Beriman secara Ilmiah, Mungkinkah?

3.bp.blogspot.com

Akan Dipresentasikan di Paroki Santo Yakobus Citra Raya Surabaya pada tanggal 29 Mei 2011.

Oleh Reza A.A Wattimena

            Apa artinya menjadi orang yang beriman? Beriman berarti meyakini seperangkat ajaran tertentu, sekaligus nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Beriman berarti percaya bahwa seperangkat ajaran tertentu bisa membawa hidup manusia ke arah yang lebih baik. Ini berlaku untuk semua agama, ataupun ideologi yang ada di dunia.

            Beriman tidak hanya memahami ajaran, tetapi juga menghayati nilai yang terkandung di dalam ajaran itu. Misalnya di dalam agama Katolik diajarkan, bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia. Di balik ajaran itu terkandung nilai, bahwa manusia haruslah rendah hati, karena Tuhan saja bersikap rendah hati dengan bersedia menjadi manusia. Tuhan saja rela berkorban untuk manusia. Masa kita tidak mau berkorban untuk orang-orang sekitar?

            Orang tidak boleh hanya beriman, atau memahami nilai-nilai hidup dari imannya. Orang juga mesti menerapkan secara konsisten nilai-nilai itu di dalam hidup kesehariannya. Jika tidak diterapkan maka iman dan penghayatan nilai hanya menjadi sesuatu yang sia-sia. Dengan kata lain harus ada kesesuaian antara keimanan yang diyakini, nilai-nilai hidup yang diperoleh, dan perilaku keseharian.

            Itulah artinya menjadi orang beriman sekarang ini.

Berilmu

            Ilmu pengetahuan adalah hasil karya manusia yang dengan menggunakan akal budinya berusaha memahami cara kerja alam, baik alam natural (gunung, mahluk hidup) maupun alam sosial (masyarakat, ekonomi, politik). Yang menurut saya paling penting bukanlah hasil dari ilmu pengetahuan itu sendiri, tetapi cara berpikir ilmiah yang ada di belakangnya.

            Cara berpikir ilmiah ini menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memudahkan hidup manusia. Di Indonesia orang hanya mau menggunakan teknologi yang telah diciptakan oleh orang lain. Kita malas berpikir secara ilmiah, maka itu kita menjadi bangsa konsumtif yang tidak produktif dalam soal pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.

            Apa yang dimaksud dengan cara berpikir ilmiah? Cara berpikir ilmiah adalah cara berpikir yang mematuhi prinsip-prinsip ilmiah tertentu. Setidaknya ada lima prinsip ilmiah, yakni sikap intersubyektif, sikap pencarian tanpa henti, sikap rasional, sikap koheren, dan sikap sistematis-komunikatif. Saya akan coba paparkan satu per satu.

Prinsip-prinsip Ilmiah

            Sikap intersubyektif adalah sikap yang mencoba mencari pembuktian orang kedua untuk setiap bentuk pengetahuan. Artinya orang tidak dapat menyandarkan pengetahuannya pada mimpi belaka, karena mimpi tidak bisa dialami oleh orang kedua. Orang juga tidak dapat menyandarkan pengetahuannya pada ilusi, halusinasi, ataupun intuisi subyektifnya semata. Semua bentuk pengetahuan harus bisa diuji oleh orang kedua.

            Di dalam filsafat ini juga disebut sebagai cara berpikir verifikatif. Artinya orang harus mengecek terlebih dahulu, apakah pengetahuannya sesuai dengan realitas, atau tidak. Orang tidak boleh mempercayai dan menyebar gosip, karena gosip seringkali tidak bisa diverifikasi, tetapi hanya diyakini secara buta.

            Prinsip kedua adalah sikap mencari terus tanpa henti. Orang yang berpikir secara ilmiah tidak pernah puas dengan apa yang ada. Ia terus mencari cara untuk menemukan hal-hal baru yang berguna untuk kehidupan. Ia terus meragukan dan mempertanyakan segala sesuatu, guna mendapatkan kebenaran yang lebih dalam.

            Orang yang berpikir ilmiah tidak meyakini sesuatu, hanya karena itu dikatakan oleh seorang ahli. Orang yang berpikir ilmiah juga tidak meyakini sesuatu, hanya karena itu dipaksakan oleh otoritas penguasa. Mereka terus mencari apa yang sungguh benar pada satu konteks tertentu, tanpa pernah berhenti dan merasa puas dengan pemikirannya sendiri.

            Prinsip ketiga adalah sikap rasional. Di dalam pencarian dan pembuktian pengetahuannya yang berlangsung terus menerus, orang yang berpikir ilmiah memegang teguh satu prinsip, yakni ia harus berpikir rasional. Semua sikap dan posisi teoritisinya harus didukung oleh argumen dan data yang kuat. Ia tidak ngotot mempertahankan pendapat yang lemah dan miskin data.

            Prinsip keempat adalah koherensi. Artinya orang bisa menarik kesimpulan berdasarkan data-data dan argumen yang sesuai dengan kesimpulan tersebut. Tidak boleh ada pernyataan ataupun argumen yang “melompat”. Orang yang berpikir ilmiah mampu mematuhi prinsip koherensi ini, baik di dalam pernyataan maupun tindakannya sehari-hari.

            Prinsip terakhir adalah prinsip komunikatif. Orang yang berpikir ilmiah mampu menyampaikan idenya secara runtut, sehingga bisa dimengerti oleh orang yang mendengarnya berbicara, atau membaca tulisannya. Percuma orang amat pintar, tetapi tidak bisa menyampaikan idenya secara jernih pada orang lain. Jika itu yang terjadi, yang kemungkinan besar tercipta adalah kesalahpahaman.

Iman dan Ilmu

            Pertanyaan penting yang perlu untuk kita diskusikan disini adalah, bagaimana orang bisa hidup beriman di satu sisi, sekaligus tetap menerapkan pola berpikir ilmiah di dalam hidupnya? Saya memiliki pendapat bahwa di abad ke-21 ini, iman tidak lagi bisa dipahami sebagai keyakinan buta, tetapi justru harus hidup dan berkembang dalam konteks berpikir ilmiah. Ada beberapa prinsip yang bisa digunakan.

            Pertama, iman haruslah bersifat intersubyektif. Artinya iman itu harus mengakar pada konteks, dan tidak bisa mengambang menjadi dogma yang dipaksakan. Iman harus hidup dan menjawab beragam permasalahan manusia, baik permasalahan eksistensial, maupun masalah sosial yang sedang dihadapi di depan mata. Iman harus keluar dari hati, dan mewujud menjadi tindakan nyata, yang berupaya menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik bagi semua orang, tanpa kecuali.

            Dua, iman haruslah terus mencari. Iman tidak boleh berhenti di tempat. Iman tidak boleh percaya buta. Iman harus berproses, mencari, dan tak berhenti bergerak, sampai kita mati.

            Iman semacam ini sejalan dengan prinsip ilmiah di atas, yakni sikap yang terus mencari. Iman yang tidak puas dengan ajaran-ajaran dangkal yang menindas, tetapi menggali refleksi lebih dalam secara terus menerus, guna memberi makna yang lebih dalam bagi hidup manusia.

            Tiga, iman juga harus rasional. Ajaran-ajaran kuno tidak boleh dibaca secara harafiah, melainkan secara metaforik-simbolik. Cerita Adam dan Hawa bukanlah cerita sejarah, melainkan suatu ungkapan iman orang-orang Yahudi terhadap Tuhannya. Cerita Musa membelah laut merah juga jangan dibaca secara harafiah, melainkan juga sebagai ungkapan iman orang-orang Israel yang melarikan diri dari perbudakan dan penderitaan di Mesir.

            Pembacaan harafiah terhadap Kitab Suci dan ajaran-ajaran Gereja lainnya amatlah berbahaya. Orang bisa terjerumus pada salah paham, dan akhirnya menjadi pribadi yang fundamentalistik. Orang semacam ini tidak toleran pada perbedaan tafsiran, apalagi perbedaan antar agama. Pola berpikir harafiah di dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama ini dapat dengan mudah ditemukan di dalam pikiran para teroris religius maupun teroris ideologi.

            Empat, iman juga harus koheren dengan tindakan. Kita sudah muak melihat orang berkhotbah soal cinta dan kebaikan, namun perilaku sehari-harinya amat jahat. Iman harus sejalan dengan pikiran dan tindakan. Percuma orang mengaku berima dan beragama, kalau tindakannya koruptif, manipulatif, dan tidak adil. Percuma!

Pendidikan

            Sebagai pendidik kita perlu untuk mengajarkan anak didik kita beriman secara ilmiah, seperti telah saya paparkan di atas. Pendidikan agama dan iman tidak lagi boleh dogmatis dengan bahasa “pokoknya”. Pendidikan agama dan iman harus melibatkan proses intersubyektif (guru-murid, murid-murid, guru-guru), proses pencarian iman yang lebih dalam dan lebih luas, kemampuan membedakan antara cerita sejarah dan ungkapan iman, serta penciptaan iman yang hidup dalam perbuatan sehari-hari yang nyata dan toleran.

            Kita perlu ingat apa yang dikatakan Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan asal Brasil. Baginya pendidikan adalah soal penyadaran, dan bukan soal menghafal atau pemindahan pengetahuan semata. Pendidikan menyadarkan siswa akan situasinya di dunia, sehingga ia bisa bersikap kritis, dan melakukan tindakan nyata, guna memperbaiki situasi sekitarnya. Pendidikan yang berpijak pada paradigma “beriman secara ilmiah” adalah suatu bentuk proses penyadaran, bahwa kita hidup di dalam masyarakat multikultur yang terus berubah. Maka kita tidak pernah boleh beriman dan beragama secara buta, apalagi bersikap menindas pada orang yang beriman ataupun beragama lain.

            Freire juga mengingatkan bahwa pendidikan adalah proses pembebasan dari kebodohan dan kemiskinan. Pendidikan yang berpijak pada paradigma “beriman secara ilmiah” adalah suatu upaya membebaskan siswa dari kebodohan dan kemiskinan di dalam beriman. Jika orang tetap hidup dalam kebodohan dan kemiskinan iman, ia akan membawa penderitaan bagi orang-orang sekitarnya, baik itu penderitaan fisik maupun emosional.

            Pada akhirnya kita perlu ingat apa yang pernah dikatakan oleh Driyarkara, filsuf Indonesia, bahwa pendidikan adalah proses pemanusiaan. Dengan pendidikan “beriman secara ilmiah” ini, anak diajak untuk menjadi semakin manusiawi dalam hidupnya. Ia menjadi pribadi yang lembut, empatik, tegas, rasional, humoris, dan amat terbuka pada perubahan di dalam hidup beragama.

Bukankah itu yang kita inginkan untuk anak-anak kita? Dan bukankah itu yang kita inginkan dari orang-orang yang berbeda agama dengan kita? ***

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

14 tanggapan untuk “Beriman secara Ilmiah, Mungkinkah?”

  1. Telepas beriman dengan rasional. Beriman juga dapat bisa dengan tidak rasional dalam ukuran dunia, misalnya kita melihat mukjizat Tuhan Yesus, memberi makan 5000 orang, menyembuhkan orang buta, menghidupkan orang mati, Tuhan Yesus bangkit dan lainnya, kita mempercayai itu karena iman.

    Suka

  2. Hehehe…iman melalui proses ilmiah adalah sebuah sikap ilmiah untuk melihat alam semesta melampaui manusia, dan mengantar pada keberserahan yang konstruktif. Menurutku, setelah mencapai itu, baru bisa disebut iman. Kalau sekarang yang kita sering temui adalah iman yang berangkat dari kebutaan hati dan pikiran, dan akhirnya menjadi dangkal dan tidak berakar. Iman macam begini biasanya berujung perilaku destruktif.

    Suka

  3. Iman tanpa perbuatan adalah buta. Dan kebutaan seringkali bertindak jahat, tanpa ia menyadarinya sebagai sesuatu yang jahat. Saya pikir kita memang perlu menerapkan prinsip-prinsip dasar sains di dalam hidup beriman, supaya bisa memiliki keimanan yang sejati dan menghidupkan.

    Suka

  4. bagaimana mungkin..Ini saja jelas2 tidak ilmiah…bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia.(secara ilmiah)..mungkinkah tuhan berubah bentuk kepada apa yang ia ciptakan seperti layaknya kita manusia …hanya karena ada seorang lahir ada ibu tanpa ayah (berfikir secara ilmiah)…sedangkan ilmuan kedokteran sekarang bisa mengkloning manusia meletakan bibit unggul kedalam kandungan maka lahirlah bayi tabung ada ibu tanpa ayah..(bayi tabung adalah dokter ahli yang menjadi manusia) bagaimana penciptaan adam tiada ayah dan ibu..Ini perlu di kaji secara ilmiah dan logika akal sehat…jangan salah menyembah tuhan yang sesungguhnya…

    Suka

  5. Ber”iman” bukanlah suatu gejala “neorosis” ataupun konsumsi orang yang tidak berpendidikan (tidak ilmiah/tidak rasional/sifat kekanak-kanakan).

    Ada orang yang ber”iman” tanpa harus mengesampingkan “rasio/ilmiah”; dan sebaliknya ada juga orang yang “rasio/ilmiah” tanpa mengesampingkan ke ber”iman”an nya.

    Karena “iman” bisa berjalan bersama dengan “rasio”.

    Karena ber”iman” itu bukan hanya berbicara kepada “keyakinan” tetapi mengandung yang namanya “notitia”, “asentia”, & “fidutia”.

    Rasio bisa kita golongan menjadi 3, yaitu “irasio”, “rasio”, & “supra rasio”

    Terima kasih

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.