Diskusi Terbuka “Bayi Tabung” dan Aspek Moralnya

nurainmohd.files.wordpress.com

 

Oleh: Reza A.A Wattimena

Waktu menunjukkan jam 10 pagi tepat. Hari itu Sabtu 26 Maret 2011. Cuaca mendung. Udara cukup dingin untuk ukuran Surabaya.

Ruangan sudah mulai penuh. Beberapa orang saling berbicara. Tampak beberapa teman lama yang bertukar cerita. Tampak beberapa lainnya duduk membaca buku.

Dari kejauhan tampak dengan jelas Prof. Maramis. Beliau mengenakan kemeja hijau, dan sibuk berbincang dengan beberapa tamu yang baru saja hadir. Beberapa saat kemudian datanglah Dr. Aucky Hinting. Beliau adalah salah satu pembicara dari Diskusi Terbuka Bioetika dengan tema Teknik In Vitro Fertilisation (Bayi Tabung) dan Aspek Moralnya yang diselenggarakan Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya dalam kerja sama dengan Calon Fakultas Kedokteran di universitas yang sama.

Di baris depan sudah hadir Dr. Ramon Nadres, salah satu pembicara diskusi yang akan menyoroti fenomena teknik bayi tabung dari sudut filsafat moral. Peserta diskusi tampak antusias. Ada beberapa yang terlambat datang. Tepat pk. 10.05 diskusi dimulai di Ruang A 303 UNIKA Widya Mandala Surabaya Gedung Dinoyo.

In Vitro Fertilisation

Pembicara pertama adalah Dr. Aucky Hinting. Awalnya ia menjelaskan dulu soal istilah. Istilah medis resmi dari prosedur bayi tabung adalah Assisted Reproductive Technology (ART), atau Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB). Dalam beberapa kesempatan teknik bayi tabung sering juga disebut sebagai Medically Assisted Conception.

Menurut Dr. Aucky Hinting (berikutnya saya sebut Hinting), ada dua macam pembuahan. Yang pertama adalah pembuahan di dalam tubuh, seperti Insemination dan Gamete Intra Fallopian Transfer (GIFT). Yang kedua adalah pembuahan di luar tubuh, seperti In Vitro Fertilization (cIVF) dan Intra-cytoplasmic Sperm Injection (ICSI).

Jika sperma pria normal, maka teknik cIVF bisa dilakukan. Sementara untuk sperma yang tidak normal, maka prosedur yang perlu dilakukan adalah ICSI. Hinting kemudian menjelaskan secara detil proses yang kedua.

Intra-cytoplasmic Sperm Injection atau ICSI adalah “teknik manipulasi miror dengan menyuntikan satu spermatozoa ke dalam sitoplasma sel telur.” (Hinting, 2011) Ini dilakukan dengan terlebih dahulu mengambil sperma dari pria. Caranya dengan anestesi lokal, lalu dengan semperit jarum 27 G1/2. Ini harus dicoba secara berulang sampai berhasil.

Secara keseluruhan sebagaimana dinyatakan oleh Hinting, rata-rata keberhasilan prosedur “bayi tabung” ini adalah 48,7%. Data tersebut diambil dari praktek yang dilakukan di Siloam Hospital Surabaya pada 2010 lalu. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari usia, merokok atau tidak, polusi udara, dan sebagainya.

Di Indonesia menurut Hinting, praktek “bayi tabung” diatur di dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Di dalamnya dinyatakan dengan tegas, hanya pasangan suami istri yang bisa melakukan prosedur ini. Proses pembuahan juga hanya bisa dilakukan di dalam rahim istri, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan.

Para peserta diskusi bertepuk tangan setelah presentasi selesai. Beberapa peserta masih geli sekaligus takut, ketika Hinting menyatakan, bahwa proses untuk mencari sperma yang bagus itu amat sulit. Beberapa kali dokter –dengan dibantu perawat- perlu menusuk testis, guna memperoleh sperma yang bagus.

Walaupun begitu para peserta diskusi tampak puas dengan presentasi yang diberikan oleh Hinting. Tepuk tangan yang meriah terdengar, setelah ia menyelesaikan presentasinya.

Moralitas Bayi Tabung

Dr. Ramon Nadres (selanjutnya Nadres) maju ke depan sebagai pembicara kedua. Dia mempersiapkan slide power point yang telah dibuatnya. Para peserta diskusi menantikan jawaban atas pertanyaan berikut, bagaimana tinjauan moral dari teknik bayi tabung yang telah dipaparkan sebelumnya?

Nadres memulai presentasinya dengan menegaskan perbedaan antara cinta di dalam dunia manusia dan cinta di dalam dunia binatang. Baginya cinta manusia amat istimewa, karena disertai dengan aspek spiritual, dan bukan sekedar biologis, seperti pada hewan. Dimensi spiritual inilah yang merupakan dasar dari martabat manusia.

Hal yang sama juga terjadi soal hubungan seks. Pada hewan hubungan seks bertujuan untuk reproduksi. Sementara pada manusia hubungan seks bertujuan untuk mencipta bersama (pro-create). Tidak hanya tubuh yang berhubungan, tetapi juga jiwanya.

Proses prokreasi ini mempunya dua tujuan dasar. Yang pertama adalah menghadirkan anak, lalu membentuk keluarga. Yang kedua adalah penyatuan antara pria dan wanita sebagai simbol dari kedalaman cinta mereka. Inilah esensi dari hubungan seksual, sebagaimana dinyatakan oleh Nadres.

Dari sudut pandang ini, menurut Nadres, teknik bayi tabung tidak memiliki nilai moral. Ada tiga alasan. Yang pertama di dalam proses bayi tabung, tidak terjadi hubungan seksual yang merupakan simbol cinta antara pria dan wanita. Padahal proses hubungan seksual amatlah penting, dan itu merupakan “bahasa” yang melandasi hubungan antara suami dan istrinya.

Yang kedua di dalam prosedur bayi tabung, hanya satu sperma bertemu dengan satu ovum, supaya bisa tercipta pembuahan, yang juga disebut sebagai embrio. Yang kemudian digunakan hanyalah satu embrio saja.

Lalu bagaimana dengan embrio lainnya? Kalau dibuang maka akan terjadi aborsi, karena embrio  adalah cikal bakal manusia yang telah memiliki martabat sama seperti manusia, begitu pendapat Nadres.

Dan –ini merupakan alasan ketiga- jika embrio sisa digunakan untuk penelitian, maka akan terjadi bahaya eksperimentasi manusia. Padahal embrio memiliki martabat yang sama dengan manusia. Maka embrio juga harus diperlakukan sama dengan manusia. Dengan ketiga alasan ini, Nadres ingin menegaskan, bahwa prosedur bayi tabung tidak memiliki nilai moral.

Diskusi berikutnya berjalan amat panas. Pater Josef Glinka meragukan kesehatan prosedur ini, karena banyak sekali kelainan genetis dihasilkan dari prosedur bayi tabung ini. Peter Manoppo dari Rumah Sakit Darmo mengajukan ketidaksetujuan terhadap argumen Nadres. Prinsip yang tetap perlu dipegang, menurut Nadres, dalam teknologi adalah, bahwa apa yang bisa dilakukan manusia belum tentu boleh dilakukan olehnya.

Ada beberapa penanya lainnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.10. Prof. Maramis menutup pertemuan. Para peserta diskusi tampak antusias untuk melanjutkan diskusi. Namun waktu jugalah yang akhirnya membatasi. Diskusi terbuka Bioetika akan dilanjutkan bulan depan. Tunggu kabar dari kami.

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Diskusi Terbuka “Bayi Tabung” dan Aspek Moralnya”

  1. disatu sisi memang aspek moral dan kesehatan yg memiliki bayi tabung memang besar. tp bagi pasangan yang sudah menikah dan tidak/belum bisa mendapat keturunan cara ini rasanya bisa membawa harapan bagi mereka,. lalu kalau spt itu mungkin masih logis ya kalau mereka mempertimbangankan aspek kesehatan (takut cacat dll,.) tp apakah masih esensial bagi mereka untuk menimbang aspek moral?

    Suka

  2. aspek moral selalu esensial untuk dipertimbangkan, karena itu batas tipis yang membedakan kita, dengan martabat manusia yang kita punya, dan binatang yang bisa diuji coba dengan teknologi manapun.

    Banyak orang lupa dengan aspek moral. Akibatnya kita hancur seperti sekarang ini. Pendidikan kacau. Hukum kacau.

    Suka

  3. teknologi tanpa etika ibaratnya bagai seorang buta yang berusaha naik mobil, nantinya akan nabrak kemana mana dan malah merugikan, baik dirinya dan orang lain. Bayi tabung/ IVF (sebenarnya kurang tepat kalau disebut bayi tabung) memang sekarang ini akan sangat diperlukan mengingat prevalensi infertilitas akan semakin banyak dari tahun ke tahun. Teknologi sekarang bahkan sudah memungkinkan mendapatkan sel sperma dari sumsum tulang. Sehingga lesbian nantinya pun akan bisa mendapatkan anak layaknya suami istri. Peran etika akan sangat penting dalam mengarahkan hal tersebut agar tidak smakin destruktif. salam kenal

    kunjungi blog saya bro http://www.yuanadesukma.wordpress.com

    Suka

  4. Salam kenal juga. Terima kasih atas pendapatnya. Saya setuju dengan anda. Saya pikir dilemanya disini; di satu sisi ada orang tua yang tak bisa punya anak sendiri, dan amat menginginkannya, sementara di sisi lain, ada prinsip-prinsip etis dan kemanusiaan yang tak boleh dilanggar, walaupun teknologi memungkinkan.

    Bagaimana menurut anda?

    Suka

  5. Kalau menurut saya (walaupun saya hanyalah orang biasa), ART (Assisted Reproductive Technology) adalah suatu penemuan yang sangat berguna dan telah membantu jutaan orang mewujudkan impiannya untuk mempunyai keturunan. Disini harus ditekankan bahwa dengan menggunakan ART, tidak menjadikan sang anak kehilangan asal usulnya, dan tidak melanggar fitrah manusia yang dilahirkan dari seorang ayah dan ibu, dan mewarisi sifat keduanya. Beda halnya dengan kloning dan sejenisnya yang memungkinkan seorang anak yang lahir hanya dari seorang laki2 saja, atau seorang wanita saja, dan akan menyebabkan manusia kehilangan esensinya untuk berpasangan dan berkembang biak.

    Kalau etika/ agama tidak dilestarikan, adakalanya nanti manusia ditumbuhkan, bukannya dilahirkan, saya tidak bisa membayangkan…

    Suka

  6. Terima kasih atas tanggapannya.

    Saya melihat dua kemungkinan disini. Pertama, agama dan moralitas bisa menjadi tameng yang melindungi manusia dari teknologi yang mungkin saja merusak martabat dan kebebasannya. Dua, seperti sudah terlihat di dalam sejarah, kemajuan seringkali mengambil langkah-langkah yang tak terduga, yang melampaui bayangan kita semua; kloning dan sebagainya. Dalam arti ini agama dan moralitas hanya menjadi penghalang kemajuan manusia.

    Kedua argumen ini punya “kebenaran”-nya masing-masing. Saya pikir yang perlu diterapkan adalah sesuatu yang berada di antara dua posisi itu.

    Bagaimana menurut anda?

    Suka

  7. Ya. Saya setuju dengan anda.

    Namun memang kata beriringan itu gampang diucap, tapi amat sulit untuk dilakukan. Di dalam proses kita bisa terjebak pada perang, ketika mencoba untuk beriringan.

    Suka

  8. Terima kasih atas tanggapannya.

    Sebenarnya ini bukan masalah filsafat. Ini masalah hidup. Ada pepatah Romawi Kuno; civis pacem para bellum; jika anda ingin perdamaian, bersiaplah berperang.

    Diskusi iman dan ilmu pun juga begitu. Banyak perpecahan lahir dari upaya untuk membentuk “perdamaian” di antara keduanya. Maka kadang konsep ‘beriringan’ harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang dinamis (tawar menawar yang terus berubah), dan bukan harmoni yang seimbang semata.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.