah panggilan hatimu”, dan “wujudkan mimpimu” adalah slogan yang sesat. Itu adalah bentuk dari budaya individualisme yang amat dalam tertanam di dalam budaya Amerika. Ia juga berpendapat bahwa slogan itu tidak lagi berlaku sekarang ini; slogan itu salah.

Bagi Brooks yang justru sekarang ini harus menjadi fokus adalah kemampuan untuk mengikatkan diri pada satu cita-cita yang terkait dengan kebaikan masyarakat, dan bukan semata mengikuti panggilan hati, atau panggilan mimpi. Orang diajak untuk mengikatkan diri dan kemampuan mereka pada satu cita-cita luhur, yang terkait erat dengan kebaikan bersama, dan bukan memenuhi panggilan hati mereka semata.

Lagi pula apa sebenarnya panggilan hati itu? Apakah kita pernah yakin dengan panggilan hati kita? Apakah kita sungguh bisa yakin, apa yang menjadi mimpi hidup kita? Karena bisa saja panggilan hati dan mimpi itu berubah di dalam perjalanan hidup yang berliku.

Menurut Brooks “orang-orang muda yang paling sukses tidak melihat ke dalam diri mereka, dan merencanakan hidup.” Mereka melihat kebutuhan di luar, dan terpanggil untuk memberikan diri mereka, guna memenuhi kebutuhan itu. Brooks memberikan beberapa contoh; seorang wanita tergerak untuk menemukan obat bagi penyakit Alzheimer, karena saudaranya menderita penyakit tersebut, atau seorang pria muda terdorong merumuskan model manajemen yang lebih baik, karena bekerja di bawah seorang bos yang tidak punya karakter kepemimpinan, dan berbagai contoh lainnya.

“Kebanyakan orang”, demikian tulis Brooks, “tidak mencari dan membentuk diri mereka, lalu menjalankan kehidupan. Mereka dipanggil oleh masalah, dan jati diri mereka dibentuk secara bertahap oleh panggilan itu.” Artinya orang tidak mencari ke dalam diri mereka sendiri, tetapi melihat keluar, dan membaktikan hidup mereka untuk sesuatu di luar diri mereka tersebut. Menjadi otentik tidak berarti hidup sesuai dengan mimpi ataupun panggilan hati, tetapi justru untuk melepaskan diri, dan membiarkannya terbentuk seturut panggilan kebutuhan masyarakat.

Redefinisi

Juga anak-anak kita sekarang sering diajarkan untuk menjadi orang-orang yang berpikir mandiri. Mereka diminta untuk mampu mengekspresikan diri mereka di hadapan komunitasnya. Namun Brooks juga mencatat, bahwa dua kualitas ini tidak selalu baik. Kadang menjadi menjadi orang baik berarti menekan dorongan diri, dan menjalankan prosedur yang sudah ada dengan patuh.

Tentang ini Brooks mengutip pernyataan Atul Gawande, sewaktu ia menjadi pembicara di Harvard Medical School, Amerika Serikat; “menjadi seorang dokter yang baik seringkali berarti menjadi bagian dari tim, mematuhi perintah institusi, dan mengisi semua ceklis yang perlu diisi.”

Di dalam teori klasik tentang otentisitas diajarkan, bahwa diri manusia adalah pusat dari kehidupan. Namun bagi Brooks ungkapan itu menyesatkan. Pusat dari hidup bukanlah diri manusia, melainkan kehidupan itu sendiri, yang selalu bergerak dan berubah dalam bentuk jaringan. Kebahagiaan lahir bukan dari upaya manusia untuk menjadi dirinya sendiri, tetapi dari upaya manusia untuk terlibat di dalam tugas-tugas hidupnya dengan setia. Maka “tujuan dari hidup bukanlah menemukan dirimu sendiri; tetapi justru untuk melepaskannya.”

Pertimbangan

Argumen Brooks amat menarik. Ia menantang slogan populer yang beredar di masyarakat. Namun saya punya dua catatan untuknya. Yang pertama, untuk bisa memberikan diri pada masyarakat, orang harus tahu terlebih dahulu, apa yang bisa ia berikan. Dengan kata lain ia harus tahu dulu di bidang apa ia mampu memberikan sumbangan secara maksimal, baru ia kemudian bisa aktif berpartisipasi untuk kebaikan masyarakat.

Yang kedua, maka dari itu, argumen Brooks sebenarnya tidak bertentangan dengan teori otentisitas klasik. Ia hanya menegaskan fokus dari teori otentisitas klasik dalam kaitannya dengan kepentingan bersama. Dengan kata lain ia memberikan suntikan sosialitas pada teori otentisitas klasik yang memang terkesan amat individualistik.

Argumen Brooks bisa ditempatkan sebagai sintesis antara teori otentisitas klasik di satu sisi yang amat menekankan agenda panggilan hati pribadi, dan pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari masyarakat, maka ia harus memberikan sumbangan nyata bagi komunitasnya di sisi lain. Masalahnya tinggal bagaimana kita bisa menghayatinya dalam hidup sehari-hari. Itu yang memang selalu menjadi masalah.

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya

           

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

4 tanggapan untuk “Mitos Otentisitas?”

  1. Saya pikir tulisan Brooks beranjak dari penekanan bahwa dunia modern telah memupuk self-centric worldview yang begitu kuat. Dari sini ada dua catatan yang muncul di kepala saya:

    Pertama, sepertinya trend individualisme modern memang benar telah mendorong orang untuk menjadi beda satu sama lain. Sayangnya, yang sungguh menjadi pribadi yang unik dan otentik tidaklah semua. Sebagian besar sepertinya seakan-akan menjadi unik dan otentik, karena keunikan dan otentisitas juga telah menjadi trend (yang sesungguhnya berlawanan dengan makna ‘unik’ dan ‘otentik’)

    Kedua, bagi mereka yang seakan-akan unik inilah, kegamangan sosial yang dibicarakan Brooks menjadi tampak nyata. Mereka-mereka inilah yang menjadi benar-benar individualis yang jauh dari kontribusi sosial, karena sesungguhnya mereka tidak menemukan apa keunikan dan otentisitas dalam diri mereka yang bisa mereka sumbangkan bagi lingkungan sosialnya.

    Jadi, saya menduga-duga, bahwa mereka mungkin adalah makhluk-makhluk individual yang mengalami kehampaan diri, sehingga tak mampu merajutkan diri mereka dalam sulaman sosial 🙂

    Suka

  2. “Jadi, saya menduga-duga, bahwa mereka mungkin adalah makhluk-makhluk individual yang mengalami kehampaan diri, sehingga tak mampu merajutkan diri mereka dalam sulaman sosial”

    Paradoksnya adalah manusia selalu sudah tertanam di dalam jaring-jaring yang sosial. Seluruh dirinya dirajut dalam apa yang kamu sebut sebagai sulaman sosial. Di dalam masyarakat modern, keterasingan muncul, akibat birokratisasi dan sistematisasi dunia kehidupan manusia secara berlebihan. Keterasingan semacam ini mungkin disalahartikan sebagai “otentisitas” semu yang merupakan topeng bagi kehampaan dan individualisme ekstrem.

    Suka

  3. Hahahaha….betul sekali. Jadi mereka sebenarnya ‘menolak’ rajutan sosial yang mengkonstruksikan diri mereka. Keterasingan diartikan sebagai otentisitas. Ini lebih lucu, dalam artian agak satir sih.

    Suka

Tinggalkan Balasan ke James W. Sasongko

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.