Hak Milik

thecriticalarizonan.files.wordpress.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Kita semua bekerja. Katanya untuk hidup. Tetapi tidak hanya hidup. Kita bekerja untuk menciptakan hidup yang berkualitas.

Salah satu tanda kualitas hidup adalah kuantitas harta milik. Semakin banyak harta milik yang ada, semakin tinggilah kualitas hidup seseorang. Inilah asumsi yang menggerakan roda konsumsi di masyarakat kita. Asumsi yang begitu saja diterima sebagai benar, tanpa pernah dipertanyakan terlebih dahulu.

Liberalisme

John Locke adalah seorang filsuf Inggris yang dianggap sebagai bapak liberalisme. Argumen dasarnya adalah bahwa tugas pemerintah adalah menjaga hak milik pribadi warganya melalui penerapan hukum yang tegas dan adil. Hak milik pribadi rakyat adalah sesuatu yang amat suci, dan tugas negaralah yang menjamin, bahwa setiap warga bisa menikmati hak milik pribadi warganya.

Mengapa begitu? Karena bagi Locke hak milik adalah hak asasi, yakni hak yang sudah dimiliki secara alamiah oleh setiap manusia, dan tidak pernah boleh direbut darinya. Hak milik pribadi adalah simbol otoritas orang atas dirinya sendiri. Itu adalah simbol bahwa seorang manusia berdaulat atas dirinya, dan atas hasil kerjanya.

Pemerintah tak perlu sibuk mengatur pendidikan. Pemerintah tak perlu sibuk mengurusi soal kesehatan. Cukuplah pemerintah bekerja keras memastikan, bahwa warga memiliki kebebasan untuk mengumpulkan dan menikmati hak milik pribadinya. Jika itu sudah tercapai, maka kualitas pendidikan maupun kesehatan masyarakat otomatis akan terjaga.

Di Indonesia pemerintah bahkan tak mampu melakukan ini. Pemerintah tidak hanya tidak mampu menciptakan pelayanan kesehatan maupun pendidikan yang bermutu, tetapi juga tak mampu menjaga kesempatan warga untuk memperoleh maupun menikmati hak milik mereka secara jujur. Pemerintah tetap ada namun ia seolah tak terasa.

Jika pemerintah Indonesia secara konsisten memeluk liberalisme, dan menjaga kepastian hukum yang melindungi kesempatan warganya untuk memperoleh dan menikmati hak milik pribadinya, maka itu adalah sebuah prestasi yang amat besar. Pemerintahan SBY masih punya waktu untuk menciptakan prestasi. Jangan sampai waktu terbuang hanya untuk menampilkan citra tanpa substansi semata.

Pandangan Marx

Jika Locke di dalam filsafatnya memandang hak milik sebagai sesuatu yang berharga, Marx justru berpendapat sebaliknya. Teoritikus sosial sekaligus filsuf ini menyatakan, bahwa di dalam masyarakat kapitalis, hak milik pribadi adalah sumber dari segala penindasan yang menciptakan keterasingan kaum buruh. Tak berlebihan jika dikatakan, hak milik pribadi adalah sumber dari segala krisis yang muncul di dalam masyarakat kapitalis.

Logikanya begini. Jika orang diperbolehkan untuk menumpuk dan menikmati hak milik pribadinya tanpa batas, maka otomatis, ia akan melakukan apapun untuk mencapai tujuan itu. Jika perlu ia akan mengeksploitasi orang untuk memenuhi keinginannya itu.

Untuk meningkatkan jumlah kekayaan yang ia punya, seorang pemilik pabrik akan memberikan upah rendah dan jam kerja yang maksimal bagi para pekerjanya. Ia melakukan itu untuk menekan pengeluaran, dan mendapatkan untung, sehingga bisa mengembangkan modal. Modal lalu digunakan untuk menciptakan usaha baru, sehingga modal itu bisa berkembang, dan sang pemilik pabrik bisa memiliki sumber daya, guna mengumpulkan serta menikmati harta milik pribadinya yang berlimpah. Inilah logika kerakusan yang ada di balik sistem kapitalisme yang saat ini dipuja.

Marx melihat itu. Dan ia pun amat mengutuk keberadaan hak milik pribadi. Untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera, hak milik pribadi haruslah dihapuskan. Begitu kata Marx. Selama hak milik pribadi masih diperbolehkan, selama itu pula penindasan dan keterasingan akan bercokol di masyarakat.

Ucapan Marx amat tepat membedah situasi Indonesia sekarang ini. Di satu sisi banyak pemilik modal yang amat kaya dan amat rajin menumpuk harta miliknya. Di sisi lain lebih banyak lagi orang yang masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia yang memiliki martabat, seperti memenuhi kebutuhan akan makanan yang sehat, pelayanan kesehatan yang memadai, dan pendidikan yang berkualitas untuk diri maupun keluarganya. Di tengah situasi semacam itu, kita perlu memahami ulang arti hak milik pribadi di dalam masyarakat kita.

Pembatasan

Di satu sisi John Locke amat memuja keberadaan harta milik pribadi di dalam masyarakat. Di sisi lain Karl Marx amat mengutuk hak milik pribadi, dan menempatkannya sebagai sumber dari segala masalah sosial di dalam masyarakat kapitalis. Mereka berdua berada di dua titik ekstrem yang berbeda. Namun realitas tidaklah pernah ekstrem.

Yang kita perlukan adalah versi moderat dari kedua pandangan itu. Hak milik pribadi tetap ada dan dikembangkan, namun jumlahnya dibatasi sesuai dengan kewajaran yang telah disepakati oleh masyarakat. Misalnya sebuah keluarga tidak boleh memiliki lebih dari dua mobil. Tentu saja aparat hukum haruslah konsisten di dalam menerapkan keputusan hukum yang telah dibuat.

Seseorang mungkin bisa membeli lima belas mobil mewah untuk dipamerkan di garasinya. Namun bukan berarti ia boleh dan pantas melakukannya. Inilah prinsip dasar etika, bahwa kita bisa melakukannya, belum tentu juga kita boleh dan pantas melakukannya. Kebijaksanaan yang sejati tidak hanya terletak kepatuhan pada ajaran moral agama, tetapi juga pada hidup yang sepantasnya. Hidup yang kaya dan berkualitas, namun tetap sederhana dan bersahaja.***

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya  

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Hak Milik”

  1. Saya setuju dan suka tulisan ini! 😉
    Ini tidak hanya perlu bagi pemerintah, tapi juga bagi semua orang di semua lapisan. Sangat penting agar masyarakat melihat dirinya sebagai gerombolan, tapi sebagai kesatuan kolektif yang memiliki ranah pribadi (privacy) dan ranah kolektif (collective commons).

    Suka

  2. Thx James. Saya sepakat denganmu. Bangsa kita seperti hidup dalam dua ekstrem yang amat dangkal. Di satu sisi ada orang-orang yang terlalu kolektif, yang bersedia mengorbankan kepentingan pribadi orang atas nama “kepentingan umum”. Di sisi lain ada orang-orang yang amat tak peduli dengan kepentingan umum, lalu melulu fokus pada pemenuhan kepentingan pribadi.

    Suka

  3. Menarik! Jadi kepikiran Proudhon juga. Bagi Proudhon hak milik mempunyai sifat yang paradoksikal (dia menggunakan metode antinomi Kant). Hak milik ialah pencurian (“Property is Theft”) ketika dimutlakan atau berdiri terpisah dari tenaga kerja pemiliknya, sehingga menjurus seperti kapitalisme – di mana hak milik ialah kuasa hukum untuk menghasilkan kekayaan tanpa bekerja dan malah pekerja ditolak akses atas buah penuh tenaga kerjanya. Tapi, Proudhon juga menyatakan bahwa “hak milik” ialah kemerdekaan (“Property is liberty”), jika berfungsi untuk menjamin buah tenaga kerja nyata (ala koperasi). Oleh karena itu, meskipun Proudhon terkenal dengan pernyataan “Property is Theft”, beliau sebenarnya menerima konsep hak milik, selama diarahkan kepada prinsip reciprocity, untuk mencapai keseimbangan kolektif dan individual.

    Suka

  4. Sebenarnya Kapitalisme, semakin lama justru semakin menjauhi paham hak milik John Locke. Kalau ditelusuri lebih lanjut, John Locke sebenarnya menaruh persyaratan (“Lockean Proviso”) yang akan menganggu prinsip para kapitalis modern. Lockean Proviso-nya menyatakan “at least where there is enough, and as good, left in common for others”. Kenyataannya di Amerika Serikat sendiri, yang merupakan cahaya Kapitalis dunia, jumlah orang yang tidak mempunyai rumah ialah 3.5 juta, sedangkan rumah kosong sejumlah 18.5 juta (dan bank terus menerus melakukan foreclosure mortgage sekitar 10000 per hari). Ini jelas semakin lama semakin menjauh dengan Lockean Proviso yang “as good left in common for others”..

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.