Kematian

paul-klee-death-and-fire

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

(Untuk seorang sahabat yang amat saya “cintai”…)

Kiev, Ukraina, kota yang amat dingin. Seorang nelayan pergi ke sungai untuk memancing. Namanya dirahasiakan oleh surat kabar setempat. Tak yang tahu pasti, siapa namanya.

Usianya 43 tahun. Ia mau memancing dan terlebih dahulu menyalakan kapalnya. Ia mengambil kabel lalu mencolokannya ke sumber listrik. Kakinya menginjak air. Ikan di dalam air itu mati. Terkejut, ia pun mengambil ikan gratis itu. Namun tak beberapa lama kemudian, nasibnya berubah. Ia mati… oleh sebab yang sama dengan ikan yang ia ambil.

Ternyata pagi itu ia hendak menangkap ikan, memasaknya, dan memakannya, guna mengenang kematian ibu mertua yang amat dikasihinya. Ironis.

Geser sedikit ke Barat, dan kita sampai di Bordeaux, Prancis. Jean Ducing –seorang direktur kebun binatang- mati terinjak oleh hippopotamus (sejenis kuda nil). Sebelumnya ia bersepeda di Pessac, sebuah taman di Bordeaux. Pada waktu itu datanglah seekor badak berusia 6 tahun. Namanya Komir.

Selidik punya selidik ternyata Komir punya alasan sendiri. Ia takut ketika melihat gambar di sebuah papan iklan. Maka ia menuju ke arah Jean Ducing untuk memperoleh perlindungan. Alih-alih mendapatkan perlindungan, Komir justru menginjak Ducing sampai mati. Sekali lagi.. ironis.

Kita menuju ke Selatan, tepatnya kota Johannesburg, di Afrika Selatan. Seorang lelaki muda, asal Arab Saudi, sedang berkemah dengan kedua temannya. Mereka tampak bahagia.

Telepon berbunyi. Ia mengangkat telepon. Tiba-tiba petir menyambar, dan ia mati seketika. Tanpa sebab ia mati. Tanpa pertanda apapun ia meninggalkan temannya, selamanya. Peristiwa itu terjadi pada 1998. Ironis.

James Shivers tinggal di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat. Ia sedang menonton pertandingan bola di televisi. Tiba-tiba anaknya datang, dan menghalangi pandangannya. Spontan Shivers menegur dengan, sambil bercanda, mengambil pistol.

Ia lupa kalau pistol itu terisi. Juga dengan nada bercanda, si anak mendekati, dan menantangnya ayahnya, sambil berkata, “tembak aku.” Setelah sedikit bergulat dua letusan pun terdengar. Anaknya mati seketika. Ada dua luka tembak di dadanya.

Sampai sekarang Shivers masih terpana mengingat peristiwa tanpa makna itu.

Jelaslah kematian di sekitar kita. Ungkapan ini tidak mengada-ada. Setiap detik terjadi kematian, entah di belahan dunia mana. Bagaikan udara di sekitar, kematian mengintai di belakang kepala kita.

Ini bisa terjadi pada orang asing, sahabat, keluarga, bahkan diri sendiri. Di balik riak tawa dan canda, kematian bersembunyi mencari mangsa. Seringkali ia menciptakan kesedihan tiada tara. Ia hadir dan melenyapkan semua tawa di wajah.

Bagaimanapun menyakitkan kematian tetap adalah sesuatu yang alami. Tak ada yang bisa mencegahnya. Kita bisa berupaya lari darinya. Namun hanya soal waktu, sebelum ia merengkuh kita ke dalam pelukannya, bagaimanapun caranya.

Mengingkari kematian berarti menentang alam. Dan itu adalah upaya yang sia-sia. Tak menerima kematian sebagai fakta kehidupan adalah bagian dari delusi yang tak berguna. Jika itu yang terjadi, kita hidup dalam mimpi tiada akhir yang menyiksa jiwa.

Di hadapkan pada kematian yang tanpa makna, orang harus mengubah pola pikirnya. Ia tidak bisa bertanya “mengapa”, karena tiada jawaban atasnya. Yang bisa ia tanya adalah, “pelajaran apa yang bisa kutarik?” Ini pertanyaan yang mengantar pada refleksi atas kematian yang memang seringkali tak bermakna.

Kematian tak bermakna adalah kematian orang-orang yang seharusnya tidak mengalaminya, seperti kematian orang-orang baik, anak kecil, dan beragam kematian absurd lainnya. Orang tak melihat keadilan di dalamnya. Orang hanya melihat pola acak tanpa arah. Orang hanya bisa terpana tanpa arti, ketika mendengar dan melihatnya.

Melihat kematian yang tak bermakna, orang perlu percaya, bahwa kematian mengantarkan orang pada kebahagiaan yang lebih besar dari sebelumnya. Memang tak ada yang tahu pasti. Namun keyakinan –dan iman- bisa menjadi kekuatan yang amat besar bagi orang yang mengalami kekecewaan, akibat kematian yang tak bermakna. Orang perlu percaya bahwa ia –orang yang mati- telah bahagia.

Para skeptis akan menolak cara ini. Bagi mereka itu membuat orang tak sanggup menerima fakta dunia, dan melarikan diri ke dunia “dongeng surgawi”. Namun bukankah para skeptis pun tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi? Di dalam kamar gelap yang kosong, orang jauh lebih baik percaya, bahwa yang baik ada di sana, karena tidak ada yang sungguh tahu pasti, apa yang terjadi di dalamnya.

Mungkin mereka yang telah mati terlalu baik untuk dunia. Beberapa di antaranya belum bersentuhan dengan kejamnya dunia, dan pergi lebih dahulu mencapai kebahagiaan disana. Beberapa di antara telah puas menikmati fakta dunia, dan pergi dengan lapang dada, tanpa diduga. Tak yang bisa sungguh menjelaskan, mengapa manusia harus mati, ketika hidupnya tampak bercahaya.

Mungkin dunia terlalu jahat untuk mereka. Tipu muslihat dunia tak cocok untuk mereka. Maka mereka pergi mendahului kita. Mungkin sosok “malaikat kecil” harus tetap bernyala di sanubarinya, walaupun ia harus pergi jauh meninggalkan semua. Mungkin… tak ada yang tahu pasti.

Namun ada satu hal yang cukup pasti. Kematian bukanlah akhir. Kematian bukanlah titik final. Kematian bukanlah pintu gerbang tertutup.

Beragam penelitian saintifik dan keyakinan religius beragam peradaban menyatakan itu, tanpa ragu. Kematian bukanlah tanda titik, melainkan koma yang selalu siap untuk dilanjutkan. Ia adalah awal dari sesuatu yang baru. Tak ada seorang pun yang sungguh tahu, apa yang baru itu.

Banyak versi yang ditawarkan. Namun tak satu pun yang sungguh memuaskan. Cukup rendah hati kalau kita mengatakan, bahwa kematian adalah awal dari sesuatu “yang lain”. Tak ada nama yang pasti. Hanya ada kata yang mengungkapkan misteri, sekaligus kegentaran, “yang lain”.

“Yang lain” itu tak terjelaskan. “Yang lain” tak bisa dipenjara dalam kata. “Yang lain” menolak untuk dimengerti. “Yang lain” menyimpan misteri, ketakutan, sekaligus keindahan itu sendiri. “Yang lain” itu tak pasti.

Namun kehidupan justru menjadi terasa, karena kita tahu, bahwa kita tak abadi. Hidup kita sementara. Ini menyadarkan kita bahwa kita perlu sungguh menikmati apa yang kita punya. Pendeknya usia membuat kita tak menyia-nyiakan waktu kini.

Kita tak bisa menyia-nyiakan orang tua kita, karena kita tahu, suatu hari, mereka akan tidak ada untuk kita. Kita tak bisa menyia-nyiakan kekasih kita, karena kita tahu, suatu hari, mereka pun akan tak terjangkau lagi oleh ciuman dan pelukan kita. Hiduplah sekarang karena hidup itu sementara. Cecaplah anggur, ciumlah orang-orang yang kamu cintai, rayakanlah hari ini, karena ia tidaklah abadi.

Pada akhirnya kematian menyimpan sesuatu untuk semua orang. Ia tak hanya menyimpan kesedihan dan penderitaan, tetapi juga misteri dan keagungan. Misteri bahwa hidup seringkali mempermainkan kita, seberapapun akurat rencana yang kita punya. Keagungan bahwa di balik kesementaraan eksistensi kita, harapan akan keabadian selalu menyeruak keluar.

Di balik rapuhnya tubuh, jauh di dalam hati, kita tahu, bahwa kita lebih dari apa yang ada sekarang ini….. kita tahu….

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya.


Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Kematian”

  1. hidup berapa lama, mati kapan datang???…
    kita tidak bisa memprediksi. Hidup seumpama sebuah tes (ujian) mata kuliah. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda untuk menyelesaikannya, bahkan ada yang nekat mengakhirinya meskipun waktu masih panjang karena merasa tidak mampu menyelesaikannya. Ada yang terseok-seok akan tetapi dengan sabar dan penuh keuletan mencoba menyelesaikannya meskipun dengan jawaban seadanya. Setiap manusia dibekali materi yang sama dari Sang Guru dalam mengarungi kehidupan.
    Thanks Reza.

    Suka

  2. Hidup dan mati. Apakah yang hidup? Apakah yang mati?
    Sepertinya kedua kata ini adalah terminologi jasmaniah. Bukankah kita sejatinya adalah melampaui jasmani? Kalau demikian, apakah hidup dan mati? Tidakkah kekitaan lebih daripada kehidupan dan kematian?

    Good post!

    Suka

  3. ya. Benar begitu. Tapi saya rasa “Sang Guru”, siapapun itu, tidak memberikan materi yang sama untuk kita semua. Sebaliknya dia punya materi yang berbeda-beda untuk kita. Dia memberikan tugas yang berbeda-beda untuk masing-masing dari kita.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.