Jancuk


Oleh: Reza A.A Wattimena

Refleksi Hasil Diskusi Cogito “Jancuk”,

Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya, 1 April 2011.

Kata ini bagaikan belut. Tidak ada makna pasti. Kata ini hidup dalam konteks. Cara mengucapkan sampai siapa yang dituju menentukan maknanya.

Sahabat dekat mengucapkan kata ini untuk menyapa. Musuh besar juga mengucapkan kata ini, ketika menyatakan rasa bencinya. Kata ini bukanlah kata sifat, atau kata kerja. Ia hanya kata. Ia adalah ekspresi.

Kata ini lahir dari “rahim” orang Surabaya. Kata ini secara singkat menggambarkan identitas orang Surabaya. Ia menggambarkan secara gamblang roh masyarakat pinggir pantai yang amat unik ini.

Seorang Filsuf asal Austria, Ludwig Wittgenstein, pernah berpendapat, bahwa bahasa lahir dari suatu konteks. Konteks itu disebutnya sebagai permainan bahasa (language games). Di dalam permainan bahasa, ada aturan yang harus dipatuhi. Makna suatu kata atau suatu aktivitas selalu harus dilihat dalam konteks permainan bahasanya.

Namun Wittgenstein juga menambahkan, bahwa makna dari suatu kata tidaklah melulu lahir dari konteks semata, tetapi juga dari penggunaannya. Meaning as use begitu katanya. Makna kata Jancuk tidaklah lahir dari kesepakatan semata, tetapi dari bagaimana kata ini digunakan di dalam interaksi manusia sehari-hari.

Orang Aceh punya senjata tradisional. Namanya Rencong. Orang Betawi juga punya. Namanya Golok.

Orang Jawa Tengah punya senjata khas, yakni keris. Namun orang Surabaya –ironisnya- tidak punya senjata tradisional. Bahkan menurut pendapat seorang teman, (Pak Muliady) senjata orang Surabaya adalah mulutnya, yah Jancuk itu.

Apa artinya? Artinya cukup jelas. Orang Surabaya tidak akan menusukmu dari belakang. Orang Surabaya tidak akan merusakmu secara fisik. Mereka hanya akan berkata keras padamu. Sehabis itu.. ya sudah, selesai.

Bangsa kita memang terkenal suka memelintir kata. Beragam kata dipelintir bunyinya, dan menghasilkan makna baru yang berbeda. Kata jancuk amat dekat dengan kata ngecuk, yang berarti berhubungan seks. Namun maknanya amat berbeda.

Kata jancuk seolah terbelah di antara dua makna. Yang pertama adalah tanda keakraban dengan teman sejawat. Yang kedua adalah ekspresi kemarahan pada orang atau suatu peristiwa.

Kata ini memulai pelukan. Namun pada saat yang sama, kata ini bisa memulai pertengkaran. Namun pertengkaran tidaklah lama. Ini hanya ekspresi kemarahan. Jika masalah selesai yah semua ikut selesai.

Itu uniknya orang Surabaya. Tidak ada dendam yang tersimpan. Tak ada marah yang tersisa. Jancuk.. lalu sudah.

Maka kata ini bersifat kondisional. Ia bermakna dalam konteks, dan amat tergantung bagaimana ia digunakan, apakah dengan penekanan, atau tidak. Ini adalah bahasa lokal. Tidak ada terjemahan persis untuk kata ini.

Kata ini menggambarkan ontologi orang Surabaya. Setiap kota memiliki satu kata untuk melukiskannya. Untuk Surabaya kata itu adalah jancuk. Di dalamnya terdapat kelugasan, keterbukaan, mental egaliter, persahabatan, sekaligus ekspresi kemarahan yang amat khas Suroboyoan.

Bahkan secara analog dapatlah dikatakan, bahwa “arek” adalah id login orang Surabaya. Sementara jancuk adalah password-nya. Orang hanya layak disebut orang Surabaya, ketika ia memahami arti kata arek dan jancuk, serta bagaimana menggunakannya.

Dua kata itu melukiskan secara metafisik-simbolik ontologi dari orang Surabaya yang amat dinamis. Ontologi itu tidak tetap, melainkan mengalir dalam dialektika dengan gerak jaman. Dalam arus sungai jaman yang terus mengalir, jancuk adalah pegangan yang mengingatkan, bahwa “saya” adalah orang Surabaya.

Di sisi lain kata jancuk mengandung nuansa perlawanan di dalamnya. Kata ini melambangkan upaya orang Surabaya untuk memberontak melawan sekat yang memisahkan. Sekat-sekat itu adalah perbedaan agama, status sosial, status ekonomi, usia, dan sebagainya. Di hadapan daya magis kata jancuk, semua sekat lebur dan menjadi relatif sifatnya.

Bahkan saya berani mengajukan pandangan yang lebih radikal. Potensi perubahan –bahkan revolusi- sudah termuat di dalam kata itu. Surabaya adalah kota yang relatif stabil. Namun jangan heran jika suatu saat, revolusi bergulir dari Timur, yakni dari kota Jancuk ini.

Apa yang saya paparkan adalah tafsiran. Namun pada hakekatnya tidak ada makna pasti untuk kata ini. Seorang teman mengatakan bahwa kata Jancuk adalah konsep tanpa kepastian wacana. Seperti dekontruksi yang selalu mengalir mencari arti –tanpa pernah final-, begitu pula kata jancuk menari di antara orang-orang yang menemukan nikmat di dalam penggunaannya.

Semakin mencari definisi semakin kata ini melompati arti. Ia meloloskan diri dari genggaman orang yang merindukan kepastian arti. Ia bisa menjadi potensi revolusi. Namun ia bisa menghangatkan relasi antara dua teman yang lama tak jumpa.

Arti kata ini sebenarnya amat sederhana, yakni jajanan pincuk. Pincuk itu daun pisang. Maka jancuk berarti makan di daun pisang, lalu sudah. Saya rasa ini khas sekali orang Surabaya. Ada masalah. Marah sedikit. Lalu sudah… ya sudah. Yo opo cuk?

Tulisan ini bersumber pada hasil pikiran saya dan para mahasiswa Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya angkatan 2009 dan 2010, Pak Muliady Tanudjaja, Prof. Teman Koesmono, Dr. Agustinus Ryadi, Dr. Ramon Nadres, dan dua pasangan yang tampak selalu kompak, yakni Alfa dan Kandi (semoga nulis namanya tidak salah).

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala Surabaya

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

2 tanggapan untuk “Jancuk”

  1. Ha..ha…ha… mantabs sekali ulasannya. Menurut saya juga seperti itulah, kata Jancuk itu hanya sebuah ungkapan, hanya expresi, maknyanya tergantung pada Sikon….

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.